Kamis, 22 Maret 2012

PELAYANAN SAKRAMEN PERJAMUAN KEPADA ORANG SAKIT DI LUAR WAKTU YANG DITENTUKAN


 DAPATKAH GEREJA MELAKSANAKAN 
SAKRAMEN PERJAMUAN BAGI ORANG SAKIT
DI LUAR WAKTU YANG DITENTUKAN ?

DITULISKAN DI
MEDAN – SUMATERA UTARA
HARI KAMIS, 21 MARET 2012

OLEH
PUTERA SANG FAJAR
ARIE A. R. IHALAUW
-----ooo00ooo-----
Kemaren sang pendeta melayankan sakramen perjamuan kepada si pasien atas permintaan keluarganya. Ia masih tersenyum ketika menghadiri persiapan pelayanan presbiter. Tiba-tiba salah seorang presbiter bertanya

Vino               :   “Bolehkah saya bertanya, pak ?”
Pendeta       :   “Silahkan !”
Vino               :   “Begini, Pak Pendeta ! Menurut beberapa teman presbiter, bapak telah melanggar ajaran Gereja ….!” Alis Pendeta menggerenyit. Matanya meredup sambil menatap Vino, ia bertanya :
Pendeta       :   “….manakah ajaran Gereja yang telah saya langkahi, Pak Vino ?”
Vino               :   “Kami mendengar, bapak didampingi beberapa presbiter melayani sakramen perjamuan kepada orang mati ? Apakah hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Gereja kita, Pak ?”
Pendeta       :   “Okey… saya akan menjelaskan latar belakang dan alasan-alasan yang mendorong saya membijaki hal itu. Pertama, pasien tersebut sedang mengalami keadaan kritis di rumah sakit. Keluarganya menelepon Sekretaris PHM untuk memohonkan kesediaan Gereja melayani sakramen perjamuan kepada si penderita. Seharusnya pelayanan itu dilakukan pada beberapa hari lalu; akan tetapi karena volume pelayanan cukup padat, maka baru dilaksanakan kemaren….”
Ambarita     :   “… lantas  apakah landasan bapak mengambil kebijakan demikian ?” perempuan presbiter tua itu sekejap memotong penjelasan Pendeta.
Pendeta       :   “Maaf, Bu Ambar !.... Bolehkah saya menuntaskan penjelasan, sebelum diskusi ini dimulai ?”
Agus              :   “Sebaiknya begitu, Pak Pendeta, agar kami mengetahui dan mengerti masalahnya secara baik dan benar !” ujar Pak Agus yang disetujui semua presbiter lainnya.
Pendeta       :   “Baiklah…, saya lanjutkan. Kedua, saya telah mempercakapkan masalah ini bersama beberapa rekan presbiter. Mereka tidak berkeberatan, jika hal itu bertujuan keselamatan…”
Ambarita     :   “Maksudnya …?”
Pendeta       :   “Marilah saya menjelaskan latarbelakang pemahaman teologis-alkitabiahnya. Alkitab memberikan kesaksian, bahwa Allah mempunyai tujuan yang indah bagi manusia. Dia ingin menyelamatkan manusia dari dosa dan membebaskan dari berbagai derita. Itulah sebabnya Allah mengutus Tuhan Yesus Kristus. Sepanjang karya pelayananNya di dunia, Tuhan Yesus Kristus menghadapi berbagai tantangan dari pemuka Agama Israel yang memegang teguh Hukum Taurat. Acapkali Tuhan Yesus Kristus tidak menggubris masalah yang mereka kemukakan, seperti : menyembuhkan orang sakit pada Haris Sabat, murid-murid memetik gandum pada hari Sabat dan lain-lain.

                              Menurut Tuhan Yesus Kristus, aturan-aturan itu bukan difirmankan Allah, tetapi tafsiran pemuka Agama Israel dan diwariskan turun temurun. Tuhan Yesus Kristus ingin menonjolkan inti Huku Taurat, yaitu : “KASIHILAH TUHAN ALLAHMU DENGAN SEGENAP HATIMU, DAN DENGAN SEGENAP JIWAMU, DAN DENGAN SEGENAP AKAL BUDIMU” (Mat. 22:37; bd. Ul. 6:5) dan “KASIHILAH SESAMAMU MANUSIA SEPERTI DIRIMU SENDIRI” (Mat. 22: 39; bd. Im. 19:18b).

                              KEARIFAN / KEBIJAKAN DAN HUKUM. Sesuai kesaksian Alkitab, menurut Tuhan Yesus, CINTA-KASIH dijadikan nilai yang terkandung dalam dan menjadi landasan serta tujuan hukum Taurat. Nilai cinta-kasih itu bukan saja berasal dari Allah, tetapi adalah HAKEKAT, KARAKTER dan KEPRIBADIAN Allah.  Jadi yang ada lebih dahulu hanyalah CINTA-KASIH Allah. CINTA-KASIH itulah Allah sendiri (bd. YOH. 3:16; I YOH. 4:16). Hukum Taurat diadakan dengan tujuan mengatur perilaku umat untuk mengasihi Allah, mengasihi sesama serta membagikan kekuatan / kekayaan cinta-kasih Allah kepada seluruh ciptaan. Pembagian kekuatan kekuatan / kekayaan Cinta-kasih itu tampak dalam karya penyelamatan dari dosa dan pembebasan dari penderitaan. Inilah yang dimaksudkan Tuhan Yesus mengenai PERBUATAN BAIK, yakni : ketika seseorang yang telah menikmati Cinta-kasih Allah membagikan kepada saudaranya yang menderita, ia telah melakukan Hukum Taurat.

                              PENTAFSIRAN DAN PERUMUSAN ULANG. Sayangnya waktu terlalu sempit untuk menjelaskan banyak masalah rumit dalam penulisan Alkitab. Namun saya ingin menegaskan, bahwa KESEPULUH FIRMAN ALLAH (Kel. 20 : 3 – 17; bd. Ul. 5 : 7 – 21) mengemukakan pernyataan Allah tentang CINTA-KASIH. Kesepuluh Firman itu ditafsiran berulang-ulang sesuai kebutuhan umat Israel menurut zamannya, kemudian dirumuskan dalam beragam PERATURAN, ATURAN, PERINTAH dan KEPUTUSAN PELAKSANAAN-nya. Inilah yang dimaksudkan Tuhan Yesus dengan kata ADAT-ISTIADAT NENEK MOYANG DAN PERINTAH MANUSIA (“Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata : "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita ? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan." Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu ?” – Mat. 15:2-3; Mrk. 7:3,6, 8-9, 13; bd. lihat penggunaan kata tersebut dalam Kis. 6:14; 15:4; 26:3; 28:17; Gal. 1:14) Bahagian inilah yang dikembangkan oleh pengajar Agama Israel sampai masa kerja Tuhan Yesus Kristus. Jadi, kita perlu melakukan interpretasi untuk menemukan pengetahuan tentang MANAKAH KEHENDAK ALLAH dan MANAKAH ATURAN MANUSIA YANG DIRUMUSKAN MENURUT FIRMAN ALLAH.
Vino               :   “… tetapi bukankah semuanya itu tertulis di dalam Alkitab ?”
Pendeta       :   “Benar, tidak salah ! Justru itulah yang ingin saya anjurkan, agar saudara-saudara rajin dan tekun meneliti dan mengkaji setiap ayat dalam Alkitab, sehingga memperoleh pengetahuan yang benar untuk membedakan, manakah kehendak Allah dan manakah adat istiadat Israel yang dijadikan perintah Allah. Saya lanjutkan….

                              CINTA KASIH : HUKUM MORAL dan HUKUM FORMAL. Cinta-kasih yang dimaksudkan Tuhan Yesus itu dilakukan bukan saja untuk memenuhi kewajiban yang telah diatur menurut hukum formal, melainkan juga mewarnai tindakan etis-moral meskipun tidak tertulis dalam hukum formal. Inilah yang saya maksudkan KEARIFAN atau KEBIJAKAN yang lahir karena desakan konteks misional….”
Ambarita     :   “… lantas bagaimanakah kita dapat mengukur kebenaran dari sebuah kearifan atau kebijakan yang Pak Pendeta putuskan ?”
Pendeta       :   “Simaklah seluruh cerita di dalam Injil-Injil tentang bagaimana cara Tuhan Yesus membijaki sebuah keadaan darurat, sekalipun cara itu tidak tertulis dalam hukum formal (Taurat) ! Tuhan Yesus tidak mempedulikan apakah tindakanNya sesuai hukum formal. Menurut Tuhan Yesus, YANG TERUTAMA adalah BAGAIMANA MEM-PERLIHATKAN CINTA-KASIH ALLAH DALAM TINDAKAN PENYELAMATAN SIAPAPUN DAN APAPUN. Dan, oleh karena itu, HANYA ALLAH SAJA yang akan memberikan penilaian tentang apakah tindakan itu benar atau tidak benar. Jika tidak benar, maka pelakunya akan menghadapi sanksi sosial atau moral.  

                              HUKUM DAN KEBIJAKAN. Di sinilah letak perbedaan cara pandang kita terhadap masalah yang sedang dan akan dihadapi. Kita SELALU memakai hukum untuk mengukur benar – tidaknya sebuah tindakan, juga apakah layak melakukan tindakan melanggar hukum demi penyelamatan kehidupan. Acapkali CINTA-KASIH dan ANUGERAH KESELAMATAN Allah acapkali tidak dapat dinikmati manusia, karena kita bersikeras menegakkan hukum formal. Padahal kita lupa, bahwa hukum formal itu merupakan kebiasaan-kebiasaan/adat-istiadat yang tidak tertulis (termasuk kebijakan-kebijakan), yang kemudian dituliskan untuk tujuan menjamin keselamatan semua orang. Itu bukan berarti, kebijakan / kearifan telah hilang atau tidak boleh diadakan. Kebijakan / kearifan itu lahir karena suatu kondisi mendesak (mayor force) yang tidak bisa dihindari. Dalam kondisi seperti itu setiap presbiter dapat memutuskan tindakan penyelamatan, sesudah itu ia mempertanggungjawabkannya di dalam Sidang Para Presbiter.  
Markus         :   “Panjang sekali penjelasan Pak Pendeta !”
Pendeta       :   “Memang demikian, supaya membuka wawasan berpikir kalian, dan menjadi contoh tentang bagaimana membuat dan mempertanggungjawabkan sebuah kebijakan yang dikerjakan.”
Ambarita     :   “Bagaimana dengan kebijakan pelaksanaan sakramen perjamuan bagi orang mati yang dilaksanakan Pak Pendeta.”
Pendeta       :   “Ibu salah ! Saya tidak melaksanakan sakramen perjamuan kepada orang yang telah meninggal ! Keliru besar ! Ibu mengada-ada persoalan untuk membusukkan nama baik saya ! Betapa liciknya hati dan pikiran ibu ! Saya memutuskan kebijakan untuk melaksanakan pelayanan sakramen perjamuan kepada warga jemaat yang sedang menderita sakit ! Dan kebijakan serta tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kesaksian Alkitab serta peraturan Gereja !... Sebab sampai hari ini tidak ada sepatah katapun di dalam peraturan Gereja yang menjelaskan alasan tentang larangan melakukan pelayanan sakramen perjamuan kepada orang sakit, bukan ? Saya bertanya kepada ibu : DIMANAKAH IBU MEMBACA ATURAN GEREJA YANG MELARANG HAL TERSEBUT ?
Ambarita     :   “…. ?????” Wajah perempuan presbiter itu tersipu malu, karena tak bisa membantah serta menunjukkan peraturan yang ditanyai Pendeta.
Pendeta       :   “Saya berjanji di hadapan kalian, bahwa saya tidak menyetujui  akan peraturan Gereja yang menghambat CINTA-KASIH dan KARYA PENYELAMATAN Allah ke dalam kehidupan manusia, khususnya warga jemaat. Sama seperti Tuhan Yesus Kristus dan Dr. Marthin Luther menentang pemuka agama secara individual maupun kolektif, demikianpun saya akan berbuat hal sama bagi siapapun yang keliru memakai sistem Gereja, seperti yang dilakukan Tuhan kita dan para reformator.

                              KESALAH PAHAMAN TENTANG PELAYANAN SAKRAMEN PERJAMUAN KEPADA ORANG SAKIT. Tradisi Gereja tentang pelayanan sakramen perjamuan adalah sama seperti suruhan Tuhan Yesus untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah (Mat. 28:19-20; bd. I Kor. 11:26). Tujuan Allah membangun Gereja semata-mata untuk memberitakan anugerah keselamatan yang menjadi kabar baik yang dinanti-nantikan manusia. Pemberitaan (kesaksian-pelayanan) itu dapat dilakukan secara lisan / verbal  maupun dalam tindakan, tanda-tanda dan mujizat atau disebut : pemberitaan simbolik (bd. Mark. 16 : 17 - 18 “Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya : mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh”). Dengan demikian Gereja dan para pelayan disuruh oleh Tuhan Yesus (Mat. 16:15-16) untuk menyelamatkan manusia melalui pemberitaan firman maupun tanda-tanda (simbol). Sakramen Baptisan maupun Perjamuan merupakan bentuk pemberitaan simbolik.

                              Orang sakitpun berhak dan memiliki kesempatan untuk diselamatkan. Oleh karena itu, saya menegur dan menasihati Ibu Ambarita yang mengatakan bahwa saya melayani sakramen perjamuan kepada orang mati. Sama seperti perjamuan dilaksanakan Gereja bagi orang-orang sehat, demikianpun wajib dilayankan kepada orang-orang tidak sehat (sakit, gila, saraf, embisil, idiot, dan lain-lain sejenisnya) yang tidak bisa menghadiri ibadah di gedung Gereja. Masih ada pertanyaan ?” Pendeta dengan bersemangat berapologia.
Yohan           :   Kapankah waktu yang ditentukan untuk melaksanakan pelayanan sakramen perjamuan kepada orang-orang tidak sehat ?”
Pendeta       :   “Tuhan Yesus tidak menetapkan atau menentukan waktu pelaksanaan perjamuan; akan tetapi Jemaat Kristen Abad I yang menetapkannya, sehubungan Perayaan Paskah menurut ajaran kristen. Secara umum Gereja menetapkan waktu pelayanan sakramen perjamuan sebanyak 4 (empat) kali setahun. Pada saat bersamaan pula dilayankan sakramen perjamuan kepada orang-orang yang sakit di rumah-rumah. Perkunjungan pelayanan sakramen itu menunjukkan, bahwa Gereja mengikut – sertakan  semua warganya dalam perayaan akan anugerah keselamatan (PASKAH).

                              MENGAPA DILAYANKAN PELAYANAN SAKRAMEN BAGI ORANG SAKIT ? Pertanyaan ini harus dibersihkan dari pandangan, bahwa hal itu dilakukan untuk mempersiapkan si pasien untuk menghadapi kematian. Menurut Gereja, pandangan demikian bukan bersumber dari ajaran Gereja, tetapi berasal dunia budaya-agama-suku, semacam ritual menjelang kematian.  Pelayanan sakramen perjamuan kepada penderita sakit mengingatkan Gereja akan tugasnya untuk membawa berita keselamatan kepada siapapun dan dalam apapun keadaan orang tersebut. Waktu pelayanannya pun tidak ditentukan dan dibatasi 4 (empat) kali dalam setahun. Waktu pelaksanaannya disesuaikan pada kebutuhan manusia akan anugerah Allah yang menyematkan berdasarkan kesaksian Alkitab. Jadi dengan mempertimbangkan kebutuhan  si sakit akan penguatan imannya, maka pelaksanaan pelayanan sakramen perjamuan dilakukan.”

Pendeta berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, lalu bertanya : ”Apakah masih ada pertanyaan lain ?” Tidak seorangpun presbiter yang terlihat mengancungkan jari. Pertanda selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar