Sabtu, 13 September 2014

AKTA PERCERAIAN, Usulan Pdt. Arie A. R. Ihalauw


USULAN
PENYEMPURNAAN MATERI
AKTA GEREJA
TENTANG

PERCERAIAN

diusulkan oleh
PENDETA ARIE A. R. IHALAUW

Bogor, Sabtu - 13 September 2014

I.     LANDASAN BAGI PENGEMBANGAN GAGASAN

Pembahasan pandangan Gereja tentang perceraian tidak berdiri sendiri, tanpa membicarakan perkawinan. Kedua peristiwa tersebut saling terhubung. Di samping itu, penjelasan tentang perceraian, seharusnya, dimulai dengan membangun teologi gereja yang bersumber dari kesaksian Alkitab. Saya mengutip salah satu pokok  Pemahaman Iman terkait simbol Gereja sebagai Keluarga Allah. 

Simbol itupun bertumbuh baik dalam konteks budaya masyarakat Asia, khususnya di Indonesia. Jika kita meneliti dan mengkaji bentuk – bentuk persekutuan dalam masyarakat, maka kita akan kelompok intinya, yaitu : keluarga. Banyak hal yang dapat digambarkan, ketika kita membicarakan keluarga sebagai model persekutuan, ketimbang memakai simbol tubuh. Pembahasan tentang keluarga akan memperkenal-kan banyak unsur positif bagi pembangunan kehidupan persekutuan, seperti :

·      Model kontrak sosial (perjanjian ... secara gerejawi dipakai istilah Convenant’s Theology)
·      Nilai-nilai (values) dan kebutuhan (needs) keluarga
·      Visi (Vision) dan Misi (Mission)  Keluarga,
·      Aturan – aturan maupun petunjuk-petunjuk (akta / fatwa) dalam keluarga
·      Perencanaan masa depan keluarga
·      Hak dan Kewajiban anggota Keluarga,
·      Fungsi sistem keluarga sebagai organisasi,
·      Tugas dan Peran anggota dalam pembangunan keluarga,
·      Hubungan antar anggota (human relationship),
·  Penatalayanan / manajemen sumber daya keluarga (manusia, organisasi, harta milik bergerak, tidak bergerak dan keuangan),
·      dan lain – lain sebagainya.

Gagasan seperti itu jauh lebih mudah dipahami Warga Gereja, ketimbang kita menjelaskan Gereja sebagai tubuh Kristus. Hal ini dikarenakan pengalaman nyata / konkrit  yang dijalani Warga Gereja sehari-hari.

II.   PERKAWINAN SEBAGAI SIMBOL

A.     AZAS LEGALITAS

1.    Sifat Perkawinan.
Sesungguhnya, perkawinan merupakan peristiwa sosial, bukan agamawi. Dikatakan demikian karena pasangan suami-isteri itu tidak dipersatukan oleh institusi keagamaan melainkan oleh ketetapan hukum masyarakat. Institusi keagamaan bertugas mensahkan / meresmikan ikatan perkawinan sesuai kontrak perjanjian antara calon suami-isteri  menurut hukum yang berlaku (UU PERKAWINAN No. 1 Tahun 1974 dan penyempurnaannya).

2.    Motivasi Perkawinan.
Perkawinan itu berproses sejak masa percintaan (pacaran) ó masa pertunangan (Btk. Martupol... jikalau diadakan) ó jenjang pernikahan. Dalam hal itulah, secara psikologis perkawinan dapat dikatakan : upaya melegalisasikan dan melegitimasikan hubungan cinta-kasih (YER. 2:2-3 => “Beginilah firman TUHAN : Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya. Ketika itu Israel kudus bagi TUHAN...”) antara seorang laki-laki kepada seorang perempuan (cinta-kasih terkait hubungan antar manusia => KID. AG. 8 : 6 => “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN !”). Segera setelah perkawinan disahkan / diresmikan masyarakat berdasarkan hukum,  maka pada saat itulah keluarga terbentuk.

3.    Dasar Perkawinan.
Peristiwa perkawinan itu merupakan peristiwa sosial yang didasari atas perjanjian (bd. Hos. 2 : 18 => “Aku akan mengikat perjanjian bagimu...”) antara dua pihak yang berjanji.

4.    Mahar Perkawinan selaku persyaratan pengikat perjanjian.
Dalam perjanjian itu pihak laki-laki akan membayar persyaratan / mahar perkawinan (bd. Hos. 2 : 19 - Aku akan menjadikan engkau isteriKu untuk selama-lamanya ... dalam keadilan (צדק) dan kebenaran (תפשמ), dalam kasih setia dan kasih sayang (הבהא) ...  dalam kesetiaan (תמא), sehingga engkau akan mengenal TUHAN).

5.    Nilai dan Kebutuhan
Menurut Hosea, mahar perkawinan adalah nilai yang diadakan / dianugerahkan Allah untuk memenuhi kebutuhan umatNya. Nilai-nilai itu wajib dijadikan landasan hukum bagi pembangunan keluarga sejahtera dan harmonis.

B.     MAKNA SPIRITUAL

1.     Pembangunan Hubungan
Hubungan Allah ó Umat dilukiskan dalam bentuk perkawinan (keluarga). Hosea menceritakan, hubungannya dengan Gomer binti Diblaim (HOS. 1:2–9) sebagai suami-isteri melambang persekutuanNya dengan Israel.

2.     Disharmoni dalam perkawinan
Hubungan itu tidak bertahan lama, oleh karena Israel selaku isteri mengkhianati perjanjian yang telah dibuatNya terdahulu (HOS.  2:1–12)

3.     Rekonsiliasi (Pemulihan Hubungan)

Sejak awal, menurut nabi Hosea, Allah sendiri yang berinisyatif dan bekerja untuk membangun hubungan baik dengan Israel atas dasar kasihNya; akan tetapi Israel (Gomer binti Diblaim) mengkhianati suamiNya (bd. HOS.  2:15) dengan melanggar hukum perjanjian / Taurat (תורה). Sama seperi demikian, Allah juga mengampuni dan memulihkan kembali (HOS.  2:12-22) hubunganNya dengan israel (HOS. 3:1 => seperti TUHAN juga mencintai orang Israel ...”).

C.   YESUS DAN PAULUS TENTANG PERKAWINAN

1)      Pandangan Yesus
Selanjutnya kita akan membahas pandangan Tuhan Yesus tentang perkawinan menurut kesaksian Injil Matius. Yesus berkata : Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging (MAT. 19:5; bd. KEJ. 2:24; EPS. 5:31). Yesus mengutip kesaksian Kitab Kejadian (2:24), lalu menambahkan perintah baru : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (MAT. 19:6).  Menurut Yesus, sejak semula manusia itu esa (satu kesatuan yang tidak terpilahkan). Manusia hanya dikenal : laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, kita dapat menarik kesimpulan, tanpa perempuan seseorang tidak dapat menyebut dirinya laki-laki; dan, tanpa laki-laki keperempuanan tak dapat dibuktikan --- atau tanpa laki-laki tak mungkin ada perempuan, dan tanpa perempuan tidak akan lahir laki-laki --- laki-laki bersama perempuan adalah MANUSIA. Mereka adalah kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan dipilahkan kodratnya. Simaklah penggunaan predikat : “Allah menciptakan manusia, sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan” (MAT. 19:6). Jadi, yang diutamakan dalam perkawinan itu adalah kesatuan hakekat, dan bukan status kodrati. Jika kita menitikberatkan status kodrati, berarti  kita melecehkan kesatuan hakekat. Sebaliknya, jika kita terlalu menonjolkan kesatuan hakekat, maka kita meremehkan keragaman (azas pluralitas) fungsi kodrati. Keduanya saling melengkapi dalam kemanusiaan. Ketunggalan hakekat kemanusiaan itu ditampakkan melalui kebersamaan laki-laki dan perempuan.

2)     Pandangan Paulus
Rasul Paulus mengembangkan tradisi jemaat mula-mula tentang perkawinan. Ia menyoroti hubungan baik suami isteri sebagai landangan pembangunan keluarga. Ia menuliskan pandangannya : “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (EPS. 5:31-32). Perkawinan itu dimulai dari keputusan dan tindakan seorang laki-laki untuk membangun hubungan cinta kasih bersama gadis kesayangannya. Bertolak dari pemahamannya atas tradisi Israel Kuno (tentang perkawinan), Paulus menggambarkan pemahaman imannya tentang hubungan Kristus (sebagai mempelai laki-laki) dan Jemaat (sebagai mempelai perempuan). Ikatan hubungan tersebut bersifat kekal abadi sampai ajal menyongsong. Artinya, sekalipun jemaat akan mengalami kematian jasmaniah, namun cinta-kasih Yesus Kristus akan menghidupkannya (SYMBOL BAPTISAN menurut teologi Paulus : mati dan bangkit bersama Kristus). Oleh karena itu, menurut Paulus, penderitaan maupun kematian sekalipun, tidak akan dapat memisahkan Jemaat dari cinta-kasih Kristus (ROM. 8:35-39 => “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus ? ... tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”). Cinta-kasih itu merupakan kuasa yang memberi kekuatan (energi ilahi) bagi setiap anggota jemaat untuk memelihara kesetiaannya sampai masa Tuhan mengadakan jamuan perkawinan Anak Domba di dalam Kerajaan Sorga.

D.  PERCERAIAN

Menurut saya, tidak mungkin ada peristiwa perceraian, jikalau tidak pernah terjadi perkawinan; dan, untuk memahami perceraian, kita memerlukan penjelasan alkitabiah, agar dapat menentukan pandangan Gereja tentang kasus perceraian. Saya mengajak saudara untuk memahami teologi Keluarga Allah terkait masalah ini.

1)    Latar belakang konteks.

Menurut hemat saya, kita tidak bisa menyalahkan perceraian, jikalau kita tidak menyorotinya dari berbagai aspek :

Pertama, aspek hukum, jika kita telah mengerti penjelasan di atas, bahwa perkawinan didasarkan atas kontrak perjanjian (hukum adat, hukum positif) dalam sebuah masyarakat, maka perceraian adalah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dengan tujuan memenuhi kepentingan pribadi (baik suami maupun isteri). Dan, oleh karena itu, si pelanggar wajib dikenakan sanksi.

Kedua, aspek psikologis, perceraian merupakan tindakan yang merugikan semua pihak yang terikat dalam perjanjian. Secara psikologis keadaan itu melukai bathin, atau sekurang-kurangnya, berakibat buruk bagi semua pihak; dan, oleh karena itu, perceraian merupakan jalan yang salah untuk mencapai masa depan keluarga.

Ketiga, aspek sosial, sampai hari ini masyarakat menolak perceraian sebagai jalan akhir yang ditempuh mengatasi kisruh hubungan suami-isteri. Dan, bagi suami-isteri yang bercerai dikenakan sanksi sosial baik secara lisan maupun tertulis (menurut Hukum Adat).

Keempat, aspek religius, pada galibnya semua agama bersepakat menyatakan, bahwa perceraian adalah tindakan jahat dan pantas dihukum.

Kesimpulan : ditinjau dari sudut pandang apapun, masyarakat menolak tegas-tegas perceraian sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah kelarga.

2)   Pandangan Gereja

Pemahaman Gereja tentang perceraian bertolak dari kesaksian Alkitab sebagai berikut :

Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam.
Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat !
(MAL. 2:16).

Ø Perceraian bukanlah MUSIBAH.
Jika kita mengkaji ucapan ilahi dalam Kitab Maleakhi, maka kita memperoleh gambaran bahwa perceraian itu merupakan kristalisasi dari serentetan peristiwa KDRT. So pasti, diawali dengan tindakan kektidaksetiaan (MAL. 2:14-16). Jadi, pihak yang ingin bercerai telah merencana-kannya dengan baik. Kita tidak boleh mengatakan hal itu musibah, sebab kondisinya berbeda. Musibah adalah keadaan tiba-tiba yang menimpa seseorang, tanpa disadari, tanpa disengaja.

Ø Pandangan Maleakhi.
Ucapan ilahi yang disampaikan Nabi Maleakhi ini didahului ulasan konteks sosial pada masa itu, di mana laki-laki (suami) melakukan tindakan kekerasan dalam rumahtangga (KDRT). So pasti, salah satu alasan yang melatarbelakangi KDRT terhadap isteri adalah  pengkhianatan ataupun keinginan untuk bercerai, padahal TUHAN menjadi saksi dalam perjanjian yang dibuat suami-isteri (MAL. 2:14-15b).

Ø Pandangan Tuhan Yesus Kristus.
Terkait hal itu, Tuhan Yesus mengatakan : "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (MAT. 19:8). Ucapan Yesus itu bertujuan menyanggah alasan yang dipakai untuk membenarkan kebiasaan perceraian dalam budaya masyarakat Israel pada saat itu (Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja ? .... Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." => MAT. 19 : 3,9). Menurut Yesus, sejak dahulu (MAT. 19:4) Allah tidak menghendaki perceraian, bahkan sekalipun isteri ataupun suami berzinahpun, tidak boleh bercerai (sebab bisa saja suami-isteri saling menjebak, supaya bisa menemukan alasan untuk bercerai). Itulah yang dimaksudkan Yesus : “Karena ketegaran hatimu...” Musa mengizinkan perceraian, tetapi sejak semula tidaklah demikian (MAT. 18:8). Dengan demikian, Yesus Kristus tidak membenarkan tidakan perceraian.

Ø Pandangan Rasul Paulus

Rasul Paulus menjelaskan pandangannya sehubungan dengan kebiasaan kawin cerai di Kota Korintus telah menular ke dalam Jemaat itu.

Rekonstruksi Narasi I KORINTUS 7.

Cerita berawal dari kebiasaan masyarakat Korintus (masyarakat pelabuhan) yang gila akan kehidupan seksual. Mereka sering bercerai dan kawin mawin. Pada waktu Paulus memberitakan Injil Kristus ke kota itu, banyak orang beralih keyakinan. Bisa saja sang istri atau suami menjadi seorang Kristen, tetapi pasangannya masih memeluk agama-budaya-lokal (kasus seperti ini banyak ditemukan di Indonesia). Keadaan demikian menimbulkan keresahan dalam persekutuan jemaat. Ada pula di antara orang-orang itu yang menceraikan suami atau isteri, karena berbeda keyakinan. Paulus menasihati mereka :

Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.

Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan : kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.( I KOR. 7:10-14).

Pertama, “Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.” Nasihat ini difatwakan Paulus, mengingat bahaya percabulan dan perzinahan di dalam kota Korintus. Isteri yang setia, menurut Paulus, janganlah menceraikan suaminya yang selingkuh (apalagi bila suami itu tidak seiman). Dalam hal ini rasul Petrus menasihati para isteri : “... supaya mereka (suami) juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan selehnya hidup sang isteri” (I PET. 3:1-2).

Kedua, jika seseorang telah menikah terlebih dahulu, kemudian ia beralih agama; maka alangkah baiknya ia tidak menceraikan pasangannya. Janganlah perbedaan keyakinan / agama dijadikan alasan perceraian. Di pihak lain, anggota jemaat Kristus saat ini tidak boleh memakai I Kor. 7:12-14 menjadi alasan untuk menikah, lalu kemudian bercerai. Artinya, Paulus dengan tegas menolak perkawinan campur agama atau beda keyakinan (II KOR. 6: 11-18).  Hal itu akan membahayakan pertumbuhan iman pribadi.

Ø PERCERAIAN SEBAGAI SIMBOL

a. Perjanjian Lama, khususnya tradisi Kitab Nabi Hosea, menafsirkan tindakan perceraian sebagai pemberontakan / pelanggaran / dosa kepada Allah. Hosea mendasarkan pemberitaannya dengan pengenalan akan Allah (Ibr. yada ‘Elohim), bersumber dari sikap hati yang mengasihi TUHAN dan setia memberlakukan TauratNya.

b. Menurut Hosea, Allah telah memberikan Hukum Perjanjian (Taurat) sebagai pengajaran / petunjuk hidup (JANGAN ADA PADAMU ILAH LAIN DI HADAPAN HADIRATKU. JANGAN MENYEMBAH BERHALA. KUDUSKAN HARI SABAT); akan tetapi Israel melanggar perjanjiannya dengan TUHAN. Dengan kata lain, Israel mengkhianati Allah. Ia memilih jalannya sediri. Ia menceraikan diri dari Allah yang mencintainya. Oleh karena itu, Allah menghukum kejahatannya.

3)    KESIMPULAN


Mengalir dari penjelasan-penjelasan di atas, menurut saya, Gereja harus menyatakan prinsipnya secara tegas, bahwa PERCERAIAN TIDAK DIKEHENDAKI ALLAH; dan, oleh karena itu, GPIB tidak menyetujui tindakan perceraian, Gereja menolak perceraian sebagai jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan keluarga.  

diusulkan oleh 


PENDETA ARIE A. R. IHALAUW

Bogor, Sabtu - 13 September 2014

2 komentar:

  1. Menurut saya dalam Mat 13:3,9 jelas Yesus memberikan pengecualian dalam perceraian, yaitu "kecuali karena zinah". Artinya perceraian tidak terelakkan kalau suami atau istri berzinah. Tidak mungkin Yesus menghendaki mereka tetap bersatu walau salah satu sudah berzinah. Tuhan maha pengampun memang, jadi yang berzinah tetap diampuni apabila tobat. Tapi, bukan berarti harus bersatu lagi meneruskan pernikahan. Pernikahan kan dilandasi oleh kepercayaan satu sama lain dimana kepercayaan ini sperti gelas kaca. Apabila pecah tidak akan bisa kembali seperti semula.

    BalasHapus
  2. Bisakah anda memberikan dasar teologia dari tafsiran dari Matius 13:3,9 ? Argumen yang anda berikan seolah-olah hanya mencantumkan ayat Alkitab tanpa dasar teologia yang kuat. Lagipula, asumsi bahwa kepercayaan seperti gelas kaca itu sumbernya darimana ya ? Jika kepercayaan itu tidak bisa kembali seperti semula, mengapa Tuhan bisa percaya terus kepada manusia meskipun manusia cenderung merusak kepercayaan Tuhan? Bukankah hubungan pernikahan berdasarkan pada hubungan Allah dan manusia ? Jika gereja menyetujui dan melegitimasi perceraian, maka gereja harus bisa menyajikan dasar teologi di mana Tuhan bercerai atau memisahkan diri secara total dari manusia.

    BalasHapus