Kamis, 28 Februari 2013

Mencari Makna Teologis Untuk Memaknai Gaya Arsitektur Gereja GPIB - sebuah tinjauan -


Sebuah Tinjauan Teologis

ARSITEKTUR GEDUNG GEREJA GPIB

Gedung Gereja merupakan sebuah SIMBOL yang lahir
dari kancah pergumulan Gereja di tengah konteks sosial budaya.
Ia bukan hanya sebuah SIMBOL, tetapi juga PEMAHAMAN TEOLOGI.

oleh
ARIE A. R. IHALAUW

PENDAHULUAN

1.  Sampai hari ini Warga dan Presbiter belum menyadari --- kalau tidak mau dikatakan : tidak mengenal --- tradisi arsitektur Gedung Gereja GPIB. Hal itu dikarenakan GPIB belum merumuskan penjelasan teologis tentang gaya arsitektur dari seluruh bangunan yang didirikan setelah tahun 1970-an.

2.  Sepanjang perjalanan GPIB pembangunan Gedung Gerejanya lahir dari karya anak bang-sa entahkah warga GPIB maupun bukan. Malahan ada juga arsitektur yang meniru gedung-gedung gereja di Eropah – Amerika – Australia, di mana kita hanya mementingkan aspek estetika, tanpa memiliki konsep teologi yang jelas.

3.  Tulisan ini disajikan, agar kita (warga dan presbiter GPIB) didorong untuk menggambarkan arsitektur Gedung Gereja GPIB yang berangkat dari pemahaman teologi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, artikel ini bukan merupakan kritikan atau kecaman, melainkan ajakan untuk memikirkan landasan teologi yang melahirkan gaya arsitektur GPIB.

Mudah mudahan dimengerti.

A.   KELUARGA

1.  Saya bertolak dari salah satu simbol iman tentang Gereja, yakni : ‘keluarga’. Menurut saya, pembentukan ‘keluarga’ berlangsung di tengah masyarakat, bukan bernilai teologis. Ia lahir karena adanya kesamaan keinginan antar pasangan suami-isteri berbeda jenis kelamin. Ia di dasarkan atas ‘cinta-kasih’, yang kemudian dilegalisasikan oleh ‘perjanjian’.

2.  ‘Cinta-kasih’ itu bukan saja terpaut faktor estetis (keindahan) tetapi etis (norma tertulis dan tidak tertulis) juga. Di dalam kehidupan keluarga suami-isteri menata ‘cinta-kasih’ melalui norma-norma etis, agar keindahan itu dapat dinikmatinya bersama keturunan yang akan datang.

3. Suasana seperti itu akan melahirkan inspirasi pendorong untuk mewujudkan gagas-annya, termasuk rumah-tinggal bersama. Memang ada berbagai bentuk pisik (arsitektur) yang dilihatnya, tetapi rumah-tinggal itu dibangun sesuai gagasan (bestek) sebagai cerminan kepribadian dan karakter keluarganya. Jadi pembangunan rumah-tinggal merupakan perpaduan dari kekuatan berpikir logis seorang laki-laki (suami) dan keindahan perasaan seorang perempuan (isteri). Di sinilah kita memahami makna tersirat dari ucapan : ‘Keduanya menjadi satu daging;’ dan, oleh karena itu, pisikal rumah dapat dibayangkan bagaikan daging pembungkus tulang atau secara spiritual dikatakan ‘tubuh yang membungkus roh.’

4.  Rumah-tinggalpun memperlihatkan kepribadian dan karakter pemiliknya. Hal itu dapat terbaca dari gaya arsitektur, warna dinding, warna atap, pembagian ruang-ruang, dan lain-lain. Katakanlah contoh, ketika Kerajaan Spanyol dikuasai bangsa Turki yang beragama Islam, maka terjadi percampuran (akulturasi) di mana budaya Timur bercampur Barat. Hal itu tampak pada gaya arsitektur rumah-tingga, termasuk Istana Kerajaan. Akulturasi bidang arsitektur ini begitu kuat mempngaruhi gaya bangunan Spanyol sampai hari ini, termasuk juga kubah-kubah di atas Gedung Katedral / Gereja.

B.    RUMAH GEREJA

1.    Penjelasan Istilah.

Dahulu kita tidak pernah menyebut Gedung Gereja tetapi rumah Gereja atau kadang juga Gereja saja.

2.    Makna Istilah

a.  Pengartian istilah ‘Gereja’ selama ini berkonotasi pisik / material bukan spiritual / rohaniah. Jika orang bertanya : “Kemanakah anda akan pergi beribadah ?,” maka orang yang ditanyai akan menjawab : “Ke Gereja !” Jawaban tersebut mengungkapkan, bahwa si penjawab kurang memahami makna istilah “Gereja,” atau sekurang-kurangnya ia tidak mengetahui doktrin kristen tentang Gereja.

b.    Rumah / Gedung Gereja, sesungguhnya, merupakan penampakan pisik dari ‘orang-orang percaya yang dipanggil keluar untuk masuk ke dalam persekutuan hidup bersama Allah’ (I Pet. 2:9). Sama seperti rumah / gedung Gereja dibangun memakai beragam bahan bangunan (kayu, semen, pasit, besi, cat, dll) demikian pula “persekutuan orang percaya’ itu merupakan satu kesatuan yang memiliki beragam latarbelakang serta terjalin utuh. Ia diikatkan oleh pemahaman dan pengakuan iman akan Yesus Kristus serta kasih persaudaraan. Kristuslah dasarnya ! (I Kor. 3:11).

3.    Sentralisasi Ibadah Umat.

a.    Masa Abraham sampai Exodus.

1)    Jika menyimak ucapan ilahi kepada Abraham (Kej.12:1), kita akan menemukan suruhan : “Pergilah dari negerimu...” Allah tidak menginstruksikan Abraham keluar dari rumah bapanya untuk membangun sebuah tempat khusus bagi penyelenggaraan kultus ritual. Perintah itu bermakna, Abraham wajib menyelenggarakan kultus ritual di tempat mana saja, ketika ia beristirahat dalam perjalanannya.  Jadi tidak ada tempat khusus untuk beribadah. Menurut saya, seluruh bumi menjadi tempat bagi orang beriman (Abraham) melaksanakan ibadahnya (bd. pesan Yesus kepada murid murid – Mat. 28 : 19 ->  “Pergilah... ke semua bangsa”). Orang beriman disurun pergi : kapan dan di mana saja, untuk beribadah kepada Allah. Ibadah itu tidak terikat pada ruang waktu dan ruang tempat.

2)    Allah mengutus Musa dan Harun untuk membebaskan Israel dari penjajahan Mesir, agar mereka beribadah kepadaNya. SuruhanNya sangat jelas : Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku (Kel. 4:23a). Sekali lagi kita menemukan pemakaian kata kerja yang sama : “pergi / pergi keluar.” Israel dimerdekakan Allah untuk “pergi beribadah” kepadaNya. Di manakah tempatnya ? Allah tidak mengatakan apapun.

Menurut pendapat saya, perintah untuk “pergi keluar” (Abraham) atau “pergi untuk beribadah” (Musa – Israel) merupakan tradisi tertua dalam sejarah keagamaan Israel. Sementara nama-nama tempat yang dikaitkan pada tradisi tersebut adalah tambahan kemudian hari. Hal itu menunjuk pada penugasan Abraham dan Israel sebagai utusan yang memberkati bangsa-bangsa (Kej. 12:3 => “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat;" dan untuk tujuan keselamatan => bd. Yes. 42:6 => “Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa”). TUHAN, Allah israel, tidak pernah menghendaki umatNya membangun sebuah rumahpun sebagai tempat kediamanNya, seperti yang dikatakanNya melalui perantaraan Nabi Nathan : “Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian : Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras ?” (II Sam. 7:7). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan, bahwa Abraham dan keturunannya dipanggil dan diutus bukan untuk membangun rumah / baith Allah; akan tetapi mereka diutus untuk menjadi berkat bagi segala bangsa (Yes. 42:6).

b.   Perjumpaan Israel dengan budaya-agama-suku (masa hakim-hakim)

1)    Tidak dapat dipungkiri, bahwa terjadi perkembangan baru ketika Israel telah menduduki tanah Kanaan. Umat pilihan itu berjumpa dengan praktik budaya-agama-suku kanaani. Malahan mereka cenderung menirunya. Israel mengambil alih tata cara penyembahan berhala untuk menyembah Allah. Seluruh model ibadah ditiru utuh tanpa pembatisan makna. Di sinilah terjadi infiltrasi budaya dan keimanan. Muncullah sikap dan pikiran sinkritis yang membawa Israel ke dalam dosa.

2)    Bukan hanya Israel sebagai sebuah persekutuan umat, tetapi juga suku-sukunya, malahan kepala kaumpun meniru utuh praktik penyembahan suku-suku asli Kanaan.

c. Agama sebagai Dasar Pembangunan Wawasan Kebangsaan : Daud dan Salomo.

1)    Doktrin Agama sama fungsinya dengan Ideologi. Ia merupakan sejumlah nilai yang dipakai untuk membangun sistem sosial (suku, bangsa, negara). Hal ini berlaku dalam budaya Timur Tengah Kuno sampai hari ini (pelajarilah apa yang terjadi dalam Negara-negara Arab). Israel Kuno, di bawah kekuasan Daud dan Salomo pun demikian. Kedua raja itu memanfaatkan gagasan-gagasan keagamaan (teologi) untuk mengokohkan pemerintahannya. Narasi terkait sentralisasi kekuasan dan penyelenggaraan kultus ritual di Yerusalem adalah buktinya.

2)    Daud dan para pendukungnya menafsirkan dan merumuskan kembali janji Allah tentang wilayah Kanaan (Palestina) selaku “tanah perjanjian” (Kej. 13:-18; 15:13-16a; 17, dll) bertujuan untuk membangun wawasan nasional Israel kuno. Kerajaan itu, yakni : kerajaan Dinasti Daud, sesungguhnya, merupakan duplikat yang merefleksikan pemahaman Israel Kuno tentang Kerajaan Allah (Ibr. hasyamaim; Yun. Basilea tou Theou, basiliea tou Uranou). Theokrasi digambarkan dalam monarchi absulut di bawah kepemimpinan dinasti Daud.

3)    Walaupun Daud tidak diijinkan Allah untuk membangun Rumah / BaitNya, akan tetapi ia telah meletakkan dasar kokoh bagi pembangunan kerajaan Allah secara geopolitik. Malahan melalui mulut Nabi Nathan, Allah berkata kepada Daud : “Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian : Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras ?” (II Sam. 7:7). Anaknyalah yang melanjutkan pekerjaan itu (

d.   Rumah / Baith Allah sebagai simbol kehadiran TUHAN -> Masa Salomo.

1)    Pembangunan Yerusalem berindikasi pemusatan aktifitas dan kekuasaan politik. Fan, hal itu sudah diselesaikan oleh Daud. Dia tidak diijinkan Allah membangun rumah / baithNya (II Sam. 7 : 7 – 16).

2)    Salomolah yang direstui Allah untuk membangun rumahNya (II Sam 7:17; bd. I Rj. 5 – 6; II Taw. 3).

3)    Sentralisasi Ibadah di Bukit Zion – Yerusalempun tak lepas dari pemahaman Israel Kuno tentang monoteisme Allah.

4)    Bukit Zion menjadi satu-satunya pusat peribadahan ritual “di tempat yang akan dipilih TUHAN” (Ul. 12:5-7, 18, 26; 15:20; 16:2, 6-7, 11, 15; 18 : 6-7; 26 : 1-2) untuk menyatakan kehadiran dan pemerintahan atas umat pilihanNya (I Rj. 6 : 13 => Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan tidak hendak meninggalkan umat-Ku Israel).

e.    Pengkultusan baith Allah dibenci TUHAN.

1)    Meskipun Rumah / Baith Allah dipahami sebagai pusat ibadah Israel Kuno, namun TUHAN memperingatkan Israel, agar tidak salah memanfaatkan maknanya. Hal itu disampaikanNya melalui Salomo (I Rj. 6:12). Israel tidak boleh berpikir, bahwa Allah akan tetap selama-lamanya tinggal dalam rumahNya, sama seperti yang ditemukan dalam ajaran budaya-agama-suku Kanaani. Jika mereka berbuat jahat, maka Dia akan meninggalkan rumah itu. Nabi Yeremia mengatakan : “Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel : Perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini.”(bd. Yer. 7 : 1 – 11, khususnya ay. 2).

2)    Malahan terhadap kultus ritual yang diselenggarakanpun Allah tidak suka (Am. 5:21 – 27).

f.     Kesimpulan.

Belajar dari sejarah Israel Kuno, kita menyimpulkan beberapa hal :

1)    Rumah / Baith Allah bukanlah tempat tinggal Allah (Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian : Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras   => II Sam. 7:7).

Sama seperti itulah kita, orang kristen, patut memahami bahwa Gereja bukanlah tempat tinggal Allah di bumi. Allah tidak berdiam dalam tempat yang dibuat oleh manusia. Dengan kata lain, Allah tidak terikat pada sebuah tempat. Ia hadir pada ruang waktu dan tempat menurut kehendakNya yang bebas.

Jikalau warga dan pejabat Gereja berpendapat, bahwa Gedung / Rumah Gereja adalah ‘tempat tinggal Allah’, sesungguhnya, pemahaman ini telah menyimpang dari kesaksian Alkitab. Rumah / Gedung Gereja hanyalah simbol kehadiran Allah di tengah persekutuan umat. Kita patut menghormatinya, tetapi tidak boleh mengkultuskannya seakan-akan gedung yang mati itu sama seperti Allah yang hidup.

2) Rumah / Bait Allah, sesungguhnya, merupakan pusat aktifitas pelayanan keagamaan dan kemasyarakatan. Ke sanalah warga jemaat pergi untuk mendengarkan suruhan (firman)-Nya.

Rumah / Gedung Gereja adalah pusat aktifitas pelayanan-kesaksian umat Kristen. Ke sanalah umat berkumpul untuk mendengarkan suara TUHAN. Kemudian kembali untuk mengerjakan firmanNya dalam masyarakat (simak rumusan Pengutusan dalam Liturgi GPIB).

Perjumpaan umat dengan Allah dan dengan sesama seiman, sebenarnya, bertujuan menguatkan pengharapan iman akan janjiNya, bahwa TUHAN menyertai, memelihara dan memberkati umat sepanjang mereka melaksanakan suruhanNya. Dan, jikalau umat tidak melaksanakan kehendakNya, maka TUHAN akan keluar meninggalkan gedung Gereja, sebab rumah itu telah menjadi ‘sarang penyamun.’ Frasa “TUHAN keluar meninggalkan” rumahNya menunjuk pada penghakiman dan penghukuman.

3)    Baith Allah adalah pusat pemberitaan dan pengajaran akan firman. Sama seperti itu Gedung Gerejapun memiliki fungsi pengajaran. Ke sanalah umat harus datang mendengar ajaran / petunjuk ilahi, supaya mereka menjadi berhikmat untuk menjalankan pekerjaan Allah.

Bersambung ke ....

C.    SIMBOL IMAN DALAM GAYA ARSITEKTUR GEREJA.

Medan – Sumatera Utara
Kamis, 28 Pebruari 2013

Salam

PENULIS.

Jumat, 15 Februari 2013

USULAN KEPADA PESERTA PST 2013 DI MAKASAR


YANG MUTABIR :



  • Majelis Sinode GPIB XIX,  dan sekalian 
  • Utusan Jemaat - Jemaat

  • dalam Persidangan Sinodal Tahunan 2013


    di 

    Makasar - Sulawesi Selatan.-

    Saya menuliskan beberapa usulan seperti dalam artikel di bawah ini. Tujuannya hanyalah untuk mendorong MS GPIB XIX dan Peserta PST 2013 memikirkan dan merencanakan aktifitas Program Kerja 2013 - 2014 yang akan dimasuki.

    Jikalau ada kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan.



    THEMA
    PERSIDANGAN SINODE TAHUNAN
    19 – 22 PEBRUARI 2013

    “KEMITRAAN & KESETARAAN DEMI KESETIAKAWANAN SOSIAL”
    Galatia 3 : 24 – 29

    BY
    ARIE A. R. IHALAUW

    PENDAHULUAN

    I.    TATANAN (ORDE) DUNIA LAMA

    1.   PERUBAHAN SOSIAL

    Perubahan dan perkembangan sosial (bisa maju, bisa mundur juga) yang sedang dan akan terjadi tidak seorangpun mengetahuinya secara pasti; oleh karena pengaruh politik internasional. Jauh di balik riak politik internasional, sesungguhnya, terletak masalah dalam negeri tiap negara-bangsa saling mempengaruhi. Kita perlu menginventarisasi dan mengidentifikasi, masalah domestik, seperti : pemiskinan dan keadaan miskin, pendidikan dan pembodohan, hukum dan keadilan sosial, pemerataan kesempatan kerja dan kesejahteraan sosial, dan lain-lain. Kita juga, selayaknya, mencermati hubungan politik antar negara, oleh karena kondisi internasional dipengaruhi pula oleh kompetensi (kepentingan) masing-masing ‘negara-pemimpin,’ meskipun kita tidak pernah mengakui, namun takluk di bawah ‘kebijakan dan kemauan politik’-nya. Hubungan yang kurang harmonis antar negara bangsa akan mempengaruhi kondisi domestik (simaklah berbagai kasus : Iraq di bawah kepemimpinan Sadam Husein, perang saudara di Afganistan, alasan-alasan di balik perlawanan teroris pimpinan Osama bin Laden, perang saudara yang sekarang terjadi di Suriah, dan lain-lain).

    Kadang-kadang kita sengaja melupakan akan sentimen keagamaan yang bermain di balik tindakan diskriminasi politik perang dan terorisme dalam negeri maupun hubungan internasional. Kita mendamaikan masalah dengan mengemukakan pandangan, bahwa kekerasan teror yang dilakukan hanyalah disebabkan kesenjangan sosial belaka.    

    Beberapa negara maju di Eropa-Amerika (beberapa juga di Asia) mempengaruhi penataan dunia menurut ideologi bangsanya, tanpa mau memahami kondisi psikologis masyarakat di belahar dunia lain (Asia-Afrika). Malahan sering kita menyaksikan pemanfaatan kemakmuran ekonomi sebagai senjata untuk tujuan penjajahan politik terhadap negara-negara di Asia–Afrika. Embargo ekonomi yang diberikan kepada negara-negara tertentu hampir-hampir menghancurkan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan demikian, negara maju mengajukan alasan politis sejalan dengan ideologinya (simaklah latar belakang gerakan bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam sidangnya di Bandung pada era enam puluhan; simaklah kasus perang Vietnam di bawah kekuasaan Amerika). Gambaran singkat yang dikemukakan ini hendak mengajak kita berhati-hati dan bersikap jujur mengkaji perubahan dan perkembangan sosial di Indonesia akhir-akhir ini. Dengan demi kita dapat mengatasi masalah sosial dalam negeri.

    2.  GLOBALISASI,

    Di satu sisi ia dipandang sebagai sebuah gerakan yang bersifat alamiah; akan tetapi kita perlu memikirkannya sebagai alat yang digunakan sebagai senjata politik juga. Mungkin saja kita hanya menyoroti kegunaannya bagi pertumbuhan kesejahteraan, namun janganlah kita melupakan faktor X yang berperan di dalamnya. Bukankah globalisasi itu merupakan rekayasa ideologis juga ? Simaklah alasan-alasan yang melatarbelakangi gerakan “glasnot” di Rusia, ketika Gorbachev memerintah. Di samping alasan politik dalam negeri, bukankah ada juga dorongan dari Nato di bawah kepemimpinan USA untuk memecahkan perang dingin di antara mereka ? Saya tidak menentangnya, tetapi mengingatkan kita bahwa dalam arus globalisasi terdapat pula elemen positif dan negati --- jika tidak dikelola secara baik benar --- akan berbalik menjadi mesin penghancur tatanan kehidupan masyarakat, termasuk keagamaan.  

    3.  KEMITRAAN dan KESETARAAN.

    Mungkin kita berpikir seakan-akan dahulu masalah kemitraan dan kesetaraan kurang digumuli manusia dalam sistem sosialnya. Pandangan ini keliru, sebab kita menilai menurut ukuran modern. Selayaknya, kita mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan konsep berpikir manusia menurut waktu dan tempatnya. Ada beberapa persoalan yang terkandung di dalam Tema PST 2013 ini, antara lain :

    Ketegangan antar umat beragama dalam masyarakat.

    Seharusnya, kita mempelajari latarbelakangnya dari sudut pandang sosial politik. Saya temukan beberapa akar  persoalan, yakni : pertama, perpindahan keyakinan. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan kekristenan telah diwarnai oleh sikap antipati pemerintah (Romawi) terhadap perubahan yang terjadi karena berpindahnya sejumlah warga menjadi kristen. So pasti, sikap tersebut merupakan hak azasi perorangan; akan tetapi perpindahan itu bukan saja mencakup perubahan status sosial, melainkan juga perubahan pola / cara berpikir (misalnya : pandangan kristen tentang penguasa negara yang berbeda keyakinan pada waktu itu). Kedua, kristenisasi (refleksi atas pesan Yesus – Mat. 28 : 19 – 20). Setelah kekristenan mengendalikan penguasa negara / kerajaan di Eropa, maka lahirlah gagasan terkait gerakan yang diilhami gagasan corpus christianum (persaudaraan kristen). So pasti, pula tersirat di dalam gerakan tersebut pembangunan Kerajaan Allah di dunia yang dipimpin oleh umat Kristen. Alasan ini diinspirasi karena pentafsiran sempit tentang tugas Kristen yang disuruh oleh Yesus (Matius 28 : 19 – 20). Pesan itu sah-sah saja dan benar. Akan tetapi penguasa Kristen menjalankan politik praktis untuk membela para misionaris. Banyak orang dibunuh jika menolak menjadi Kristen. Sikap penguasa ini disama sejajarkan denga sikap Pemimpin Gereja. Kristenisasi mendapat tantangan berat dari bangsa-bangsa Asia-Afrika yang telah lama memiliki budaya-agama-suku. Saya kurang setuju memasukkan pikiran ini ke dalam kekristenan, tetapi lebih cenderung menyebutnya : budaya kristen dikarenakan kristenisasi merupakan cara strategi yang ditafsirkan menjadi doktrin teologis untuk membentuk karakter orang kristen tentang bagaimana ia memandang manusia dan ciptaan Allah lainnya. Dalam hubungan dengan hal ini, penganut keristen berpendapat, bahwa kekristenan majadi satu-satunya agama yang benar, dan orang-orang kristen adalah satu-satunya yang dipilih Allah dari antara seluruh umat manusia yang berbeda keyakinan. Dengan demikian, menurut orang kristen, budaya-agama-suku tidak baik dan tidak benar. Ketiga, perang salib pengkeramatan Yerusalem – Israel. Setelah penguasa Islam – Turki menaklukan Yerusalem (Israel), muncullah reaksi keras pihak Kristen. Hal ini dilatarbelakangi pentafsiran tentang fungsi Yerusalem sebagai kota suci (pengkultusan Yerusalem layaknya pandangan budaya-agama-suku). Mereka berusaha mengembalikkannya melalui strategi perang. Sikap ini membawa pengaruh negatif yang masih berakar dalam pemahaman Islam terhadap setiap gerakan Kristen sampai hari ini. Keempat, sikap penjajah Kristen terhadap kaum pribumi di Indonesia. Semua kasus yang diulas itu merupakan akar serabut saja. Kelima, akar tunggalnya adalah perbedaan pandangan teologi (ajaran masing-masing tentang eksistensi dan fungsi agama) tentang jatidiri dan tugas fungsinal agama membangun manusia di dalam masyarakat. Inilah pokok masalahnya.

    Saya mendorong Gereja untuk meneliti, mengkaji dan menguji berbagai kasus sosial yang berlatarbelakang sentimen keagamaan, sebelum menegakkan hipotesa serta mencari solusi demi pengadaan Rencana Program Kerja Tahun 2013 – 2014 mendatang. Jika tidak demikian, maka Gereja akan berjalan dalam keadaan samar-samar, bukan gelap dan bukan terang, alias rabun penglihatan.

    4.    Gerakan emansipasi kaum perempuan dan perlindungan anak

    Kita perlu membijaki masalah prinsipal / subtansial (teologis) dan praktiis paedagogis, ketika mencermati tindakan diskriminasi atas kaum perempuan serta perrlindungan terhadap anak / anak-anak. Hal ini dikarenakan kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) dan emansipasi kaum perempuan telah banyak dipolitisir untuk tujuan dan kepentingan golongan / kelompok politik.

    Pada prinsipnya Teologi Alkitabiah melarang berbagai bentuk tindakan diskriminasi dan kekerasan atas kaum perempuan maupun anak / anak-anak. Namun perlu dicermati latarbelakang kasual dari sebuah tindakan. Tidak boleh serta merta menghakimi. Itulah bentuk kearifan. Hal ini diperingatkan, supaya Gereja tidak terseret ke dalam derasnya arus politisasi yang didengungkan para politisi praktis. Oleh karena itu, Gereja perlu mengadakan ‘ensiklik’ yang menjelaskan sikapnya terhadap kasus-kasus KDRT, diskriminasi kaum perempuan dan perlindungan anak / anak-anak. Mendengar banyak, tetapi berbuatlah mengurangi risiko sekecil mungkin, jikalau hal itu dapat dilakukan sesuai kesanggupan Gereja. Tidak boleh  muncul dikarenakan paksaan dan karena desakan pihak manapun. Dengan demikian akan menjaga citra gereja selaku pengayom semua aspirasi  politik praktis, tanpa menyalahkan dan menyakiti yang berbeda pandangan.

    USULAN :

    Untuk dipikirkan dan direncanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Program bidang IMAN – AJARAN - IBADAH (IAI), bidang GEREJA & MASYARAKIAT (Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia Baru), juga Bidang Program PEMBERDAYAAN & PEMBINAAN SUMBER DAYA INSANI.

    5.  Gereja dan Kebudayaan.

    Isue politik hangat terkait kemitraan (partnership) dan kesamaan (equlity) masih akan dipersoalkan ke depan. Beberapa masalah --- hubungan antar umat beragama, antar umat Kristen yang berbeda denominasi sesuai dogma, perlakuan masyarakat tertentu dan sikap pemerintah terhadap kelompok berbeda keyakinan / agama, dan lain-lain --- memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Marilah kita belajar untuk memisahkan manakah nilai-nilai teologi-alkitabiah menurut pesan Yesus, Tuhan Gereja, serta budaya Kristen yang lahir karena pergumulan Gereja dalam konteks sosialnya. Pemahaman ini, selayaknya, patut dipikirkan karena selama ini kita kurang (jika tidak mau dikatakan “tidak sama sekali”) mengkaji dan mengevaluasi perilaku sosial umat Kristen / warga dan pejabat Gereja dalam masyarakat. Pertanyaan strategisnya : apakah semua kebijakan Gereja adalah sama dengan yang dipesankan Yesus ? ataukah kebijakan itu merupakan sebuah usaha formulasi tugas misional Gereja sebagai institusi sosio-religius ? Dan, oleh karena itu, bukankah ia dikategorikan sebagai tindakan kulturalisasi ? Jika kita dapat menemukan jawabannya dalam pesan Yesus, maka strateginya direncanakan Gereja, khususnya kelompok kerja (departemen) terkait. Inilah yang saya maksudkan dengan “membudayakan masyarakat” seturut kehendak Kristus.

    USULAN :

    Untuk dipikirkan dan direncanakan Kelompok Kerja (Pokja) Program Bidang GEREJA & MASYARAKAT (Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia Baru)

    6.  Gereja dan Pelayanan – Kesaksian.

    Sepanjang sejarah pelayanan kesaksian (PEL-KES) Gereja, khususnya GPIB, kita masih dipengaruhi pandangan tradisional : membaptiskan orang menjadi Kristen (kristenisasi) serta menggunakan cara klasik : pelayanan diakonia / charitas. Kita belum mengembangkan makna kemitraan dan kesetaraan sebagai paradigma dan strategi Pel-Kes. Cobalah kaji dan uji secara kuantitatif dan kualitatif seluruh hasil Pel-Kes sejak tahun 1970-an. Meskipun kita katakan ada, namun jumlah dan mutunya belum sebesar biji sesawi. Dan, menurut saya, hal sedemikian wajar, karena pada waktu itu keadaannya demikian.

    Memandang ke masa depan --- sesuai Tema dan Sub Tema PS-GPIB 2010 yang diemban oleh MS masa bakti 2010 – 2015 --- sudah waktunya Gereja memikirkan strategi bagaimana membentuk wawasan warga dan pejabatnya mengenai Pel – Kes bertolak dari Tema PST 2013 : KEMITRAAN & KESETARAAN. Saya menemukan 2 (dua) eleman yang saling berhubungan, yakni :

    a)   Membangun wawasan warga jemaat pekotaan akan tanggungjawab Kristen, supaya mereka mendukung seluruh aktifitas Pel-Kes, dengan tujuan : menjadikan warga jemaat dalam wilayah pos Pel-Kes sebagai mitra kerja yang setara (sederajat, semartabat), sehingga mereka mampu memberdayakan diri dalam sistem Gereja untuk menjalankan pekerjaan misional suatu saat kelak.

    b)   Pel-Kes bukan saja menciptakan “kondisi aji mumpung,” artinya : menciptakan manusia (warga Gereja) yang menggantungkan diri pada pemberian Jemaat-Jemaat pekotaan --- meskipun perlu juga ---, melainkan bagaimana Gereja secara sinodal maupun di tingkat lokal melakukan pembinaan mental spiritual serta intelektuan warga Pel-Kes, sehingga mereka mampu memberdayakan potensi yang tersedia untuk menghidupi keluarga dan mendukung pekerjaan Tuhan.

    USULAN :

    * Berpikir ke arah itu, Gereja --- melalui Bidang Program PELAYANAN – KESAKSIAN --- memikirkan dan merencanakan aktifitas program terpadu bersama Bidang PPSDI.

     * Gereja patut mengembangkan UP2M semaksimal mungkin serta didukung sepenuhnya oleh Jemaat – Jemaat dalam kategori mampu secara ekonomi.

    ECCLESIA REFORMATA SEMPER REFORMANDA

    Pada waktu para reformator Gereja mencetuskan gagasan ini keadaan masih diselimuti kabut penyesatan teologi yang menjadi landasan operasional organisasi. Semangat gagasan tersebut terkandung gagasan reformasi sistem, agar menghadirkan keselamatan bagi manusia dan ciptaan lainnya.

    Kondisi yang dihadapi Gereja sekarang dan ke depan telah jauh berubah dan berkembang. Karena itu kita diajak untuk memikirkan dan merumuskan reformasi sistem secara arif, tidak tergesa dan tidak menurut kepentingan sekelompok orang. Harus netral dan menjamin terpenuhinya seluruh aspirasi. Marilah kita mempertimbangkan beberapa isu prinsipal dan strategis :

    a.    Reformasi bidang ajaran.

       Reformnasi ajaran Gereja tidak boleh mengubah dan menggeserkan inti keyakinan Kristen kepada Yesus Kristus. Reformasi terkait ajaran, menurut saya, cenderung menunjuk pada upaya Gereja mereformulasikan pandangan dan sistem ajarannya (kepercayaan) untuk menjawab pergumulan manusia dalam konteks misional (seperi : pandangan Gereja tentang Hak Azasi Manusia, tentang Pelaksana dan Penyelenggaraan Hukum di Indonesia, tentang Pemerataan Kesejahteraan dan Kesempatan Kerja, tentang Penyimpangan kekuasaan dan jabatan yang menyebabkan korupsi, tentang perkawinan dan perceraian, tentang Manfaat Budaya bagi Manusia, tentang Eksplorasi Alam dan Tanggungjab manusia, tentang Pemilihan Umum, tentang Tindakan Kekerasan / teror yang mengatasnamakan Agama, tentang Kemiskinan dan Kesejahteraan sosial, tentang Pemberantasan Kebodohan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan Bangsa, dan lain-lain). Penjelasan pandangan Gereja (bhs. Gereja Katolik : “ensiklik Paus,” enaknya disebut : “fatwa / petunjuk teologis”) demikian akan bisa dijadikan landasan bagi operasionalisasi fungsi sistem institusi.

    c.    Reformasi sistem organisasi

    Maksud saya : upaya revitalisasi dan refungsionalisasi.  Pekerjaan ini tidak boleh mengeserkan dan mengubah pemahaman dan pengakuan iman Gereja terhadap kesaksian Alkitab tentang karya penyelamatan / pembebasan Allah yang tampak dalam pekerjaan dan hidup Tuhan Yesus. Justru di atas dasar pemahaman dan pengakuan itulah Gereja merumuskan apakah yang dimaksudkan reformasi sistem dan manakah yang harus dibuat segera oleh tuntutan zaman.

    d.    Reformasi Fungsi Struktural

    TATA GEREJA adalah karya cipta manusia yang diadakan karena alasan kontekstual. Ia bukan benda mati. Ia bertujuan mengatur dan menertibkan berbagai kebutuhan dan kepentingan pribadi maupun sekelompok orang, supaya disesuaikan pada kehendak organisasi. Ia menata dan mengatur pengelolaan kekuasaan demi menghidupkan manusia (umat dan pekerja Gereja). Yang terutama dari tujuan pengadaan Tata Gereja adalah memembebaskan Kristus yang tersalib di dalam seruan manusia yang menderita. Mengapa demikian ? Oleh karena manusia yang menjabat fungsi struktural sering memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai tujuan personal maupun kolektif melalui semboyan : demi kepentingan umum, dan atau, demi kepentingan Gereja.

    Dalam hal inilah saya mengusulkan PENYEMPURNAAN (bukan amandemen, sebab di dalam istilah tersebut terkandung makna “menggantikan;” sementara yang dimaksud adalah merumuskan ulang demi meningkatkan kualitas peraturan yang sudah ada baik menurut alasan teologis maupun operasionalnya.) TATA GEREJA 2010 sesuai persyaratan yang dicantunkan pada setiap ayat dari setiap Peraturan Pokok maupun Peraturan-Peraturan.

    e.    Reformasi terkait Pemahaman Sentralisasi dan Desentralisasi Kekuasaan.

    Acapkali ketegangan (tension) yang muncul karena penyelenggaraan misi Gereja, dikarenakan pemahaman konseptual tentang sentralisasi dan desentralisasi. Batasan konseptualnya masih samar-samar. Jemaat-Jemaat diandaikan “mesin robot” saja. Kita hanya melihat masalah bagaikan manusia berkacamata kuda : menunnggu petunjuk pimpinan. Padahal, semestinya, ada kebijakan / kearifan lokal karena keragaman konteks wilayahnya. Hal seperti ini patut dihormati. Sementara Tata Gereja kurang menjelaskan secara baik apakah makna sentralisasi dan desentralisasi.

    USULAN :

    Butir – butir (a -> e) diusulkan kepada PST 2013, dengan harapan sebagai masukan, juga rekomendasi kerja, agar MS dapat membentuk Pok-Ja (kelompok Kerja) yang ditugaskan menyempurnakan Tata Gereja 2010. Saya tidak bertujuan mengubah (mengamandemen) tetapi melakukan reformulasi (refitalisasi dan refungsionalisasi), sehingga dari padanya muncul perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan sesuai KUPG 2013 – 2014 : KEMITRAAN DAN KESETARAAN.

    ACHIRUL’KALAM

    Tak ada gading yang tak retak. Manusia tak sempurna adanya. Justru itulah alasan untuk kita bersama mencari kesempurnaan. Mungkin saja ada kata yang salah, mohon dimaafkan.


    MEDAN – SUMATERA UTARA
    Sabtu – 16 Pebruari 2013

    Salam dan Horman,

    Putera Sang Fajar.

    Senin, 11 Februari 2013

    Rancangan PEMBERITAAN FIRMAN dalam IBADAH MINGGU - 17 Pebruari 2013 - MAZMUR 96 : 1 - 6


    MATERI PERSIAPAN  UNTUK
    PEMBERITAAN FIRMAN DALAM IBADAH
    MINGGU – 17 PEBRUARI 2013

    THEMA

    NYANYIKANLAH
    KARYA PENYELAMATAN ALLAH
    MAZMUR 96 : 1 – 9

    OLEH

    PUTERA SANG FAJAR



    A. PENDAHULUAN

    Ada berbagai cara penulisan yang dipakai untuk mengekspresikan pengalaman hidup pribadi maupun sekelompok orang. Para penulis dapat memakai bentuk kesusasteraan, seperti : puisi – prosa – prosa lirik. Para penulis kitab-kitab dalam Alkitabpun memakai cara penulisan dalam menyampaikan Firman Allah (Ibr. amar / dabar elohim) maupun  pengalaman iman sepanjang perjalanan bersama TUHANnya. Salah satu penulis itu disebut Pemazmur, karena ia menyalin pengalaman imannya dengan memakai bentuk sastera lama (puisi) yang disebut Syi’ir (Indo. Sya’ir). Kitab ini dalam tradisi Agama Islam disebut KITAB ZABUR, sedangkan dalam tradisi Agama Kristen : KITAB MAZMUR. Namun sama seperti huruf dan katanya, demikianlah isi kedua kitab (Zabur dan Mazmur) juga berbeda sesuai persepsi penulisnya.


    B. TEKS MARKUS 7 : 14 – 16 DAN PENJELASANNYA

    B.1. KITAB MAZMUR ADALAH KARYA SASTERA ISRAEL.

    a. Hati-hatilah membaca Kitab Mazmur, sebab di dalamnya kita amat jarang mene-mukan kalimat : “Allah berfirman,” “... demikianlah firman Allah,” dan sebagainya, sebagaimana yang terdapat dalam Mazmur 2:7 =>  Ia berkata kepadaku : "AnakKu engkau ! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” (kalimat ini juga : “Ia berkata kepadaku” (dan mungkin ada beberapa ayat lain yang tersebar dalam Mazmur) perlu diexegese / ditafsirkan secara benar dan baik dengan mengunakan pakemnya).

    b.    KITAB MAZMUR ADALAH TRADISI.

    1) Kitab Mazmur merupakan kumpulan Mazmur yang dituliskan secara pribadi (Maz. 72 dari Salomo; Maz. 50, 67, 71, 73 – 83, dari Asaf; Maz. 88, 89 dari Heman, orang Ezrahi; Maz. 90 Doa Musa, abdi Allah, dll ) dan atau kelompok (Maz. 42– 49, 84 – 87, dll ), bahkan ada pula yang tidak disebutkan nama pengarangnya (Maz. 91 – 100, dll).

    2)  Raja Daud termasuk salah satu di antara para penulis Mazmur.

    3)  Mazmur dikaitkan dengan karya Daud, dikarenakan sang raja sering bermain kecapi dan menyanyikan mazmur karangannya (bd. II Sam. 23:1 => Inilah perkataan Daud yang terakhir : "Tutur kata Daud bin Isai dan tutur kata orang yang diangkat tinggi, orang yang diurapi Allah Yakub, pemazmur yang disenangi di Israel).

    Dikarenakan sejak masa muda Daud sudah terkenal sebagai pemazmur yang disenangi di Israel, maka beberapa redaksi / editor mengumpulkan karyanya dan dikitabkan. Bisa saja peng-kitab-an mazmur-mazmurnya dilakukan pada masa pemerintahannya, tetapi bisa juga jauh setelah Daud wafat. 

    Dalam proses peng-kitab-an itulah editor / redaksi memasukkan karya pemazmur secara pribadi maupun kelompok. So pasti, karya-karya itu dikenal dan pernah dipakai di Israel.

    c.    PENGKANONAN KITAB MAZMUR dalam TANACH (Kitab Suci Agama Israel / Yahudi).

    Kitab Mazmur berbeda dengan Kitab Kitab Nubuat Nabi dari bentuk penulisan dan sasteranya. Namun Para Rabbi Yahudi telah mengkanonkan Kitab Mazmur menjadi salah satu bacaan suci yang diwajibkan. Penetapan kanon diputuskan pada Sidang Para Rabdi Yahudi di Kota Yamnia dalam Abad I sb. Masehi. Hal itu pertanda, bahwa status Kitab Mazmur sama dengan kitab-kitab lainnya dalam TANACH (Alkitab Perjanjian Lama)

    d.    APAKAH MANFAAT KITAB MAZMUR BAGI KEKRISTENAN ?

    1) Agar Jemaat Kristen belajar dari pengalaman iman orang percaya, seba-gaimana yang tertulis dalam Kitab Mazmur

    2)  Dengan demikian, orang kristen mengerti bahwa Allah turut bekerja menyela - matkan manusia sepanjang perjalanan sejarah.

    Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi !

    Catatan :

    1.    FUNGSI NYANYIAN ataupun MAZMUR

    Nyanyian (atau Mazmur) adalah sarana / wacana pemberitaan, sekaligus pengajaran tentang karya penyelamatan yang dikerjakan Allah. Ia wajib didengar dan dilagukan setiap orang percaya dari hari ke hari (96:2).

    2.    NYANYIAN BARU, BUKAN YANG LAMA !

    Jika pemazmur menulis : Nyanyikanlah nyanyian baru, maka seruan tersebut wajib ditafsirkan secara harfiah, artinya : sungguh-sungguh kreasi baru, bukan lama ! Mengapa demikian ? Karena setiap hari umat telah menikmati perbuatan-perbuatan ajaib yang dikerjakan TUHAN Allah; katakanlah dalam ungkapan sederhana : tiap hari umat menerima berkat baru dari tanganNya (sim. 96:2). Pengalaman iman itu menjadi landasan motivasi yang kuat untuk menciptakan mazmur dan nanyian baru untuk memuji Allah (bd. 40:4 => “Ia memberikan nyanyian baru dalam mulutku untuk memuji Allah kita. Banyak orang akan melihatnya dan menjadi takut, lalu percaya kepada TUHAN;” juga 40:6 => Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatan-Mu yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau ! Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung”). Jadi, nyanyian baru itu bukanlah murnis ciptaan seseorang ataupun sekumpulan orang percaya, melainkan diilhami perjumpaan pribadi dengan Allah Penyelamat.

    3.    Nyanyian baru itu tidak tergantung dari indahnya rangkaian kata dalam baris lagu, tetapi berisikan ucapan syukur atas limpahan rachmatNya yang tak terhitung jumlahnya (bd. 40:6).  Ingat ! pengalaman hari ini berbeda dengan hari esok. Itulah yang dimaksudkan “sesuatu yang baru”. Hal itu pula patut menjadi motivasi bagi pencipta lagu. Lihatlah ke dalam lembaran hidupmu. Renungkanlah, bagaimana tangan TUHAN bekerja menyelamatkan dirimu, kemudian ciptakanlah lirik yang indah untuk memuji namaNya. Ciptakanlah kidungmu bagi Allah. Beritakan dan kabarkanlah melalui nyanyian karyamu dari hari ke hari, bahwa Dia telah dan sedang melakukan penyelamatan atas langit-bumi dan seluruh makhluk ciptaanNya !

    Menyanyilah bagi TUHAN, pujilah nama-Nya, kabarkanlah keselamatan yang dari pada-Nya dari hari ke hari.

    Catatan :

    1.      APAKAH TUJUAN PENULISAN KITAB MAZMUR ?

    MAZMUR merupakan kumpulan tulisan yang memuat pengalaman iman umat sepanjang perjalanan bersama TUHANnya. Kitab ini dituliskan dalam bentuk sastera lama : puisi, yang disebut sya’ir. Ia selalu dipakai dalam ritual di Baith Allah, dan dikidungkan / dinyanyikan.

    2.      APAKAH TUJUAN PENULISAN MAZMUR 96 INI ?

    Kabarkanlah keselamatan. Mengabarkan keselamatan yang dikerjakan oleh Allah setiap hari. Pemazmur mengajak seluruh umat Israel untuk menyanyikan pujian kepada Allah, karena Dia membebaskan dan membentuk Israel menjadi bangsa merdeka di tengah bangsa-bangsa. Malahan tiap hari Ia masih melakukan hal itu terus-menerus.

    3.      TEMPAT MAZMUR DAN NYANYIAN DALAM GEREJA

    Sejak penghancuran Baith Allah oleh Penguasa babel, kemudian pemuka dan rakyat Israel-Yehuda dideportasi ke negeri itu, tradisi ritual Baith Allah disesuaikan menurut kondisi sosial setempat. Israel-Yehuda membangun sistem penyembahan dalam Sinagoge (rumah Ibadah), di mana mazmur-mazmur dipraktikkan dan kitab-kitab Musa serta nubuat para nabi dibacakan.

    Dalam Gereja sekarang ini tradisi ritual dipertahankan, namun telah mengalami perkembangan. Mazmur dan Nyanyian menjadi salah satu alat pelayanan dan pekabaran Injil baik dalam ruang ibadah maupun di tengah dunia.

    Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan yang ajaib di antara segala suku bangsa.

    Catatan :

    1.       APAKAH TINDAKAN ALLAH DALAM SEJARAH ?

    Pemazmkur menganjurkan umat Israel bersaksi tentang perbuatan-perbuatan yang ajaib.” Frasa ini, sesung-guhnya, sering dipakai oleh para penulis dan nabi Perjanjian Lama untuk menunjuk padaperistiwa di mana Allah bekerja untuk membebas Israel dari penindasan / perhambaan di Mesir.’ Di sanalah Israel memahami pembentukannya sebagai sebuah bangsa merdeka, bangsa yang dibebaskan dari penjajahan.

    2.       APAKAH TUJUAN ALLAH MEMBEBASKAN ISRAEL DARI MESIR ?

    Oleh karena itu, pemazmur menghimbau segenap umat pilihan : Ceritakanlah !,’ artinya : Israel dibebaskan dari penjajahan untuk memberitakan / menceritakan pekerjaan Allah yang ajaib, agar semua orang menjadi percaya dan menyembah kepadaNya.

    Sebab TUHAN maha besar dan terpuji sangat, Ia lebih dahsyat dari pada segala allah.

    Catatan :

    1.      TUHAN MAHABESAR dan SEGALA ALLAH

    Istilah “segala allah” yang menggunakan huruf kecil menunjuk pada sesembahan budaya-agama-suku sekitar maupun  yang berdiam di dalam wilayah Israel.

    2.      MONOTEISME ALLAH

    Kepercayaan itu bertentangan dengan ajaran Agama Israel tentang monoteisme YHWH (Ulangan 6:4 => Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa ! => bd. Yes. 45 : 6 => supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain...” bd. 45 : 18b, 22b, dll).

    3. Kemungkinan, pada waktu penulis menuliskan Mazmur ini terjadi perkembangan gagasan teologi dalam budaya-agama-suka dari politeisme (penyembahan / kepercayaan kepada banyak ‘allah’) menjadi panteon (ada ‘allah’ yang menjadi Penguasa Tertinggi antara banyak ‘allah’).
    Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah hampa, tetapi Tuhanlah yang menjadikan langit.

    Catatan :

    1.      KEKUASAAN ILAH – ILAH

    Menurut pemahaman iman dan dogma Agama Israel, ilah / dewa – dewi yang disembah suku-suku sekitanya tidak memiliki kekuasaan, jika dibandingkan dengan TUHAN, Allah Israel.

    2.      TUHAN : PENCIPTA LANGIT BUMI

    Pemazmur menghubungkan pemeliharaan TUHAN kepada awal penciptaan langit dan bumi. Pada waktu itu, Dia melakukan penyelamatan oleh kehadiran RohNya ( Kejadian 1:2 ) dan FirmanNya (Kejadian 1:3 ). “Kuasa Roh dan FirmanNya” tak dapat ditandingi dan dikalahkan oleh ilah-ilah segala bangsa. Itulah sebabnya pemazmur menyatakan : TUHAN maha besar ! (Maz. 96:4).

    Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan kehormatan ada di tempat kudus-Nya.

    CATATAN DALAM BENTUK PERTANYAAN

    1.      Mengapa Pemazmur menuliskan nyanyian atau mazmurnya ?

    2.  Apakah dasar penulisan yang memotivasi pemazmur menyusun pujiann kepada TUHAN, Allah Israel ?

    3.      Apakah tujuan penyusunan atau penulisan nyanyian/mazmur ?

    C.  ACHIRUL’KALAM

    Simaklah catatan-catatan yang diletakkan di bawah ayat-ayat, serta jawablah pertanyaan pertanyaan yang dikemukakan di atas, kemudin susunlah pemberitaan / pengajaran akan Firman Allah pada Hari Minggu – 17 Pebruari 2013.

    SELAMAT MENYUSUN PEMBERITAAN FIRMAN

    MEDAN – SUMATERA UTARA
    Hari Senin – 11 Pebruari 2013

    Salam dan Doa

    PENULIS