RANCANGAN
PEEMBERITAAN FIRMAN PADA KEBAKTIAN RUMAHTANGGA
HARI RABU, 27 SEPTEMBER 2011
KESALAHAN TINDAKAN POLITIS SALOMO
1 RAJA–RAJA 2 : 13 – 24
ditulis oleh
PENDETA ARIE A. R. IHALAUW
PENDAHULUAN
1. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KONSEPSI KERAJAAN ISRAEL DALAM KONTEKS SOSIO-POLITIK MASA PRA KERAJAAN SAMPAI KEPADA SAUL – DAUD – SALOMO.
1.A. Masa Pra – Kerajaan
Aa. Perjumpaan Iman Israel dan budaya-agama-suku-suku Kanaan. Israel adalah suku-suku semi-nomaden.
Ab. Tradisi kepemimpinan Israel, sebagai suku-suku semi-nomaden, selalu terkait pada keyakinan akan kepemimpinan Allah (belum muncul pemahaman tentang Teokrasi).
Ac. Israel merupakan KONFEDERASI / PERSEKUTUAN suku-suku yang didasarkan atas fakta bio-genetis (keturunan Yakub) dan maupun imaniah. Pembentukannya sangat prinsipil dan ketat. Seseorang dikatakan warga Israel, jika ia adalah keturunan langsung dari seorang ayah – bunda Israel. Tetapi juga seorang asing yang dengan sukarela menjadi percaya kepada Allah serta disunatkan dan menerima Hukum Taurat selaku Firman Allah. Jadi konfederasi / persekutuan umat Israel (Allah) bersifat terbuka, tidak tertutup.
Ad. Dikarenakan TRADISI KEAGAMAAN YANG DIWARISKAN SEJAK MASA ABRAHAM, maka seluruh umat Israel memahami dn mengakui, bahwa TUHAN (Kej. 12:8; 28:20; Kel. 3:14), Dialah Allah yang disembah Abraham, Ishak dan Yakub (Kel. 3:15) adalah PEMIMPIN umat-Nya.
Ae. Kepemimpinan yang dipegang oleh seorang “kepala suku” dan atau “kepala kaum/ puak / klan / marga” juga “kepala keluarga” merupakan manifestasi, dan sekaligus, merepresentasikan kepemimpinan Allah atas umat-Nya. Kepemimpinan itu disediakan dan dikaruniakan secara khusus kepada orang yang berkenan menurut pandangan-Nya.
Af. Tujuan pelaksanaan / penyelenggaraan kepemimpinan itu adalah untuk melayani Allah sambil melakukan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dalam kehidupan bersama-sesama, “agar semua kaum di muka bumi mendapat berkat” (Kej. 12:3).
1.B. Perkembangan Sistem dalam Masa Kerja Saul (akulturasi budaya Kanaan dan iman Israel)
Ba. Setelah Israel mengalahkan dan menduduki wilayah suku-suku Kanaan, muncul banyak masalah. Salah satu masalah menonjol adalah pengorganisasian fungsi – sistem terkait kepemimpinan umat. Kepemimpinan (Leadership) Israel pada masa pengembaraan tidak mengenal bentuk Kerajaan dan Raja. Sementara suku-suku yang telah lama menetap dalam wilayah Kanaan telah mempraktikkan sistem Kerajaan (monarkhi absulut) yang dipimpin oleh Raja dan keturunannya (dinasti).
Bb. Kepemimpinan Israel dilaksanakan oleh seorang Kepala / Ketua (Ibr. qoph; Arb. rosh) suku, berdasarkan pemilihan (tradisi Yithro, mertua Musa, imam di Midian. yang diikuti Musa -> bd. Kel. 18:13-27).
Bc. Dikarenakan perjumpaan Israel dengan budaya kepemimpinan suku-suku Kanaan, mereka mendesak Samuel untuk mengangkat RAJA (Ibr. melekh -> 1 Sam. psl. 8 – 10). Akan tetapi penulis Kitab Samuel tidak menggunakan istilah RAJA (melekh) melainkan KEPALA (koph). Perbedaan penggunaan istilah tersebut menunjukkan, bahwa sedang terjadi masalah dilematis dalam pengkontekstualisasian pemahaman iman Israel. Penggantian fungsi Allah sebagai PEMIMPIN (karena Dia yang menciptakan dan yang berhak memiliki) Israel mendapat tantangan keras dari kaum agama.
Tampaklah bagi kita, sekularisasi telah mempengaruhi pemahaman iman umat atas KEPEMIMPINAN TUHAN, Allah Israel (bd. 1 Sam. 8:20 -> “… kamipun akan sama seperti bangsa-bangsa lain”). Pergulatan itu menggema dalam tanggapan Samuel atas aksi suku-suku Israel yang disampaikan dalam pertemuan di Rama (1 Sam. 8 : 4 – 8 -> “perkataan itu mengesalkan hati Samuel” -> ay. 6). Mereka menolak keberatan Samuel, bersikeras untuk mengangkat seorang raja (1 Sam. 8:19).
Bd. TUHAN Allah, Pemilik dan Pemimpin Israel, memberikan persetujuan atas kemauan umat-Nya (1 Sam. 8:7-9, 22). Narasi ini mengantar saya membaca kekuatan Samuel untuk melakukan upaya re-interpretasi dan re-formulasi tradisi keagamaan untuk menjawab pergumulan umat dalam konteks misionalnya. Meskipun kelompok agama menolak usulan kelompok sekuler, namun saya memuji Samuel, karena ia telah melakukan hal-hal besar dalam perkembangan tradisi keagamaan umat Israel. Samuel mempertimbangkan tuntutan rakyat (kelompok sekuler) di bawah terang firman Allah untuk menjawab beberapa pertanyaan :
· Pertanyaan 1 : APAKAH PERUBAHAN ITU MENGAKHIRI KEPEMIMPINAN ALLAH ATAS UMAT-NYA ? Tidak ! Hal itu terbaca dalam ucapan ilahi kepada Samuel : “… bukan engkau yang mereka tolak, tetapi AKULAH YANG MEREKA TOLAK, supaya AKU JANGAN MENJADI RAJA atas mereka” (1 Sam. 8:7; bd. tradisi exodus -> 1 Sam. 10 : 17 - 20).
· Pertanyaan 2 : APAKAH PERSETUJUAN ALLAH MERUPAKAN SEBUAH BENTUK NYATA DARI SIKAP TOLERANSI-NYA ? TUHAN, Allah Israel, tidak bertoleransi atas permintaan umat-Nya. Jawaban Allah menunjuk pada cara-Nya mendidik dan membimbing (pengajaran dan penggembalaan) umat Israel. Allah menghormati permintaan, meskipun Ia hati-Nya dilukai. Ia menghargai kebebasan memilih sesuai suara-hati umat. Kemungkinan besar, Samuel berusaha mendamaikan kedua tradisi yang berbeda yang lahir dalam perjumpaan Israel dengan budaya Kanaan.
· Pertanyaan 3 : SIAPAKAH YANG MEMILIH RAJA ISRAEL : RAKYATKAH ATAU ALLAH ? Menurut pemahaman kelompok sekuler : RAKYAT, sedangkan kaum agama bersikeras menyatakan ALLAH yan memilih raja. Bagaimanakah sikap Samuel mendamaikan kedua pendapat ini ? Samuen bersikeras mempertahankan tradisi keagamaan Israel. Ia berkata dalam kalimat tanya : “Kamu lihatkah orang yang dipilih TUHAN itu ?” (1 Sam. 10:24). Frasa “orang yang dipilih TUHAN” mengandung pengertian, bahwa Samuel tetap memelihara tradisi keagamaan Israel, meskipun sedang berada dalam gejolak reformasi sistem kepemimpinan. Samuel mengalah terhadap tuntutan umat untuk mereformasi sistem organisasi, tetapi tidak meninggalkan prinsip-prinsip iman yang diwariskan leluhurnya : ALLAH ITU RAJA ISRAEL, SEBAB DIALAH PENCIPTA DAN PEMILIKNYA. Dalam hal inilah saya mengagumi sikap dan pandangan Samuel : ia mengalah, tetapi tetap mempertahankan iman dan membimbing umat untuk setia kepada Allah. Segala sesuatu bisa berubah, tetapi iman dan kesetiaan kepada Allah harus tetap dipetahankan.
PELAJARAN BAGI PARA TEOLOG YANG MEMIMPIN GEREJA. Pengalaman Samuel menunjuk pada kekuatan bathin (iman) kepada Allah di tengah-tengah perubahan zaman. Kadang-kadang perubahan dan perkembangan mendesak Gereja untuk melakukan reformasi atas fungsi-sistem organisasinya. Kita, para teolog, tidak dapat mengelak terhadap desakan umat. Akan tetapi, belajar dari pengalaman Samuel sebagai PENTERJEMAH KEHENDAK ALLAH, ia menafsirkan dan merumuskan ulang Firman-Nya ke dalam konteks misi yang sedang bergerak, supaya persekutuan umat terhindar dari malapetaka. Di sinilah tugas fungsional dari setiap TEOLOG Gereja, yakni : memberi makna teologis (pengenalan akan Allah) ke dalam reformasi yang dilakukan umat karena desakan konteks.
Catatan :
Untuk lebih memahami penjelasan saya, bacalah tradisi keagamaan yang terdapat dalam Sumber Y – E – P – D. Saudara dapat mencarinya dalam perpustakaan atau buku-buku teologi berbahasa Indonesia maupun bahasa asing, misalnya : George Fohrer, THE HISTORY OF ISRAALITE RELIGION, …., …., ….; Otto Eisfeldt, INTRODUCTION TO THE OLD TESTAMENT, …, …, …; G von Rad, THEOLOGY OF THE OLD TESTAMENT, Part I – II, …, …, … dan lain-lainnya.
1.C. Masa Kerja Daud dan Salomo
Setelah Daud menetap di Yerusalem dan membangun istana kerajaan, para teolog Israel mulai membangun teologi baru, yakni : TEOLOGI KEBANGSAAN (nasionalisme). Ada beberapa gagasan pokok yang mendukungnya, antara lain :
C.a. Pada awal penggantian kekuasaan (suksesi) dari Saul ke Daud terdapat dua pandangan yang kontradiksi. Suku-suku di Israel-Utara mnghendaki Dinasti Saul (ataupun mungkin juga telah muncul gagasan tentang Monarkhi Rakyat -> raja yang berkuasa dipilih oleh rakyatnya ? ---> kita perlu mengkajinya agar dapat mendukung gagasan teologi Gereja terkait Pemilihan MS). Sementara itu, suku-suku di Selatan (wilayah Yehuda) mengakui Daud selaku Raja (bd. 2 Sam. 2:1-7). Namun dikarenakan berbagai masalah pertahanan-keamanan (politik), akhirnya suku-suku di Israel-Utara menyetujui dan mengakui kepemimpinan Daud (2 Sam. 5 : 1 – 5 -> simaklah pengakuan suku-suku Israel : “Telah lama, ketika Saul memeritah atas kamu, engkaulah yang memimpin segala gerakan orang Israel. Dan TUHAN telah berfirman kepadamu: Engkaulah yang harus menggembalakan umat-Ku Israel, dan engkaulah yang menjadi raja atas Israel.” -> ay. 2).
Kita mendapat kesan yang terkandung dalam ayat 2, bahwa pertama-tama Daud menjadi raja atas perintah TUHAN (aspek legalisasi), barulah kemudian secara politis dilegitimasi oleh para tua-tua Israel (ay. 3 -> “Maka datanglah semua tua-tua Israel menghadap raja di Hebron, lalu raja Daud mengadakan perjanjian dengan mereka di Hebron di hadapan TUHAN; kemudian mereka mengurapi Daud menjadi raja atas Israel”). Dari kesaksian di atas, kita mengerti konsep berpikir Israel mengenai jabatan Raja. Ia merepresentasikan pemerintahan Allah (bd. Maz. 2:7) di tengah-tengah umat, sekaligus, secara politis ia adalah Penguasa / Pemimpin Kerajaan Israel. Di dalam dan melalui dia (Raja Daud) Allah menjalankan rencana-Nya atas umat dan bangsa-bangsa (bd. Kej. 12:3 -> janji Allah kepada Abraham dipenuni, yaitu: “supaya semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat”, dimulai dari Israel sampai kepada semua manusia di dalam bangsa-bangsa).
C.b. Pengakuan iman Israel : “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa !” (Ul. 6:5). Konfederasi / persekutuan Israel yang terdiri dari suku-suku keturunan Yakub hanya diikatkan oleh keyakinan iman kepada TUHAN Allah. Dan, siapapun yang berkeinginan untuk menjadi warga Israel (naturalisasi) wajib mengakui TUHAN selaku Allahnya serta melaksanakan perintah-Nya (Hukum Taurat dan Sunat).
C.c. Wawasan kebangsaan itu juga dibangun atas pengkajian teologi tentang “tempat yang dipilih TUHAN untuk berdiam bersama umat-Nya” serta “raja yang dipilih TUHAN”.
b.1. Tempat yang dipilih TUHAN, menurut teolog pada masa Daud – Salomo adalah BUKIT ZION DI YERUSALEM. Ke sanalah seluruh suku-suku Israel wajib pergi untuk beribadah kepada-Nya. Zion di Yerusalem menjadi qiblat ibadah Israel. Melalui pernyataan ini, para teolog masa Daud – Salomo, melegalisasikan dan melegitimasikan KERAJAAN ISRAEL RAYA serta meniadakan (menegasikan) fungsi tempat-tempat ibadah di seluruh wilayah dari suku-suku Israel, seperti : Silo, Sichem, Gilgal, Beth-El, dan lain-lain sejenisnya.
b.2. Raja yang dipilih TUHAN, menurut teolog nasinalisme, adalah DAUD dan keturunanya (bd. gagasan teologi yang melatar belakangi Maz. 2).
Gagasan teologi ini, sesungguhnya, merupakan upaya untuk menyatukan seluruh suku-suku Israel dalam satu wilayah geo-politis, yang merefleksikan pemahaman umat Israel tentang wilayah KERAJAAN ALLAH dan PENGUASANYA secara politis.
2. PEMAHAMAN ATAS PERIKOP BACAAN 1 RAJA–RAJA 2 : 13 – 24
2.1. ALLAH ADALAH RAJA ISRAEL. Penjelasan di atas bertujuan, agar kita mengetahui dan mengerti sejarah pertumbuhan dan perkembangan KONFEDERASI / PERSEKUTUAN suku-suku Israel sejak keluar dari Mesir sampai ke masa kerajaan. Satu prinsip bagi semua : ALLAH ADALAH RAJA ISRAEL. Israel adalah umat yang diciptakan-Nya. Israel dalah umat pilihan-Nya. Dialah yang memilik, mengangkat dan mengurapi seseorang menjadi Raja, agar orang tersebut menjalankan semua perintah dan rencana-Nya. Inilah konsep mengenai jabatan raja di Israel. Pemahaman seperti itu dipegang oleh seluruh warga Israel.
2.2. ALLAH DAN RAKYAT MENOLAK RAJA. Bertolak dari tradisi keagamaan itu Israel menolak Saul dan seluruh keturunannya, karena tidak “menjalankan semua perintah rencana-Nya.” Hal ini sama persis dengan penolakan umat terhadap anak-anak Samuel (1 Sam. 8:5 -> “Engkau telah tua, dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau, …”). Bukan saja Allah menolak Saul dan keturunannya, tetapi juga orang-orang yang setia kepada-Nya berbuat yang sama.
2.3. FRIKSI DALAM KELUARGA DAUD. Sumber persoalan yang melatarbelakangi suksesi raja, dikarenakan sang raja memiliki banyak isteri. Masing-masing anak laki-laki dari tiap isteri ingin menjadi raja Israel. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan (termasuk tindakan Absalom, sedangkan keinginan Adonia dihalangi oleh Bath-Sheba, ibu Salomo). Jadi kita juga mesti menerima kenyataan, bahwa permaisuri raja ikut mempengaruhi kepemimpinan kerajaan. Salomo bisa menduduki tahta Daud, karena Bath-Sheba menagih janji suaminya (1 Rj. 1:17-21) dan ditunjang oleh para pendukungnya (1 Rj. 1:22-27).
2.4. TINDAKAN POLITIK YANG BERBASIS TEOLOGIS. Tindakan Salomo mengamankan kekuasaannya dengan membunuh Adonia (1 Rj. 2:24-25) merupakan keputusan politik. Namun penulis Kitab Raja – Raja membenarkan itu dengan memakai alasan teologis : “… DEMI TUHAN YANG HIDUP…” (ay. 24). Pada saat itu, alasan tersebut dapat dibenarkan demi terjaminnya keamanan dalam negeri. Akan tetapi perlu dipertanyakan : APAKAH PERGANTIAN PENGUASA DENGAN MELAKUKAN PEMBUNUHAN TERHADAP LAWAN POLITIKNYA DIBENARKAN OLEH ALLAH ? BUKANKAH ALLAH MENGHENDAKI DAMAI SEJAHTERA, DAN IA MELARANG PEMBUNUHAN TERHADAP SESAMA MANUSIA (Kel. 20:13) ?
Kita perlu mengkritisi tradisi ini, dengan tujuan : agar kita tidak membenarkan proses alih kekuasaan yang dilakukan dengan cara-cara tidak berperi kemanusiaan. Juga menentang setiap kebijakan politik siapapun yang akan berkuasa untuk menegakkan kekuasaannya dengan memakai cara-cara yang melangga Hukum Allah dan Hukum Negara.
3. PENUTUP
Uraian di atas hanyalah rancangan yang bertujuan membantu para pelayan firman untuk memberitakan kebenaran Allah dalam konteks kehidupan sosial sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar