Rabu, 20 Januari 2016

CINTA DI PENGHUJUNG SENJA DI TARAKAN karya Arie A. R. Ihalauw

CATATAN HARIANKU NOKE IHALAUW
Mengawali Tahun 1987


CINTA DI UJUNG SENJA

Perpisahan dari GPIB Jemaat IMMANUEL Tarakan diadakan pada Ibadah Minggu Pagi. Beberapa rekan jemaat tetanggapun  menghadiri ibadah perpisahan. Keharuan mewarnai jalannya acara. Setelah ramah tamah usai, warga dan presbiter mengantar saya ke pelabuhan Tarakan. Kapal hampir berangkat. Peluit pertama sudah berbunyi. Masih saja orang-orang itu merangkul dan memelukku sambil menangis. Mereka menaiki tangga kapal, sambil memikul koper pakaian beserta beberapa potong hadiah.

Di sampingku berdiri gadis cintaku. Kami saling bergenggaman ... erat mesra. Masih kuiingat tatapan matanya, sedang senyum kecil menghiasi bibir yang tipis.., merah indah. Beberapa ibu sengaja bertanya : “Kapan balik ke Tarakan lagi, Arie ?” Au hanya tersenyum, sambil menatap dalam – dalam wajah gadis Kawanua yang berdiri kaku di samipingku. Matanya memerah... ! Linangan air semakin memenuhi pelupuknya, ..... tetesan hangat mengalir membasahi dadaku. Aku memeluk tubuhnya erat. Ia tenggelam dalam dekapanku. Perlahan kuangkat wajahnya. Kami berdua saling bertatapan. Kurasakan getaran tubuhnya.... Sementara aku tak menghiraukan mata orang yang menatap tersenyum. Kucium bibirnya..., semakin lama semakin hangat. Rasanya waktu berjalan terlalu cepat, sedangkan kerinduan menekan dalam sedalam lautan cinta yang kami selami dua tahun lamanya.

Peluit kedua berbunyi.... para pengantar mulai meninggalkan dek kelas satu ...., tapi gadis cintaku masih ada di kama, berdiri berdekapan. Kami berduaan saja. Sementara ponakannya bermain bersama Joan, ditemani ibunya : Roos Peea.

Bung,... kapan kita akan berjumpa ? Gimana hubungan ini ke depan ?” bisik gadis-cintaku... lembut..., menusuk relung hatiku. Kutatap bola matanya dalam dalam. Kami saling bertatapan. Kurasakan hangatnya napas gadis cintaku. Ia bersandar di dadaku tepat di bawah leherku. Aku mengecup bibirnya. Ia tak menolak berbagi cinta bersama, tanpa menghiraukan bebeapa penumpang melihat dari jendela kamar. Rasanya tak ingin berpisah.

Peluit tiga berbunyi panjang. Dai ruang nakhoda diumumkan, kapal akan segera beranngkat. Gdis cintaku melepaskan rangkulannya. Aku hanya bisa menarik napas panjang. Berpikir sesaat “Jawaban apa yang harus kuucapkan ?” Bibirku terkatup rapat.  Bukan karena aku tak dapat bicara, tetapi aku takut berjanji. Aku enggan menyakiti hatinya. Aku menyadari diriku yang suka bergonta-ganti pacar. Sambil menggandeng lengannya kuantarkan ia bersamma rombongan samai ke dekat tangga. Sebelum menurunii tangga, kukatakan : “Kita serahkan saja pada Tuhan, biarlah Dia yang mengatur semuanya. Jika Tuhan berkenan, so pasti, Dia akan mempertemukan kita.’Kan jodoh di tangan Tuhan....” Persis di depan tangga, di samping polisi yang sedang berjaga, kucium bibirnya lembut.... setengah berbisik aku katakan : “Nona, ... rindukan aku setiap malam.... Aku akan selalu mengenang momen-momen indah saat kita masi bersama. .... Nona, aku selalu merindukan dirimu.” Itulah ciuman terakhir. Ciuman perpisahan. Gadis cintaku menuruni tangga. Bersama selruh teman, mereka berdiri di dermaga, sambil melambaikan tangan sampai bayangan kapal menghilang di balik tanjung.

Langit kemerah-merahan. Mentari mulai tenggelam. Pemandangan alam nan indah saat terakhir meninggalkan Pulau Tarakan. Aku duduk di cafe pada buritan kapal. Dari buritan kutatap bayangan Pulau Tarakan yang makin mengeci.... tak terasa butiran air yang lama ada di mataku berguguran. Aku masih dibuai kenangan indah bersama orang-orang yang mencintai dan yang kucintai. Mereka selalu mendukung pekerjaanku, bercanda bersamma. Acapkali aku berkunjung ke rumah Pak Tony Pangemanan, au kami bermain poker dan kanasta, sambil menunggu isterinya menyediakan makan siang. Lain waktu aku duduk  di bawah pohon mangga, di halaman Oom Bate sambil mendengar suara anjing ditoki (digebuk kepalanya) Bung Jhoni Assa untuk  dijadikan er-we. Sementara hari minggu berikutnya, aku makan siang di Markoni, di rumah Johanes Sikombong, ayahnya Ivan Dinamika Sikombong. Kuingat perjalanan bersama Kel. Lopulalan menuju Pantai Kamal. Di sana kami menikmati ubi ubian dan ikan bakar. Sungguh, pengalaman yang sulit kulupakan sepanjang pelayanan sejak 1984 – 1987, ketika aku mengantikan Pdt. Naiola yang mutasi ke Bogor.


Tak disadari, malam telah turun. Di kejauhan tampak beberapa lampu perahu nelayan yang sedang melaut. Semilir angin malam terasa dingin,... sedingin hatiku nan sepi. Tiba-tiba terdengar pengumuman mengingatkan penumpang kelas satu dan dua untuk makan malam. Cepat-cepat aku berkemas lalu menuuju ruang makan.

Untuk Gadis Yang Pernah Hadir Mengisi Hatiku

 Bogor, Rabu - Medio Januari 2016

Hormatku untukmu

Arie A. R. Ihalauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar