MATERI
KATEKISASI
PRA NIKAH
Bahagian III
HUBUNGAN ANTAR
ANGGOTA
DALAM KELUARGA
KRISTEN
A. PENDAHULUAN
Kualitas kehidupan seseorang sangat
ditentukan oleh baik buruknya hubungan yang terbina di antara anggota keluarga.
Mungkin saja pernyataan tersebut masih belum teruji, namun dalam kenyataannya,
kita menyaksikan banyak anak-anak mengatakan, bahwa pengalaman masa kecil
mempengaruhi pertubuhan serta perkembangan kepribadiannya. Anak-anak yang
sering diperlakukan buruk (mengalami tindakan kekerasan) oleh orangtua akan
mengalami hambatan ---- malahan menyebabkan kepincangan dan penyimpangan ----
psikologis serta perilaku sosial anak di kemudian hari. Sebaliknya, jika
anak-anak menikmati keindahan hubungan antar anggota keluarga, maka pengalaman
itu akan terlihat baik di kemudian hari.
B. MEMBANGUN HUBUNGAN KELUARGA HARMONIS
Orangtua patut mengingat, bahwa kehadiran
anak / anak-anak merupakan pemberian Allah (“Sesungguhnya,
anak-anak lelaki adalah milik pusaka
dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah” - MAZ 127:3). Jika pemazmur mengatakan, “anak
/ anak-anak itu milik pusaka TUHAN”,
sesungguhnya, ia ingin menegaskan, bahwa harta kekayaan Allah (Bhs. Tapanuli
=> hamoraon Debata nami) telah dianugerahkan / dihadiahkan kepada
suami isteri, agar mereka mengelola dan mengolahnya untuk kehidupan masa depan.
Sama seperti seorang pekerja mengolah penghasilan (upah/gaji) sampai menerima
yang baru, demikian pula orangtua mengelola sumber daya anak / anak-anak untuk
membangun masa depan bersama.
“HORMATILAH AYAHMU DAN IBUMU,
seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu
dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (ULNG. 5 : 16).
Umumnya orangtua selalu
mewajibkan anak / anak-anak menghormainya, sebaliknya orangtua tidak selalu
menghormati hak-hak mereka. Katakanlah contoh, hak untuk memperoleh pendidikan
yang layak. Acapkali kita masih menemukan anak / anak-anak usia 6 – 17 tahun
yang putus sekolah dikarenakan kekurangan dana. Malahan anak / anak-anak usia
tersebut diijinkan menjadi tenaga kerja, pengemis, pemulung. Jikalau keadaan
ini ditanyakan, maka orangtua selalu mengelak dari tanggungjawabnya. Pikir
punya pikir : “Mengapa harus bikin anak, kalau tidak sanggup menghidupkan dan
membiayai sekolahnya ? Mengapa anak / anak-anak dijadikan korban
penderita dari kesenangan seksual orangtua ?” Mungkin kita berpikir,
semuanya sudah menjadi garis kehidupan. Sesungguhnya tidak demikian, jika
pasangan suami-isteri merasa keadaan ekonomi keluarga belum memadai untuk
memiliki anak, sebaiknya ia mengikuti program Keluarga Berencana. Jangan pernah
berpikir, bahwa TUHAN akan mengubah kehidupan keluarga, jika suami-isteri tidak
bekerja bersama Dia. Dan, jangan sekali-kali mengorbankan anak demi kepuasan
seksual orangtua.
C. KEKERASAN DALAM RUMAHTANGGA
Masih berbentuk hipotesa saja, menurut
pencermatan saya, umumnya budaya keluarga di wilayah Asia – Afrika hampir
hampir diwarnai pemahaman terkait superioritas (keunggulan) dan dominasi
laki-laki. Mungkin hal ini dilatarbelakangi sistem perkawinan menurut garis
keturunan ayah (patrelineal). Kekerasan
itu bukan hanya dirasakan oleh isteri saja tetapi juga anak / anak-anak.
Bagaimanakah sikap orangtua --- khususnya suami --- terhadap masalah kekerasan
dalam rumahtangga ?
NASIHAT KEPADA SUAMI – SUAMI.
NASIHAT KEPADA SUAMI – SUAMI.
Para suami yang sering melakukan kekerasan
terhadap isterinya, so pasti, terdorong oleh situasi psikologis yang kompleks. Jauh
sebelum masalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dibahas oleh KOMNAS HAM
Perempuan dan Anak, Kitab Suci Kristen sudah menuliskannya.
C.1. KDRT
terhadap Wanita
“Dan inilah yang kedua yang kamu lakukan : Kamu
menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan,
oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan
menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya : "Oleh karena apa ?" Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang
kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu”
(MAL. 2
: 13 – 14).
Hai suami-suami,
kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.
( KOL 3 : 19 )
Maleakhi menganalisa masalah tindak
kekerasan terhadap isteri (Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan
air mata, dengan tangisan dan rintihan),
dan mengevaluasi perilaku ibadah suami dalam rumahtangga, ternyata nabi
menemukan, bahwa suami “telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu.” Dengan kata lain, Maleakhi hendak menegaskan, bahwa
di balik tindakan kekerasan, so pasti, ada motivasi pendorong, yakni : ketidak
setiaan. Malahan kecaman nabi lebih mengegerkan : “Jagalah
dirimu dan janganlah berkhianat !” (MAL. 2 : 16). Tindakan kekerasan itu,
sesungguhnya, tercipta karena adanya pengkhianatan, dan di dalam
pengkhianatan terkandung ketidaksetiaan. Dan pada akhirnya
ketidaksetiaan mendesak keinginan untuk bererai. Dalam
kaitan dengan hal itu, Tuhan Yesus berkata : "Karena
ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak
semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan
isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat
zinah." (MAT 19 : 8 – 9).
Jelas sekali, Yesus tidak menyetujui perceraian, apapun alasannya. Sesungguhnya Dia ingin
menjelaskan, bahwa “perceraian itu merupakan suatu kondisi terpaksa, di mana
suami memaksakan kehendaknya yang melawan hukum, agar ia bisa bercerai.
Simaklah kalimat ini : “Karena ketegaran
hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu.” Mungkin sang
suami akan berdalih : “Isteriku telah
berselingkuh, berzinah dengan laki-laki lain.” Yesus ingin menegaskan,
perzinahan tidak dapat dipakai untuk membenarkan perceraian, jikalau suami itu MENGASIHI ISTERINYA DENGAN SEBULAT HATI (bd. MAT 22:39).
Tentang kekerasan dalam rumahtangga yang dilakukan
suami, Rasul Paulus menasihati (EPS. 5 : 25 – 30) :
“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan
air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diriNya
dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan
tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi
isterinya sama seperti tubuhnya sendiri :
Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah
orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus
terhadap jemaat, karena kita adalah
anggota tubuh-Nya.”
Paulus menggunakan frasa “sama seperti Kristus terhadap jemaat” dan “sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat” Penggunaan itu menitik beratkan makna hubungan
Kepala Keluarga (suami) dan Kepala Gereja (Yesus selaku mempelai laki-laki).
Artinya, jika seorang suami mengatakan : “Aku mengasihi Yesus,”
maka ucapan itu harus dipelrihatkan dalam tindakan nyata kepada isterinya.
Bukankah Yesuspun mengasihi sang suami ? Jadi ia mengasihi isterinya, karena terlebih
dahulu ia telah beroleh belas kasihan dari Allah.
Lantas, “Bagaimana aku hidup bersama isteri yang
telah berzinah, berselingkuh ?” Rasul Paulus mengartikan ulang ucapan
Yesus (MAT. 19 : 18-19) demikian : “Hai
suami, kasihilah
isterimu sebagaimana Kristus telah
mengasihi jemaat dan telah menyerahkan
diriNya baginya untuk menguduskannya;” artinya, sebagaimana Yesus telah menguduskan dan menyucikan orang
beriman dengan tidak memperhitungkan dosa dan pelanggarannya, demikianlah suami
bebuat kepada isterinya. Seberapa berat pelanggaran isteri, jikalau hati suami
dipenuhi Roh dan Kasih Allah, niscaya dosa dapat diampuni (bd. I PET. 4:8 => “Tetapi
yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih
menutupi banyak sekali dosa.”) Dengan demikian, tidak ada alasan bagi
seorang suami Kristen untuk membalas kesalahan isterinya dengan kekerasan. Jika
ia memiliki hati yang mengasihi Yesus Kristus selaku Tuhan dan Juruselamat,
maka ia wajib menjadi “juruselamat”
yang membebaskan isteri dari pelanggarannya. Dalam hal itulah kasih menjadi
sempurna di dalam keluarga orang beriman.
C.2. KDRT terhadap anak / anak-anak
“Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu,
supaya jangan tawar hatinya” (KOL. 3 : 21).
Perlu diingatkan kembali, Pemarmur
mengingatkan : “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah" (MAZ. 127 : 3). Melalui
nasihatnya Pemazmur ingin menggugah pembaca tentang :
·
Anak / anak – anak itu manusia
ciptaan Allah, bukan ciptaan laki-laki dan perempuan.
· Allah memakai manusia (perempuan)
sebagai alat reproduksi, supaya karyaNya dilanjutkan melalui kelahiran.
· Meskipun kita memahami kehadiran
anak / anak-anak sebagai pembuahan dari persetubuhan suami-isteri, namun orang
percaya meyakini bahwa anak / anak- anak
adalah pemberian Allah.
Oleh karena itu, orangtua wajib mendidik,
mengajar, membina, dan melatih kemampuannya, sehingga mereka dapat mencapai
masa depan.
TUGAS ORANGUA DALAM
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK / ANAK – ANAK
Marilah
kita membaca Ucapan Yesus kepada para muridNya : “Setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan
melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana,
yang mendirikan rumahnya di atas batu”
(MAT 7 : 24). Siapapun yang ingin membangun
rumah, ia harus menyusun perencanaan yang baik dan benar, supaya proses
pembangunan berjalan lancar serta menuju sasaran yang diingini. Salah satu
nasihat orangtua : “Kita harus bertanya kepada tukang bangunan tentang
segala sesuatu yang behubungan dengan pembangunan rumah masa depan.” Jika
nasihat itu ditautkan pada ucapan Yesus --- orang yang mendengar perkataanKu ini dan melakukannya
---, maka kita perlu menemukan akar budaya Israel Kuno tentang pembangunan
rumah. Yang dimaksudkan adalah :
· RUMAH adalah sebuah wadah
tempat tinggal sekelompok orang yang memiliki hubungan kekerabatan menurut
kelahiran (pengertian ini bersumber dari filologi Bhs Yunani : OIKOMENOS).
· RUMAH adalah suasana (situasi kondisi) yang terbangun dan terbina
melalui hubungan secara harmonis antar anggota-anggota keluarga (pengertian ini
bersumber dari filologi Bhs Yunani : OIKODOMEIN)
· RUMAH adalah sebuah sistem organisasi
kehidupan --- memiliki tujuan, kewajiban dan hak, fungsi dan peran --- yang
tertata rapih dan teratur berdasarkan aturan-aturan (pengertian ini bersumber
dari philologi Bhs Yunani : OIKONOMOS)
Dengan sengaja Matius
menuliskan ucapan Yesus, agar pembaca mengetahui dan mengerti, bahwa untuk bisa
menikmati rumah masa depan sejahtera, maka tiap orang percaya wajib mendengar dan melakukan seluruh
ajaran Yesus. Apakah yang dimaksudkan Matius ?
Pertama,
rumah yang dimaksudkan Matius, sesungguhnya, Jemaat Kristus (bd. MAT. 16:18
=> “Dan Akupun berkata kepadamu : Engkau adalah Petrus dan di
atas batu karang ini Aku akan
mendirikan jemaatKu dan
alam maut tidak akan menguasainya”); artinya, orang-orang yang
mengakui Yesus selaku Kristus (Mesiah)-nya, mereka dibaptiskan, dikuduskan, dihimpunkan
dalam satu persekutuan --- di mana nama Allah (Bapa – Anak – Rohkudus
=>
MAT.
28:19-20) dimeteraikan
--- untuk menjalankan misi Allah di dalam dunia ciptaanNya.
Kedua,
Matius ingin menjelaskan, bahwa pembangunan
rumah itu dimulai dari manusia; artinya, orangtua (tua-tua) wajib membina
karakter dan kepribadian setiap anggota keluarga menurut citra ‘manusia baru’ seperti yang tampak pada Yesus Kristus.
Ketiga, tujuan yang akan dicapai adalah KEBAHAGIAAN (bd. MAT. 5:1–12); dan, cara hidup yang wajib diwujudkan KASIH (MAT. 22:36–40
=> “Kasihilah
TUHAN Allahmu
dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akalbudimu
=> bd ULNG 6:5;” dan
lagi “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” => bd. IMM.
19:18b). Kebahagiaan rumahtangga / keluarga
hanya dapat terwujud dan dinikmati, jikalau anggotanya memiliki karakter sesuai
citra Kristus serta hidup dalam kasih. Dengan demikian, bila keluarga-keluarga mempraktikan
kasih, maka Jemaat Lokal akan hidup dalam kerukunan dan kebahagian. Semua ini
dimulai dari setiap rumah-tangga dalam Jemaat Lokal.
Pembangunan rumahtangga
wajib dilandasi firman Allah (=ucapan Yesus Kristus).
---- BERSAMBUNG
----
BOGOR – Jumat, 15
Agustus 2014
ARIE A. R. IHALAUW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar