Arie – 02/V-2011/Kematian - Kehidupan.-
AKU MENCARI PIKIRAN ALLAH
SEMUA ORANG MENGALAMI
KEADAAN YANG SAMA
disusun oleh
PDT. ARIE A. R. IHALAUW
AMSAL IX : 1 – 10
1. Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan, semua ini telah kuperiksa, yakni bahwa orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah; manusia tidak mengetahui apapun yang dihadapinya.
2. Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah.
3. Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati.
4. Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati.
5. Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap.
6. Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari.
7. Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu.
8. Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu.
9. Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.
10 Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.
PENGANTAR
Samakah nasib (keadaan) semua ciptaan Allah ? Semua orang akan menjawab : “Tidak sama. Nasib hewan tidak sama dengan manusia. Nasib orang yang berbuat benar tidak sama dengan orang yang tidak melakukan kebenaran.” Jawaban itu tidak salah, tetapi juga tidak benar. Jika pertanyaannya dilanjutkan : “Samakah nasib (keadaan) akhir yang akan dialami semua ciptaan ?” So pasti, sama ! Baik hewan dan tetumbuhan maupun manusia pasti mati. Tidak ada satupun makhluk ciptaan yang bertahan hidup. Inilah sifat alamiah dari seluruh ciptaan Allah. Marilah kita menelusuri buah pikiran penulis Pengkhotbah.
A. NASIB ORANG SAMA
Pengkhotbah mengarahkan perhatian kepada cara berpikir tiap orang dalam masyarakat. Acapkali pembahasan tentang kata nasib dihubungkan dengan status sosial, karena segala usaha yang telah dikerjakannya. Ada orang yang menjadi kayak arena hasil rampasan (korupsi), dan ada orang yang menjadi miskin karena kebangkrutan. Ada orang telah berusaha melakukan pekerjaan sesuai firman Allah, namun ia tidak pernah mengalami kelimpahan. Ada orang yang percaya kepada Allah, namun ia menjadi kaya karena perbuatan yang tidak jujur. Ada orang yang tekun berdoa dan rajin melakukan perintah Allah, tetapi keadaan hidupnya menderita. Ada orang yang jarang berdoa, malahan cara hidupnya tidak mengikuti kehendak Allah, tetapi usahanya selalu berhasil; dan lain-lain sebagainya. Apakah TUHAN bersikap adil dan benar melihat nasib yang dialami manusia ?
Pengkhotbah tidak bertujuan menggunakan nasib manusia berhubungan dengan keberhasilan atau kegagalan, kekayaan atau kemiskinan dan sebagainya. Ia hendak menjelaskan nasib manusia tertuju pada kematian. Katanya : “Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. … dan kemudian mereka menuju alam orang mati” (9:3). Orang kaya atau orang miskin, orang berpangkat atau orang rendahan, tuan atau hamba, anak-anak atau orang tua akan menuju alam orang mati. Segala sesuatu yang dimiliki manusia tidak pernah dapat menghalanginya memasuki dunia orang mati. Meskipun banyak orang mengeluarkan sejumlah besar uang untuk memperoleh kesembuhan, akhirnya ia akan mati. Malahan dokter yang mengobati manusia ataupun hewan akan mati juga. Semua yang hidup (bernyawa) di bawah matahari akan mengalami kematian. Itulah nasib makhluk hidup. Itulah keadaan akhir yang, seharusnya, akan dimasuki manusia.
B. SIKAP HATI MANUSIA
Pengkhotbah sengaja menyindir cara berpikir manusia. Hati dan pikiran manusia selalu dipengaruhi oleh keadaan. Acapkali manusia berpikir sehat dan berperilaku baik. Akan tetapi ketika situasi-kondisi (keadaan) berubah, maka tindakannya pun berubah. Katakanlah sebuah contoh yang dituliskan Pengkhotbah : “Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah” (9:2). Jika seorang berdosa atau fasik menjadi kaya, mengapa harus cemburu ? Mengapa orang benar dan orang-orang yang rajin beribadah harus iri hati ? Kekayaan yang dimiliki orang berdosa / fasik akan berakhir bersamaan dengan kematiannya, demikian juga kesalehan orang beragama. Mengapa orang beragama melelahkan hati dan pikirannya oleh karena kecemburuan dan kebencian ? Sia-sia belaka ! Kehidupan ini tidak ditentukan oleh banyaknya harta kekayaan yang dimiliki, malahan kemiskinan pun tidak dapat mengubahnya. Hidup ini jauh lebih penting dari pada gelar, kedudukan dan harta kekayaan yang dimiliki. Mengapa orang beragama membuat hidupnya di atas bumi menjadi singkat hanya karena perasaan iri hati yang menimbulkan kebencian ? Sia-sia belaka !
C. HIDUP AKAN SELALU INDAH, JIKA MENIKMATINYA BERSAMA ALLAH
Pengkhotbah menuliskan bahwa segala sesuatu “…ada di tangan Allah; manusia tidak mengetahui apapun yang dihadapinya” (9:1; bd. Yes. 45:6b-7 -> “Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain, yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini”). Hidup manusia bersumber dari Allah (Kej. 2:7 -> “TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”; bd. Maz. 36:10 -> “Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang”; Yoh. 6:35 -> “Kata Yesus kepada mereka: "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi”). Betapapun manusia berhasil dalam segala yang dikerjakannya, namun tidak sempat menikmati hasilnya, apakah arti hidupnya ? Segala sesuatu adalah sia-sia belaka (Pengk. 1:2-3 -> “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari ?”). Acap kali manusia melupakan hal ini : kenikmatan hidup ini dapat dinikmati, jikalau selalu berada dalam persekutuan dengan Allah.
Pengkhotbah mengingatkan semua orang tentang hal ini : “Nikmatilah hidup… yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari” (9:9). Menurut Pengkhotbah, hidup itu adalah karunia Allah, pemberian Allah. Oleh karena itu, siapapun dapat menikmatinya, jikalau ia berada dalam persekutuan yang baik benar bersama Allah. Malahan semua hasil usaha yang mendukung kehidupanpun adalah berkat Allah. TUHAN Allah sajalah yang memberkati usaha manusia (Kej. 12:3 -> “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau…”; Am. 1022 -> “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya”). Dia pula yang membuat siapapun berhasil dalam segala usaha (2 Taw. 26 : 5 -> “Dan selama ia mencari TUHAN, Allah membuat segala usahanya berhasil”). Jadi jika manusia ingin berhasil dan menikmati hasil pekerjaan, ia patut bekerja bersama Allah.
“Nasib”, menurut Pengkhotbah, hanyalah keadaan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalani ciptaan Allah. Tulisnya “Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama…, dan kemudian mereka menuju alam orang mati… Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa.” (9:3, 5). Sesungguhnya, tiap orang yang masih tinggal di atas bumi mengetahui apa yang ditakuti, yakni : masuk ke dalam dunia orang mati. Masuk ke dalam kesepian yang tidak pernah berujung dan berakhir. Terputus hubungan dengan orang yang mencintai. Tidak ada lagi bayangan / ingatan akan mereka yang telah mati. Bahkan lama- kelamaan mereka akan dilupakan. Hal ini menghantui pikiran semua orang. Bagaimana seharusnya manusia menghadapi dan memasuki kematian ?
D. ETIKA MENURUT PENGKHOTBAH
Pengkhotbah mengingatkan siapapun, bahwa hidup dan kehidupan akan berakhir dalam kematian. Setiap orang pasti mengetahui hal ini. Sebab itu, manusia patut menjalani jalan hidupnya secara arif (bijak, hikmat).
D.1. Tidak perlu membenci (9:1) dan jangan melakukan kejahatan (9:3), sebab sikap itu lahir dari kebebalan hati (9:3). Tidak perlu cemburu akan keberhasilan sesama (9:6). Masing-masing orang akan memikul akibat dari setiap perbuatannya.
D.2. Nikmatilah hasil jerih lelah dengan hati yang senang (9:7) bersama keluarga. Segala sesuatu yang dikerjakan, kerjakanlah dengan sekuat tenaga dan dengan penuh pertimbangan, pengetahuan dan hikmat (9:10). Orang berpengetahuan dan berhikmat mempunyai banyak pertimbangan, ketika akan melakukan sebuah pekerjaan. Ia juga tidak cemburu melihat keberhasilan orang lain. Ia tahu persis, bahwa membenci orang yang berhasil (meskipun dengan cara yang tak benar) akan merugikan diri sendiri.
D.3. Segala perbuatan manusia lahir dari hati dan pikirannya. Buanglah jauh-jauh perasaan cemburu : “Susah melihat orang senang atau senang melihat orang susah”. Perasaan ini akan menimbulkan kebencian, dan kebencian membuahkan dendam. Apabila dendam sudah matang, maka akan lahir kejahatan. Ujung-ujungnya si pelaku kejahatan akan ditimpa kesengsaraan. Apakah arti hidupmu, jika sebelum masuk ke dalam dunia orang mati, engkau sudah mengalami kesengsaraan ? Biarlah orang berdosa memikul tanggungannya sendiri, dan biarlah orang yang melakukan kebenaran hidup dari kebenarannya. Kebenaran itu akan membahagiakan tiap pelakunya. Dan, kebenaran itu akan menemani siapapun sampai ia turun ke dalam dunia orang mati.
D.4. Belajarlah menerima kemampuan diri sebagaimana adanya. Tiap orang memiliki cita-cita tentang masa depannya. Orang berpengetahuan dan berhikmat akan pandai membertimbangkan manakah yang buruk dan manakah yang baik, apakah yang menguntungkan dan yang merugikan dalam pekerjaan. Dengan demikian setiap pekerjaan yang dikerjakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hati nurani dan akalbudi yang baik akan membuahkan keberhasilan. Orang seperti ini tidak mempersoalkan jumlah keberhasilan dari pekerjaannya, tetapi ia berjuang untuk memperoleh kualitas pekerjaan meskipun sedikit jumlahnya. Ia mampu menerima hasil yang dicapainya. Dan, hati serta pikirannya pasti puas, tenang dan berbahagia.
D.4. Nikmatilah hidup ini apa adanya sesuai kehendak TUHAN. Kegagalan hanya dimiliki oleh orang-orang yang bercita-cita tinggi, tanpa mau mengakui kemampuan diri. TUHAN memberikan berbagai kasih-karunia kepada tiap orang. Tidak ada seorangpun di atas bumi yang utuh sempurna. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan, kelemahan dan kekuatan. Ini juga kehendak Allah, supaya manusia mengakui bahwa Dialah satu-satunya maha sempurna. Dan, bahwa hidup manusia terletak dalam tangan-Nya (9:1). Jika saja tiap orang menyadari akan hal itu, ia akan terhindar dari kegagalan.
KESIMPULAN
Hidup dan kehidupan ini bukanlah sesuatu yang sulit, tetapi juga tidak mudah. Tingkat kemudahan dan kesulitan hidup amat tergantung dari hati nurani yang berhikmat dan akalbudi yang berpengetahuan. Jika seseorang memiliki hikmat dan pengetahuan, ia akan membuat pertimbangan sebelum menjalankan pekerjaan yang direncanakan. Dan, hikmat serta pengetahuan itu bersumber dalam diri TUHAN Allah. Oleh karena itu, carilah Dia selama Ia berkenan (Yes. 55:8). Carilah TUHAN, sebab setiap orang yang menemukan Allah, ia pasti menerima berkat-Nya.
Medan – Sumatera Utara
Rabn, 04 Mei 2011
PDT. ARIE A R IHALAUW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar