REVITALISASI DAN REFUNGSIONALISASI
SISTEM PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA GEREJA
24. Datanglah hamba yang menerima satu talenta dan berkata : Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan tidak menanam.
25. karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuanku di dalam tanah…
26. Maka jawab tuannya : Hai kamu hamba yang jahat dan malas…,
27. karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kuberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.
28. Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang…
sebuah analisa
PEREKONOMIAN GEREJA GPIB
1. Masalah GPIB terkait pemberdayaan aset tidak dimulai dari tindakan MS-GPIB mengalihkan atau menjual harta milik GPIB yang tidak bergerak. Menurut pendapat saya, akar permasalahan itu adalah KETETAPAN PS GPIB tentang PEMANDIRIAN GEREJA terhubung pada MANDIRI DALAM MASALAH DAYA DAN DANA.
Pada satu sisi, keputusan Gereja itu benar dan baik. Gereja dibangun oleh Allah. Hidupnya tergantung pada belas kasihan dan rachmat Allah. Gereja (GPIB) tidak boleh mengandalkan hidupnya pada mantan induknya di Negeri Belanda. Tetapi ia perlu memberdayakan seluruh pemberian Allah demi melaksanakan tugas panggilannya. Keputusan PS-GPIB itu telah membawanya masuk ke dalam beragam masalah terkait masalah finansial.
Pada sisi lain, kualitas sumber daya manusia, managemen (penata-layanan), modal (financial) masih kurang sedangkan aset tak bergerak masih belum dikonsolidasi.
Sementara GPIB melaksanakan tugas panggilan Allah, banyak kebutuhan pelayanan-kesaksian mulai bertumbuh semakin pesat. Perekonomian GPIB tertekan, karena kurangnya dukungan Jemaat-Jemaat. Kondisi ini mulai dirasakan saat GPIB memutuskan dan menetapkan sifat dan hakekat misionernya dalam menyelenggarakan pelayanan-kesaksian (PEL-KES) tahun 70-an.
1). SUMBER DAYA MANUSIA
Wilayah pelayanan dan Jemaat-Jemaat membutuhkan pelayan. Namun tenaga pekerja Gereja (Pendeta dan Penginjil) masih kurang. Keadaan itu mendorong Penatua-Diaken melaksanakan tugas pelayanan, sambil menantikan kehadiran pekerja Gereja.
2). MANAJEMEN (Penatalayanan)
Keadaan pada era 1948 – 1974 masih belum seberat tahun-tahun sesudahnya (1975 – sekarang). Pada era 1978 – 1974 GPIB masih memusatkan perhatiannya pada upaya konsolidasi (pembenahan) pelayanan – kesaksian – persekutuan.
GPIB sebagai institusi kurang memperhatikan masalah aset tidak bergerak. Masing-masing Jemaat Lokal mengurusi aset GPIB yang berada di dalam wilayah pelayanannya. Dalam era ini GPIB banyak kehilangan aset tidak bergerak maupun bangunan di atasnya, seperti : tanah dan SEKOLAH, dan lain-lain. Ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak contoh yang terjadi. Hal ini disebabkan salah kelola dari Majelis Jemaat di tingkat local. Masih banyak aset GPIB, yang diwariskan Indische Kerk, dan yang memiliki nomor register, namun sudah dipindah tangankan tanpa melalui Ketetapan PS-GPIB. Kerugian ini sangat disesalkan, sebab dilakukan secara sepihak oleh Majelis Jemaat di tingkat local, tanpa memahami pemberdayaannya bagi kepentingan sinodal.
3). SUMBER DAYA MODAL DAN ASET GPIB
Kesadaran akan pentingnya sektor penunjang (aset tidak bergerak dan modal) untuk mendukung pelayanan – kesaksian – persekutuan semakin berkembang sejalan dengan pesatnya kebutuhan Gereja. Oleh karena itu, sepanjang persidangan sinode era 1975 --> sekarang (?), GPIB melakukan pendataan ulang seluruh aset tidak bergerak yang dimiliki dan yang masih dikelola oleh Jemaat Lokal.
Hal ini dimulai dengan penetapan tentang status aset GPIB oleh Jemaat Lokal melalui TATA GEREJA. Salah satu klausul TATA GEREJA terkait PERBENDAHARAAN GPIB menyatakan, bahwa seluruh sumber daya Gereja dikelola secara sinodal di bawah kepemimpinan Majelis Sinode.
Ketetapan itu menimbulkan ketegangan antara Jemaat Lokal yang diwakili oleh Majelis Jemaat (Pendeta, Penatua, Diaken) dengan Majelis Sinode GPIB. Ketegangan itu dipicu oleh 3 faktor :
a. Pemahaman tentang otonomi wilayah yang masih berakar kuat dan dipegang teguh oleh Jemaat Lokal. Majelis Jemaat (entah secara individual maupun kolektif) berpikir, bahwa wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dan pengolahan aset GPIB terletak pada keputusan Jemaat Lokal. Majelis Sinode tidak boleh campur tangan di dalamnya. Katakanlah sebuah contoh, Pengelolaan dan pengolahan SEKOLAH INDRAMAYU (bukan nama sebenarnya), pertama-tama, dilakukan oleh Yayasan yang dibentuk oleh Majelis Jemaat. Kemudian diadakanlah akte notaries dari Yayasan. Majelis Jemaat GPIB di Indramayu mewakilkan salah satu Pejabat GPIB menandatanganinya. Di kemudian hari ketika si Penatua / Diaken itu tidak menjabat lagi, Majelis Jemaat lalai mengurus pengalihan pengelolaannya. Kelalaian itu telah mengakibatkan beralihnya aset SEKOLAH INDRAMAYU ke tangan pihak lain, sehingga merugikan GPIB baik Jemaat Lokal dan juga GPIB secara sinodal. Pengambil alihan aset tidak bergerak pada era ini sering terjadi tanpa sepengetahuan dan tanpa melalui prosedur hukum gereja GPIB.
b. KEBUTUHAN YANG MENINGKAT. Semakin luas wilayah pelayanan akan semakin meningkatkan kebutuhan energi ekonomis. Hal itu tampak dari pengalihan (kalau tidak mau dikatakan penjualan) aset GPIB untuk mendapatkan dana segar penunjang aktifitas sinodal.
Pengalihan aset itu disebabkan penguasaan aset GPIB oleh instansi pemerintahan atau instansi gereja lainnya, seperti : Gedung LAWANG SEWU di Semarang dan Gedung Gereja di …. (?) di Jawa Tengah. Kasus LAWANG SEWU ini diselesaikan dalam PS-GPIB tahun 1986 di Kuta Bali. Pada saat itu ditetapkan Rp. 900.000.000 dijadikan dana suntikan ke dalam Yayasan Dana Pensiun (perealisasian dana itu beta seng tau, sebab beta bukan Majelis Sinode).
Proses pengalihan aset GPIB di Soerabaya (RS MARDI SANTOSA) Periode MS-GPIB 1990 – 1995 pun mengalami persoalan. Terjadi perdebatan dan perselisihan antara Majelis Sinode dan Majelis Jemaat Lokal maupun semua peserta PS-GPIB tahun 1995. Hasil PS-GPIB 1995 adalah (1). Menugaskan Majelis Sinode menyelesaikan TATA GEREJA (diselesaikan tahun 1996 dalam PSI) dan (2). Membentuk PANITIA KHUSUS (Pansus) yang meneliti dan mengkaji pengalihan aset tersebut (Panitia ini diketuai oleh Penatua Hengky Baramuli).
Sesungguhnya, jika kita mau bicara jujur dan meninjau ke belakang sejenak, pengalihan aset tersebut bukan bertujuan menjual RUMAH SAKIT. Ijin Rumah Sakit itu bukan diberikan kepada GPIB, tetapi kepada Yayasan Rumah Sakit MARDI SANTOSA di Soerabaya. Aset yang dialihkan (tukar guling) adalah TANAH dan BANGUNAN di atasnya (beta tidak tahu tentang urusan jumlah dananya, silahkan tanya pada PANSUS yang masih hidup).
Persoalan di sini adalah kurangnya keterbukaan MS-GPIB dalam menginformasikan seluruh kegiatan yang terkait proses pengalihan aset dan juga tentang transaksi dana yang diberikan oleh pihak pembeli (yang melakukan tukar guling).
Sikap seperti ini perlu menjadi pembelajaran bagi siapapun yang akan menjadi Pimpinan Sinode GPIB di masa depan. Sikap seperti ini tidak boleh diulangi dan tak boleh terjadi dalam penatalayanan Gereja secara sinodal maupun Jemaat Lokal. Ini sebuah dosa dalam sejarah GPIB. Dosa terhadap Allah yang memberikan berkat dan dosa kepada Jemaat-Jemaat yang memberikan kepercayaan kepada Pimpinan Sinodal GPIB (dosa sistem, dosa institusional).
c. Faktor yang menyebabkan sistem dan fungsi tidak berproduksi maksimal adalah manusia penggunanya. Dan hal itu sudah terbukti sepanjang sejarah perjalanan GPIB.
2. MANUSIA PELAKSANA DAN PENYELENGGARA GEREJA
Sebaik-baiknya TATA GEREJA GPIB yang mengatur mekanisme sistem managemen (penatalayanan) GPIB tergantung pada pelaksananya (depend on the man behind).
Kepemimpinan yang baik sangat ditentukan oleh kualitas manusia pelaksananya. Sangat tergantung pada MOTIVASI dan TUJUAN hidup si pelaksana. Hal ini harus beta kemukakan, sebab kegagalan yang dialami GPIB dalam hal pengelolaan dan pengolahan aset Gereja lebih banyak ditentukan orang-orang yang dipilih dalam PS-GPIB untuk menjabat fungsionaris MAJELIS SINODE.
Beta berpikir, siapapun dapat dipilih menjadi fungsionaris MS-GPIB. Semua Pejabat GPIB dapat dipilih. Namun ia harus memiliki :
1. Motivasi yang benar tentang pekerjaan Allah melalui GPIB
2. Memahami makna kekuasaan yang dipegangnya.
3. Memiliki visi dan misi yang jelas, yang dapat diuji sebelum dipilih dalam PS-GPIB. Diperlukan peraturan pelaksanaan, agar setiap orang yang menginginkan jabatan pimpinan sinodal diuji dalam sebuah panel diskusi untuk dinilai banyak orang, termasuk Presbiter Utusan Jemaat dalam PS-GPIB. Dalam kegiatan seperti ini, apa yang digagaskan dan tertuang dalam dialog (panel diskusi) akan menjadi ukuran yang dipakai semua orang untuk menilai pekerjaan yang dilakukannya setelah ia terpilih. Gagasannya wajib dilaksanakan secara konsisten dalam masa kepemimpinannya.
4. Integritas pribadi.
5. dan lain-lain.
Mungkin saja, hal ini terasa asing. Namun itu lebih baik ketimbang banyak promosi yang dilakukan sebelum pemilihan untuk menarik perhatian banyak voter; akan tetapi di kemudian hari, ketika ia memimpin, ia sangat menggunakan kekuasaan untuk menjalankan kebijakan pribadi tanpa mengindahkan TATA GEREJA dan KESAKSIAN ALKITAB.
BAHAGIAN KEDUA
PEMBANGUNAN GEREJA
SELAKU TUBUH KRISTUS DAN KELUARGA ALLAH
3.1. Istilah / Terminologi
Istilah “ekonomi” berasal dari Bahasa Yunani “oikonomos” merupakan kata majemuk jadian dari kata : oikos (rumah) dan nomos (atursan). Ketika kedua kata tersebut digabungkan, ia melahirkan makna baru :
a). Urusan / bisnis dalam keluarga.
b). Pelaksana / Penatalayan / Manajemen dalam keluarga
c). Aturan keluarga
Di samping “oikonomos”, beta menemukan 2 (dua) istilah penting lainnya yang hampir selalu digunakan penulis-penulis Alkitabt, yaitu : “oikodome” dan “okomenos”. Bersumber dari bahasa yang sama, istilah ‘oikodomeo’ dan ‘oikomenos’ juga merupakan kata majemuk jadian. ‘Oikodomeo’ berarti : a). Pembangunan (to build) Keluarga / Rumahtangga; b). Pembinaan (to edify) anggota keluarga. Sementara ‘oikomenos’ menunjuk pada rumah tempat tinggal bersama. Ketiga istilah ini : ‘oikomenos, oikodomeo, oikonomos’ dipakai menjelaskan gagasan tentang Pembangunan Gereja / Jemaat selaku Keluarga Allah.
3.2. Pembangunan Gereja selaku Keluarga Allah
Dasar Teologi
Gereja dikiaskan selaku keluarga : Keluarga Allah. Keluarga merupakan institusi yang tercipta, karena inisyatif laki-laki (Kej. 2 : 24; bd. Efs. 5 : 32–33). Alkitab memberikan kesaksian, bahwa Allah mengambil inisyatif dan bekerja melamar (bd. Hos. 2:17–19) manusia menjadi mitra kehidupan yang bekerja bersama. Maksud dan rencana Allah tampak dalam pekerjaan Yesus-Kristus. Oleh Dia, Allah membangun persekutuan hidup bersama-Nya (bd. 1 Pet. 2 : 9).
Pembangunan bertujuan Membina Warga & Pejabat GPIB
Tujuan Pembangunan Keluarga Allah (Gereja/Jemaat) adalah :
a. Memperlengkapi dan mempersiapkan Warga GPIB untuk ikut berpartisipasi ke dalam pekerjaan pelayanan bagi pembangunan Gereja selaku Keluarga Allah dan Tubuh Kristus.
b. Menanamkan pengetahuan yang benar dan pengenalan akan Yesus-Kristus sebagai Anak-Allah, supaya Warga GPIB tidak diombang-ambingkan oleh pengajaran sesat.
c. Membuka wawasan dan membentuk karakter Warga GPIB sesuai dengan citra Yesus-Kristus : mengasihi, sanggup menyatakan kebenaran dan keadilan Allah, membawa damai sejahtera ke tengah kehidupan masyarakat meskipun dalam kondisi sulit.
3.3. Ekonomi Gereja
Selama ini bahasan tentang Ekonomi Gereja dikaitkan pada modal dan aset tidak bergerak yang dimiliki GPIB. Pendapat demikian perlu diluruskan kembali. Menurut beta, ekonomi GPIB meliputi seluruh Sumber Daya Gereja (SDG), yakni :
a) Manusia
b) Sistem dan fungsi organisasi GPIB
c) Modal, dan
d) Aset tidak bergerak serta bangunan di atasnya
Meskipun GPIB memiliki modal dan aset tidak bergerak serta seluruh bagunan di atasnya, namun Warga dan Pejabatnya kurang memiliki pengetahuan untuk mengelola dan mengolahnya, maka misi Gereja akan mengalami kehancuran. Dan sekalipun Warga serta Pejabat GPIB memiliki kualitas pengetahuan yang baik, namun belum tersusun peraturan yang menata manajemen / penatalayanan Gereja, maka GPIB pun akan menghadapi kesulitan. Pelajarilah masalah PS-GPIB sejak tahun 1974 – 2000 lalu, di mana kekacauan terjadi karena pengelolaan aset yang tidak dapat dituntaskan.
Sistem Manajemen / Penatalayanan Ekonomi
Ketetapan PS-GPIB menyatakan, bahwa manajemen / penatalayanan ekonomi GPIB bersifat terpusat (sentralisasi). Pernyataan ini terkait pengelolaan dan pengolahan SGD GPIB menyangkut aset yang tidak bergerak dan modal.
Sebelum PS-GPIB XIII, tahun 1978 di Jakarta dan tahun 1982 di Pandaan – Jawa Timur, berkembang pemahaman tentang hak otonom Jemaat Lokal. Artinya, tiap Jemaat GPIB di tingkat lokal mengelola dan mengolah aset GPIB untuk kepentingannya sendiri. Pemahaman ini menimbulkan kesulitan, karena tidak semua Jemaat GPIB memiliki aset. Pemanfaatan secara sepihak akan merugikan kepentingan GPIB secara sinodal. Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam Tata Dasar tentang Pemerintahan dan Kepemimpinan GPIB, ditetapkanlah beberapa hal, antara lain :
§ Majelis Sinode adalah Pimpinan GPIB.
§ Majelis Sinode melakukan tindakan hukum atas nama GPIB.
§ Penatalayanan GPIB bersifat sentralisasi
Kesepakatan yang dilegalisir itu tidak memberikan peluang bagi Jemaat-Jemaat Lokal bertindak melepaskan dan mengalihkan dengan cara apapun untuk kepentingan local. Seluruh kegiatan pelepasan dan pengalihan aset wajib dilaporkan kepada MS-GPIB yang kemudian disampaikan dalam PS-GPIB. Setelah menerima persetujuan PS-GPIB, barulah Jemaat Lokal melakukan tindakan hukum. Cara seperti itu ditempuh, agar tak menimbulkan kesalahpahaman dan kesulitan dalam tiap PS-GPIB.
3.4. Tentang Pengelolaan dan Pengolahan SDG
Landasan Teologi Alkitabiah
Alkitab memberikan kesaksian, bahwa Allah lebih dulu menciptakan alam semesta dengan segala isinya, sesudah itu Dia menjadikan manusia. Kemudian Dia memberikan kuasa (mandat / kepercayaan) kepada manusia untuk menguasai alam (Kej. 1 : 28). Dia menugaskan manusia untuk memelihara dan mengusahakan alam (Kej. 2 : 15). Semua hal itu menyiratkan maksud dan rencana penyelamatan Allah ke atas kehidupan ciptaan-Nya (manusia dan sesama ciptaan). Allah telah mempersiapkan segala sesuatu mendahului kehadiran manusia. Manusia wajib membangun dan membina hubungan baik dengan lingkungan hidup (eko-sistem), agar keduanya saling berbagi keuntungan. Dengan kata lain, secara alkitabiah, Allah telah menyediakan berkat sebelum manusia diciptakan. Manusia menjadi berkat ke dalam kehidupan alam; sebaliknya, alam menjadi berkat ke atas kehidupan manusia. Keduanya saling memberkati di dalam Allah.
Demikian pula perihal hidup GPIB. TUHAN Allah, melalui Indische Kerk, telah mempersiapkan berkat baginya. GPIB menerima warisan dari Indische Kerk. Sebab itu, GPIB wajib mengelola dan mengolahnya demi memajukan misi Kristus melalui dan di dalam pekerjaan Gereja.
Akan tetapi dalam hal pengelolaan dan pengolahannya Gereja diperhadapkan dengan kesaksian Alkitab :
a) Kesaksian Kitab Imamat 25 : 28
“Akan tetapi segala yang sudah dikhususkan oleh seseorang bagi TUHAN dari segala miliknya, baik manusia atau hewan, maupun ladang miliknya tidak boleh dijual dan tidak boleh ditebus, karena segala yang dikhususkan, adalah maha kudus bagi TUHAN”
1. Tidak boleh dijual
Kalimat perintah tersebut menegaskan, bahwa semua aset Bait Allah tidak boleh dijual.
2. Tidak boleh ditebus
Dalam kalimat ini tersirat makna : siapapun yang telah menghibahkan miliknya kepada Bait Allah, tidak boleh mengambilnya kembali.
Dengan demikian tidak ada kemungkinan dan tidak ada alasan untuk melakukan transaksi jual-beli atas aset yang dimiliki Bait Allah.
b) Kesaksian Injil Matius 25 : 14 dst
Dalam cerita ini Matius menuliskan ucapan Yesus-Kristus tentang tanggungjawab pengelolaan dan pengolahan harta milik yang diberikan keoada pihak pengelola.
14. “Ia memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka”
15. “… diberikannya masing-masing menurut kesanggupan mereka”
16. “… ia menjalankan uang itu dan beroleh laba lima talenta”
18. “…hamba yang menerima satu talenta,… menyembunyikan uang…”
19. … Tuan , lima talenta tuan percayakan kepadaku : lihat, aku telah beroleh laba lima talenta.
21. Kata tuannya : baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan tanggung jawab dalam perkara yang besar…
22. … Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku : lihat, aku beroleh laba dua talenta…
24. Datanglah juga hamba yang menerima satu talenta, dan berkata kepada tuannya : Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan memungut di tempat di mana tuan tidak menanami.
25. karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah…
26. jawab tuannya : Hai hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat mana aku tidak menabur…
27. karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang dapat menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.
28. Sebab itu ambillah talenta itu daripadanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta…
Catatan :
Simaklah cerita tersebut, khususnya yang berhuruf tebal, supaya anda dapat memahami maksudnya.
Secara alegoris cerita ini ditafsirkan para pengkhotbah terkait potensi yang dimiliki tiap manusia dan Kerajaan Allah. Akan tetapi secara hurufiah, beta mencoba mengertinya sebagaimana yang tersirat, yakni : tentang pengelolaan dan pengolahan uang/talenta yang diberikan kepada masing-masing orang sesuai kesanggupannya.
Beta menghubungkan cerita ini dengan usaha pemberdayaan aset yang diberikan Allah kepada Gereja. Aset pemberian Allah itu bisa saja uang (berbagai persembahan uang), hibah warisan dari anggota jemaat, dan aset tidak bergerak yang dimiliki sebagai warisan dari Gereja yang memandirikan GPIB.
Ada 2 (dua) pandangan yang masih berkembang dalam GPIB tentang pengelolaan (penataan) dan pengelolaan (pemanfaatan) aset tidak bergerak milik GPIB. Masing-masing pandangan memiliki kerugian dan keuntungannya.
1. Gereja tidak boleh menjual aset yang dimilikinya sesuai kesaksian Alkitab (Im. 27 : 28).
Keuntungan :
Gereja memiliki banyak aset, tetapi tidak produktif; apabila tidak ada modal untuk memanfaatkannya.
Kerugian :
Gereja akan kehilangan banyak dana untuk memelihara dan melindungi aset tak bergerak itu. Jika Gereja tidak mampu mengurus hak atas asetnya, maka ia akan kehilangan potensi pemberian Allah
2. Gereja boleh memanfaatkan aset yang dimilikinya, sejauh membawa keuntungan untuk mendukung pekerjaan misinya (lihat Matius 25 : 14 – 28).
Keuntungan :
Pengolahan (pemanfaatan) aset tak bergerak, yang dilakukan dalam berbagai model, dapat menghasilkan keuntungan untuk menunjang pekerjaan misi Gereja.
Kerugian :
Jika pengolahan (pemanfaatan) dilakukan secara tidak terkendali dan bertanggungjawab, maka akan menimbulkan kerugian besar bagi Gereja.
Catatan :
i. Pemanfaatan aset GPIB adalah rumusan yang terdapat di dalam TATA GEREJA 1982. Istilah tersebut sarat makna. Ia dapat ditafsirkan ke dalam berbagai peng-arti-an yang dipakai membenarkan berbagai tindakan hukum terkain aset gereja.
Kata tersebut didebatkan dalam PS-GPIB tahun 1995 di Sekesalam, ketika MS-GPIB XVI memutuskan tukar guling tanah dan bangunan GPIB di Jalan Bubutan Soerabaya (tanah dan gedung Panti Asuhan serta Gedung RS MARDI SANTOSA). Sewa pakai tanah Pejambon, juga pelepasan Hak atas tanah dan bangunan di Semarang (Lawang Sewu dan Panti Dorkas), dan lain-lain sebagainya.
ii. Sama halnya penggunaan istilah pengalihan aset GPIB yang baru diperkenalkan dalam PST-GPIB 2010 di Lawang (oleh salah seorang penasehat hukum GPIB).
Kedua istilah itu : pemanfaatan dan pengalihan aset menunjuk pada peng– arti –an tentang cara mengelola dan mengolah aset GPIB untuk memperoleh keuntungan, sehingga bisa mendukung pekerjaan misi Gereja. Apapun penggunaan katanya (pengalihan, pemanfaatan) akan membawa dampak buruk dan baik dalam kehidupan bergereja.
3.5. Boleh ataukah tidak boleh mengalihkan / memanfaatkan aset ?
Berangkat dari pengalaman bergereja menangani kasus pemanfaatan / pengalihan aset tak bergerak milik GPIB sejak tahun 1978 – 2000 lalu, maka kedua pandangan itu : boleh atau tidak boleh mengalihkan / memanfaatkan aset demi mendukung kegiatan program GPIB, masih diperdebatkan.
KASUS YAYASAN DANA PENSIUN
Kasus Hutang Dana Pensiun bukanlah hal baru dalam sejarah GPIB. Kita harus berbicara jujur dan tulus. Tidak boleh menutup nutupi kekeliruan penatalayanan keuangan GPIB. Kita harus membuka diri dan siap dikoreksi. Sudah waktunya kita melihat ke dalam diri. Mencari tahu kesalahan dan mengakui kegagalan sepanjang piñata laksanaan Dana Pensiun GPIB.
Pengadaan YAYASAN DANA PENSIUN GPIB bertujuan menjamin kesejahteraan Pegawai GPIB (Pendeta dan Karyawan) yang akan pensiun. Masalah ini bukan masalah Jemaat – Jemaat GPIB, akan tetapi masalah Majelis Sinode GPIB dalam mengelola dan mengolah dana pension yang diambil dari pegawai GPIB (Pendeta dan karyawan).
Berdasarkan TATA GEREJA GPIB, khususnya Peraturan Nomor 4, dari setiap Pendeta dan karyawan dipotonglah iuran pension. Hal itu sudah dilakukan sesuai kewajiban yang diharuskan berdasarkan struktur penggajian (lihat slip gaji anda).
Akan tetapi dikarenakan tuntutan kebutuhan akan kesejahteraan Pendeta dan karyawan GPIB, maka setoran dana pension ke pihak pemerintah (lembaga keuangan Negara) juga bertambah. Sementara itu, hutang Dana Pensiun yang lama masih belum terselesaikan. Dengan demikian jumlahnya semakin membengkak. Pada akhirnya mencapai angka Rp. 2.000.000.000.-
Di lain pihak, kita juga perlu mengakui dengan jujur tentang masalah salah urus piñata lolaan keuangan GPIB di tingkat Sinodal dan Jemaat Lokal.
Pada setiap PS-GPIB, termasuk Konsultasi Majelis Sinode dan Mupel-Mupel, Rapat Kerja Sinodal (RAKERDAL), Persidangan Sinodal Tahunan (PST), kita menggebu-gebu menyetujui dan menetapkan Anggaran Penerimaan Keuangan bai aktifitas program. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, banyak di antara Jemaat-Jemaat yang menunggak pembayaran IURAN JEMAAT (istilah yang dipakai selama tahun 60-an sampai tahun 80-an) dan atau PERSEMBAHAN TETAP BULANAN (PTB yang dipakai sejak tahun 90-an). Kurang lebih 25 – 35 % Jemaat-Jemaat yang melunasi Iuran / PTB tepat pada waktunya. Belum termasuk Jemaat-Jemaat yang tidak mampu melunasi, karena kondisi Jemaat Lokal. Perlu diingat, bahwa perselisihan antar Majelis Sinode dan Jemaat Lokal dapat menjadi alasan penunggakan PTB / Iuran Jemaat. Kasus ini berlangsung di bawah tahun 2000 lalu. Keadaan seperti ini sangat menekan aktifitas keuangan Majelis Sinode. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin, jika Majelis Sinode menggunakan Dana Pensiun yang disetor oleh Pendeta dan Karyawan untuk menunjang pelaksanaan Aktifitas Program Sinodal (Mungkin saja hal seperti ini tidak terjadi pada Majelis Sinode periode 2000 – 2005 dan 2005 – 2010. Walahualam… he he he heeeee….). tapi begitulah kenyataannya… (baca saja laporan BPPG sejak tahun 1982 – 2000). Akhirnya GPIB memasuki kesulitan dalam hal pelunasan Hutang Dana Pensiun.
PENDETA DAN KARYAWAN TIDAK BERSALAH DALAM HAN HUTANG DANA PENSIUN.
Beta ingin menegaskan pendapat beta, bahwa Pendeta selaku Pegawai GPIB dan Karyawan GPIB dalam Jemaat dan dalam Kantor Majelis Sinode tidak boleh dipersalahkan dalam hal Hutang Dana Pensiun GPIB. Sebab Pendeta dan Karyawan telah melakukan kewajibannya sesuai Peraturan Nomor 4 tentang Pendeta – Pegawai dan karyawan GPIB. Kesalahan tersebut merupakan tanggungjawab Pimpinan Sinodal bersama dengan Yayasan Dana Pensiun GPIB (Masih ingatkah anda tentang permainan VALAS / valuta asing, yang pada akhirnya merugikan pekerja GPIB ? Lihat saja Laporan BPPJ tahun 1986 di Bali. Mungkinkah masih ada hal yang sama sampai hari ini ? Walahualam… ).
Oleh karena itu, beta berkeberatan atas sanksi yang akan dijatuhkan kepada tiap Ketua Majelis Jemaat, jika tidak memenuhi target kupon Dana Pensiun yang diberikan. Kesalahan / kekeliruan bukan dilakukan oleh Pendeta dan karyawan GPIB. Majelis Sinode adalah Pemberi Kerja. Oleh karena itu, Majelis Sinodelah yang bertanggungjawab atas kerugian akibat kesalahan pengelolaan dan pengolahan Dana Pensiun yang telah disetorkan oleh pekerja Gereja (Pendeta dan karyawan).
Hati nurani beta bergetar karena hal itu. Beta berseru kepada TUHAN Allah, bukan karena beta takut akan masa depan, tetapi karena Pendeta / Ketua Majelis Jemaat dan karyawan bekerja di bawah bayang-bayang ancaman Pimpinan Sinodal. Beta tidak berbicara demi kepentingan pribadi, melainkan beta bersaksi dalam nama TUHAN, karena beta tahu persis, ada banyak orang, dan akan masih ada banyak lagi yang lain yang akan menderita rasa sakit, jika hal itu sungguh-sungguh dilakukan. Ini suatu bentuk dari penindasan dan kekerasan. Ini sebuah tindak ketidak adilan terhadap pekerja Gereja.
SEBUAH DOA
Ya Tuhan,
Tolonglah kami : para pendeta dan karyawan dari ancaman yang akan terjadi. Sebab di tangan mereka ada kekuasaan untuk melakukan kekerasan, sedangkan di pihak kami, kami tidak memiliki kekuatan apapun. Padahal kami tidak melakukan kesalahan ataupun kekeliruan itu. Kami telah taat dan setia menjalankan seluruh peraturan yang ditetapkan di dalam Gereja ini.
Ya Tuhan Yesus, Engkaulah Kepala Gereja !
Lihatlah kami yang lemah dan tidak berdaya ini. Bantulah kami menghadapi kemelut yang akan mematikan hidup kami. Berilah kami hikmat untuk menyelesaikan masalah ini.
Engkau telah mengajar kami untuk selalu taat melakukan kehendak-Mu. Dan kami setia melakukannya secara baik dan benar. Jikalau tokh karena kesalahan pengelolaan dan pengolahan Dana Pensiun, maka kami harus menanggung penderitaan untuk memasuki masadepan…. kami mohon, Engkau membebaskan hidup kami dari ketakutan, dan berilah roh kesabaran, seperti yang Kau sendiri alami, untuk selalu setia mengasihi Dikau, sambil melaksanakan pekerjaan-Mu.
UPAYA MENUTUPI HUTANG GPIB
Saat ini GPIB sedang mengalami kesulitan besar. Pemerintah menuntut GPIB melunasi hutang pensiun sebesar Rp. 2.ooo.000.000 (dua milyar rupiah). Angka sebesar itu merupakan jumlah akumulatif sejak Yayasan Dana Pensiun didirikan. Pada tahun 1986, ketika beta mengikuti PS-GPIB di Kuta-Bali, telah ditetapkan bahwa dari hasil pelepasan hak atas tanah dan bangunan Lawang Sewu di Semarang, GPIB menyediakan dana sebesar Rp. 900.000.000 (Sembilan ratus juta rupiah). Namun sampai hari ini, keadaan tidak berubah. Malahan hutang Yayasan Dana Pensiun GPIB semakin parah. Demikian juga pada PS-GPIB tahun 1995 telah diputuskan hal sama dengan hasil transaksi tukar guling tanah dan bangunan milik GPIB di Jalan Bubutan – Surabaya. Hutang Yayasan Dana Pensiun bergerak naik dari angka Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar) menjadi Rp. 20.000.000.000,- (duapuluh milyar).
Sesuai informasi Majelis Sinode XVIII pada PST-GPIB sejak tahun 2006 di Balikpapan sampai dengan PST-GPIB 2010 di Lawang, keadaan Hutang Dana Pensiun tidak menurun, malah semakin sulit dituntaskan. Menurut informasi yang disampaikan Ketua Umum MS-GPIB XVIII, jika sampai Bulan Oktober 2010 mendatang, GPIB tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka akan menghadapi kesulitan yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, GPIB secara sinodal melakukan upaya-upaya konkrit, yakni :
1. Mengundang donatur yang dapat membantu menutupi hutang Yayasan Dana Pensiun (menurut informasi yang disampaikan oleh Ketua IV MS-GPIB XVIII, hal itu sudah dilakukan, tetapi tidak mendatangkan hasil maksimal).
2. MS-GPIB XVIII, sesuai dengan hasil kesepakatan yang ditetapkan dalam PST GPIB di Batam, telah melakukan pengumpulan dana melalui kupon yang diedarkan kepada Jemaat-Jemaat. Namun sampai hari ini : Jumat, 12 Pebruari 2010, dana yang terkumpul sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) ditambahi bunga bank sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Dengan demikian, berangkat dari butir 2, GPIB hanya memiliki dana sebesar Rp. 5.200.000.000,- (lima milyar duaratus ribu rupiah) untuk menutupi hutang Dana Pensiun sebesar Rp. 20.000.000.000,- (duapuluh milyar rupiah). Artinya GPIB terbelit hutang.
SOLUSI ATAS MASALAH HUTANG DANA PENSIUN
Pada Sidang Paripurna Komisi V dalam PST-GPIB --> Jumat, 12 Pebruari 2010 <-- seluruh peserta sidang membahas masalah tersebut. Lahirlah beberapa usulan, antara lain :
a). Majelis Sinode ditugaskan oleh PST-GPIB untuk menuliskan surat kepada Jemaat-Jemaat GPIB, agar menyelesaikan kewajiban kupon Dana Pensiun yang sudah diberikan sejak tahun 2007 sesuai jumlah yang ditetapkan (usulan Pdt. Christian Oroh dari GPIB Immanuel di Bandung). Dengan catatan, jika Ketua Majelis Jemaat tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut akan dikenakan sanksi (usulan Pdt. S TH Kaihatu dari Majelis Sinode).
Usulan ini perlu dipertimbangkan dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Banyaknya kebutuhan pendanaan yang wajib dilunasi oleh Jemaat-Jemaat terkait dengan Dana Persidangan Sinode XX yang berjumlah Rp. 5.700.000.000,- (lima milyar tujuh ratus juta rupiah)
2. Naiknya prosentase PTB (Persembahan Tetap Bulanan) yang wajib dikirimkan Jemaat-Jemaat sepanjang tahun 2010 ini.
3. Membengkaknya RAPB Jemaat-Jemaat tahun 2010.
4. Kondisi politik-ekonomi yang belum stabil mempengaruhi penerimaan sektor riil pada keuangan Jemaat-Jemaat.
b). Mencari donatur yang bisa meminjamkan dana dengan bunga lunak (Usulan Pendeta Palar dari GPIB BUKIT BENUAS di Balikpapan) untuk melunasi hutang Dana Pensiun.
c). Aksi pengumpulan koin di tiap Jemaat (usulan Penatua Suak dari BPPG).
d). Penundaan PS-GPIB 2010, agar Dana PS sejumlah Rp. 5.700.000.000 (Lima milyar tujuh ratus juta rupiah) ditambahkan ke dalam Dana Pensiun (Usul ini disampaikan oleh Pdt. Abraham Supriyono dari Jemaat Samarinda).
e). Pemanfaatan / pengalihan aset GPIB
Usul ini disampaikan dalam Rapat Paripurna PST 2010, setelah mendengar Laporan Komisi V Bidang Daya dan Dana. Usulan ini terkait pemanfaatan / pengalihan aset tak bergerak milik GPIB : tanah Pejambon, persil 83.
Masalah Keuangan Yang Dihadapi :
i). RAPB Rutin dan Program yang ditetapkan PST-GPIB 2010 untuk dilaksanakan secara sinodal.
ii). Dana PS-GPIB Oktober 2010
iii). Tunggakan Dana Pensiun
Diperkirakan pengadaan dana ketiga kegiatan tersebut cukup besar. Sebab itu, berpikir meringankan beban pembiayaan yang wajib dibayarkan oleh Jemaat-Jemaat GPIB sampai dengan Bulan Oktober 2010, perlu dipertimbangkan pengalihan / pemanfaatan aset tanah Pejambon. Caranya akan dipikirkan oleh Tim Pelaksana yang dibentuk Majelis Sinode.
Mengapa Tanah Pejambon ?
1). Selama tahun 1948 sampai hari ini tanah Pejambon belum memberikan hasil bagi GPIB. Tanah Pejambon hanyalah lahan mati yang tidak produktif.
2). Sepanjang penggunaannya oleh pihak ketiga (orang yang tinggal di ata tanah tsb) tidak pernah dibayarkan uang sewa pakai.
3). Pembangunan yang dilakukan di atas tanah tersebut tidak pernah dilaporkan kepada pihak GPIB.
4). Masih banyak lagi alasan lain yang perlu dipikirkan tentang pemanfaatan / pengalihan tanah Pejambon, supaya bisa membawa hasil maksimal bagi pelaksanaan misi GPIB secara sinodal maupun lokal (khususnya Jemaat GPIB Immanuel di Jakarta).
PILIHAN DILEMATIS : Boleh atau Tidak Boleh Mengalihkan Harta Milik GPIB yang Tak Bergerak.
a). Pilihan Pertama : TIDAK BOLEH. Alasannya dikaitkan dengan pernyataan alkitabiah – Imamat 27 : 28.
Pemahaman seperti ini juga baik. Akan tetapi perlu dipikirkan jalan keluar lain untuk mengatasi masalah keuangan GPIB sesegera mungkin (limit waktunya Oktober 2010).
Konteks Imamat 27 : 28 tidak sama dengan konteks GPIB masa kini. Ketika Penulis Imamat menuliskan pernyataan itu, Baith Allah dibangun di atas tanah milik Raja Daud. Dan tidak ada kemungkinan sekecil apapun yang akan dihadapi pihak Baith Allah, karena Penguasa Kerajaan Israel memberikan jaminan penuh serta perlindungan atas lahan kompleks Baith Allah. Seluruh pembiayaan Baith Allah dan Pejabatnya ditanggung penuh oleh seluruh rakyat dan Kerajaan Israel sesuai dengan pemahaman iman mereka. Dengan demikian kita dapat mengerti pernyataan penulis Kitab Imamat tentang larangan menjual harta milik Baith Allah.
b). Pilihan Kedua : BOLEH MEMANFAATKAN / MENGALIHKAN
Berbeda dengan penjelasan di atas, GPIB menghadapi konteks berbeda. Gereja tidak tekait dan terikat hubungannya dengan Pemerintah. Oleh karena itu, pekerjaan-pekerjaan yang dilaksanakan Gereja tidak didanai Pemerintah. Kondisi seperti ini perlu dipikirkan secara serius oleh semua Jemaat-Jemaat GPIB di seluruh wilayah pelayanan.
Beta tidak akan membenarkan pemanfaatan / pengalihan harta milik GPIB yang tak bergerak, sejauh ia dilakukan secara sembunyi–sembunyi dan tidak membawa hasil maksimal bagi kepentingan sinodal serta menjadi lahan subur bagi korupsi di kalangan GPIB.
Penalarannya begini : Tanah adalah pemberian Allah ke atas kehidupan seseorang maupun sekelompok orang. Memang benar, di dalam Perjanjian Lama, tanah sangat terkait dengan harga diri, memiliki nilai sosial-ekonomis, dan sebagainya. Ia memiliki nilai kehidupan. Akan tetapi gagasan seperti itu bertumbuh dalam kurun waktu tertentu, dan konteks budaya masyarakat Israel sebagai sebuah bangsa merdeka.
Sebaliknya, keadaannya berbeda dengan konteks yang dihadapi dan digumuli GPIB. GPIB sebagai Gereja harus dibedakan dari Bait Allah. Sebagai institusi-religius, Bait Allah didanai oleh Pemerintah Kerajaan Israel dan rakyatnya. Sementara Gereja tidak menerima perlakuan yang sama seperti Bait Allah. Gereja harus memikirkan, merencanakan dan melaksanakan aktifitas program, agar memperoleh dana pendukung kehidupannya. Memang benar, Gereja hidup dari belas kasihan dan berkat yang dikaruniakan Allah. Tidak salah ! Akan tetapi pemahaman seperti ini perlu dijabarkan ke dalam tiap aktifitas program kerja GPIB. Sebab sulit dibayangkan akan datangnya berkat bagaikan manna dan burung puyuh pada zaman Musa.
Memang benar, ada tertulis di dalam Alkitab : Segala sesuatu yang tidak mungkin bagi manusia, bisa mungkin bagi Allah. Tetapi kemungkinan-kemungkinan itu telah diberikan Allah ke dalam kehidupan bergereja / berjemaat. Oleh karena itu, sambil berdoa, Warga dan Pejabat GPIB perlu memikirkan dan bekerja mencari kemungkinan – kemungkinan yang baik (peluang) yang bisa menumbuh kembangkan perekonomian Gereja / Jemaat.
Salah satu kemungkinan-kemungkinan (peluang ekonomi) itu adalah pemanfaatan / pengalihan aset tak bergerak yang dimiliki GPIB. Pemanfaatan / pengalihan aset tidak bertujuan merugikan Gereja / Jemaat, tetapi sebaliknya memberikan kesempatan baru kepada semua pihak terkait. Pemanfaatan / pengalihan aset bukanlah bertujuan penjualan, melainkan bagaimana menggunakan model-model baru untuk lebih menambahkan keuntungan bagi Gereja / Jemaat. Keuntungan yang dimaksudkan dapat dijadikan modal untuk mendanai berbagai kebutuhan Gereja / Jemaat (termasuk Hutang Dana Pensiun GPIB), yang pada akhirnya membawa damai sejahtera dan sukacita kepada semua pihak terkait serta membuat nama Allah dimuliakan.
Beta memahami hal itu dari berbagai kesaksian Alkitab, secara khusus Matius 25 : 14 dstnya. Di dalam perikop tersebut Yesus bercerita tentang talenta (uang) yang diberikan oleh tuan kepada hamba-hambanya. Persoalannya : bagaimanakah semua hamba itu memikirkan pemberdayaan uang (talenta) pemberian itu ? Bagaimana semua hamba berpikir menjalankan uang pemberian itu, supaya dapat menghasilkan bagi banyak pekerjaan lain lagi. Dengan kata lain, Allah telah memberikan berkat material berupa modal dan aset kepada Gereja GPIB. Sekarang ini, bagaimana Warga dan pejabat GPIB menggunakan (memanfaatkan)-nya untuk mencapai tujuan visional dan misional yang telah ditetapkan bersama melalui institusi PS/PST-GPIB. Adalah sebuah perbuatan yang baik, jika pemanfaatan modal dan aset GPIB mendatangkan kebaikan bagi banyak orang.
Sekalipun usulan ini baik, namun kita perlu mempertimbangkannya. Sebab pendanaan PS-GPIB 2010 ini akan semakin meningkat, jika PS GPIB dilakukan pada tahun 2011 mendatang. Akan tetapi kita juga patut memperhitungkan akibat dari keputusan mengundurkan PS-GPIB sesuai TATA GEREJA GPIB. Persoalannya : apakah dengan cara itu masalah dapat dituntaskan ataukah semakin lebih menambah persoalan ? Hanya TUHAN saja yang dapat menjawabnya !
3.6. Revitalisasi dan Refungsionalisasi Badan Usaha Milik Gereja
Beta sungguh-sungguh menyadari, bahwa apa yang akan dipaparkan ini telah dipikirkan oleh semua teman-teman dalam Majelis Sinode sejak bertahun lampau sampai sekarang ini, juga oleh rekan-rekan presbiter GPIB. Uraian ini bukan merupakan barang baru. Ia sudah pernah diusulkan dalam tiap Persidangan Sinode; akan tetapi terhalang hanya karena ketakutan dan kekuatiran menghadapi tantangan internal.
Sesungguhnya, jika kita jujur dan ingin memberdayakan karunia pemberian Allah secara profesional, kemungkinan kecil GPIB akan mengalami krisis ekonomi yang luas dan laten. Selama ini pengelolaan sumber daya gereja (SDG) masih bersifat konvensional (kalau tidak mau dikatakan tradisional); katakanlah, pengelolaan Badan Usaha Milik GPIB (Yayasan dan Unit Kerja Penerbitan), bisa membawa nilai ekonomis yang cukup baik bagi GPIB. Pemikiran seperti ini terhambat dan terhalang, karena GPIB masih suka saling mencurigai pelaksana Unit Kerja dan Yayasan-Yayasan. Di samping itu GPIB masih terikat pada konsep pengelolaan ekonomi secara sentralisasi. Konsep sentralisasi ini juga tidak jelas dalam pelaksanaannya. Kenyataannya, sentralisasi kurang membawa hasil, malahan lebih membuat lobang penderitaan. Oleh karena itu, GPIB dalam PS-nya di bulan Oktober 2010 perlu merumuskan kembali sentralisasi sistem perbendaharaannya. Beta mengingatkan GPIB, bahwa sentralisasi (yang berpusat pada cengkraman kekuasan) tidak selalu membawa kebaikan dalam pertumbuhan ekonomi GPIB. Mungkin kita perlu mengkombinasikan antara sentralisasi dan desentralisasi.
Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi Gereja / Jemaat kita perlu melakukan upaya refitalisasi dan refungsionalisasi sistem Gereja yang dapat menumbuhkan aktifitas ekonomi serta membawa hasil maksimal.
Beta masih akan terus berbicara tentang refungsionalisasi dan refitalisasi Unit Kerja Penerbitan dan Yayasan-Yayasan GPIB dalam ruang gerak bisnis bagi pertumbuhan ekonomi GPIB. Beta tidak mengetahui alasan-alasan yang dipegang oleh Majelis Sinode, sehingga kurang berani mengambil keputusan untuk masuk ke lahan bisnis (perniagaan) melalui Unit Kerja dan Badan Pelaksana GPIB. Kemungkinan saja, jika tidak keliru, salah satu alasannya terkait fungsi sistem pengelolaan dan pengolahan keuangan. Jikalau hal itu yang menjadi alasannya, maka PS-GPIB dapat membantu Majelis Sinode untuk merumuskan peraturan yang menata fungsi sistem (sesuai sifat sentralisasi keuangan Gereja) Badan Pelaksana sebagai pelaku ekonomi GPIB di masa depan.
BAHAGIAN KETIGA
GEREJA GPIB DAN REFORMASI
KEBERANIAN MEMBUKTIKAN TANGGUNGJAWAB DAN KUASA YANG DIBERIKAN OLEH ALLAH.
1). Pengakuan dan Pengampunan
GPIB secara sinodal maupun dalam Jemaat Lokal sesegera mungkin perlu menutup lembaran sejarah masalalu mengenai pengelolaan modal dan aset Gereja/Jemaat. Memang masalah pemanfaatan / pengalihan aset GPIB yang digumuli sejak tahun 1978 – 2000 telah menciptakan suasana saling mencurigai dan saling tidak mempercayai antara Majelis Jemaat dan Majelis Sinode serta BPPG. Jika sikap seperti ini terus berlangsung, GPIB tidak mungkin memasuki masa depan yang dijanjikan Allah.
Kita (sekalipun Pendeta, Penatua dan Diaken) adalah makhluk berdosa. Apa pun yang kita pikirkan baik pada hari ini, bisa saja dikritisi oleh generasi akan datang. Di sela-sela perbuatan baik yang kita perlihatkan, pasti ada titik-titik dosa yang tersembunyi. Sebab kita : Warga dan Pejabat GPIB, adalah mantas pendosa. Dengan pemahaman itu, kita mengakui bahwa tidak ada pekerjaan yang sempurna sepanjang kurun waktu. Kesempurnaan sebuah pekerjaan hanyalah sesuai dengan ruang waktu dan tempat, di mana keputusan diambil dan dilaksanakan. Bukan berlaku seterusnya.
Pemahaman ini akan menumbuhkan kedewasaan sikap iman untuk menerima dengan lapang dada, semua penilaian positif maupun negatif terhadap keputusan dan tindakan kita. Kitalah : Warga dan Pejabat (Presbiter) GPIB, yang bertanggung jawab atas kekeliruan (kalau tak mau dikatakan dosa dan kesalahan) sejarah Gereja di masa lalu sampai sekarang ini.
Kita membutuhkan dua sikap untuk dapat membaharui kehidupan bergereja dan berjemaat. 1). Sikap jujur dan tulus untuk mengakui kekeliruan yang telah dibuat semasa kita memimpin GPIB. 2). Keberanian untuk mengampuni sesama yang berbuat keliru. Lihatlah jalan hidup para pemimpin umat Allah, seperti : Musa pada masa Israel. Biarkan TUHAN Allah bekerja melakukan apa yang dilihat-Nya benar ke atas kehidupan pemimpin-pemimpin kita. Tidak ada seorangpun yang bebas dari penghakiman dan penghukuman-Nya, entahkah ia masih hidup ataupun sudah mati.
Kearifan itu hanya muncul, jikalau kita rela dan tulus mengampuni kekaliruan para pemimpin. Di sanalah kita belajar dari kekeliruan mereka dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Di sanalah kita mengadakan pendamaian dan pemulihan (rekonsiliasi) demi membangun GPIB yang baru, penuh keadilan dan kebenaran, yang hadir membawa sukacita dan damai sejahtera, tanpa pembalasan dendam berdasarkan pengalaman rasa sakit hati masa lalu.
2). Pendamaian dan Pemulihan Gereja
Dekadensi moral GPIB berlangsung bertahun-tahun. Kepemimpinan umat dijalankan sesuai Tata Gereja, benar. Akan tetapi tindakan pembalasan dendam pun dilancarkan berdasarkan Tata Gereja. Contohnya : jika seseorang merasa disakiti oleh karena keputusan dan tindakan pemimpin sebelumnya, maka pada saat sesudah terpilih menjadi pemimpin baru, ia akan melaksanakan segala sesuatu yang direncanakan hatinya dengan memakai Tata Gereja menjadi alasan pembenaran motivasinya. Hal itu bukan sesuatu yang tidak dapat dibaca. Kita dapat membacanya, tetapi tidak berani atau takut menyatakannya, sebab kita pun takut mengalami keadaan yang sama.
Kita hanya disebut orang berhikmat (bijak, arif), jikalau kita rela dan tulus mengampuni sesama, sama seperti Allah telah mengampuni kesalahan dan dosa kita (Mat. 6 : 14 – 15). Namun, jika kita tidak mengampuni, maka kita pun akan mengalami realitas yang sama.
Pengampunan tampak dalam sikap pendamaian dan usaha memulihkan keadaan. Gereja / Jemaat GPIB tidak akan mencapai kemajuan, jikalau pemimpin yang akan datang tidak mengampuni kekeliruan pemimpin sebelumnya. Saling mengasihi dan saling mengampuni adalah ciri khas ajaran Gereja GPIB. Inilah karakter ilahi yang wajib diperlihatkan Gereja (Presbiter dan Warga GPIB). Melalui anugerah pengampunan (pendamaian) Allah menciptakan landasan dari tindakan rekonsiliasi bagi umat perjanjian baru (Gereja/Jemaat). Berdasarkan kasih-Nya yang mengampuni, Allah memulihkan dan memulai tindakan pembaharuan (reformasi). Ia menciptakan masadepan baru oleh kekuatan kuasa-Nya sendiri (kuasa yang berlaku karena kepemimpinan Roh Allah).
Kegagalan Gereja terjadi karena sikap arogansi pemimpin. Arogansi itu bisa juga muncul dari sikap seorang pemimpin yang tidak mau mengakui kekeliruan yang dibuatnya, dan juga sikap orang yang dipimpin yang tidak rela mengampuni pemimpinnya. Jika kedua pihak : yang memimpin dan yang dipimpin, tidak saling memaafkan (mengampuni) dan melupakan hal-hal yang sudah terjadi, maka keadaan masa depan tidak akan berubah. Perubahan itu dimulai dari keberanian kita masing-masing dalam kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan menerima.
Ingatlah, memimpin Gereja (umat Allah) sangat berbeda dari memimpin sebuah Negara. Di sini berlaku hukum dan penghakiman serta penghukuman Allah baik semasih hidup mapun sudah mati, baik atas pribadi pemimpin itu secara pribadi maupun atas keluarganya. Sebab TUHAN adalah Allah, dan Dia tidak dapat dipermainkan siapapun ! Meskipun pemimpin itu hamba-Nya, tidak akan lolos dari penghukuman-Nya. Lihat dan belajarlah kesaksian Alkitab tentang akhir dari kehidupan Musa dan Raja-Raja Israel-Yehuda sebagai Pemimpin Umat Allah !
3). Gereja membutuhkan Reformasi
Gereja sedang menderita karena penyakit komplikasi yang melanda pelaku dan fungsi sistemnya. Kita tak usah menutup-nutupi kondisi ini. Menutup-nutupi masalah merupakan perbuatan tidak baik dan tidak benar. Karena dengan cara itu, kita tidak akan mencapai visi dan misi Gereja. Katakanlah contoh : HUTANG DANA PENSIUN yang berjumlah Rp. 20.000.000.000,- (DUA PULUH MILYAR RUPIAH). Hutang itu tidak disebabkan penyetoran pekerja Gereja (Pendeta dan Karyawan), melainkan lebih utama dikarenakan salah urus dan salah kelola Pimpinan Sinodal di bidang managemen / penatalayaan keuangan (ekonomi) GPIB.
GPIB membutuhkan reformasi, sebagaimana dituliskan Yohanes Calvin : Ecclesia reformata semper reformanda. Proses itu hanya dapat dilalui Gereja, jika ia menaruh pengharapan kokoh pada Allah yang bekerja melalui Roh-Nya. Sama seperti Roh Allah bekerja di dalam Yesus-Kristus (PB) dan juga Cyrus The Great (Koresh dalam Yesaya 45), maka Dia juga dapat melakukannya bagi Gereja sekarang ini. Oleh karena itu, kita tidak usah kuatir, jika kita membiarkan Allah bekerja di dalam persekutuan ini. Kita pun tidak perlu mengkultuskan seorang figur / profil pemimpin. Kita wajib berdoa memohonkan Allah menunjuk dan mengangkat pemimpin yang sesuai kehendak-Nya untuk melaksanakan kepemimpinan-Nya di dalam Gereja / Jemaat.
Sekalipun demikian, kita memerlukan alat ukur (kriteria) bagi pengadaan pemimpin Gereja. Kemungkinan, kita perlu mengadakan semacam panel diskusi, agar orang-orang yang berkeiningan menjadi pemimpin menampilkan visi dan misi dalam menjalankan kepamimpinannya atas Gereja. Visi dan misi yang disampaikan akan menjadi tolok ukur pelaksanaan kepemimpinannya. Mungkin cara ini belum pernah ada, tetapi tidak ada salahnya juga kalau dicoba, sebelum pencalonan seseorang menjadi Pemimpin Gereja. Dengan demikian pencalonan calon itu semakin transparan (kalau tidak mau dikatakan terbuka) di mata Allah dan semua voter (Pemilih). Salah satu kelemahan Gereja GPIB terkait faktor manusia dan leadership (pemimpin dan seni memimpin).
3.1. Reformasi Atas Kehidupan Manusia (Warga dan Presbiter)
Sangat sering kita mendengar pembelaan diri melalui tudingan, bahwa kesalahan itu disebabkan karena fungsi-sistem yang tidak berjalan baik dan benar. Pernyataan seperti itu tidak seluruhnya benar. Manusialah yang mengendalikan sistem. Manusia adalah pemeran utama. Fungsi-sistem (organisasi) merupakan kenderaan yang ditumpangi mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, tujuan tahapan atau pun tujuan akhir.
Gereja perlu memikirkan, merencanakan, merumuskan dan menye-lenggarakan Pembinaan Warganya secara berkelanjutan. Memben-tuk kembali karakter dan meningkatkan kualitas intelektual – spiritual, supaya ketika seseorang menerima jabatan pelayanan, dia bisa menjalankan fungsinya secara baik dan benar. Dia tidak memakai kekuasaan untuk mencapai tujuan pribadi maupun tujuan bergereja / berjemaat.
3.2. Reformasi Atas Fungsi – Sistem Kehidupan Gereja GPIB
Sub-Pokok bahasan ini tertuju pada fungsi-sistem. Sejalan perubahan dan perkembangan konteks misinya, Gereja perlu melakukan reformasi atas fungsi-sistem kehidupan ibadahnya. Hal itu dilakukan sesudah melalui penelitian dan pengkajian yang baik dan benar (Teori SWOT & SMART). Tidak boleh melakukan reformasi berdasarkan rasa suka dan tidak suka. Reformasi dilakukan sebagai bentuk awal dari upaya menjawab kebutuhan pelayanan terhadap kebutuhan manusia secara mendesak maupun bertahap.
Reformasi atas fungsi-sistem Ibadah Gereja GPIB bersumber dari motivasi untuk melayani Allah. Pelayanan itu merupakan serentetan aktifitas yang perlu diorganisasikan, supaya bisa tertib dan teratur, serta berlangsung sopan dan mendatangkan damai sejahtera.
Apakah bisa meinjamkan uang utk keperluan saya yg harus melunasi hutang2 saya.
BalasHapus