RANCANGAN PENGAJARAN
HARI MINGGU – 17 JULI 2011
KETEGANGAN ANTARA
HAK AZASI MANUSIA DAN HUKUM
MENURUT PANDANGAN YESUS
DALAM MATIUS 15 : 1 – 9
PENGANTAR
MEMAHAMI MASALAH SOSIAL
DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
Kadang-kadang ayat-ayat Alkitab dikutip untuk membenarkan kerangka pemikiran kita. Padahal ayat-ayat tersebut belum tentu bertindih tepat atas maksud dan tujuan yang kita uraikan. Cara seperti ini disebut “eisegese” (penaksiran). Sebaliknya, ayat-ayat itu selayaknya diperlakukan secara wajar. Ia perlu diberikan kesempatan untuk mengungkap pola pemikiran orang yang menyampaikan gagasan dan penulis yang mencatatnya sesuai kurun waktu dan situasi konteks sosial budayanya. Cara seperti ini disebut “exegese” (pentafsiran).
Baik exegese maupun eisegese selalu dipakai siapapun, ketika “membaca-kembali” tradisi-tradisi leluhur. Simaklah hal ini : UUD 1945 dan PANCASILA merupakan tradisi sejarah hukum di Indonesia. Meskipun waktu pencetusan PANCASILA lebih awal, namun status hukumnya baru ditetapkan bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Keduanya dikembangkan menjadi landasan ideologis dan landasan konstitusi (hukum) Bangsa dan Negara Indonesia. Sebagai landasan Negara keduanya dirumuskan menjadi klausul-klausul hukum : ketetapan, undang-undang, peraturan, keputusan, instruksi / perintah dalam Negara. Pentafsiran kedua landasan tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat serta pakar hukum yang merumuskannya. Oleh karena itu, bisa terjadi penyimpangan terhadap roh / jiwa yang terkandung di dalamnya.
Kasus Sosial I – Amandemen UUD ‘45
Amandemen UUD ’45 yang dilakukn di awal reformasi sosial pada penghujung dekade 1990-an terkait hakekat Negara dalam UUD 1945 PASAL 1 tentang bentuk Negara Indonesia adalah “Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Istilah kesatuan diamandemen terkait dengan sentralisasi <-> desentralisasi kekuatan kekuasaan. Kesatuan bisa berarti sebuah bentuk konfederasi / persekutuan / uni dari negara-negara bagian, propinsi-propinsi (banding GOTTWALD dalam bukunya THE TRIBE OF ISRAEL). Konfederasi itu bisa diadakan berdasarkan ikatan perjanjian bersama rakyat (kontrak sosial) yang berbeda latarbelakang : suku-suku di Indonesia, keadaan geo-politik, agama, budaya dan sebagainya. Inilah makna awal dari semangat pembangunan nasional pada waktu UUD 1945 ditetapkan sebagai Landasan Konstitusional Bangsa dan Negara Indonesia. Ada beberapa alasan yang tersurat maupun tersirat yang bermain dilatarbelakang amandemen UUD 1945 :
1. Menjelang berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru (OR-BA) di bawah kepemimpinan H. M. Soeharto, terjadi gerakan sosial yang menghendaki reformasi. Keadaan itu didorong oleh keinginan untuk mensejahterakan rakyat negeri ini, sebagaimana yang terkandung dalam MUKADIMAH UUD 1945 pada Alinea Ke – 4.
2. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berlangsung selama 20 tahun terakhir sepanjang 30 tahun pemerintahan OR-BA. KKN itu telah menghancurkan cita-cita mensejahterakan bangsa baik di bidang hukum maupun ekonomi.
3. Gerakan rakyat yang menghendaki perubahan sistem sentralisasi ke arah desentralisasi pengelolaan kekuasaan rakyat, juga ekonomi.
4. Di samping itu masih terdapat keinginan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, seperti yang pernah terjadi pada Persidangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terkait klausul 1 PANCASILA : KETUHANAN YANG MAHAESA. Meskipun masalah ini akhirnya dapat diatasi; akan tetapi pengaruhnya masih terasa sampai saat ini.
Kasus Sosial II – Kebebasan Beragama (UUD ’45 Psl. 29)
Klausul-klausul hukum yang terkandung dalam UUD 1945 Psl. 29, sesungguhnya merupakan implementasi dari butir 1 Pancasila : Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan demikian Negara menjamin pembangunan di bidang keagamaan, di mana setiap orang memperoleh kebebasan untuk menjalankan syariah / hukum agamanya, termasuk berpindah agama. Baik ulama Islam maupun Kristen dan agama-agama lainnya yang bertumbuh di Indonesia mengembangkan pentafsiran yang berbeda berdasarkan keinginan politiknya. Memang benar, maksud dan tujuan mereka adalah membangun kekuatan sosial yang mendukung pembangunan nasional. Akan tetapi upaya tersebut bertolak dari kepentingan yang berbeda (kepentingan agama).
Penganut Agama Islam melihatnya sebagai ancaman terhadap eksistensinya. Penganut agama-agama lain (termasuk Agama Kristen) melihat keputusan dan tindakan penyelenggara Negara berpihak kepada mayoritas. Hal itu dapat dibuktikan dengan munculnya kelompok ekstrim yang merusakan dan atau tidak mengijinkan pembangunan fasilitas ibadah dari kelompok minoritas. Terciptalah ketegangan sosial (social tension) yang mengancam kesatuan bangsa. Keadaan tersebut telah mendorong pengadaan keputusan pemerintah tentang pembangunan sarana / fasilitas ibadah (Simaklah seluruh Peraturan Pemerintah baik sebelum maupun sesudah Kementrian Agama dipimpin oleh Menteri Agama Alhamsyah sekitar tahun 70-an).
Masalah utama bukan pembongkaran / pelarangan pembangunan fasilitas ibadah, tetapi kebebasan beragama. Esensi / hakekat masalahnya adalah sesuai UUD 1945 penyelenggara Negara berkewajiban memelihara dan menjamin hak-hak azasi manusia di bidang keagamaan dalam semua kasus, seperti : kebebasan berpindah agama / keyakinan, kebebasan menjalankan agama sesuai ajarannya, kebebasan mendirikan / membangun fasilitas ibadah, dan sebagainya. Kasus-kasus yang muncul karena salah tafsir terhadap UUD 1945 Psl. 29 telah mendorong tindakan anarkhis kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama untuk merusakan / menghancurkan fasilitas ibadah (Mesjid) dari Aliran Islam – Ahmadiyah, pembongkaran paksa terhadap sejumlah Gereja, pelarangan pembangunan Patung Budha, dan insiden kecil lainnya. Usul dan saran saya : sebaiknya perlu dipercakapkan secara intensif Hak Azasi Manusia di bidang keagamaan. Hal ini perlu didukung oleh UU Pemerintah tentang semua aktifitas keagamaan yang dilakukan oleh seluruh agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Sementara pengadaan fasilitas ibadah, sesungguhnya, adalah bahagian yang pasti dapat diadakan setelah Hak Azasi Manusia di bidang keagamaan, yakni : KEBEBASAN BERAGAMA dijamin dalam UU Pemerintah.
Kedua contoh kasus di atas dipakai untuk menyoroti kesalahpahaman yang berkembang karena salah tafsir yang dibuat oleh pihak-pihak terkait berdasarkan kepentingan politik kelompoknya.
NASKAH
MATIUS 15 : 1 – 9
1. Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata :
2. Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita ? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.
3. Tetapi jawab Yesus kepada mereka : "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu ?
4. Sebab Allah berfirman : Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi : Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.
5. Tetapi kamu berkata : Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah,
6. orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.
7. Hai orang-orang munafik ! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu:
8. Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.
9. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." (bd. Yes. 29:13)
Sebuah Refleksi
KETEGANGAN ANTARA
HAK AZASI MANUSIA DAN HUKUM
MENURUT PANDANGAN YESUS
DALAM MATIUS 15 : 1 – 9
PENDAHULUAN
Ketegangan di dalam Negara Indonesia seperti yang diuraikan pada pengantar artikel ini tidak jauh berbeda dengan peristiwa sosial pada masa kerja Yesus Kristus. Inti persoalan terletak pada pentafsiran atas klausul hukum : antara Hak Azasi Manusia dan Hukum. Apapun alasannya, pentafsiran klausul hukum dipengaruhi juga oleh motivasi dan kepentingan pribadi maupun kelompok sejalan dengan perkembangan sosial.
Israel adalah Agama Hukum. Seluruh fungsi-sistem dan aktifitas keagamaan dan masyarakat di atur sesuai Torah (Kel. 20; Ul. 5) dan aturan-aturan yang diturunkan berdasarkan Torah (hatorah wehamishphatim), yang menurut keyakinan umat Israel : berasal dari Allah. Tradisi hukum itu diturunkan melalui pengajaran (bd. Ul. 6:6-9) alim – ulama Agama Israel. So pasti, ia (tradisi hukum Torah) mengalami penyesuaian (perubahan) dikarenakan fenomena sosial (akulturasi budaya), seperti tampak pada Hukum Perkawinan (Hukum Kekudusan -> Im. Psl. 18–20; Kawin Campur –> Ezr. 10 : 1–44; Perceraian –> Mal. 2 : 10 – 16) yang kemudian ditafsirkan oleh Yesus Kristus (Mat.19:1–12), kemudian dikembangkan oleh Rasul Paulus (Perkawinan -> 1 Kor. 7 : 1 – 9; Perkawinan Campuran -> 2 Kor. 6 : 13 – 18; Perceraian -> 1 Kor. 7 : 10 – 16). Reformasi hukum agama itu telah menimbulkan gesekan luas di kalangan elit agama sampai ke masyarakat. Sekali lagi, keadaan itu dikarenakan reinterpretasi dan reformulasi yang dibuat oleh reformatornya : Yesus Kristus dan Rasul Paulus.
Narasi yang ditulis oleh Matius (15 : 1 – 20; bd. Mrk. 7 : 1 – 23) merupakan salah satu contoh tentang reinterpretasi dan reformulasi Hukum Torah yang dibuat oleh Yesus Kristus. Sesungguhnya, jika menyimak secara seksama narasi ini, kita akan menemukan inti persoalan, yakni : di dalam Jemaat Kristen Antiokhia-Siria sedang timbuh perselisihan paham antara orang Kristen keturunan Israel dan orang Kristen non-Israel tentang status dan pelaksanaan Torah dan Sunat di dalam jemaat. Orang Kristen keturunan Israel berpendapat, semua warga Kristen non-Israel wajib menjalankan Torah dan Sunat. Sementara warga Kristen non-Israel berpendapat, Torah dan Sunat tidak wajib dilaksanakan, sebab Yesus Kristus telah menggenapinya.
Dengan menggunakan tradisi di sekitar ucapan Yesus, Matius bermaksud menyelesaikan persoalan ini. Kepada Jemaat Kristen keturunan non-Israel, Matius menyatakan bahwa kehadiran Yesus Kristus bertujuan menggenapi seluruh Hukum Torah :
"Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 5:17-19)
Kepada Jemaat Kristen keturunan Israel, Matius menguraikan :
Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka ? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya. Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya." (Mat. 9:15 – 16)
Menurut Matius, Yesus Kristus tidak berpihak kepada salah satu di antara mereka. Yesus Kristus berada di atas perselisihan Jemaat Kristen di Antiokhia-Siria. Dia tidak menyetujui pendapat anggota Jemaat non-Israel tentang Torah dan Sunat, tetapi juga mengajak anggota Jemaat keturunan Israel untuk mengerti, bahwa Allah mengutus-Nya untuk menggenapi seluruh janji dalam Perjanjian Lama yang dinubuatkan para nabi dan yang tertulis dalam Kitab-Kitab Musa. Dan, di dalam kehadiran-Nya Allah bertindak mengerjakan “sesuatu yang baru” yang dinantikan Israel (Yes. 65:17 -> “Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati”; 66:22-23 -> “Sebab sama seperti langit yang baru dan bumi yang baru yang akan Kujadikan itu, tinggal tetap di hadapan-Ku, demikianlah firman TUHAN, demikianlah keturunanmu dan namamu akan tinggal tetap. Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh umat manusia akan datang untuk sujud menyembah di hadapan-Ku, firman TUHAN”; bd. Why. 21:5 -> “Ia yang duduk di atas takhta itu berkata : "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru !" Dan firman-Nya: "Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar”).
Melalui cara ini Matius mengecam kedua pihak yang berselisih paham dengan memakai ucapan Yesus Kristus :
Maka Aku berkata kepadamu : Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Mat. 5 : 20).
Kalimat AKU BERKATA KEPADAMU ditujukan kepada seluruh anggota Jemaat Kristen di Antiokhia – Siria (akhiran Kata Ganti Orang II Jamak dipakai untuk menunjuk “persekutuan orang-orang percaya”), di mana Yesus Kristus menjalankan pemerintahan-Nya.
Menurur Matius, Yesus Kristus membenahi kembali (reformasi) kehidupan keagamaan manusia. Yesus Kristus menekankan hal-hal etis-moral (etiket, etika) yang selama ini disimpangkan / diselewengkan para ahli Taurat dan Farisi melalui pentafsiran atas tradisi Torah. Itulah sebabnya Dia menyuarakan kembali pemahaman dan pengakuan Iman Israel (“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa ! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” dan sikap etis kepada sesama manusia -> “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN” -> Ul. 6 : 4 – 5; Im. 19:18; bd. Mat. 22:37-40). Menurut Matius, pemahaman dan pengakuan iman Israel itulah inti ajaran Yesus Kristus, yakni : KASIHILAH ALLAH dan KASIHILAH SESAMAMU. Demi tujuan Allah inilah Yesus Kristus telah datang ke dalam dunia. Ia menderita kesengsaraan dan mati disalibkan untuk membuktikan kasih Allah kepada manusia. Dan, oleh karena itu, setiap anggota Jemaat Kristen (baik keturunan Israel maupun non-Israel) wajib saling mengasihi.
Kebiasaan (adat – istiadat) masyarakat bukanlah Perintah Allah (Hukum Taurat).
Inilah inti Hukum Taurat : “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN” (Ul. 6 : 4 – 5; Im. 19:18; bd. Mat. 22:37-40). Sementara, menurut Yesus Kristus “tidak membasuh tangan sebelum makan” adalah adat istiadat nenek moyang. (Mat. 15 : 2 – 3). Artinya : Yesus Kristus menyoroti sebuah pergeseran yang dilakukan terhadap prinsip keagamaan, di mana adat-istiadat diberlakukan sama dengan perintah Allah. Dan menurut Yesus Kristus, perubahan yang dibuat itu tidak benar, walaupun kebiasaan (adat-istiadat) itupun bertujuan baik untuk memelihara kesehatan (menbasuh tangan sebelum makan). Hal itu jauh tidak penting dibandingkan keselamatan manusia. Bukankah orang yang tidak membasuh tangannya dapat memakai alat lain untuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya ? Mengapa demi membasuh tangan (adat istiadat) saja, orang melanggar prinsip kehidupan ?
APLIKASI
Adat-istiadat itu menjawab masalah yang bersifat kasual dan bukan prinsipal.
Masalah inilah yang belum dituntaskan dalam Tata Gereja GPIB. Gereja dan Pejabatnya belum mampu menguraikan dan membedakan manakah hal-hal yang prinsipal dan kasual. Katakanlah beberapa contoh yang perlu direnungkan, yakni :
1. MUTASI : panggilan dan pengutusan
Prinsip. Mutasi patut dipahami dari rencana dan tujuan yang ditetapkan Allah sejak penciptaan manusia. Dia menciptakan (memanggil dan mengutus) supaya manusia mengusahakan dan memelihara (to cultivate and to conserve -> Kej. 2:15). Pengusahaan dan pemeliharaan ciptaan {disebut juga pengelolaan / penatalayanan (management / stewardship)} terkait kekuasaan dan kekuatan (mandat -> Kej. 1:28) yang diberikan oleh Allah. Kekuasaan (Yun. exsousia) dan kekuatan (Yun. dunamos) perlu diberdayakan seoptimal mungkin, agar meningkatkan kesejahteraan (keselamatan, keadilan Allah) manusia dan ciptaan lainnya. Inilah tujuan Allah yang bersifat universal.
Kasual. Mutasi memperhadapkan orang pada 2 (dua) pilihan : kepentingan dan kebutuhan pribadi serta kehendak Allah yang bersifat universal. Secara pribadi tiap orang pasti mempertimbangkan kondisi yang akan dialami (kebutuhan lahir-bathin, ekonomi serta psikologi) ketika mutasi dijalankan. Pertimbangan-pertimbangan itu akan mempengaruhi orang untuk mengambil keputusan : “ya” atau “tidak”. Pada saat itulah, setiap orang berhadapan dengan kehendak Allah yang mutlak dipatuhi : “pergi” atau “tidak pergi”. Kondisi ini memaksana tiap orang mengambil keputusan iman (juga etis) dengan menomorsatukan tujuan yang ditetapkan Allah, seperti yang dilakukan Abraham (Kej. 12:3b -> “… olehmu semua kaum di muka bumi memperoleh berkat”). Narasi tradisi Abraham mengungkapkan kepatuhan mutlak kepada Allah yang memanggil dan mengutusnya. Ia meninggalkan adat-istiadat, negeri, sanak keluarga yang dicintai demi memenuhi keinginan TUHANnya. Ia taat menjalankan segala sesuatu yang prinsipal, tanpa terpengaruh oleh kondisi kasual. Dalam hal inilah Abraham menjadi teladan bagi orang beriman (kristen).
Lihat dan simaklah juga biograpi Tuhan kita : Yesus Kristus. Bagaimana Ia meninggalkan kenikmatan sorgawi untuk menjadi hamba (Plp. 2:5-8) yang berkorban (Yoh. 15:12-14) demi menggenapi (memenuhi) kehendak Bapa-Nya. Kenikmatan (kepentingan dan kebutuhan) pribadi ditinggalkan-Nya demi kepentingan yang lebih luas (universal). Kedua contoh ini patut diteladani semua orang beriman (kristen) yang bekerja sebagai pejabat Gereja maupun abdi Negara. Dalam hal inilah setiap Pejabat Gereja akan menjadi teladan bagi warga jemaat.
2. KESELAMATAN : kesejahteraan manusia
Tujuan Allah memanggil dan mengutur orang beriman (kristen) adalah membawa keselamatan ke dalam kehidupan seluruh ciptaan. Salah satunya adalah keadilan Allah, yakni : ketetapan dan keputusan yang menjamin siapapun untuk tetap hidup. Keadilan Allahpun dapat dirumuskan dalam nilai ekonomis : kesejahteraan sosial.
APLIKASI
Kebiasaan (adat-istiadat) yang berlaku umum memperlihatkan, bahwa setiap orang yang menduduki singgasana akan menggunakan kesempatan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan pribadi, keluarga dan kelompok pendukungnya. Inilah sikap politis praktis dalam kehidupan politik (simaklah Sinetron yang disiarkan TV Indosiar : DONG YI, The Jewel in the Crown yang ditayangkan pukul 12.00 – 13.00 setiap Senin – Jumat).
TUHAN, Allah kita, menghendaki orang beriman (pemimpin kristen) memberdayakan kekuasaan untuk membangun kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keinginan-Nya itu bertentangan dengan kebiasaan umum (adat-istiadat) leluhur manusia. Dan, hal inilah yang layak dilaksanakan.
3. PERATURAN dan KEMANUSIAAN
Acapkali kita dibingungkan dengan pertanyaan : bagaimanakah kita membaca kehendak Allah melalui sebuah keputusan organisasi ? (bd. Mat. 15:16) Kebingungan itu disebabkan kita kurang mampu membedakan manakah kepentingan organisasi dan manakah kepentingan pribadi. Lebih membingungkan lagi, jika kita bertanya : apakah benar keputusan pemimpin organisasi sama dengan kehendak Allah ? Kita tidak akan dapat memahaminya secara baik dan benar, jika kita tidak melaksanakan keputusan tersebut.
Peraturan dibuat untuk manusia. Maksudnya, untuk menata tertibkan hubungan antar manusia dalam segala bidang kehidupan. Akan tetapi peraturan yang telah ditetapkan bukanlah harga mati yang tak dapat ditawar. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil perlu mempertimbangkan kesejahteraan manusia dan seluruh ciptaan-Nya (konteks). Di sinilah panggilan dan pengutusan memiliki nilai kemanusiaan. Berbahagialah orang yang melakukan dengan tulus hatinya dan bertolak dari kasih Allah. Yesus mengkritisi pelaksanaan Hukum Taurat, karena tidak bernafaskan hikmat Allah.
Dalam kasus Matius 15 : 1 – 20 (perikop bacaan 15 : 1 – 9) Yesus ingin mengingatkan ahli Taurat dan orang Parisi, bahwa peraturan-peraturan yang disusunnya bersifat terbatas. Terbatas karena konteks sosial-budayanya. Dan, peraturan-peraturan yang ditetapkan tidak bersifat tertutup tetapi dinamis. Kedinamisannya tergantung pada alasan-alasan kemanusiaan sesuai kehendak Allah. Di sinilah muncul kondisi kekecualian. Jika peraturan-peraturan itu tidak lagi membawa keselamatan ke dalam kehidupan manusia, mengapakah ia harus dipertahankan ? Jika peraturan-peraturan itu tidak membawa kehidupan manusia kea rah yang lebih baik, mengapa ia tidak dibijaki ?
Pilihan dilematis ! Artinya : kebijakan-kebijakan pun dibuat karena alasan konteks dan bersifat temporal untuk mengatasi sebuah kasus. Tidak dapat digeneralisasikan. Sebab jika kebijakan itu diulangi terus menerus tanpa batasan, maka akan timbul kekacauan dalam persekutuan. Sebaliknya, jika dalam penyelesaian sebuah masalah yang dilaksanakan berdasarkan peraturan, namun akhirnya tidak menemukan jalan keluar, maka pemimpin perlu membijaki secara arif. Hal itulah yang akan meloloskan siapapun (termasuk persekutuan) dari bencana. Dan, hal itu hanya mampu dilakukan, jika seorang pemimpin umat bergaul akrab dengan Allah. TUHAN, Allah kita, akan menuntun hati nurani dan akalbudiuntuk mengerti kehendak-Nya, sehingga ia dapat memutuskan apa yang benar dalam pandangan Allah dan apa yang baik bagi keselamatan manusia. Mintalah Rohkristus, agar Ia menuntun kita untuk mengetahui dan mengertikehendak Allah, sebelum kita mengambil kekeputusan berdasarkan peraturan dan menetapkan kebijakan yang tidak diatur dalam ketetapan resmi.
4. ETIKA SITUASI
Kadang-kadang para ahli Taurat dan orang Parisi tidak mengerti cara berpikir Yesus. Matius 15 : 1 – 20 (lihat juga kasus dalam Mat. 12 : 1 – 8; Mrk. 2 : 12 – 28; Luk. 6 : 1 – 5; Mat. 12 : 9 – 15a; Mrk. 3 : 1 – 6; Luk. 6 : 6 – 11, dan lain-lain yang sama dengan ini) memperlihatkan sikap penolakan para ahli Taurat dan orang Parisi. Penolakan mereka didasarkan atas tuntutan Allah dalam Torah-Nya (“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat; … hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan” -> Kel. 20: 8, 10; bd. Ul. 5 : 12, 14). Secara teologis sikap penolakan itu tidak salah, sebab mereka berpegang pada perintah Allah. Mengapa para penulis Injil-Injil Sinoptis mnimbulkan kesan seakan-akan para ahli Taurat dan orang Parisi melakukan kesalahan ?
Paradigma baru menciptakan pendekatan baru.
Saya mengulangi yang telah diuraikan di atas (PENDAHULUAN – alinea 2 dstnya), konteks persekutuan Jemaat-Jemaat Abad I. Penulisan narasi terkait berhubungan erat dengan perselisihan Jemaat mengenai status fungsional dan pelaksanaan Hukum Taurat dalam karya penyelamatan Allah yang digenapi oleh Yesus Kristus. Apakah Hukum Taurat menjadi JALAN KESELAMATAN ataukah IMAN kepada Anugerah Allah (save by grace atau save by faith -> Teologi Paulus) yang dikaryakan oleh Yesus Kristus ?
Yesus Kristus tidak bermaksud melakukan reformasi atas ajaran leluhurnya. Berbeda dengan yang dibuat Rasul Paulus. Sebagai seorang anggota umat Allah, Yesus mengajak umat Israel untuk meneliti kembali kebenaran Allah yang dituliskan dalam Perjanjian Lama. Kebenaran Allah itu adalah KASIHILAH ALLAH (Ul. 6:5; bd. Mat. 22:37) dan KASIHILAH SESAMAMU (Im. 19:18; bd. Mat. 22 : 39). Sikap dan ucapan Yesus itu bersifat etis-moral, sedangkan pandangan orang Parisi dan ahli Taurat bersifat legalistic-formal, an sich. Bagi ulama Israel, perihal mengasihi bertujuan untuk merealisasikan Hukum Taurat. Jika seseorang melakukan “dengan segenap kekuatan” (Ul. 6:5), maka akan menerima pahala ilahi (keselamatan) baik di bumi maupun di sorga. Keselamatan di bumi itu ditentukan oleh Mahkamah Agama (Sanhedrin), sebab jika seseorang tidak patuh memberlakukannya, maka ia akan terhindar dari hukuman.
Berbeda dengan pandangan itu, Yesus memakai tradisi hukum untuk memperbaiki kondisi etis moral umat. Bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena motivasi dan kesadaran yang lahir dari hatinurani dan akalbudi. Karena itu, Yesus mengutip nubuat nabi Yesaya (29:13) :
Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,…
Dengan mengutip nubuat Yesaya, Yesus bertujuan menggugah kesadaran para pendengarnya, bahwa tindakan legalistic-formal itu tidak bernilai apapun di hadapan Allah, jika tidak lahir dari hati (internal-life : nurani, akalbudi, empatik, emosional, dan lain-lain sejenisnya. Dalam 15 : 10 – 20 penulis Matius menjelaskan pandangan Yesus mengenai hati). Yesus sengaja menghubungkan ibadah kepada Allah dengan kasus “membasuh tangan sebelum makan”. Manakah yang terpenting : beribadah kepada Allah atau membasuh tangan sebelum makan ? Allah menghendaki belas kasihan : “Jika memang kamu mengerti maksud firman ini : Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah” (Mat. 12:7). Oleh karena ibadah itu ditujukan demi keselamatan manusia, kata-Nya : “Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba ? Karena itu boleh berbuat baik pada hari Sabat” (Mat. 12:12). Dengan demikian orang Israel patut mengetahui dan mengerti, bahwa ibadah yang dilakukan bukan untuk membela Allah, tetapi untuk membela keselamatan manusia (bd. Mikh. 8:6; Amos 5:14-15, 21-24).
KASIH tidak meluntur dimakan waktu, dan melampaui setiap situasi sosial.
Hikmat-Nya menakjubkan semua pendengar. Menentang sikap legalistic-formal ulama, Yesus mengajak umat Israel kembali memberlakukan KASIH ALLAH. Israel wajib belajar dari sejarahnya. Mereka dahulu adalah pengembara dan orang asing seperti leluhurnya (Tradisi Abraham -> Kej. 15:13-14; Tradisi Exodus -> Ul. 26:5-10). Ketika Israel ditindas oleh penguasa Mesir, TUHAN, Allah leluhurnya, membebaskan mereka (bd. Kel. 2:3) oleh kekuatan tangan-Nya. Seluruh karya pembebasan/penyela-matan itu dikarenakan kasih-Nya. Itulah sebabnya penulis Kitab-Kitab Musa (Im. 19:17-18) menuliskan :
Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.
Dengan demikian Israel wajib mengasihi sesama, sama seperti Allah telah mengasihi dan membebaskan mereka dari penindasan di Mesir.
Lalu, apakah keputusan dan tindakan etis Yesus ditentukan oleh situasi yang sedang dihadapi-Nya ? Sekali-kali tidak ! Keputusan dan tindakan etis itu lahir dari hati yang mengasihi Allah serta sesama. Jadi sama seperti oleh kasih-Nya Yesus membijaki keputusan dan tindakan etisnya, maka orang beriman (kristen dan Gereja) juga patut melakukannya, bukan untuk memenuhi tuntutan hukum, melainkan untuk membuktikan sikap hati yang mengasihi Allah dan sesama. Dalam hal inilah saya mengutip ucapan Rasul Paulus :
Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah ? (Roma 2 : 1 – 3)
dan lagi
Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi ! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung ! (Roma 14:13)
Semua itu dilakukan karena KASIH.
SELAMAT MENYUSUN PENGAJARAN
MEDAN – SUMATERA UTARA,
Hari Rabu, 13 Juli 2011
PDT. ARIE A. R IHALAUW
-----oooo000oooo-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar