Minggu, 10 Agustus 2014

DASAR PERKAWINAN KRISTEN (Materi Katekisasi Pra-Nikah bhgn. II)

MATERI Bag. II

DASAR
PERKAWINAN KRISTEN
( MAZ. 127; MAT. 7 : 24 – 27 )

A.  NASKAH BACAAN

"Setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." (MAT. 7:2 –27).

Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah -- sebab Ia memberi-kannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur” (MAZ. 127 : 1 – 2)

B.   PENDAHULUAN
Sepanjang sejarah --- entahkah poligami maupun monogami --- perkawinan selalu diperhadapkan pada berbagai masalah : kelahiran dan kematian, hubungan suami isteri, pasangan yang memiliki atau tidak memiliki keturunan, penatalayanan rumahtangga, dan lain-lain sebagainya. Banyaknya masalah yang akan dilalui dapat menciptakan prahara, tetapi juga membawa kenikmatan, jikalau suami-isteri tahu bagaimana cara mengatasinya.

C.   DASAR PERKAWINAN KRISTEN

1.       FIRMAN ALLAH

Yesus berkata : “"Setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (MAT. 7 : 24). Tuhan ingin mngingatkan, bahwa perkawinan bukanlah masalah saling mencintai semata-mata. Masih banyak persoalan pelik lainnya yang akan menghantam rumahtangga. Pasangan suami-isteri memerlukan kekuatan spiritual (rohani, batiniah ) yang memampukan mereka mengatasi kesulitan. Dan, kekuatan itu ada pada Allah yang berfirman. Katakanlah contoh, penyesuaian kepribadian dan karakter dari pasangan suami-isteri sesudah perkawinan. Bercinta sangat mudah, tetapi menikah bukanlah hal gampang. Dalam percintaan sepasang kekasih tidak akan mudah membukakan kepribadian dan karakter. Masing-masing menyembunyikan ‘yang asli’. Banyak di antara orang yang berpacaran hanya memperlihatkan sikap manis saja, tetapi keburukannya ditutup rapi. Di kemudian hari --- setelah menikah --- barulah sikap buruk itu terungkap. Dan, hal seperti itu cukup mengecewakan pasangannya. Jikalah kekecewaan itu berlangsung terus menerus, maka salah satu pihak yang tak mampu menahan kekesalan akan meledak, dan akibatnya menggoncangkan keharmonisan hubungan suami-isteri.

FIRMAN ALLAH (perkataanKu) adalah dasar pembangunan rumahtangga Kristen. Mengapa FIRMAN ALLAH (perkataanKu) ? Yesus ingin menerangkan, bahwa perkawinan bukan terkait pada masalah lahiriah dan material saja melainkan soal spiritual dan bathiniah juga. Banyak pasangan menikah memiliki kelimpahan harta; akan tetapi mereka kurang merasakan kebahagian. Banyak pasangan yang mempunyai anak, tetapi mereka kurang berhasil dikarenakan tidak adanya dana untuk menyekolahkan anak. Sebaliknya, ada pasangan suami isteri yang kaya, mereka telah mengikuti berbagai terapi untuk memperoleh anak, tetapi harapannya pupus.  Oleh karena itu, menurut Yesus, pasangan suami-isteri butuh akan pertolongan Allah. Mereka harus banyak belajar dari pengalaman orang beriman yang diceritakan Alkitab, supaya tidak putus asa melainkan mendapatkan penguatan. Mengatasi masalah tersebut, Yesus menganjurkan agar suami-isteri rajin dan tekun membaca Kitab Suci (yang berintikan perkataan Allah). Simaklah contoh Abraham – Sarah, Hanna – Elkhana, Zakaria – Elisabeth. Pasangan itu tidak memiliki anak sampai uzur usianya; namun mereka selalu berdoa memohonkan jalan keluar. Allah memberikan jalan keluar menurut waktu dan kehendakNya (“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku-> PLP. 4:13; “Pencobaan-penco-baan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” -> I KOR. 10:13). Firman itulah yang memberikan penguatan dan penghiburan, ketika suami isteri dilanda badai. Kekayaan harta benda, kekayaan intelektual (ilmu pengetahuan) hanyalah alat bantu / penunjang untuk menemukan kebahagiaan. Suasana bahagia sangat tergantung pada hubungan suami isteri dengan Allah. Di luar itu, tidak ada kebahagiaan abadi.

2.      PERKAWINAN DAN MONOTEISME

So dari dahulu kala, perkawinan dipakai sebagai simbol yang melukiskan hubungan dewa-dewi dengan manusia. Katakanlah contoh, POLIGAMI. Model perkawinan ini berkembang se-zaman dengan pemahaman keagamaan tentang penyembahan terhadap banyak dewa-dewi. Malahan di dalam dunia ilahipun dipercaya, bahwa dewa-dewi saling mengawini layaknya manusia. Seorang laki-laki maupun perempuan memiliki kebebasan untuk menikah sebanyak-banyaknya, sama seperti dewa-dewi yang disembahnya. Di kemudian hari, ketika kesadaran keagamaan mulai mengarah pada penyembahan terhadap satu dewa / illah saja (MONOTHEISME), maka manusiapun mengembangkan model perkawinan MONOGAMI (hanya menikahi seorang laki-laki atau perempuan)

Nabi-nabi dalam masyarakat Israel Kunopun menubuatkan hal sama (HOS. 2:15 => Maka pada waktu itu, demikianlah firman TUHAN, engkau akan memanggil Aku : Suamiku, dan tidak lagi memanggil Aku : Baalku !). Israel disebut sebagai “isteri dari TUHAN,” sebab Allah telah menebus dia dari Mesir (bd. YER  2:2–3). Jadi, sama seperti Allah setia mengasihi, tidak berkhianat meninggalkan isteriNya, Israel; demikian pula sebaliknya Israel wajib memelihara cinta-kasih dan kasih setianya kepada Allah selaku suaminya.

Simbol dan makna perkawinan itu dituliskan Rasul Paulus : Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (EPS. 5:32). Yesus Kristus adalah mempelai laki-laki dan Gereja adalah mempelai perempuan. Perkawinan Yesus Kristus dan Gereja disimbolkan dalam pelaksanaan Perayaan Liturgi Sakramen Baptisan, khususnya Perjamuan Tuhan.

Gambaran tersebut dikaitkan dengan Perkawinan Kristen, jika seorang laki-laki maupun perempuan mengakui dengan nyata-nyata, bahwa Yesus Kristus satu-satunya Tuhan dalam kehidupannya; maka ia juga wajib memelihara pengakuan yang sama, bahwa ia menikahi seorang laki-laki / perempuan selaku suami / isteri sampai akhir hidupnya (sama seperti Yesus Kristus telah mengorbankan diriNya sampai mati di Salib bagi setiap suami isteri). Dalam hal itulah, suami-isteri kristen belajar mencontohi sikap Yesus Kristen terkait nilai-nilai cinta-kasih, kasih-setia dan pengorbanan dalam rumahtangga. Dan, oleh karena itu, seorang suami / isteri tidak boleh mengkhinati pasangan hidupnya, “sampai kematian memisahkan mereka” (simak rumusan PENJELASAN PERKAWINAN KRISTEN dalam Liturgi Pemberkatan Perkawinan Kristen menurut GPIB; bd. MAT  19:3–9). Dalam hal inilah GPIB menolak perceraian (bd. MAL 2:16. Allah berfirman melalui perantaraan Nabi Maleakhi :Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel--juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat !”)

D.  TUJUAN PERKAWINAN KRISTEN

Berbicara tentang tujuan perkawinan, kita patut menghormati tujuan (visi) pasangan suami-isteri, karena merekalah yang membangun dan menjalani kehidupan bersama dalam rumahtangganya. Bahagian ini akan menyoroti APAKAH TUJUAN YANG DIRENCANAKAN ALLAH BAGI MANUSIA MELALUI PEMBANGUNAN RUMAHTANGGA ?

a.    PERKAWINAN DAN MASA DEPAN ANAK

Banyak orang kristen mendasari penjelasandengan memakai pernyataan ini : Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka : "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi“ (KEJ. 1:28). Di dalam rumusan ucapan tersebut terdapat suruhan Allah, agar manusia menata kehidupan keluarganya secara teratur dan bertanggungjawab.

Allah tidak menyuruh manusia mengikuti P
ROGRAM KELUARGA BERENCANA; akan tetapi Dia menginginkan manusia mengatur dan menatatertibkan kelahiran sesuai dengan kemampuan (ekonomi) yang dimiliki. Alangkah baiknya sepasang suami-isteri merencanakan kelahiran anak sesuai penghasilan / pendapatannya; sebab jika mereka memakai alasan “banyak anak, banyak rezeki,”  maka mereka akan menghancurkan masa depan anak / anak-anak. Anak atau anak-anak harus mengikuti proses pendidikan secara terencana, agar mereka menikmati kesejahteraan di masa depan (bd. MAZ. 127 => Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang)

b.   PERKAWINAN MELEGALISASIKAN SEKSUALITAS

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman : "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi“ (KEJ. 1:28).

Jika kita menyimak suruhan di atas itu, Allah menghendaki manusia mengatur dan menatatertibkan kehidupan rumahtangga. Di samping aspek kelahiran anak, ada juga masalah seksualitas di dalam rumahtangga. Suruhan itu bertujuan, sesungguhnya, supaya nilai0nilai keagamaan difungsikan untuk membangun kehidupan keluarga. Apakah nilai-nilai keagamaan itu ? Nikahilah satu orang isteri saja; dan seksualitas itu indah, jika dilakukan dalam rumahtangga yang telah disahkan / diresmikan masyarakat. Dengan demikian, banyak atau sedikit anak tidak perlu dipersoalkan; sebaliknya yang perlu dipersoalkan adalah status kelahiran anak-anak : sebelum atau sesudah pengesahan perkawinan. Oleh karena hubungan seksual yang dilakukan sebelum perkawinan akan merusak tatanan nilai-nilai kehidupan (keharmonisan) dalam masyarakat. Di dalam hal inilah kita bisa memahami latar belakang Hukum Taurat (KEL. 20 : 14; ULNG. 5 : 18 => JANGAN BERZINAH).

Melalui suruhan itu Allah menginginkan, agar hubungan seksual itu dikuduskan sampai pasangan calon suami-isteri itu masuk ke dalam perkawinan yang sah, di mana mereka saling mengenal lebih dalam barulah mereka melakukan hubungan suami-isteri (bd. KEJ. 4:1 => Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN.” Istilah “bersetubuh” dalam Bhs Ibrani : YADA, artinya : mengenal benar, mengenal secara intim. Itu berarti hubungan intim antara laki-laki dan perempuan hanya boleh dilakukan dalam kehidupn keluarga) Dengan demikian kehidupan masyarakat semakin meningkat baik serta keluarga terhindar dari ancaman nafsu seksual yang mendorongnya melakukan persetubuhan sebelum dan atau di dalam perkawinan (kumpul kebo, dan perzinahan, perselingkuhan).

c.    PERKAWINAN BERTUJUAN MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT

Pembangunan Keluarga Kristen melalui perkawinan yang sah dan resmi bertujuan membawa kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat disimak melalui tulisan-tulisan dalam Kitab Mazmur (Nyanyian Hammaloth atau disebut juga Nyanyian Ziarah – psl. 126 – 128). Kemajuan kehidupan rumahtangga, menurut Pemazmur, sangat ditentukan sikap Kepala Keluarga (suami) terhadap Allah dan FirmanNya. Pemazmur menasihati : “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. (MAZ 127 : 1). Dengan kata lain, pertama, para suami harus menyadari, bahwa TUHANlah yang membuatnya menikah. TUHAN harus diberikan ruang gerak dalam keluarga, agar Dia bekerja bersama setiap suami untuk membangun keluarga menuju masa depan (bd. YER. 29:11). Kedua, kata Bhs. Ibrani : membangun (BANAH) sangan berhubungan dengan anak laki-laki (Ibr. בנים => banim). Dengan demikian, menurut tradisi orang Ibrani, seorang suami tidak akan berhasil melanjutkan klan (kaum) keluarganya, jikalau ia tidak memiliki anak laki-laki (Ibr. בנים => banim). Ia hanya berhasil, jika TUHAN menolongnya (KEJ. 4:1; bd. MAZ. 127:3). Segala sesuatu terkait dengan kelahiran anak, menurut iman orang Yahudi, tergantung sikap hati sang suami kepada TUHAN. Apabila suami menjalankan kehidupan rumah-tangganya sesuai jalan yang dikehendaki Allah (Humum Taurat atau Firman – MAZ. 128:1) maka rumahnya akan sejahtera bahagia. Kata Pemazmur : “Berbahagialah setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkanNya !. Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu. Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki (yang imaksudkan adalah suami) yang takut akan TUHAN” (MAZ. 128:1-2, 4). Jadi kebahagian isteri dan anak-anak dalam keluarga SANGAT TERGANTUNG PADA POLA PIKIR DAN PERILAKU SUAMI SEBAGAI KEPALA KELUARGA.

E.   TUGAS : FUNGSI DAN PERAN SUAMI-ISTERI

E.1.  HORMATILAH AYAH-IBUMU (KEL. 20:12; ULNG. 5:16)

         Perkawinan tidak mengubah status marital seseorang di hadapan orangtuanya. Sepanjang orangtua masih hidup, meskipun anaknya telah menikah, ia tetaplah anak di dalam rumah ayah-bundanya. Pernyataan itu tidak boleh ditafsirkan menegasikan status perkawinan seorang laki-laki dan perempuan; justru sebaliknya, memberikan tempat yang layak bagi pasangan itu, agar mereka mengembangkan fungsi perkawinan untuk menjalankan tugas pelayanan terhadap kedua pihak orangtua.

                Bagaimanakah pandangan itu berurat akar ? Bukan saja penyimakan terhadap kesaksian Alkitab dapat membentuk pandangan tersebut; akan tetapi nilai-nilai budaya bangsapun mendukungnya. Perkawinan itu mengubah status / kedudukan seorang perempuan. Ia menjadi anak di dalam pihak keluarga laki-laki; sebaliknya seorang laki-laki masuk menjadi anak dalam rumah keluarga isterinya. Dengan cara itu, pasangan suami-isteri yang diberkati Allah wajib menjadi saluran berkat kepada kedua pihak orangtuanya. Dalam bahasa Alkitab dikatakan : HORMATILAH AYAH-IBUMU, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu (ULNG. 5:16; bd. KEL. 20:12). Sikap itu akan terus menerus berulang dalam kehidupan umat manusia, di mana anak-anak akan belajar dari perilaku orangtuanya.

E.2.  APA YANG KUPERINTAHKAN, AJARKANLAH SEMUA ITU KEPADA ANAK-ANAKMU

“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (ULNG. 6:6 dst)

         Menurut tradisi Agama Yahudi, keluarga adalah lembaga pendidikan terkecil dalam masyarakat. Di sana suami-istri saling melengkapi diri, supaya mereka dapat mejalankan pekerjaan Allah, yakni : membentuk karakter dan kepribadian anak serta membimbing anak/anak-anak untuk mengenal TUHAN, Allahnya. Pelaksanaan pendidikan (moral), pengajaran (Ilmu Peengetahuan), pembinaan (wawasan, sikap dan perilaku organisasi) dan pelatihan (ketrampilan) bertujuan memperkenalkan tugas dan tanggungjawab untuk menjalankan roda kehidupan keluarga sesuai fungsi dan peran yang dikaruniakan Roh Allah.

--- BERSAMBUNG ---

Bogor, 10 Agustus 2014

SALAM & DOAKU


PENDETA ARIE A. R. IHALAUW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar