Kamis, 31 Januari 2013

Renungan Hari ini - Jumat - 01 Pebruari 2013




SELALU ADA HARAPAN
YEREMIA 29 : 11

Arie A. R. Ihalauw

Siapapun yang bernafas dan sedang berjalan di bumi pasti mempunyai harapan. Sebesar apapun kesulitan yang sedang digeluti, tetapi tanpa harapan, orang akan masuk ke dalam lembah kesia-siaan. Memang benar, kadang-kadang beratnya pergumulan banyak orang telah melupakan, malahan timbul keraguan akan harapan yang dikejarnya.

Bagaimanakah umat Allah memahami harapannya ? Sering kita terpikat bujukan dunia, kemudian mengikutinya tanpa memikirkan risiko yang akan dihadapi, akhirnya kita mengalami penderitaan, lalu harapan menjadi sirna. Kita diselimuti kecemasan dan ketakutan akan masa depan. Kita merasa kehidupan yang dijalani sia-sia. Tak jarang pula perasaan itu mendorong orang berbuat jahat; tetapi tidak sedikit yang mengambil jalan pintas : bunuh diri. Mengapa kita menjadi cemas menjalani waktu hidup ini ? Mengapa sukacita tidak lagi ada di hati, ketika masalah melanda ?

Orang yang percaya kepada Allah dalam nama Yesus Kristus adalah anak-anakNya. Kita adalah anak-anak Allah. Dia telah mengikat kita oleh perjanjian kasih karunia yang dibuatNya oleh karya Kristus, Tuhan dan Juruselamat. Kita telah dibaptis dalam kesusahan yang Kristus jalani. Melalui karyaNya Allah telah memberikan makanan dan minuman sejati. Itulah makna perjamuan. Lantas, apakah masih ada alasan untuk merasa cemas dan takut ?  

Mengapa kita kuatir akan masa depan ? Ingatlah !, masa depan bukan ciptaan manusia. Hari esok itu milik Allah. Dialah Penciptanya. Melalui kebangkitan Kristus Tuhan telah mengalahkan kecemasan dan ketakutan kita. Ia membuka masa depan baru. Ia memberikan harapan baru bagi siapapun yang setia mengasihi dan taat menjalankan sabdaNya. Memang benar, sepanjang perjalanan di bumi, kita masih akan mengalami berbagai kesulitan; akan tetapi keadaan itu tidak lagi menakutkan hati. “Karena untuk siapapun yang hidup oleh iman kepada Allah di dalam nama Kristus Yesus,” ada harapan di balik derita. Dengarlah dan kerjakanlah hidupmu menurut rencana Allah, maka Dia akan membuat segala pekerjaanmu berhasil !

Medan – 01 Pebruari 2013

Salam Dalam Kristus

PEMBERITAAN FIRMAN dalam Kebaktian Keluarga - Rabu, 06 Pebruary 2013



“MEMPERTEMUKAN
YESUS KEPADA SESAMA
YOHANES 1 : 43 - 51

by
Arie A. R. Ihalauw

A.  Pendahuluan

Sudah biasa umat Kristen beranggapan, bahwa Injil – Injil bercerita tentang karya Allah yang dijalankan oleh Yesus Kristus. Itu benar, tidak salah sedikitpun. Akan tetapi muncul kekeliruan, jika mereka berpendapat bahwa Injil yang tertulis itu diturunkan dari langit (pandangan teologi fundamentalis). Secara hurufiah Injil artinya “kabar berita sukacita” yang disampaikan Allah melalui utusanNya. Pengertian itu bisa membuahkan pandangan, bahwa Injil itu berasal dari Allah. Benar. Dialah Yesus Kristus, yang bekerja di dalam dunia dan di tengah himpunan manusia.

Sementara Kitab-Kitab Injil (Markus, Matius, Lukas dan Yohanes) bukan dituliskan dan bukan diturunkan dari sorga. Kitab-Kitab Injil merupakan kumpulan cerita (narasi) yang dituliskan oleh para penulis pada kurun waktu tertentu dalam kondisi masyarakat tertentu pula. Dengan demikian, kita mengetahui dan, sekaligus, memisahkan makna kata Injil yang adalah Kristus Yesus, dari Kitab Injil yang adalah tradisi sastera kristen yang berisikan kumpulan cerita tentang Yesus Kristus : hidup dan karyaNya.

Pembedaan tersebut bertujuan membuka pemahaman baru, bahwa setiap penulis Kitab Injil memiliki keunikan teologi sendiri. Oleh karena itu, barangsiapa yang berkeinginan untuk memberitakannya, seharusnya, mengenal gaya penulisan dan keunikan konsep teologi masing-masing penulis. Marilah kita menelusuri gagasan teologi Rasul Yohanes melalui perikop bacaan di bawah ini.

B.  PERIKOP INJIL YOHANES

Pada keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea. Ia bertemu Filipus, dan berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!"
Filipus itu berasal dari Betsaida, kota Andreas dan Petrus.
Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret."
Kata Natanael kepadanya: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret ?"
Kata Filipus kepadanya: "Mari dan lihatlah !" Yesus melihat Natanael datang kepadaNya, lalu berkata tentang dia: "Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!"
Kata Natanael kepada-Nya: "Bagaimana Engkau mengenal aku?" Jawab Yesus kepadanya: "Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara."
Kata Natanael kepadaNya: "Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!"
Yesus menjawab, kata-Nya: "Karena Aku berkata kepadamu: Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka engkau percaya? Engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar dari pada itu."
Lalu kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat - malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia."

C.   PENJELASAN

Yohanes mengisahkan percakapan orang-orang tentang perjumpaan mereka bersama Yesus, orang Nazareth, yang disebut Kristus. Setelah Yesus mengajak (memanggil) Andreas dan Petrus, Ia berjalan menyisir wilayah Galilea (ay. 43 -> tidak disebut nama kota / desanya) dan berjumpa Filipus, yang tinggal sekota : Bethsaida, berama Andreas dan Petrus (ay. 44). Penulis Yohanes kurang bercerita panjang lebar tentang isi percakapan dalam pertemuan Yesus dan Filipus. Ia  menekankan ucapan Yesus : “Ikutlah Aku !" (ay. 43), tanpa menjelaskan sikap Filipus. Akan tetapi ajakan Yesus amat mempengaruhi Filipus, sehingga ia menceritakan pengalaman pribadinya kepada Natanael, katanya : "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret" (ay. 45).

Bagi penulis Yohanes, kalimat "Kami telah menemukan Dia,...” memiliki makna mendalam. Rupanya, aktifitas Yesus telah tersebar di seluruh Galilea, sehingga menimbulkan rasa penasaran banyak orang ingin bertemu Dia. Banyak orang ingin mengenal Dia, ingin berjumpa langsung dengan Yesus. So pasti, Filipus juga ingin mengenalNya, karena itu ia mencariNya, dan akhirnya berjumpa Dia. Pengalaman interaksi itulah yang dikomunikasikan Filipus kepada Natanael. Namun Natanael kurang tertarik, katanya : Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth ?” (ay.46). Mengapa Natanael berpandangan seperti itu ? Karena Nazareth itu desa kecil, bukan kota besar di Israel. Mana mungkin dari desa kecil muncul seorang pemimpin besar ? Begitulah pikiran banyak orang pada waktu itu. Filipus tidak berhenti meyakinkan Natanael datang kepadaNya (ay.47). Keduanya menjumpai Yesus.

Ia berkata : “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya !” (ay. 47b). Yang dimaksudkan Yesus : Natanael adalah keturunan asli Israel yang masih berpikiran sama seperti kebanyakan orang pada zamannya. Apakah pikiran orang Israel pada waktu itu ? Tidak percaya ucapan siapapun sebelum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Natanael terkesima, karena mendengar ucapan Yesus. Di dalam hal itulah muncul kekagumannya pada Yesus, orang Nazaret. Simaklah katanya : “Bagaimanakah Engkau mengenal Aku ?” (ay. 48a). Bisa jadi, secara psikologis, ucapan Yesus telah menumbuhkan kekaguman dan kepercayaan Natanael akan diriNya.

Menjawab pertanyaan Natanael, Yesus berkata : “Aku sudah melihat engkau, sebelum Filipun memanggilmu...” (ay. 48b). Dalam kepercayaan orang Israel, jika seseorang sudah dapat melihat sesuatu keadaan yang akan terjadi” pada sesamanya, ia disebut pelihat. Si pelihat memiliki kekuatan ilahi yang dahsyat. Pengakuan akan hal itu menggema dalam ucapan Natanael : “Rabbi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja Orang Israel !” (ay. 49). Di sini penulis Yohanes menghubungkan Yesus pada nubuat Perjanjian Lama tentang kedatangan Mesiah, Raja Yang Diutus dan Diurapi Allah.

D.  POKOK TEOLOGI BAGI PEMBERITAAN FIRMAN

1. Gagasan-gagasan teologi itu selalu lahir karena adanya perjumpaan, entahkah perjumpaan dengan Allah, manusia juga lingkungan eko-sosialnya. Perjumpaan dengan Allah merupakan kesempatan anugerah. Setiap orang yang berjalan akan menemu-kan berbagai peristiwa baik buruk, susah senang, tawa tangis, gagal berhasil dan seba-gainya. Pada keadaan itu tiap orang menggumuli : mempertahankan dan memper-juangkan, kehidupan pribadi maupun keluarga. Hanya ada dua kemungkinan : gagal atau berhasil. Dan, manusia lebih suka jika berhasil, walaupun ia menyadari kekurangmam-puannya. Ketika ia gagal, muncullah ketegangan. Di saat seperti ini, manusia mengha-rapkan bantuan entahkan dari sahabat ataupun kekuatan ilahi. Sejauh manakah seorang sahabat akan mengorbankan milinya demi keselamatan temannya ? Kemungkinannya amat kecil. Lalu manusia berpaling pada kekuatan kuasa Allah. Inilah kesan yang membekas dalam nurani orang beriman sepanjang perjalanan hidup. Dan, oleh karena kesan itu, ia melukiskan karya pembebasan ilahi sebagai panggilan menuju hidup. Allah melihat semuanya sebelum terjadi, dan Dia tersenyum penuh kasih, jika kita mengerti akan maksud dari rencanaNya yang baik.

2. Mengkomunikasikan perjumpaan dengan Allah kepada sesama. Filipus yang berjumpa dengan Yesus tidak berhenti di tengah jalan. Ia pergi menceritakan perjumpaan itu kepada temannya. Natanael yang masih berpandangan tradisional, masih setengah meragukan, akhirnya meringankan langkah menemui Yesus. Dan, Yesus membebaskan-nya dari tradisi yang mematikan.

3.   Orang Kristen diajak Yesus menjadi komunikator Injil kepada sesama yang masih terikat tradisinya, akan menyulitkan sesamanya menemukan “jalan keselamatan”, yakni Yesus Kristus. Kita, orang Kristen, seharusnya, menjadi fasilitator (komunikator) yang menjembatani pertemuan Yesus dengan sesama dalam konteksnya.

SELAMAT MENYUSUN PEMBERITAAN FIRMAN

Medan – Sumatera Utara, Kamis – 31 Januari 2013

Salam Hormat

Penulis.

Senin, 28 Januari 2013

RENUNGAN PENGANTAR KERJA - 29 JANUARI 2013




PERGUMULAN HIDUP

 "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang."
KEJADIAN 32 : 28

Persoalan yang dihadapi Yakub bukanlah kehendak Allah. Hal ini perlu diperhatikan, agar kita tidak salah kaprah untuk mengatakan, bahwa Allah memiliki rencana yang indah di balik penipuan Yakub. Jika menyimak sikap Yakub merampas hak kesulungan Esau oleh bantuan Ribka, ibunya, maka pertama-tama kita harus katakan, bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Itu dosa. Dan, penipuan itu tidak dikehendaki Allah. Bukan dalam rencana Allah, sebab Dia tidak berkenan akan dosa.

Oleh karena perbuatannya Yakub telah merusakkan hubungan persaudaraan. Ia harus melarikan diri ke rumah pamannya, Laban, di Haran, agar tidak dibunuh oleh Esau. Sejak saat itu jalan hidup Yakub berubah. Yakub, seorang yang lemah, harus bekerja keras untuk memulihkan kehidupan pribadi, agar ia mencapai berkat yang diucapkan Ishak. Perlahan tapi pasti, pekerjaan Yakub berbuah baik. Meskipun ia menghadapi tipu muslihat pamannya --- seperti yang dilakukannya kepada Ishak ---, akhirnya Yakub menang. Begitu pula saat akan kembali ke Kanaan, Yakub merasa takut berhadapan dengan Esau; akan tetapi perasaan itu dikendalikan demi tujuan yang akan dicapai.  Dan ujung-ujungnya, sekali lagi, Yakub menang. Jadi, pertama-tama kita memahami, bahwa kemenangan itu dapat digenggam, oleh karena Yakub memulihkan rasa percaya diri, sebelum ia menggumuli (berjuang sambil bertahan) persoalan. Dan, pemahaman ini sangat manusiawi.

Setelah usai pergumulan (perjuangan) dan memperoleh kemenangan, barulah Yakub menceritakan pengalaman pribadi, bahwa kesuksesan yang diraihnya merupakan kasih karunia Allah. Mengapa ? Karena Yakub menyadari, tidak akan mungkin seseorang sanggup memenangkan pertempuran, jikalau tidak ada bantuan pihak lain. Dan, subjek pertama yang menolong dirinya adalah TUHAN, Allah yang disembah ayahnya. Menurut Yakub, hanya TUHAN sajalah yang mengarunakan kekuatan, sehingga ia sanggup menuntaskan masalahnya. Itulah kuat bagi Yakub untuk membangun ibadahnya kepada TUHAN, Allah Mahakuat yang disembah Ishak, ayahnya.

So pasti, kita juga memiliki segudang pengalaman sepanjang perjalanan bersama Tuhan Yesus. Kita tak mampu menyelesaikan masalah dengan kekuatan sendiri. Kita telah mencoba terus menerus dan selalu gagal. Ketika kita berseru memohonkan pertolongan Rohkristus, barulah kita diberikan kekuatan untuk berjuang (bergumul) sampai menang. Dalam hal inilah kita memuliakan Yesus Kristus, karena Dia telah menolong kita, sama seperti Allah menolong Yakub. 

Minggu, 27 Januari 2013

ANTARA TRADISI MARKUS DAN TRADISI MATIUS


MENAFSIR PESAN YESUS DALAM TRADISI MRKUS DAN MATIUS

PEMBELAJARAN KE - 4

PENYELAMATAN SELURUH MAKHLUK !

Tujuan Umum : Mengenal tradisi Kristen Abad I sekitar ucapan-ucapan Yesus dalam Injil - Injil Sinoptis (MARKUS, Matius dan Lukas).

Tujuan Khusus : 1. Mengetahui keunikan gagasan teologi yang dimiliki masing-masing penulis Injil Sinoptis; 2. Menghayati makna PESANYesus dalam pelaksanaan tugas kristen. 3. Mengamalkan PESAN-Nya dalalam konteks Masyarakat Indonesia yang sedang membangun.

A. APAKAH PESAN (amanat) YESUS TERDAPAT DI DALAM INJIL MATIUS SAJA ? 

Secara tradisional Orang Kristen berpendapat, bahwa amanat (pesan) Yesus dicatatan dalam Matius 28 : 19 - 20 : 

"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." Pendapat ini wajar saja. Tidak ada salahnya. Akan tetapi masih ada catatan-catatan terkait penulisannya. 
Dalam Injil Markus tertulis : “"Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum." (16:15-16). 

Menurut hasil penelitian dan pengkajian beberapa pakar teologi APB (Alkitab Perjanjian Baru). Injil Matius adalah KITAB KEDUA dari Injil-Injil Sinoptis (MARKUS, Matius dan Lukas). INJIL MARKUS adalah KITAB PERTAMA, dan ada kemungkinan ia (Markus dan atau Ur-Markus) menjadi salah satu sumber bagi Matius untuk menuliskan Injilnya.

Tidak demikian halnya. Injil Markus sebagai tradisi pertama dari Injil - Injil Sinoptispun menuliskan pesan Yesus : 

"Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum." (16:15-16). 

B. KOMPARASI GAGASAN MATIUS vs MARKUS

=>1. MATIUS DAN PEKABARAN INJIL

a. Secara literer Matius mencatat pesan Yesus kepada semua orang yang menyebut dirinya : KRISTEN. Perhatian utama penulis Matius ditujukan kepada "proses pembaharuan manusia ciptaan Allah." Manusialah tokoh utama. 

b. Proses itu terletak dalam kata : "menjadikan murid." Strateginya "mengajarkan." Sementara "membaptiskan" menjadi kata yang sarat maknanya sesuai doktrin tiap denominasi gerejawi (pantekostalism, katolicism, protestanism). Yang satu mentafsirkannya : "Baptis duluan baru masuk ke dalam pembelajaran." Yang lain : "Ajarkan duluan kemudian membaptis." Terserah doktrin masing-masing. 

Pokok utama dari PESAN itu : MENGAJARKAN untuk MENJADI MURID.

c. Di dalam kosa kata "kamu" (kt ganti orang II jamak) terkandung makna individual maupun kolektif. Artinya, PESAN itu ditujukan Yesus kepada orang-orang beriman secara individual maupun kolektif, persekutuan umat Allah (Gereja, Persekutuan Doa, dll).

d. Tujuan aktifitas pekabaran Injil adalah BANGSA-BANGSA di mana manusia berhimpun di dalamnya. Bisa juga suku-suku, kaum-kaum, keluarga-keluarga. 

=> 2. MARKUS DAN PEKABARAN INJIL

a). Menurut saya, Markus memiliki konsep mendasar tentang PEKABARAN INJIL yang dipesankan Yesus. Simaklah catatan Markus ini : "Pergilah ke SELURUH DUNIA, beritakanlah IINJIL kepada SEGALA MAKHLUK" (16:15). 

b). Makna yang terkandung dalam kosa kata berhuruf besar :

Pertama, DUNIA (Yun. kosmos)... Dunia menjadi "tempat" aktifitas pekabaran Injil. Dunia itu bisa sebuah konsep terkait (i) "bangsa-bangsa" di mana manusia berhimpun secara khusus, sebagaimana dituliskan Matius secara hurufiah, tetapi juga (ii) "alam semesta" di mana seluruh MAKHLUK ciptaan Allah tinggal di dalamnya. 

c). Kajilah kosa kata SELURUH MAKHLUK (Yun. pase te ktisei; Ing. all creatures) menjadi "objek" pembebasan / penyelmatan. Konsep Markus cukup luar artinya. SELURUH MAKHLUK itu adalah : lingkungan alam (ekologi / ekosistem) di mana seluruh ciptaan (Kej. 1:4-24) juga manusia (Kej. 1:26-28) menjalankan kehidupannya; makhluk bernyawa maupun tidak bernyawa, bergerak maupun tidak bergerak (mineral yang terkandung dalam tanah dan laut, serta makhluk dalam sistem tata surya). 

Jadi perpektif yang terkandung dalam PESAN menurut penulis Markus tidak dapat dibatasi pada MANUSIA semata, tetapi juga meluas sampai pada ekosistem (lingkungan hidupnya). 

C. KESINAMBUNGAN KONSEP. 

i). Kedua Injil ini menafsirkan ucapan Yesus menurut tujuan penulisnya. Dan keduanya menampikan kepada pembaca KEUNIKAN masing-masing gagasan teologi. Tidak terpisah, melainkan saling melengkapi. 

ii). Kedua konsep Pekabaran Injil ini saling mengait.... Markus sebagai Injil Pertama merumuskan "kerugma" (inti berita, pesan utama) PENUGASAN ALLAH KEPADA ORANG-ORANG BERIMAN UNTUK MEMULIHKAN KONDISI LINGKUNGAN ALAM (ekosistem), di mana SELURUH MAKHLUK berdiam. 

Sementara penulis Matius merumuskan TUGAS PEMBERDAYAAN (pendidikan, pengajaran pembinaan dan pelatihan) ATAS MANUSIA. Gereja sebagai persekutuan orang beriman ditugaskan untuk MENGISI KONSEP MANUSIA BARU yang telah diciptakan Allah SERUPA DAN SEGAMBAR DENGAN KRISTUS. Jika manusia-berdosa yang tercengkeram pemiskinan intelektual TERBEBASKAN dari kebodohan, maka ia akan mampu menjalankan fungsi dan perannya secara bertanggungjawab. 

iii). Kedua butir di atas hanya dapat dimengerti dalam kesatuan utuh dari PERENCANAAN KESELAMATAN (Rencana Induk Pekerjaan) ALLAH yang tampak di dalam KARYA-IBADAH-HIDUP Yesus, Orang Nazaret, yang disebut KRISTUS (Mesiah). Dan semuanya itu dikerjakan HANYA OLEH IMAN.

D. PANDANGAN PRIBADI...

1. Konsep Matius dan Markus tidak dapat dilepaskan dari tradisi APL (Alkitab Perjanjian Lama) tentang TUGAS MANUSIA DALAM ALAM SEMESTA CIPTAAN ALLAH, yakni : "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden UNTUK MENGUSAHAKAN (to cultivate) dan MEMELIHARA (to conserve) taman itu." (Kej. 2:15). 

2. Tugas luhur itu telah dinodai manusia, dikarenakan kepentingan pribadi, kelompok, suku dan bangsa (Inilah sumber dosa karena eksplorasi alam yang tak terkendalikan sampai sampai merusak ekosistem yang menyebabkan kehancuran umat manusia). 

3. Konsep pembebasan / penyelamatan itu bukan semata-mata ditujukan HANYA kepada MANUSIA tetapi SELURUH CIPTAAN ALLAH DALAM ALAM SEMESTA. Ke sanalah MANUSIA WAJIB MELAKSANAKAN TUGAS FUNGSIONAL sebagai PENGUSAHA YANG BEKERJA MEMENUHI KEBUTUHAN SAMBIL MELAKUKAN KONSEVASI ALAM. 

4. Pembebasan / penyelamatan tak boleh dimengerti secara partial, spesial saja, tetapi juga universal (holistik). Semuanya integral, utuh dan terpadu. KELIRU BESAR ! JIKALAU KITA MENGATAKAN, ALLAH BERMAKSUD MEMBEBASKAN MANUSIA SEMATA-MATA ! Itu salah satu sifat egoistik yang menyimpangkan rencana Allah yang benar. BERTOBATLAH dari pikiran yang berdosa !

5. Manusia yang diselamatkan / dibebaskan melalui pencerahan Allah yang dikerjakan Yesus Kristus, seharusnya, mengabdikan diri (berpartisipasi, berfungsi, berperan) dalam karya yang universal dimulai dari tingkat lokal. Jika orang kristen memahami akan prinsip kerja ini, maka ia dapat melakukan KONSERVASI ALAM (Green Toba) sebagai
KEBIJAKAN LOKAL yang menyatakan KABAR SUKACITA (Injil Kristus). Di dalam hal inilah, melalui pelaksanaan PESAN Yesus, seluruh makhluk dapat menikmati kembali SUASANA EDEN YANG HILANG serta berkata : SUNGGUH DAMAI SEJAHTERA ALLAH TELAH DIANUGERAHKAN DALAM KRISTUS YANG DIBERITAKAN MELALUI PEKERJAAN KRISTEN"


Medan - Senin, 28 Juli 2013

Salam dan Doaku,

Putra Sang Fajar.
  Doaku,

Putra Sang Fajar.

Sabtu, 26 Januari 2013

Teologi Sosial - KEKRISTENAN DAN KEBUDAYAAN bahagian Pertama




Bahagian 1

KRISTUS & BUDAYA

By
Putera Sang Fajar

PENDAHULUAN

Mengapa kita perlu membahas topik Kristus dan Budaya ? Hal itu dikarenakan situasi-kondisi globalisasi yang sedang melanda bangsa-bangsa dan umat manusia masa kini dan gelombangnya akan masih terus berlangsung sampai masa depan. Banyak orang kristen (bc, warga jemaat) mengalami kesulitan menjawab persoalan keseharian yang terkait Iman dan Budaya. Katakanlah, dapatkah Gereja menikahkan seorang kristen yang telah bercerai hidup ? So pasti, muncul ketegangan serius, karena pemerintah telah mengesahkan perkawinan itu bubar. Pada pihak lain, orang kristen mengutip perkataan Yesus : “Hanya maut yang memisahkan.” Akhirnya lahirlah kubu pro dan kontra terhadap fenomena pemberkatan nikah seseorang yang telah bercerai hidup.

Globalisasi merupakan salah satu fenomena sekularisme. Globalisasi merupakan arus budaya yang melanda seluruh aspek kehidupan masyarakat-bangsa, di dalamnya orang-orang kristen menjalankan ibadahnya kepada Allah dan sesama. Jika seseorang menolak / melawan arus globalisasi berdasarkan iman, ia akan diterjang sampai tak berkutik. Sementara jika mengikuti, ia akan dianggap kolot. Dengan demikian seorang kristen akan membuat pilihan. Dan, hal itu amat dilematis. Masyarakat saat ini sedang kebingungan, karena banyak khotbah yang meninabobokan, seakan-akan sudah berada dalam suasana sorgawi; tetapi secara nyata masih bergumul di dunia. Ada perang antara sekularisme dan agama.

Saya teringat akan salah seorang pakar teologi kristen : H. Richard Niebuhr. Ia menuliskan pandangannya dalam sebuah buku berjudul CHRIST AND CULTURE. Walaupun bukunya telah lama tak dibahas, namun pemikirannya masih aktual, terutama ketika kita membahas globalisasi dan iman kristen saat ini. Menurut penyimakan saya, H Richard Niebuhr mengemukakan pendekatan etis (paradigma) untuk mengatasi masalah : hubungan Kristus dan Budaya.  Hal itu masih relevan sampai sekarang.

A. Kristus bertentangan dengan kebudayaan
B. Kristus dalam Budaya
C. Kristus di atas Budaya
D. Kristus dan Budaya dalam paradoks
E. Kristus trasformator budaya

Ad.A.  KRISTUS BERTENTANGAN DENGAN BUDAYA

Pandangan ini cukup dipegang sebagian besar orang kristen tradisional / konservatif. Masih ada dalam sikap fundamentalis kristen. Menurut pandangan ini, Kristus bukan / tidak sama dengan budaya. Keduanya saling bertentangan. Mereka sering memakai kesaksian Alkitab untuk membenarkan pendapatnya. Budaya dilihat sebagai ‘Iblis / Setan’ yang menggodanya untuk mengkhianati Allah. Bapa Gereja, Tertulianus, adalah tokoh Gereja yang mendukung pemahaman ini.

Ad.B.  KRISTUS DALAM BUDAYA.

Ada beberapa gagasan dalam topik ini. Pertama, kekristenan menjadi satu kesatuan dengan kebudayaan. Katakanlah contoh, ketika perang dijalankan untuk merebut kembali kota suci Yerusalem dari kekuasaan Disnasti Otoman – Turki, maka pemuka agama kristen di Eropa menyatakan, bahwa upaya itu adalah Perang Suci sesuai kehendak Allah untuk membebaskan tanah suci dari penjajahan Islam (Simaklah juga pendapat Eusebius, Bapa Gereja, dari Kaesarea, yang mengeluarkan pernyataan terkait sikap Kaisar Konstantius untuk mengkristenisasikan budaya Roma).

Kedua, secara tersirat pendekatan (paradigma) ini membenarkan pandangan, bahwa ada gagasan-gagasan teologi Mesiah (Kristus) dalam budaya masyarakat lokal; misalnya, ramalan Joyoboyo terkait Zaman Baru, di mana Ratu Adil akan datang ke dunia (aliran kebathinan / kepercyaan Jawa), dan atau konsep tentang kepercayan Islam – Ahmadiyah terkait Mirza Ghulam Achmad yang akan datang ke dunia. Tradisi seperti ini dapat menjadi masalah dalam pemberitaan ‘kabar sukacita.’

Oleh karena itu, seorang kristen membutuhkan penjelasan akurat mengenai Kristus dan Kebudayaan Lokal, supaya tidak ‘tersesat.’

Ad.C.  KRISTUS DI ATAS KEBUDAYAAN.

Pandangan ini memahami kedudukan Kristus di atas kebudayaan. Kristus lebih tinggi dari pada budaya manusia. Meskipun demikian ada juga ‘jalan masuk’ dari Kristus ke dalam kebudayaan. Namun tidak terjadi percampuran (akulturasi atau sinkritisme). Banyak orang kristen berpendapat demikian, Kristus berada jauh di atas kebudayaan; dan oleh karena itu, Gerejapun berkedudukan setingkat lebih tinggi dari kebudayaan. Di antara orang kristen yang berpendirian, termasuk Clement dari Alexandria dan Thomas Aquinas.

Ad.D.  KRISTUS DAN KEBUDAYAAN DALAM PARADOKS.

Sementara itu ada pula orang kristen yang mengatakan : “Kita ada di dalam dunia, tetapi bukan dari dunia. Kita selalu berada dalam ketegangan (tension) dalam situasi seperti ini sampai dunia ini berakhir.” Kadang orang-orang ini tidak dapat mengerti maknanya, dan atau menerima pandangan itu tanpa bertanya, sebab mereka menghubungkannya pada ucapan Yesus. Pada dasarnya orang-orang ini berpikir, “ia berada dalam situasi tidak menyenangkan. Memang ia harus berada dalam dunia, dan harus menjadi kristen. Hidup berdampingan dengan dunia.”

Ad.E.  KRISTUS TRANSFORMATOR BUDAYA.

Pendekatan terakhir menyoroti peran “Kristus selaku transformator budaya”. Pandangan ini mengatakan, bahwa kehadiran Kristus, Gereja dan kekristenan dalam dunia untuk mentransformatikan dunia, membuat dunia bertobat. Agustinus, Bishop dari Hyppo, menjadi salah satu penganjurnya. Dan Yohanes Calvin pun mengikuti jejak Bapa Gereja itu.

PENDAPAT H. R. NIEBUHR

Meskipun H Richard mengajukan pendekatan kristen terhdap kebudayaan demikian; akan tetapi ia sendiri tidak memilih satu di antara kelima pendekatan tersebut. Ketika ia ditanyai, jawabnya : “Saya tidak dapat memilih satu di antara yang lain. Sulit sekali. Walaupun saya memilih yang kelima sesuai pandangan teologisku : Kristus sebagai Transformator Budaya. Namun saya percaya akan kedaulatan Allah. Sering saya menyetujui pendekatan pertama : Kristus melawan kebudayaan; oleh karena saya menemukan dunia ini terlalu jahat, dan saya menyaksikan bahwa transformasi tidak terjadi ke arah kebaikan. Jadi saya tidak dapat memberikan pendapat yang terbaik.”

Bersambung....

2
BAGAIMANAKAH SIKAP KRISTEN
TERHADAP KEBUDAYAAN SAAT INI

Medan – Sabtu Malam, 26 Januari 2013

SALAM DAN DOAKU

Penulis.

Jumat, 25 Januari 2013

POSTMILLENNIEALISM



Postmillennialism :
Statement of the Doctrine

 by
Loraine Boettner


We have defined Postmillennialism as that view of the last things which holds that the Kingdom of God is now being extended in the world through the preaching of the Gospel and the saving work ok the Holy Spirit in the hearts of individuals, that the world eventually is to be Christianized, and that the return of Christ is to occur at the close of a long period of righteousness and peace commonly called the 'Millennium.' It should be added that on postmillennial principles the second coming of Christ will be followed immediately by the general resurrection, the general judgment, and the introduction of heaven and hell in their fullness.

The Millennium to which the Postmillennialist looks forward is thus a golden age of spiritual prosperity during this present dispensation, that is, during the Church age, and is to be brought about through forces now active in the world. It is an indefinitely long period of time, perhaps much longer than a literal one thousand years. The changed character of individuals will be reflected in an uplifted social, economic, political and cultural life of mankind. The world at large will then enjoy a state of righteousness such as at the present time has been seen only in relatively small and isolated groups, as for example in some family circles, some local church groups and kindred organizations.

This does not mean that there ever will be a time on this earth when every person will be a Christian, or that all sin will be abolished. But it does mean that evil in all its many forms eventually will be reduced to negligible proportions, that Christian principles will be the rule, not the exception, and that Christ will return to a truly Christianized world.

Postmillennialism further holds that the universal proclamation of the Gospel and the ultimate conversion of the large majority of men in all nations during the present dispensation was the express command and meaning and promise of the Great Commission given by Christ Himself. when He said: 'All authority hath been given unto me in heaven and on earth. Go ye therefore, and make disciples of all the nations, baptizing them in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit; teaching them to observe all things whatsoever I commanded you: and lo, I am with you always, even unto the end of the world' (Matt. 28:18- 20).

We believe that the Great Commission includes not merely the formal and external announcement of the Gospel preached as a 'witness' to the nations, as the Premillennialists and Amillennialists hold, but the true and effectual evangelization of all the nations so that the hearts and lives of the people are transformed by it. That seems quite clear from the fact that all authority in heaven and on earth and an endless sweep of conquest has been given to Christ and through Him to His disciples specifically for that purpose. The disciples were commanded not merely to preach, but to make disciples of all the nations. It was no doubtful experiment to which they were called, but to a sure triumph. The preaching of the Gospel under the direction of the Holy Spirit and during this dispensation is, therefore, the all-sufficient means for the accomplishment of that purpose.

We must acknowledge that the Church during the past nineteen centuries has been extremely negligent in her duty, and that the crying need of our time is for her to take seriously the task assigned to her. Instead of discussions of social and economic and political problems, book reviews and entertaining platitudes from the pulpit the need is for sermons with real Gospel content, designed to change lives and to save souls. The charge of negligence applies, of course, not only to ministers, but equally to the laity. Every individual Christian is called to give his witness and to show his faith by personal testimony, or through the distribution of the printed word, or through the generous and effective use of his time and money for Christian purposes. Christ commanded the evangelization of the world. That is our task. Surely He will not, and in fact cannot, come back and say to His Church, 'Well done, good and faithful servant,' until that task has been accomplished. Rev. J. Marcellus Kik has said:

'That there is still a remnant of paganism and papalism in the world is chiefly the fault of the Church. The Word of God is just as powerful in our generation as it was during the early history of the Church. The power of the Gospel is just as strong in this century as in the days of the Reformation. These enemies could be completely vanquished if the Christians of this day and age were as vigorous, as bold, as earnest, as prayerful, and as faithful as Christians were in the first several centuries and in the time of the Reformation'(An Eschatology of Victory, p. 250).
In contrast with this, Premillennialism holds that the world is not to be converted during this dispensation, that it is, in fact, vain to hope for its conversion before the return of Christ. It holds rather that the world is growing progressively worse, that the present age is to end in a great apostasy and rebellion climaxed by the reign of the Antichrist and the battle of Armageddon, at which time Christ comes with sudden and overwhelming power to rescue His people, destroy His enemies, and establish a one thousand year earthly kingdom with Jerusalem as its capital. Many seem convinced that we now are in the last stage of the Laodicean apostasy, and that the end is very near. Premillennialism thus despairs of the power of the Gospel to Christianize the world, and asserts rather that it is to be preached only as a witness. Whereas Postmillennialism holds that Christ's coming closes this age and that it is to be followed by the eternal state, Premillennialism holds that His coming is to be followed by another dispensation, the Millennium, or kingdom age, and that the final resurrection and judgment do not take place until one thousand years later. It has also been a standard doctrine of Premillennialism in every age that the coming of Christ is 'near' or 'imminent,' although every generation of Premillennialists from the first century until the present time has been mistaken on that point.

Premillennialism, in its dispensational form, divides the second coming of Christ into two parts: (1) the Rapture, or His coming 'for' His saints, at which time the righteous dead of all ages are to be raised in the 'first resurrection,' the righteous living translated, and both groups caught up to meet the Lord in the air; and (2) the Revelation, which occurs seven years later, at the close of the Great Tribulation, at which time Christ returns to earth 'with' His saints, overpowers the Antichrist, defeats and suppresses all His enemies, raises the righteous dead who have died or who have been killed during the Great Tribulation, and establishes His Kingdom on this earth. At the close of the Millennium the wicked dead are to be raised in a final resurrection, and this in turn is followed by their judgment and the introduction of the eternal state. The Millennium in which the Premillennialist believes is thus a direct and personal rule of Christ over this earth.

Amillennialism, too, differs from Postmillennialisrn in that it holds that the world is not to be Christianized before the end comes, that the world will in fact continue much as it now is, with a parallel and continuous development of both good and evil, of the Kingdom of God and the kingdom of Satan. It agrees with Postmillennialism, however, in asserting that Christ does not establish an earthly, political kingdom, and that His return will be followed by a general resurrection and general judgment. Post- and Amillennialists thus agree that the Kingdom of Christ in this world is not political and economic, but spiritual and now present in the hearts of His people and outwardly manifested in the Church.

Amillennialism, as the term implies, does not set forth a Millennium at all. Some Amillennialists apply the term to the entire Christian era between the first and second advent of Christ. Some apply it to a relatively Christian and peaceful era, such as the Church enjoyed after the bitter persecution of the first three centuries, at which time Emperor Constantine made Christianity the preferred religion of the Roman Empire. Others apply it to the intermediate state. The position of the Amillennialist does not necessarily preclude him from believing that the world may be Christianized before the end comes, but most Amillennialists have not so held. Rather they have preferred to say that there probably will not be much relative change. In support of this they cite the parable of the wheat and the tares, in which both grow together until the harvest. Historically the main thrust of Amillennialism has been much stronger against Premillennialism than against Postmillennialism, since it interprets Revelation 20 symbolically and does not believe that Christ will reign personally in an earthly kingdom.

It should be remembered, however, that while Post-, A-, and Premillennialists differ in regard to the manner and time of Christ's return, that is, in regard to the events that are to precede or follow His return, they agree in regard to the fact that He will return personally and visibly and in great glory. Each alike looks for 'the blessed hope and appearing of the glory of the great God and our Saviour Jesus Christ' (Titus 2:13). Each acknowledges Paul's statement that, 'The Lord himself shall descend from heaven, with a shout, with the voice of the archangel, and with the trump of God' (I Thess. 4:16). Christ's return is taught so clearly and so repeatedly in Scripture that there can be no question in this regard for those who accept the Bible as the word of God. They also agree that at His coming He will raise the dead, execute judgment, and eventually institute the eternal state. No one of these views has an inherent liberalizing tendency. Hence the matters on which they agree are much more important than those on which they differ. This fact should enable them to cooperate as evangelicals and to present a united front against Modernists and Liberals who more or less consistently deny the supernatural throughout the whole range of Bible truth.

Belajar Mengenal Kitab - Kitab dalam Kanon Alkitab -> INJIL MATIUS



BELAJAR MENGENAL TULISAN – TULISAN
DALAM ALKITAB PERJANJIAN BARU

Kitab Pertama
Seri 1

INJIL MATIUS

By

Arie A. R. Ihalauw

Sesuai canon Kitab-Kitab Perjanjian Baru, Injil ini ditempatkan sebagai kitab pertama dalam Alkitab Perjanjian Baru (selanjutnya APL). Sejak masa kerja Bapa Gereja : Ireneus (th. 180 M), Injil Matius telah dikenal selain ke – 4 Injil lainnya sebagai sebuah tulisan. Hal inipun dikuatkan oleh teori perkembangan unsur-unsur keagamaan Israel dalam kitab-kitab Kristen. Bapa Gereja yang lain, seperti : Ignatius, II Clemen dalam karya merekapun mengakui akan hal itu.

Papiaslah Bapa Gereja yang menuliskan, bahwa “Matius mengkompilasi banyak ‘orakel’ dalam dialek bahasa Ibrani dan merupakan sebuah terjemahan (tafsiran) yang cukup bagus (Eusebius, H.E. 3, 39, 17). Hal ini membuktikan, bahwa pada masa kerja Papias, Injil Matius sudah menjadi salah satu tradisi Kristen di antara banyak yang lainnya. So pasti, kita kurang mengetahui, apakah yang dimaksudkan ‘orakel-orakel’ dalam nubuatan nabil-nabi Perjanjian Lama yang berhubungan dengan Yesus, orang Nazaret. Akan tetapi kita akan mengerti apa yang dimaksudkan Yesus sendiri seperti yang ditulis oleh Matius.

KOSA KATA DAN GAYA PENULISAN MATIUS

Kata paling terkenal dalam Injil ini adalah sebutan kepada Allah selaku “Bapa”, sebanyak 45 kali (bd. Markus 5 kali, dan lukan 17 kali). Frasa seperti : “Bapa kami”, “Bapamu”, “Bapa kami yang di sorga” dan “Bapa Sorgawi” banyak ditemukan dalam tulisan Matius. Ada juga “Kerajaan Sorga”, “memenuhi” (yang menunjuk pada nubuat), “kebenaran”, “munafik,” “tangisan dan kertakan gigi”.

Kadang – kadang Matius memakan pengulangan formula, seperti : “sejak waktu itu” (4:17; 16:21), ‘jangan kamu menyangka’ (5:17, 10:34), ‘anal-anak kerajaan’ (8:12, 13:38), ‘yang gelap’ (8:12, 22:13, 25:30), ‘domba yang hilang dari antara Israel’ (10:6, 15:24). Secara khusus kita mencatat formula lain juga : ‘Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar’ (11:15,13:9,43) dan juga dalam formula penyembuhan (4:23-4, 8:16, 9:35, 14:35). Matius juga menggunakan kalimat : “Ketika Yesus menyelesaikan tugasNya,’ frasa ini ditemukan sebanyak 5 kali,  (7.28, 11:1, 13:53, 19:1, 26:1), kemungkinan sebagai sebuah refleksi atas kelima Kitab Musa.  

SILSILAH YESUS.

Matius menyusus materi Injilnya sangat sistematis. Injil ini dimulai dengan ‘silsilah Yesus’. Empat generasi dari Abraham => Daud; empatbelas dari Daud => ke generasi pembuangan Di Babilonia; empatbelas generasi dari pembuangan Babilonia => Yesus Kristus (1:1-17). Ucapan-ucapan Yesus sering disusun secara berkelompok : 3, 7 dan 7.  

Apakah tujuan Matius menyusun ‘silsilah Yesus’, dan apakah alasan Gereja menetapkan Injil Matius sebagai Kitab Pembuka Perjanjian Baru ?

Agaknya Jemaat di mana Matius menjadi salah seorang pemimpinnya sedang bermasalah. Hal itu ditimbulkan karena gugatan orang Israel beragama Yahudi, juga orang Kristen-Israeli yang mempertanyakan asal usul Yesus, orang Nazaret, yang disebut Kristus.

1.      Penulisan ‘silsilah’ bermaksud meyakinkan warga jemaat, bahwa Yesus, sunggug-sungguh, keturunan Abraham. Dialah yang dinubuatkan oleh nabi-nabi Perjanjian Lama.

2.      Gereja menetapkan karangan Matius dengan tujuan, agar terlihat kesinambungan nubuat APL ke dalam APB.

KESEJAJARAN MATIUS DAN MARKUS.

Kita akan sangat sering menemukan kesejajaran narasi anatar Injil Matius dan Injil Markus. Mengapa hal seperti itu terjadi ? Para pakar APB mengatakan, bahwa Penulis Matius mennyalin kembali narasi yang juga ditulis oleh Markus (teori Ur-Markan). Akan tetapi ada juga ahli yang berkeberatan. Menurut kelompok ini, narasi yang dituliskan Matius dan markus, bisa saja sama, dikarenakan sumber utamanya satu, yakni : tradisi lisan yang diceritakan berulang-ulang oleh masyarakat Israel pada saat Yesus telah dimuliakan ke Sorga. Sumber umun ini, dalam Ilmu Pembimbing APB disebut Layman Sources (Cerita Rakyat). Jadi tidak selamanya kesejajaran narasi, dikarenakan Matius mengutip tulisan Markus. Hal itu terbukti, kadang-kadang ceritanya sejajar, tetapi penulis Matius meredaksikan ulang menurut gayanya sendiri (kita akan menganalisa contoh-contonya setelah tulisan berikut ini).

PENULIS INJIL MATIUS

Di kalangan kekristenan muncul 2 (dua) pandangan tentang jatidiri si penulis Injil Matius.

1.    Pendapat Gereja.

Pendapat resmi yang dipegang oleh Gereja (dan umumnya kaum fundamentalis) sampai hari ini, penulis Injil Matius adalah ‘murid Tuhan Yesus’.

2.    Pandangan Pakar APL.

Berbeda dari pandangan Gereja, beberapa pakar APB membertanyakan jatidiri si penulis, dikarenakan kurangnya sumber  dalam Kitab Injil tersebut yang menyebutkan, Matius -- murid Yesus -- adalah penulisnya. Sanggahan ini berlatar-belakangkan pemahaman, bahwa Gereja menetapkan Matius -- murid Yesus --, agar warga mengakui serta mengsahkan keterhubungan si penulis pada nama Matius sebagai saksi yang menyaksikan pelayanan Yesus. Dengan demikian, tulisan ini dapat dikanonkan dan diimani selaku tulisan suci.

Para pakar APB itu mengakui, bahwa si penulis adalah seorang Kristen-israeli yang tidak diketahui namanya. Mereka membangun pandangannya berdasarkan bukti, bahwa penulis adalah :

a).   Seorang israeli yang terdidik dan menguasai tradisi keagamaan Israel, karena di dalam tulisannya banyak ditemukan kutipan APL yang menubuatkan tentang penggenapan janji Allah tentang Mesiah, lebih dari pada kedua Injil Sinoptis lainnya (Markus & Lukas).

b).   Cara/model/gaya penulisan Injilnya sebagai sebuah refleksi dari pengenalan yang kuat terhadap APL, khususnya Kitab-Kitab Taurat (Pentateukh = ke – 5 Kitab Musa).

c).   Penulis mengetahui akan peta geograpis Israel secara akurat. Penyajian peristiwa-peristiwa di sekitar Yesus amat jitu terkait kota dan desa yang dikunjungiNya.

d).   Struktur bahasa Ibrani yang digunakan penulispun bagus. Tidak seperti yang ditemukan dalam Injil Markus.

Bersambung ke Bahagian Kedua
TEOLOGI dalam KITAB INJIL MATIUS

Medan, Jumat – 25 Januari 2013

SALAM DAN DOAKU

Penulis