MATERI Bag. II
DASAR
PERKAWINAN KRISTEN
( MAZ. 127; MAT. 7 : 24 –
27 )
A. NASKAH BACAAN
"Setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan melakukannya, ia sama
dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian
turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah
itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang
mendengar perkataanKu ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang
bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan
datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan
hebatlah kerusakannya." (MAT.
7:2 –27).
“Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah,
sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal
kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan
duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah
-- sebab Ia memberi-kannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur” (MAZ. 127 : 1 – 2)
B. PENDAHULUAN
Sepanjang sejarah --- entahkah poligami maupun monogami --- perkawinan selalu
diperhadapkan pada berbagai masalah : kelahiran dan kematian, hubungan suami
isteri, pasangan yang memiliki atau tidak memiliki keturunan, penatalayanan
rumahtangga, dan lain-lain sebagainya. Banyaknya masalah yang akan dilalui
dapat menciptakan prahara, tetapi juga membawa kenikmatan, jikalau suami-isteri
tahu bagaimana cara mengatasinya.
C. DASAR PERKAWINAN KRISTEN
1. FIRMAN ALLAH
Yesus berkata : “"Setiap
orang yang mendengar perkataanKu ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang
mendirikan rumahnya di atas batu”
(MAT.
7 : 24). Tuhan ingin mngingatkan, bahwa perkawinan bukanlah masalah saling
mencintai semata-mata. Masih banyak persoalan pelik lainnya yang akan
menghantam rumahtangga. Pasangan suami-isteri memerlukan kekuatan spiritual (rohani, batiniah ) yang memampukan mereka
mengatasi kesulitan. Dan, kekuatan itu ada pada Allah
yang berfirman. Katakanlah contoh, penyesuaian
kepribadian dan karakter dari pasangan suami-isteri sesudah perkawinan.
Bercinta sangat mudah, tetapi menikah bukanlah hal gampang. Dalam percintaan
sepasang kekasih tidak akan mudah membukakan kepribadian dan karakter.
Masing-masing menyembunyikan ‘yang asli’. Banyak di antara orang
yang berpacaran hanya memperlihatkan sikap manis saja, tetapi keburukannya
ditutup rapi. Di kemudian hari --- setelah
menikah --- barulah sikap buruk itu terungkap. Dan, hal seperti itu cukup
mengecewakan pasangannya. Jikalah kekecewaan itu berlangsung terus menerus,
maka salah satu pihak yang tak mampu menahan kekesalan akan meledak, dan
akibatnya menggoncangkan keharmonisan hubungan suami-isteri.
FIRMAN
ALLAH (perkataanKu) adalah dasar
pembangunan rumahtangga Kristen. Mengapa FIRMAN ALLAH
(perkataanKu) ? Yesus ingin menerangkan,
bahwa perkawinan bukan terkait pada masalah lahiriah dan material saja
melainkan soal spiritual dan bathiniah juga. Banyak pasangan menikah memiliki
kelimpahan harta; akan tetapi mereka kurang merasakan kebahagian. Banyak
pasangan yang mempunyai anak, tetapi mereka kurang berhasil dikarenakan tidak
adanya dana untuk menyekolahkan anak. Sebaliknya, ada pasangan suami isteri
yang kaya, mereka telah mengikuti berbagai terapi untuk memperoleh anak, tetapi
harapannya pupus. Oleh karena itu,
menurut Yesus, pasangan suami-isteri butuh akan pertolongan Allah. Mereka
harus banyak belajar dari pengalaman orang beriman yang diceritakan Alkitab,
supaya tidak putus asa melainkan mendapatkan penguatan. Mengatasi masalah
tersebut, Yesus menganjurkan agar suami-isteri rajin dan tekun membaca Kitab
Suci (yang berintikan perkataan Allah). Simaklah contoh Abraham – Sarah, Hanna
– Elkhana, Zakaria – Elisabeth. Pasangan itu tidak memiliki anak sampai uzur
usianya; namun mereka selalu berdoa memohonkan jalan keluar. Allah memberikan
jalan keluar menurut waktu dan kehendakNya (“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku” -> PLP. 4:13; “Pencobaan-penco-baan
yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan
manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai
melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke
luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” -> I KOR.
10:13). Firman itulah yang memberikan
penguatan dan penghiburan, ketika suami isteri dilanda badai. Kekayaan harta
benda, kekayaan intelektual (ilmu pengetahuan) hanyalah alat bantu / penunjang
untuk menemukan kebahagiaan. Suasana bahagia sangat tergantung pada hubungan
suami isteri dengan Allah. Di luar itu, tidak ada kebahagiaan abadi.
2. PERKAWINAN DAN MONOTEISME
So dari dahulu
kala, perkawinan dipakai sebagai simbol yang melukiskan hubungan dewa-dewi
dengan manusia. Katakanlah contoh, POLIGAMI. Model perkawinan ini berkembang
se-zaman dengan pemahaman keagamaan tentang penyembahan terhadap banyak
dewa-dewi. Malahan di dalam dunia ilahipun dipercaya, bahwa dewa-dewi saling
mengawini layaknya manusia. Seorang laki-laki maupun perempuan memiliki kebebasan
untuk menikah sebanyak-banyaknya, sama seperti dewa-dewi yang disembahnya. Di
kemudian hari, ketika kesadaran keagamaan mulai mengarah pada penyembahan
terhadap satu dewa / illah saja (MONOTHEISME), maka manusiapun
mengembangkan model perkawinan MONOGAMI (hanya menikahi seorang
laki-laki atau perempuan)
Nabi-nabi dalam
masyarakat Israel Kunopun menubuatkan hal sama (HOS. 2:15
=> Maka pada waktu itu, demikianlah firman TUHAN,
engkau akan memanggil Aku : Suamiku, dan tidak lagi memanggil Aku : Baalku !). Israel disebut sebagai “isteri dari TUHAN,” sebab Allah telah
menebus dia dari Mesir (bd. YER
2:2–3). Jadi, sama seperti Allah setia mengasihi, tidak
berkhianat meninggalkan isteriNya, Israel; demikian pula sebaliknya Israel
wajib memelihara cinta-kasih dan kasih setianya kepada Allah selaku suaminya.
Simbol dan makna
perkawinan itu dituliskan Rasul Paulus : “Rahasia ini besar,
tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan
Kristus dan jemaat” (EPS. 5:32). Yesus Kristus adalah mempelai
laki-laki dan Gereja adalah mempelai perempuan. Perkawinan Yesus Kristus dan
Gereja disimbolkan dalam pelaksanaan Perayaan Liturgi Sakramen Baptisan,
khususnya Perjamuan Tuhan.
Gambaran
tersebut dikaitkan dengan Perkawinan Kristen, jika seorang laki-laki maupun
perempuan mengakui dengan nyata-nyata, bahwa Yesus Kristus satu-satunya Tuhan
dalam kehidupannya; maka ia juga wajib memelihara pengakuan yang sama, bahwa ia
menikahi seorang laki-laki / perempuan selaku suami / isteri sampai akhir
hidupnya (sama seperti Yesus Kristus telah mengorbankan diriNya sampai mati di
Salib bagi setiap suami isteri). Dalam hal itulah, suami-isteri kristen belajar
mencontohi sikap Yesus Kristen terkait nilai-nilai cinta-kasih, kasih-setia dan
pengorbanan
dalam rumahtangga. Dan, oleh karena itu, seorang suami / isteri tidak boleh
mengkhinati pasangan hidupnya, “sampai kematian memisahkan mereka”
(simak rumusan PENJELASAN PERKAWINAN KRISTEN dalam Liturgi Pemberkatan Perkawinan
Kristen menurut GPIB; bd. MAT
19:3–9).
Dalam
hal inilah GPIB menolak perceraian (bd. MAL 2:16. Allah berfirman melalui perantaraan
Nabi Maleakhi : “Sebab Aku membenci perceraian, firman
TUHAN, Allah Israel--juga orang
yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat
!”)
D. TUJUAN PERKAWINAN KRISTEN
Berbicara tentang
tujuan perkawinan, kita patut menghormati tujuan (visi) pasangan suami-isteri,
karena merekalah yang membangun dan menjalani kehidupan bersama dalam rumahtangganya.
Bahagian ini akan menyoroti APAKAH
TUJUAN YANG DIRENCANAKAN ALLAH BAGI MANUSIA MELALUI PEMBANGUNAN RUMAHTANGGA ?
a. PERKAWINAN DAN MASA
DEPAN ANAK
Banyak
orang kristen mendasari penjelasandengan memakai pernyataan ini : Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka :
"Beranakcuculah dan bertambah
banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut
dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi“
(KEJ. 1:28).
Di dalam rumusan ucapan tersebut terdapat suruhan Allah, agar manusia menata
kehidupan keluarganya secara teratur dan bertanggungjawab.
Allah tidak menyuruh manusia mengikuti PROGRAM KELUARGA BERENCANA; akan tetapi Dia menginginkan manusia mengatur dan menatatertibkan kelahiran sesuai dengan kemampuan (ekonomi) yang dimiliki. Alangkah baiknya sepasang suami-isteri merencanakan kelahiran anak sesuai penghasilan / pendapatannya; sebab jika mereka memakai alasan “banyak anak, banyak rezeki,” maka mereka akan menghancurkan masa depan anak / anak-anak. Anak atau anak-anak harus mengikuti proses pendidikan secara terencana, agar mereka menikmati kesejahteraan di masa depan (bd. MAZ. 127 => Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang)
Allah tidak menyuruh manusia mengikuti PROGRAM KELUARGA BERENCANA; akan tetapi Dia menginginkan manusia mengatur dan menatatertibkan kelahiran sesuai dengan kemampuan (ekonomi) yang dimiliki. Alangkah baiknya sepasang suami-isteri merencanakan kelahiran anak sesuai penghasilan / pendapatannya; sebab jika mereka memakai alasan “banyak anak, banyak rezeki,” maka mereka akan menghancurkan masa depan anak / anak-anak. Anak atau anak-anak harus mengikuti proses pendidikan secara terencana, agar mereka menikmati kesejahteraan di masa depan (bd. MAZ. 127 => Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang)
b. PERKAWINAN
MELEGALISASIKAN SEKSUALITAS
Allah memberkati mereka,
lalu Allah berfirman : "Beranakcuculah
dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi“ (KEJ. 1:28).
Jika kita menyimak suruhan di atas itu, Allah
menghendaki manusia mengatur dan menatatertibkan kehidupan rumahtangga. Di
samping aspek kelahiran anak, ada juga masalah seksualitas di dalam
rumahtangga. Suruhan itu bertujuan, sesungguhnya, supaya nilai0nilai keagamaan
difungsikan untuk membangun kehidupan keluarga. Apakah nilai-nilai keagamaan
itu ? Nikahilah satu orang isteri saja; dan seksualitas itu indah, jika dilakukan
dalam rumahtangga yang telah disahkan / diresmikan masyarakat. Dengan demikian,
banyak atau sedikit anak tidak perlu dipersoalkan; sebaliknya yang perlu
dipersoalkan adalah status kelahiran anak-anak : sebelum atau sesudah
pengesahan perkawinan. Oleh karena hubungan seksual yang dilakukan sebelum
perkawinan akan merusak tatanan nilai-nilai kehidupan (keharmonisan) dalam
masyarakat. Di dalam hal inilah kita bisa memahami latar belakang Hukum Taurat
(KEL. 20 : 14; ULNG. 5 : 18 => JANGAN
BERZINAH).
Melalui suruhan itu Allah menginginkan,
agar hubungan seksual itu dikuduskan sampai pasangan calon suami-isteri itu
masuk ke dalam perkawinan yang sah, di mana mereka saling mengenal lebih dalam
barulah mereka melakukan hubungan suami-isteri (bd. KEJ. 4:1
=> Kemudian
manusia itu bersetubuh
dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain;
maka kata perempuan itu: “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan
pertolongan TUHAN.” Istilah “bersetubuh” dalam Bhs Ibrani : YADA, artinya : mengenal benar, mengenal secara intim. Itu
berarti hubungan intim antara
laki-laki dan perempuan hanya boleh dilakukan dalam kehidupn keluarga) Dengan
demikian kehidupan masyarakat semakin meningkat baik serta keluarga terhindar
dari ancaman nafsu seksual yang mendorongnya melakukan persetubuhan sebelum dan
atau di dalam perkawinan (kumpul kebo, dan perzinahan, perselingkuhan).
c. PERKAWINAN
BERTUJUAN MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT
Pembangunan Keluarga Kristen melalui
perkawinan yang sah dan resmi bertujuan membawa kesejahteraan masyarakat. Hal
ini dapat disimak melalui tulisan-tulisan dalam Kitab Mazmur (Nyanyian
Hammaloth atau disebut juga Nyanyian Ziarah – psl. 126 – 128). Kemajuan
kehidupan rumahtangga, menurut Pemazmur, sangat ditentukan sikap Kepala
Keluarga (suami) terhadap Allah dan FirmanNya. Pemazmur menasihati : “Jikalau
bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah
usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota,
sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” (MAZ 127 : 1). Dengan
kata lain, pertama, para suami harus
menyadari, bahwa TUHANlah yang membuatnya menikah. TUHAN harus diberikan
ruang gerak dalam keluarga, agar Dia bekerja bersama setiap suami untuk
membangun keluarga menuju masa depan (bd. YER. 29:11). Kedua, kata Bhs. Ibrani : membangun (BANAH) sangan berhubungan
dengan anak laki-laki (Ibr. בנים => banim).
Dengan demikian, menurut tradisi orang Ibrani, seorang suami tidak akan
berhasil melanjutkan klan (kaum) keluarganya, jikalau ia tidak memiliki anak laki-laki (Ibr. בנים => banim).
Ia hanya berhasil, jika TUHAN menolongnya (KEJ. 4:1; bd. MAZ. 127:3). Segala sesuatu terkait dengan kelahiran anak,
menurut iman orang Yahudi, tergantung sikap hati sang suami kepada TUHAN.
Apabila suami menjalankan kehidupan rumah-tangganya sesuai jalan yang
dikehendaki Allah (Humum Taurat atau Firman – MAZ. 128:1) maka rumahnya akan sejahtera bahagia. Kata
Pemazmur : “Berbahagialah setiap orang yang takut akan
TUHAN, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkanNya !. Apabila engkau
memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu.
Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki (yang imaksudkan adalah suami)
yang takut akan TUHAN” (MAZ.
128:1-2, 4). Jadi
kebahagian isteri dan anak-anak dalam keluarga SANGAT TERGANTUNG PADA POLA PIKIR DAN PERILAKU
SUAMI SEBAGAI KEPALA KELUARGA.
E. TUGAS : FUNGSI DAN PERAN SUAMI-ISTERI
E.1. HORMATILAH AYAH-IBUMU (KEL. 20:12; ULNG. 5:16)
Perkawinan tidak mengubah status
marital seseorang di hadapan orangtuanya. Sepanjang orangtua masih hidup,
meskipun anaknya telah menikah, ia tetaplah anak di dalam rumah ayah-bundanya.
Pernyataan itu tidak boleh ditafsirkan menegasikan status perkawinan seorang
laki-laki dan perempuan; justru sebaliknya, memberikan tempat yang layak bagi
pasangan itu, agar mereka mengembangkan fungsi perkawinan untuk menjalankan
tugas pelayanan terhadap kedua pihak orangtua.
Bagaimanakah pandangan itu
berurat akar ? Bukan saja penyimakan terhadap kesaksian Alkitab dapat membentuk
pandangan tersebut; akan tetapi nilai-nilai budaya bangsapun mendukungnya. Perkawinan
itu mengubah status / kedudukan seorang perempuan. Ia menjadi anak di dalam
pihak keluarga laki-laki; sebaliknya seorang laki-laki masuk menjadi anak dalam
rumah keluarga isterinya. Dengan cara itu, pasangan suami-isteri yang diberkati
Allah wajib menjadi saluran berkat kepada kedua pihak orangtuanya. Dalam bahasa
Alkitab dikatakan : HORMATILAH AYAH-IBUMU, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh
TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan
TUHAN, Allahmu, kepadamu (ULNG.
5:16; bd. KEL. 20:12). Sikap
itu akan terus menerus berulang dalam kehidupan umat manusia, di mana anak-anak
akan belajar dari perilaku orangtuanya.
E.2. APA YANG KUPERINTAHKAN, AJARKANLAH SEMUA ITU
KEPADA ANAK-ANAKMU
“Apa yang
kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau
mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan,
apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (ULNG. 6:6 dst)
Menurut tradisi Agama Yahudi, keluarga
adalah lembaga pendidikan terkecil dalam masyarakat. Di sana suami-istri saling
melengkapi diri, supaya mereka dapat mejalankan pekerjaan Allah, yakni :
membentuk karakter dan kepribadian anak serta membimbing anak/anak-anak untuk
mengenal TUHAN, Allahnya. Pelaksanaan pendidikan (moral), pengajaran (Ilmu
Peengetahuan), pembinaan (wawasan, sikap dan perilaku organisasi) dan pelatihan
(ketrampilan) bertujuan memperkenalkan tugas dan tanggungjawab untuk
menjalankan roda kehidupan keluarga sesuai fungsi dan peran yang dikaruniakan
Roh Allah.
--- BERSAMBUNG ---
Bogor, 10 Agustus 2014
SALAM & DOAKU
PENDETA ARIE A. R. IHALAUW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar