RANCANGAN MATERI PENGAJARAN KATEISASI
ARIE/MAT.KAT/Seri – 02–A/2011
– II –
POKOK UTAMA
TRITUNGGAL MAHA KUDUS
TUJUAN UTAMA
Memperlengkapi Warga Gereja untuk melaksanakan dan menyelenggarakan Misi Kristus
Efesus 4 : 12 - 16
POKOK BAHASAN
ALLAH ITU TUHAN KITA,
ALLAH ITU ESA !
TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Mengasihi Allah sama artinya dengan mengenal dan mengakui-Nya TUHAN selaku Allah Yang Mahaesa
pada segala waktu dan tempat
Ul. 6 : 4
SUB POKOK BAHASAN
ALLAH MAHAESA
TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Sejak Yesus-Kristus masih bekerja di Israel sampai hari ini, banyak orang Kristen maupun non-kristen mempersoalkan hakekat keilahian-Nya. Adalah tugas Gereja untuk menjelaskan Pemahaman dan Pengakuan tentang TRINITAS ALLAH MAHAKUDUS. Oleh karena itu materi pertemuan II ini bertujuan :
1. Agar Peserta Bina Katekisasi mengetahui dan mengerti tentang Keesaan Allah.
2. Agar Peserta Bina Katekisasi menghayati kehadiran Allah Trinitas Mahakudus dalam kehidupan sehari-hari.
3. Agar Peserta Bina Katekisasi dapat menjelaskan kesaksian Alkitab dan Ajaran Gereja mengenai ketritunggalan Allah.
Ulangan 4 : 4; Yessaya 45
-----oooo000oooo-----
A. PENDAHULUAN
Sudah sejak zaman Israel banyak orang mempersoalkan pemahaman dan pengakuan iman mereka tentang TUHAN, Allahnya. Kritikan dan kecaman itu disebabkan Musa mengajarkan, bahwa TUHAN itu Allah Israel Yang Mahakudus dan Yang Mahaesa (Ul. 6 : 4; bd. Yes. 45 : 5a, 6c, 14f, 18c, 21ef, dan ayat-ayat sejenisnya dalam Alkitab). Pemahaman dan Pengakuan Iman Israel itu berbeda dengan pernyataan agama-agama dari suku-suku di sekitarnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tulisan-tulisan dalam Alkitab pun bertujuan menyaksikan (tujuan apologetic) pernyataan sikap Israel terhadap kecaman bangsa-bangsa.
Untuk membuka wawasan berpikir, marilah kita mengikuti sejarah pertumbuhan dan perkembangan Agama Israel serta budaya-agama-suku (agama-alam) di sekitarnya.
Catatan tentang istilah
1. Istilah budaya-agama-suku dipakai menunjukkan ajaran dan kepercayaan yang dimiliki suku-suku di sekitar Israel, seperti : baalisme (ajaran dan penyembahan kepada Dewa Baal) dalam suku-suku Kanaan dan sebagainya. Kepercayaan tersebut bersumber dari pemahaman masyarakat pertanian. Agama seperti ini berbasis pada interaksi manusia dengan lingkungan alam (bisa disebut juga : agama-alam).
2. Istilah agama, jika ia dipakai terkait masyarakat pra-sejarah Alkitab, tidak bertindih tepat maknanya dengan yang dimaksudkan oleh rumusan UUD 1945 (sebagaimana yangtertulis dalam GBHN). Agama seperti itu mengandung nilai-nilai kepercayaan kepada Yang Mahakuasa. Ia bersifat terbatas dalam lingkungan tertentu. Sistem ajarannya pun masih sederhana. Tidak universal. Bersifat terikat pada karakter pelakunya.
Sementara itu agama yang kita maksudkan sekarang ini memiliki sistem nilai-nilai yang diajarkan, membentuk sistem peribadahan, sistem pengajaran dan sistem institusi yang kompleks. Pembedaannya semakin mengerucut, ketika penganut agama-agama ini menyatakan, bahwa ia diilhamkan oleh Allah dari sorga (langit), sehingga penganut agama ini menyebutnya Agama Langit, untuk membedakannya dari budaya-agama-suku. Penganut Agama Langit selalu mengklaim, bahwa ajarannya tidak diciptakan oleh manusia; sedangkan ajaran agama suku diciptakan manusia.
B. SEJARAH RINGKAS PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN AGAMA
B.1. Munculnya Gagasan tentang “Kekuatan Supranatural / adikodrati”
Kita harus memulai uraian ini dari asumsi tentang sebuah keadaan, di mana sejak diciptakan manusia tidak beragama. Maksudnya, kita tidak bisa memaksakan pendapat, bahwa Adam dan Eva sudah memiliki agama seperti yang ada sekarang ini. Mengapa ? Karena tidak seorangpun yang mengetahui secara pasti, bentuk agama yang diyakini kedua orang tersebut. Malahan seluruh Kitab Suci Agama-Agama Langit pun tidak memberikan kesaksian jelas mengenai nama agama atau kepercayaan yang dianut oleh Adam dan Eva.
a). Perasaan dan Pengalaman Bathiniah (spiritual/mistis /ghaib)
Kepercayaan tidak tumbuh secara otomatis. Kepercayaan itu muncul dari pengalaman interaktif (dialogis) dengan alam. Katakanlah sebuah contoh :
Dalam sebuah perjalanan dari desa ke kota, si Polan beristirahat di bawah pohon kelap. Buahnya sarat. Si Polan tertidur pulas karena letih. Tiba-tiba ia dikejutkan suara keras. Ada beberapa buah kelapa yang jatuh beruntun ditiup angin, tepat sehasta di dekat kealanya. Si Polan terbangun, lalu mengambil buah kelapa itu. Dipecahkannya untuk memuaskan lapar dan dahaganya.
Sesampainya di kota ia menceritakan pengalamannya kepada orang-orang serumah. Salah seorang berujar : “Untung saja kelapa itu tak jatuh tepat di atas kepalamu, jikalau tidak, kau sudah mati”. Ucapan itu menggetarkan bathin si Polan. Ketika malam tiba, ia merenungkan tuturan saudarannya dengan mengingat kembali peristiwa tersebut. Di dalam hatinya si Polan berkata : “Benar ! Pastilah pohon kelapa itu ada penunggunya. Jika tidak, aku telah mati !”.
Beberapa hari kemudian, setelah mengurusi semua urusan, si Polan kembali ke desanya. Ia tak lupa membeli sekeranjang kembang untuk ditaburkan di bawah pohon kelapa. Setibanya di tempat yang sama, si Polan berhenti sejenak. Bukan untuk beristirahat tetapi menaburkan kembang. Mulutnya berkomat-kamit. Ia mengucapkan doa terima kasih kepada si penunggu pohon kelapa. Setelah semuanya selesai, si Polan melanjutkan perjalanan menuju desanya. Pengalaman itu diceritakan ulang kepada isteri dan anak-anaknya. Mereka memutuskan harus selalu menyediakan waktu berziarah ke pohon kelapa.
Pengalaman batiniah (spiritual / mistis / gaib) yang ditemukan sepanjang perjalanan ke kota itu, sekejap berubah menjadi kepercayaan pribadi dan keluarga. Pengalaman bathiniah (spiritual / mistis/ ghaib) itu dalam Ilmu Agama-Agama disebut “bibit keagamaan” (semen relegionum). Di sana manusia berjumpa dengan kekuatan alam yang tidak dapat dimengertinya. Ia hanya dapat menghayatinya, dan menyebut Penunggu pohon kelapa : Yang Mahakuasa Yang Memelihara Hidup (Sunda : Sang Hyang). Di sinilah muncul kepercayaan animisme (benda natural yang memiliki jiwa) dan dinamisme (benda natural yang memiliki kekuatan gaib).
b). Budaya-Agama-Suku (Agama-Alam)
Agama, dalam arti kepercayaan, pun sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam, di mana manusia mengelola dan mengolah kehidupannya. Simaklah cerita Kain dan Habel (Kej. 4 : 1 – 16). Persembahan korban yang dilakukan kedua anak Adam itu menjelaskan, bahwa sistem kepercayaan berhubungan erat dengan pola kehidupan masyarakat. Pola kehidupan masyarakat Kain, pertanian sedangkan Habel, peternakan. Dalam konteks demikian, agama / kepercayaan itu lahir dari perjumpaan manusia dengan lingkungan lamnya. Dan, oleh karena itu, muncul pula kepercayaan kepada banyak dewa-dewi, yang dalam bahasa Ilmu Agama-Agama disebut POLITEISME.
c). Agama Abraham, Ishak dan Yakub
Meskipun hasil-hasil penelitian antropologi ( di bidang etnologi) melahirkan banyak pandangan yang saling bertentangan tentang kesatuan biologis di antara ketiga leluhur Israel; akan tetapi para teolog tidak terpengaruh. Para teolog Alkitab Perjanjian Lama (APL) mengkhususkan perhatiannya pada gagasan-gagasan keagamaan yang sama dan saling berhubungan yang ditemukan pada kepercayaan ketiga leluhur itu.
1. Tradisi Agama Abraham.
Menurut kesaksian Alkitab, sejarah dimulai sejak Yang Mahakuasa (bd. Kel. 3 : 13 – 16 tentang sebutan Yang Abraham) memanggil Abraham (Kej. 12 : 1 – 3). Sejarah itu pun disebut sejarah keselamatan. Alkitab menceritakan, sesudah peristiwa Babel (Kej. 11 : 1 – 9) terjadi perpindahan (migrasi) besar suku-suku di Mesopotamia. Salah satunya, keluarga Terah. Abraham, anak sulung Terah, berasal dari tanah Ur di Kasdim (sebuah dataran yang subur Khaldea dalam wilayah Mesopotamia). Saudara-saudaranya : Nahor dan Haran (Kej. 11 : 27 – 32). Setelah peristiwa Babel Terah dan Abraham meninggalkan kotanya : Ur di Kasdim, berangkat ke Kota Haran. Di sanalah Terah, ayah Abraham, meninggal dunia. Selanjutnya kafilah Abraham melanjutkan perjalanan ke tanah Kanaan.
Abraham adalah seorang saudagar kaya raya. Ia memiliki lahan peternakan yang luas serta banyak kambing-domba. Di Ur–lah Yang Mahakuasa memanggil Abraham. Panggilan itu perlu dimengerti dari 2 (dua) aspek :
a. Secara sosiologis keadaan Babel kurang memungkinkan bagi kafilah Abraham untuk mengembangkan mata pencahariannya, karena semua suku-suku yang bergabung dalam Kerajaan Babel (Kej. 10 : 8 – 12) terjadi mobilisasi manusia ke berbagai wilayah. So pasti, timbul sengketa (perang) antar suku demi mempertahankan kedaulatan atas tanah miliknya. Suku-suku kecil yang kurang memiliki kekuatan bertahan akankalah dan menyerahkan wilayahkan kepada suku penakluk. Penindasan dan penjajahan semakin berkembang. Penghidupan pun menjadi sulit.
Terah, ayah Abraham, mengerti benar kesulitan ini. Oleh karena itu, ia segera memutuskan untuk meninggalkan Ur di Kasdim menuju Haran. Kemungkinan besar, Terah bertujuan menyelamatkan kehidupan dan penghidupan keturunannya. Di sanalah Terah wafat.
b. Alkitab tidak menjelaskan tentang kapan waktunya Abraham dipanggil Yang Mahakuasa; apakah panggilan itu diterimanya sebelum Terah meninggal ataukan sesudahnya. Penulis kisah Abraham tidak menghiraukan kapan Abraham menerima panggilan tersebut (Kej. 12 : 1–3); yang terutama adalah Abraham menjawab panggilan Yang Mahakuasa. Pokok perhatian utama dari Kejadian 12 : 1 – 3 tertuju pada perjumpaan antara Yang Mahakuasa dengan Abraham serta sikapnya terhadap panggilan itu.
Jika butir a dan b digabungkan akan muncul pemahaman teologis yang amat krusial. Kafilah Abraham sedang mengalami kesulitan sehubungan dengan mata pencahariannya. Pada saat yang sama Yang Mahakuasa memanggil dan menjanjikan kepadanya berkat, jika ia memutuskan untuk mematuhi suara-Nya. Abraham tidak menampik panggilan Allah. Ia tulus mematuhi ajakan Allah, karena menyadari akan kondisi sulit yang sedang dihadapinya. Di sinilah kita mengerti, bahwa keselamatan / pembebasan itu terjadi dalam perjumpaan antara Allah dan manusia, di mana dari manusia dituntut sikap (jawaban) yang pasti. Abraham menemukan keselamatan (masa depan kehidupan baru), segera setelah ia menjawab panggilan Allah Yang Mahakuasa, dan memutuskan untuk melangkah maju ke depan bersama Dia.
Sekali lagi, sekarang kita mengerti, bahwa kondisi keselamatan yang akan dinikmati selalu menuntut jawaban dan sikap ketaatan dari tiap manusia. Sama seperti cerita pertama (walau kualitasnya berbeda menurut keyakinan iman) tentang pengalaman si Polan, ketika lolos dari musibah. Ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan :
Pertama, kondisi sosial yang menjadi latarbelakang munculnya pengalaman bathiniah (spiritual / mistik / gaib) yang dialami seseorang; dan, kedua, sikap hati manusia terhadap peristiwa perjumpaan dengan Allah Yang Mahakuasa (kekuatan supranatural). Kedua hal itu sangat penting untuk diajarkan kepada peserta bina katekisasi, agar membentuk sikap hatinya ketika mereka dijumpai Yang Mahakuasa dalam berbagai peristiwa kehidupan pribadinya.
c. Keagamaan (spiritualitas) lahir sepanjang pengalaman.
· Penulis Kitab Kejadian ingin mengingatkan kita, bahwa pengalaman keagamaan Abraham lahir dalam setiap peristiwa sosial : perjumpaan dengan Yang Mahakuasa. Di setiap perjumpaan dengan Yang Mahakuasa dalam berbagai kondisi sosial yang sulit, Abraham memperoleh pembebasan / penyelamatan. Hal itu menjadi motivasi dan menimbulkan sikap Abraham untuk selalu setia mengasihi serta taat memberlakukan segala sesuatu yang difirmankan-Nya. Juga, bertolak dari pengalaman batinnya (spiritual / mistis / gaib) Abraham menyapa Yang Mahakuasa dengan sebutan TUHAN {יהוה -> baca YHWH; Ing. LORD -> Kej. 15 : 2 juga Kej. 12 : 8 (? – ayat ini masih menjadi bahan penelitian para teolog sampai hari ini) : “Di Beth-el Abraham mendirikan di situ mezbah bagi TUHAN dan memanggil nama TUHAN”. Dikarenakan TUHAN adalah Nama Allah, maka LAI menuliskannya dengan memakai huruf besar untuk membedakannya dari kata Tuhan}.
· Keagamaan (spiritualitas) dan Agama Abraham lahir karena perjumpaan dengan TUHAN (יהוה) Allah dalam setiap peristiwa sosial. TUHAN (יהוה) menurut Abraham adalah Allah yang sahabat berjalan bersama dan pemimpin yang mengarahkan perjalanan. TUHAN (יהוה) bukanlah Allah yang terikat pada ruang : waktu dan tempat. Dia adalah Allah yang berdaulat, hadir di mana-mana sekehendak hati-Nya. Dia juga bukan Allah yang menyetujui sikap Abraham yang spekulatif (Kej. 12:10-20; 20:1-18). Dia adalah Allah yang menciptakan dan memimpin sejarah.
· Di kemudian hari tradisi Abraham ini dipakai oleh nabi-nabi untuk menegur umat Israel serta pada pemimpinnya. Rasul-rasul pun memakainya dalam pemberitaan Injil dan pengajaran akan firman Allah.
2. Tradisi Agama Musa
Musa juga memiliki sejarah kehidupan pribadi cukup panjang. Perjumpaannya dengan Allah menjadi peristiwa penting, karena Musa bertumbuh dalam lingkungan istana Paraoh. So pasti, orangtua angkat mendidiknya menurut kebiasaan istana. Pengalaman selama di istana membuat Musa terguncang, ketika menyaksikan kaum sewarganya dipukuli orang Mesir (Kel. 2:11-22). Ia membela saudaranya, namun ia dikhianati. Ketika melarikan diri ke Midian, Musa bekerja sebagai penjaga ternak (Kel. 3 : 1 -> baca : proses menjadi hamba TUHAN) di rumah Jithro, seorang imam bangsa Midian. Menurut mitos Israel, Allah menjumpai Musa dalam nyala api di tengah padang belukar. Di sanalah Allah memperkenalkan Diri-Nya dengan sebutan TUHAN (יהוה), Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub (Kel. 3: 13 – 16).
Frasa Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub tidak menyatakan, bahwa Allah yang disembah ke – 3 leluhur itu berbeda. Dia adalah TUHAN (יהוה) Yang Mahaesa (bd. Ul. 6:4), tidak terbagi, tidak dibuat oleh tangan manusia, tidak beranak dan tidak diperanakkan.
B.2. KEESAAN ALLAH SUDAH SEJAK SEBELUM BUMI DICIPTAKAN
a). Kejadian 1 : 1 – 3
Mitos penciptaan alam semesta yang dituliskan dalam Kejadian 1 berbunyi :
1. Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. 2. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulitan menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. 3. Berfirmanlah Allah : “Jadilah jerang” dan terang itu pun jadilah.
Pada ayat 1 – 3 kita menemukan 3 (tiga) sebutan yang dipakai oleh penulis untuk menunjukkan hakekat (esensi) dan keberadaan (eksistensi), yaitu : Allah, Roh Allah dan Firman. Ketiganya secara bersama-sama menciptakan alam semesta dan isinya.
b). Kejadian 1 : 26 – 27
Mitos penciptaan manusia yang dituliskan dalam Kejadian 1 : 26 berbunyi :
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”
Kita adalah kata ganti orang III jamak (plural). Kata tersebut menunjuk pada keesaan Allah dalam Kejadian 1 : 1 – 3, yang telah dijelaskan pada butir a). di atas.
Kalimat “baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” tidak bermaksud menjelaskan, bahwa sedang terjadi percakapan di antara 3 (tiga) pribadi Allah yang berbeda dan terpisah. Akan tetapi kalimat tersebut bertujuan menyatakan sikap dari Allah Mahaesa yang berfirman dan menjadikan manusia.
C. APAKAH MANFAAT MEMPELAJARI PENGETAHUAN IMAN TENTANG ALLAH TRITUNGGAL MAHAKUDUS ?
3.1. Untuk menambah pengetahuan tentang Ajaran Gereja mengenai Allah Tritunggal Mahaesa, sehingga iman peserta bina katekisasi dapat bertumbuh baik dan pengenalan akan Allah semakin disempurnakan.
3.2. Untuk mengembangkan pengalaman iman peserta bina katekisasi serta menumbuhkan rasa cinta kepada Allah.
D. METODE PEMBELAJARAN
D.1. Pengajar menjelaskan pengajaran selama kira-kira 90 menit.
D.2. Pengajar memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak dimengerti atau yang kurang jelas.
D.3. Pengajar memberikan satu atau dua pertanyaan, lalu membagi peserta ke dalam beberapa kelompok untuk mendiskusikannya.
D.4. Pengajar member tugas kerja kepada peserta untuk dikerjakan di rumah.
MEDAN – Sumatera Utara,
07 Januari 2011
Penyusun
PDT. ARIE A R IHALAUW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar