Selasa, 22 Juli 2014

MATERI KATEKISASI PRA NIKAH bahagian I

MATERI
KATEKISASI PRA NIKAH
GPIB Jemaat PETRA di Bogor

Bahagian 1

PEMBENTUKAN
KELUARGA KRISTEN

a)   PENDAHULUAN

1.     Manusia adalah mahkluk sosial (homosocius) yang selalu hidup berkelompok. Ia tidak dapat hidup seorang diri saja. Kelompok yang terkecil dalam masyarakat disebut : keluarga, terdiri dari suami – isteri. Keluarga adalah sebuah ikatan perjanjian (kontrak sosial) yang dibuat oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan di hadapan pejabat pemerintahan (Pejabat Pencatat Perkawinan Sipil). Ikatan perjanjian itu bersifat yuridis formal, mengikat kedua pihak yang berjanji serta menetapkan lembaga perkawinan (keluarga) sebagai istitusi hukum (yang terikat dengan hukum positif dalam Negara).

2.    Perkawinan, sesungguhnya, bertujuan membuktikan kekuatan cinta-kasih dan kasih setia seorang laki-laki kepada seorang perempuan di depan masyarakat. Sekaligus melegalisasikan perbuatan seksual di antara kedua pihak yang berjanji, sehingga mereka tidak boleh melakukan perzinahan dengan siapapun sepanjang kehidupan berkeluarga.

b)  PERKAWINAN MENURUT KESAKSIAN ALKITAB
Dasar perkawinan menurut kesaksian Alkitab diucapkan oleh Nabi Hosea : “Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu dengan binatang-binatang di padang dan dengan burung-burung di udara, dan binatang-binatang melata di muka bumi; Aku akan meniadakan busur panah, pedang dan alat perang dari negeri, dan akan membuat engkau berbaring dengan tenteram. Aku akan menjadikan engkau isteriKu untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteriKu dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteriKu dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN” (HOS. 2 : 17-20)

Ucapan Nabi Hosea itulah yang menjadi patron (pola, model) bagi perkawinan kristen. Hosea menjadikan tradisi perkawinan menurut budaya masyarakat Israel sebagai kebiasaan positif untuk menceritakan, bagaimana Allah membangun hubungan dengan umatNya, Israel. Ada beberapa tahapan yang wajib dipenuhi pihak laki-laki kepada pihak perempuan :

Pertama, membayar mahar perkawinan. “Aku akan menjadikan engkau isteriKu untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteriKu dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteriKu dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN.” TUHAN, Allah Israel sebagai pihak laki-laki memenuhi adat kebiasaan Israel dengan memberikan mahar perkawinan, yakni : keadilan dan kebenaran, kasih-setia dan kasih-sayang serta kesetiaan. Melalui pembayaran mahar tersebut, Israel dibeli dan dijadikan isteriNya (mempelai perempuan).

Kedua, waktu perkawinan... Menurut Hosea, perkawinan itu berlangsung seumur hidup : Aku akan menjadikan engkau isteriKu untuk selama-lamanya (Hos. 2:19). Perkawinan itu tidak terikat pada waktu, tetapi pada kehendak kedua pihak yang mengikat perjanjian --- selama-lamanya. Mengapa tidak terikat pada waktu ? Sebab suami-isterilah yang harus membuktikan, bahwa mereka berdua berkeinginan untuk melanjutkan hubungan cintanya ke jenjang perkawinan; dan, oleh karena itu, mereka senantiasan akan memperjuangkan dan mempertahankan perkawinan sampai ‘selama-lamanya.

Ketiga, perkawinan sah menurut hukum masyarakat. Hosea berkata : “Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu”(Hos. 2:18). Budaya Israel Kuno memperlihatkan, bahwa kedua pihak wajib membuat perjanjian. Apakah tujuannya ? Agar hubungan perkawinan itu sah di hadapan khalayak ramai yang menyaksikan peristiwa tersebut. Di samping itu, hubungan cinta-kasih kedua orang itu diakui masyarakat, serta berjalan tanpa gangguan.

Perlu diperhatikan, proses ini dijalani laki-laki dan perempuan di Israel menurut adat istiadat, dan, hubungan keduanya diikat secara keagamaan maupun hukum --- satu hukum berlaku untuk semua ---, yakni hukum Taurat.

Keadaan itu berbeda dengan budaya hukum di Indonesia setelah UU Perkawinan tahun 1974 dan penyempurnaannya diberlakukan. Terhadap UU Perkawinan tersebut, Gereja mempunyai sikap : “Perkawinan disahkan dan diresmikan oleh Negara, sedangkan Ibadah Pemberkatan Perkawinan Kristen dilakukan oleh Gereja untuk memohonkan berkat atas keluarga” (bukan ke atas pribadi kedua orang yang menikah). Pandangan tersebut terkait beberapa alasan :

a)     Jika terjadi keputusan perceraian, Gereja tidak boleh dilibatkan, sebab Gereja tidak mengesahkan dan meresmikan perkawinan. Kedua pihak yang menikah wajib menyelesaikan masalah keluarganya (perceraian) pada negara.

b)     Gereja tidak pernah menyetujui perceraian, apapun alasannya. Hal ini mengingat akan tugas Gereja selaku pelaksana misi Allah sesuai kesaksian Alkitab. Dan, bertolak dari landasan alkitabiah, yakni : ucapan Yesus Kristus : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. (Mati. 19:6)

Pada sisi lain, Yesus menolak perzinahan sebagai alasan untuk bercerai. KataNya : “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah (MAT 19 : 8 – 9). Menurut Yesus, sebagaimana dicatat Matius, sesungguhnya Musa tidak mau memberikan surat cerai kepada orang Israel yang ingin bercerai. Surat cerai itu diberikan, karena ketegaran hati (kerasnya kemauan) mereka untuk bercerai. Itulah yang dimaksudkan Yesus : “... sejak semula tidaklah demikian.”

Mengapa Yesus berpendapat demikian ? PandanganNya bertolak dari alasan :

Ø Penciptaan dan pencitraan manusia. Manusia itu : laki-laki dan perempuan (Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, ... Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya merekaKej. 1:26-27). Laki-laki tanpa perempuan tidak mungkin, dan perempuan tanpa laki-laki akan hancur. Keutuhan hidup manusia tampak dalam kesatauan hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi sepasang suami isteri wajib memahami dan menghayati kemanusiaannya melalui pembinaan hubungan mereka dalam kesatuan keluarga.

Ø Pernyataan Adam : “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kej. 2:23). Pernyataan Adam (laki-laki) ini sangat penting : pertama, manusia-laki laki mengakui kesederajadan status sosial serta kesamaan hakekat manusia-perempuan. Kedua, di dalam pernyataan itu tersirat makna, perbedaan fungsi manusia-laki laki dan manusia-perempuan, dikarenakan kodrat kelamin. Dan, perbedaan itu biasa. Yang penting dan yang diutamakan adalah fungsi keduanya bagi pelayanan akan persekutuan keluarga.

Ø Perkawinan merupakan simbol yang menyatakan kesatuan hidup yang terjalin dalam hubungan antara manusia dan Allah. Sama seperti perkawinan mempersatukan laki-laki kepada perempuan, juga Allah kepada manusia. Inti persekutuan (komune) itu adalah hubungan-hidup. Tak mungkin ada kehidupan tanpa adanya hubungan. Tak mungkin ada asap, kalau tidak ada api. Keduanya adalah kesatuan, persenyawaan-hidup-yang-bergerak. Dalam sebuah kalimat indah Rasul Paulus melukiskan hubungan perkawinan : “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Eps. 5:32). Jadi jika suami-isteri kristen memahami dan menghayati akan kesatuan ilahi yang dimaksud, sebaiknya, mereka tidak boleh bercerai. Jika perceraian itu terjadi oleh karena kemauan sendiri, maka suami-isteri kristen tidak menjadi contoh dan alat pemberitaan bagi kemuliaan Kristus, mempelai Jemaat.

Hubungan perkawinan dan monoteisme Allah. Acapkali kita khilaf. Kita berpikir, bahwa perceraian hanya meruakan urusan suami-isteri; padahal ia terhubung langsung pada pengakuan iman. Jika kita mengaku percaya, bahwa Allah yang disembah itu esa, maka wujud pengakuan itu harus nampak dalam hubungan perkawinan : hanya seorang isteri dan atau seorang suami saja. Tidak boleh selingkuh (bd. Mal. 2:10 => Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa ? Bukankah satu Allah menciptakan kita ? Lalu mengapa kita berkhianat satu sama lain dan dengan demikian menajiskan perjanjian nenek moyang kita ?), sama seperti Allah setia dan tidak mengkhianati kita.

C. PENUTUP

1.       Perkawinan / pernikahan hanya terjadi satu kali seumur hidup. Tidak boleh bercerai (Mal. 2:16 => Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel – juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat !). Allah tidak menghendaki perceraian, seperti yang diucapkan Yesus Kristus : Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat. 19:6).

2.       Gereja tidak boleh menceraikan pasangan suami isteri. Perceraian adalah urusan suami-isteri dan Negara. Jika ada suami-isteri di dalam Jemaat yang bercerai, maka Gereja wajib melaksanakan percakapan pastoral, agar mereka tidak bercerai. Akan tetapi jika oleh kekerasan hatinya mereka tetap melanjutkan perceraian, maka Gereja wajib menempatkan pasangan suami isteri itu dalam status penggembalaan khusus sammpai masalahnya selesai tuntas.

3.      Gereja tidak menssahkan maupun meresmikan perjanjian perkawinan menurut hukum negara. Gereja hanya memohonkan berkat Allah atas keluarga yang telah dibentuk berdasarkan perjanjian menurut hukum negara.
Bogor – Rabu, 23 Juli 2014

Salam dan Doaku

PENDETA  ARIE A. R. IHALAUW