Senin, 10 Januari 2011

RANCNGAN PENGJARAN Minggu, 16 Januari 2011


ARIE/RAPE-01/I-11
 HARI MINGGU, 16 JANUARI 211


MEMBERI SECARA KRISTEN

Ritual  pemberian  persembahan  perlu diperlihatkan dalam  karya  sosial,  supaya  damai  sejahtera  dapat  dinikmati serta nama TUHAN Allah kita dimuliakan banyak orang.

MATIUS 6 : 1 – 4



disusun oleh :

ARIE A. R. IHALAUW

Pendeta GPIB
JEMAAT KASIH KARUNIA MEDAN

Medan Helvetia - Senin, 10 Januari 2011


PENDAHULUAN

Praktik Persembahan dalam Konteks Masyarakat.

Jauh sebelum Agama – Agama Langit (Israel – Islam – Kristen) berkembang, praktik memberikan persembahan, dalam bentuk pajak kepada raja atau upeti kepada negara jajahan serta sesajen kepada Sang Hyang,  telah dikenal oleh masyarakat. Yang perlu kita ketahui, bahwa pemberian korban atau persembahan kepada orang miskin tidak pernah dikenal dalam ritual budaya-agama-suku (juga agama-agama langit). Semua bentuk persembahan korban diperuntukkan kepada Allah. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan agama-agama apapun tentang pemberian sedekah / tsadoqah atau pemberian persembahan kepada orang miskin merupakan perilaku sosial dari pemeluk agama. Saya menandaskan ulang, pemberian semua jenis persembahan diselenggarakan secara ritual dan ditujukan kepada TUHAN Allah (dalam pemahaman agama-agama langit) dan atau dewa-dewi (dalam pemahaman budaya-agama-suku).

Pemberian korban / persembahan memiliki tujuan yang lahir dari penghayatan dan pemahaman. Hal itu mengungapkan motivasi serta  tergantung pula oleh kondisi sosial pelaku agama. Oleh karena itu, jik kita membahas cerita-cerita kaum beragama tentang pemberian persembahan / korban, maka kita perlu menelusuri tradisi yang dimilikinya.

Tradisi di sekitar Ucapan Yesus dalam Matius 5 – 7 

1.   Pemanfaatan Tradisi Ucapan Yesus oleh Penulis Matius

Penulis Injil Matius seorang Israel asli. Menurut sumber-sumber, Matius adalah salah satu anggota dan pemuka dalam jemaat Kristen di Antiochia di Siria. 

2.   Kondisi Jemaat Kristen di Antiochia – Siria

Jemaat Kristen Antiochia – Siria terdiri dari orang-orang Israeli dan orang-orang non-israeli. Masing-masing memiliki latarbelakang sosio-kultural serta pengalaman beragama yang berbeda. Keberagaman inilah yang menimbulkan masalah dilematis : bagaimana cara strategis untuk mempersekutukan dan mempersatukan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing anggota. 

3.   Pokok Permasalahan dalam Jemaat Kristen di Antiochia - Siria 

Pokok permasalahan dalam Jemaat Kristen Antiochia – Siria tidak jauh berbeda dengan Jemaat-Jemaat Kristen non-israeli. Perjumpaan antar bangsa yang beragam latar belakang itu menimbulkan masala psichologi agama. Artinya, masing-masing kelompok mempertahankan pemahaman iman (kepercayaan)-nya sendiri. Akibatnya terjadi benturan (cuture-shock) yang cukup meresahkan persekutuan jemaat. Hal seperti itu wajar saja. Persoalan baru muncul ketika para pemimpin Jemaat Lokal memikirkan dan mencari jalan keluar untuk mengatasinya.

4.   Keunikan Kekristenan

Meskipun kekristenan dipahami sebagai kelanjutan dari Agama Israel pos/pasca pembuangan (seperti : aliran Saduki, Parisi dan Essen), namun perkembangan gagasan-gagasan teologinya cukup menggoncangkan dunia keagamaan secara umum, bukan saja Agama Israel tetapi juga budaya-agama-suku di sekitar kehadirannya. Kekristenan mula-mula berangkat dari :

A.   Allah-Yang-Bersabda (Matius selalu memakai rumusan ini : AKU BERKATA KEPADAMU -> 5:18, 20, 22, 26, dll). Jemaat Kristen Abad I menata persekutuannya berdasarkan tradisi di sekitar ucapan-ucapan Yesus, orang Nazareth. Artinya, pada awal pertumbuhannya para penerus dan penganut kekristen berusaha mengembangkan pandangan Yesus terhadap berbagai masalah soaial-keagamaan yang ditemui sepanjang masa bakti-Nya. Bagaimana setiap manusia ciptaan Allah memainkan peranan sesuai fungsi keagamaan dan statusnya dalam masyarakat. Ibadah, menurut Yesus, merupakan kesatuan hidup yang tidak dapat dipilahkan dan dipisahkan; dan, oleh karena itu, setiap peran orang Kristen bersifat sosio-religius (sosial keagamaan).  

Kekristenan merupakan sesuatu yang unik dalam semua bentuk dan stuktur masyarakat sebagaimana diajarkan Agama Israel dan budaya-agama-suku pada waktu-Nya. Keunikan itu, menurut pendapat saya, terletak pada cara Yesus memandang dan mengartikan :

1)   Kekuasaan Allah. Masyarakat Israel dan di sekitarnya, memandang agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dipilahkan. Israel adalah bangsaku dan agamaku, misalkan begitu. Hal itu berarti, bangsa Israel memahami kekuasaan yang diberikan Allah kepada Agama dan Negara. Agama mengatur Negara dan sebaliknya. Agama adalah Agama Kerajaan. Celakanya, pengelola Agama (Bait Allah) dan Negara (Kerajaan) acapkali menyalah gunakan kekuatan kekuasaan (otoritas) pemberian Allah untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Pada akhirnya manusia (warga masyarakat) menjadi korban ambisi pemimpinnya.

2)   Kerajaan Allah. Dunia pemerintahan kerajaan dipahami sebagai implementasi dari Kerajaan Allah yang tidak kelihatan. Raja adalah titisan dewa, menurut budaya-agama-suku (Mesir, Asiria-Babel dan Kanaan). Sementara Israel memahami status raja sebagai Anak-Allah (Maz. 7:1). Pemahaman seperti ini akan menimbulkan masalah, ketika masing-masing kerajaan mengklaim tugasnya sebagai pengemban tugas dari tugas ilahi. Akan muncul pembenaran terhadap kebrutalan tindakan strategi politis dengan memakai alasan-alasan keagaaan. Perihal seperti itu tampak dalam sejarah kemanusiaan dan pemerintahan dari bangsa-bangsa beragama sejak dahulu kala sampai hari ini.

Tiap-tiap penganut agama mengklaim kebenaran agama sendiri, mempolitisasikannya untuk mencapai ambisi pribadi / kelompok. Dalam hal itu Negara berlandaskan keagamaan (mayoritas) akan menindas dan menjajah warga yang berbeda keyakinan agamanya. Menurut pandangan politik, hal itu wajar-wajar saya. Akan tetapi di dalam pandangan dan ucapan Yesus, perbuatan / tindakan yang dilakukan dengan memakai dalil keagamaan untuk tujuan politik (kelompok) merupakan pelanggaran atas fitrah / hakekat keagamaan. Allah tidak merancangkan dan tidak menyetujui tindakan politik seperti itu.

3)   Simbol Keagamaan mengungkapkan rahasia ilahi dalam alur rencana pembangunan alam semesta. Keyakinan Agama Israel maupun kepercayaan budaya-agama-suku tampak pula dalam simbol-simbol yang diciptakan. Simbol-simbol itu memiliki mitos sendiri-sendiri, tetapi bertolak dari satu nilai abadi : keilahian (di dalamnya terdapat ikatan perjanjian, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, damai sejahtera dan sukacita, kasih dan rachmat, kasih-setia dan kasih-sayang, kesetiaan dan kepedulian sosial, dan lain-lain sejenisnya). 

Agama Israel dan semua budaya-agaa-suku pada waktu itu memiliki simbol-simbol yang mereprsentasikan kekuatan kuasa ilahi. Salah satunya adalah Sunat dan Hukum. Akan tetapi masing-masing memakainya menurut pengajarannya sendiri. Israel memakai sunat sebagai simbol kepemilikan Allah dan sekaligus perihal naturalisasi (perpindahan kewargaan seseorang menjadi warga Israel). Hal itu dilakukannya sesuai tuntutan Hukum Taurat (bd. Kej 17 : 10- 14; bd. Kel. 12 : 48 – 49). Tujuan seperti ini dimiliki juga oleh bangsa-bangsa lain di sekitar Israel

4)   Inilah masalah yang dihadapi Jemaat Kristen secara umum, di mana anggota-anggotanya terdiri dari berbagai manusia yang berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya, termasuk Israel.

B. Allah-Yang-Mempribadi. SIAKAPAH AKU ? (Mat. 16:13, 15). Persoalan di sekitar personalitas dari Yesus menjadi Kristus. Saya berusaha jujur dan berbicara terbuka, bukan untuk meragukan pengajaran, melainkan untuk mengokohkan pemahaman iman Kristen terhadap Yesus Kristus. Personalitas dari Yesus menjadi Kristus menjadi persoalan besar dalam kalangan jemaat maupun serangan kritikan dari luar kekristenan. Persoalan ini bukan saja baru berkembang sesudah Ia kembali kedalam kemuliaan; akan tetapi telah berkembang selama Yesus masih bersama para pengikut dan murid-Nya. Simaklah dengan baik pertanyaan Yesus kepada para murid ketika mereka retreat di daerah Kaisaria-Pilipi : “Kata orang, siapakah Aku ini ?” (Mat. 16:13), kemudian “Apa katamu, siapakah Aku ini ?” (Mat. 16:15).

Menurut pakar Perjanjian Baru, diantara beberapa sumber penulisan injilnya, Matius juga menjadi salah satu pengagum Simon Petrus. Ia dekat dengan sang rasul. Bukan tidak mungkin cerita tentang Yesus, orang Nazareth, diwarisinya dari sang rasul. Hal itu tidak perlu diherankan, karena Matius menonjolkan peran Petrus dalam cerita percakapan di kota tepi pantai : Kaesarea-Pilipi.

Pengakuan Simon atau Kefas, alias Petrus, merupakan perkebangan baru dalam teologi Jemaat Kristen Abad I. Bukan berarti tahapan pertama (tradisi ucapan-ucapan Yesus) ditinggalkan, melainkan justru sebaliknya tradisi pertama itu dikuatkan dan dikokohkan, ketika Jemaat menegaskan pemahaman dan pengakuan imannya terhadap status dan peranan Yesus (personalitas) dalam sejarah penyelamatan yang dikerjakan oleh TUHAN, Allah Israel, sejak masa Perjanjian Lama. “ENGKAULAH MESIAH, ANAK ALLAH YANG HIDUP !” (Mat. 16:16). 

Mengapa saya berpendaat demikian ? Marilah saya menjelaskannya, supaya tidak terjadi kesalah pahaman antara kita. Begini uraiannya :

a)    Matius adalah seorang keturunan Israel asli. Saya berasumsi, bahwa setiap orang Israel pasti telah mengikuti system pengajaran Israel : beth-midrash dan beth-seper. Oleh karena itu, Matius fasih menguasai tradisi keagamaan Israel. Salah satu topic dalam teologi Agama Israel adalah kedatangan MESIAH yang dijanjikan Allah pada akhir zaman (Gagasan Teologi ini muncul sejak zaman Yesaya, dan semaki mencuat kuat pada semasa dan sesudah eksilis/pembuangan di Babel. Kaum / kelompok Essen, salah satu aliran Agama Israel, pun sangat menonjolkannya dalam tulisan-tulisan mereka).

b)  Yesus, orang Nazareth, adalah salah satu tokoh yang muncu di Israel pada masa penjajahan Roma. Kehadiran-Nya, oleh ucapan dan tindakan (yang adalah karya)–Nya , telah menggerakan masyarakat untuk kembali mendalami sejarah kebangsaannya sejak di Mesir, pengembaraan padang gurun sampai pendudukan Kanaan. Sejak saat itu masyarakat Israel mengalami perubahan dan perkembangan besar. Apa saja ucapan dan tindakan-Nya menjadi tolok ukur.

     Sejak pemunculan Yesus, orang Israel semakin giat menekuni nubuat nabi-nabi mereka. Kegiatan ini pertama-tama bersifat positif. Bertujuan untuk mencari jawaban atas pergumulan Israel : apakah Yesus adalah Mesiah yang dijanjikan TUHAN, Allah Israel, sesuai nubuat para nabi Perjanjian Lama ? So pasti, pertanyaan itu muncul dengan berlatarbelakangkan kekecewaan politis karena kegagalan klan Makabe yang memimpin perang lokal melawan pasukan Romawi. 

     Pikiran positif itu berubah total, ketika masyarakat (khususnya pemuka Israel) melihat dan mendengar sepak terjang Yesus yang kurang mendukung aspirasi politik mereka. Perlawanan dan penolakan terhadap Yesus sebagai Allah-Yang-Bersabda, bukan dikarenakan kemesiahan-Nya, melainkan karena alasan politis. Latarbelakang itulah yang menjadi alasan kuat terhadap Yesus sebagai Allah-Yang-Bersabda dan Allah-Yang-Mempribadi. Simaklah saja berbagai bentuk pertanyaan yang diada-adakan (dicari-cari) untuk menjebak Dia. 

     Persoalan ini tidak berakhir dalam kematian-Nya. Ternyata dianjutkan terus ke dalam pembangunan Jemaat-Nya. Yesus sebagai Allah-Yang-Bersabda dan Allah-Yang-Mempribadi dipertanyakan (dipersoalkan) terus menerus sampai sekarang, baik oleh umat non-kristen maupun orang kristen.

     Salah satu yang mencuat adalah Sikap Yesus terhadap Sunat dan Hukum Taurat (Catatan : tradisi lisan yang dituliskan dalam Matius 5 - 7 bukan saja merupakan ajaran Yesus, melainkan juga refleksi pergumulan Jemaat, di mana Matius menjadi pelayannya). Jemaat Kristen Israeli (keturunan Israel) di Antiochia-Siria menginginkan, agar setiap warga kristen di sana wajib disunatkan dan taat menjalankan tuntutan Hukum Taurat. Keinginan itu ditentang oleh warga jemaat non-israeli. Akhirnya kondisi persekutuan terancam. 

     Menggatasi kondisi kurang sehat, Matius memakai tradisi (Mat. 5 – 7) dengan tujuan pengajaran dan penggembalaan. Melalui tulisan itu Matius menjelaskan kepada warga jemaat : apakah pandangan Yesus tentang kedudukan Sunat dan Huku Taurat

                 i.        Apakah padangan Yesus tentang Hukum Taurat ?

Hukum Taurat wajib diberlakukan.  Yesus mengakui fungsi Hukum Taurat sebagai Firman Allah yang mengatur perilaku ibadah umat dalam bidang keagamaan (kultus ritual) maupun kemasyarakatan.

Catatan : fungsi hukum Taurat ini jauh-jauh hari telah diptaktikkan dalam kehidupan Israel Perjanjian Lama (simaklah teologi Kitab-Kitab Musa -> Teologi Imam-Imam dan teologi Deuteronomi).
Yesus hanya mengingatkan kembali, bahwa perilaku ibadah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam Hukum Taurat sama nilai dan sama bobotnya, baik dalam pelaksanaan ritual maupun perilaku sosial. Ibadah Israel yang dikehendaki Allah patut menghadirkan keadilan dan kebenaran (bandingkan teologi Kitab Amos -> 5 : 24 – 27 bd. Mikha 6 : 8) dan pengenalan / cinta akan Allah (simak teologi Kitab Hosea -> psl 2). Dengan kata lain, menurut Matius, Yesus mendudukkan kembali fungsi dan peran Hukum Taurat sebagai pengajaran / petunjuk Allah dalam pelaksanaan karya ibadah hidup umat Israel dan bukan sebagai jalan keselamatan.

Oleh karena itu, Yesus berkata : “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Parisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mat. 5:20). Artinya, jika orang-orang Parisi dan ahli-ahli Taurat, oleh karena kesalahan melakukan hukum Taurat, mereka tidak diperkenankan Allah masuk ke dalam Kerajaan-Nya, apalagi yang dapat dikatakan tentang perilaku orang-orang biasa ? Jadi jikalau ukuran yang dipakai untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah kebenaran karena melakukan Hukum Taurat, maka yang diselamatkan hanyalah para ahli Taurat dan orang Parisi. Selain mereka tidak ada yang dapat masuk kerajaan itu. 

Lantas, bagaimanakah orang masuk ke dalam Kerajaan Allah ? Apakah ukurannya ? Matius menjawab :

§  Percaya dan melakukan ucapan Yesus. Yesus berkata : “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku dan melakukannya” (Mat. 7:24). Di sinilah saya mengerti teologi Matius tentang ucapan Yesus (AKU BERKATA KEPADAMU) : “Akupun berkata kepadamu : Aku akan mendirikan Jemaat-Ku dan alam maut tak dapat menguasainya” (Mat. 16:18). Jadi Jemaat sebagai KELUARGA ALLAH yang dibangun dan diikatkan oleh karena iman dan memberlakukan kepada ucapan-ucapan Yesus, akan masuk ke dalam Kerajaan Allah (bd. 7 : 21 dst).

§  Percaya kepada Yesus Kristus selaku Allah-Yang-Mempribadi. Pemahaman ini saya hayati melalui tulisan Matius tentang pengakuan Petrus (Mat. 16:15, 16). Yesus bertanya : “Apa katamu, siapakah Aku  ?” Jawab Petrus : “Engkaulah Mesiah, Anak Anak Allah yang hidup !” Pemahaman dan pengakuan iman itu bukan saja diucapkan oleh Petrus, tetapi juga oleh orang-orang percaya yang dimeteraikan atas nama Yesus. Petrus hanyalah simbolisasi dari persekutuan jemaat yang mengaku. 

Dengan demikian, jika orang percaya mengakui ke-Allah-an (ke-Mesiah-an atau Yesus selaku Kristus) Yesus serta melakukan ucapan-ucapannya,  ia akan masuk ke dalam Kerajaan Allah jauh melebihi ukuran yang dipakai untuk mengukur ahli-ahli Taurat dan orang-orang Parisi. Apakah ukurannya ? Segala sesuatu tergantung pada keputusan Allah yang dinyatakan oleh Yesus, yakni : belas-kasihan (kasih-karunia, anugerah) Allah. (Mat. 23 : 23; bd. Mat. 5 : 45 – 48). Jadi bukan masalah sunat atau tidak disunat, bukan pula melakukan hukum Taurat, tetapi percaya / kepada serta mengasihi dan memberlakukan apa yang telah diucapkan dan dikerjakan Yesus

               ii.        Apakah pandangan Yesus tentang Sunat ?

Kesimpulan yang saya uraikan di atas juga berlaku terhadap sunat dan hal-hal lain yang termaktub dalam Hukum Taurat, termasuk pemberian sedekah. Yang terutama adalah Kasih. Sebab kata Yesus “Pada kedua hukum itu tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 22:40). Artinya, segala sesuatu yang dikatakan dan yang dikerjakan oleh Yesus telah menggenapi seluruh kehendak Allah yang dituliskan dalam Perjanjian Lama. Itulah sebabnya Matius menuliskan maksud dan tujuan kedatangan Yesus, Allah-Yang-Mempribadi dalam rupa manusia, yakni untuk memenuhi tuntutan hukum Taurat dan menggenapi kesaksian kitab para nabi (Mat. 5:17-18). 

5. PERIKOP MATIUS 6 : 1 - 4

     Menurut cara penulisan Injil Matius, pasal 1 : 1 – 7 : 27 dikelompokkkan ke dalam pengajaran (saya suka menggunakan istilah ini ketimbang kata kerja khotbah, karena Matius 5 : 1 menggunakannya) Yesus Di Bukit. Dan, Matius memasukkan HAL MEMBERI SEDEKAH (6:14) dalam kesatuan pengajaran Yesus. Pengelompokkan pasal 1 – 7 cenderung dipakai Matius untuk membandingkan fungsi dan peran Musa sebagai Pemberi Hukum dalam Perjanjian Lama (Matius 1 – 5 merupakan refleksi cerita gaya Matius tentang Kelahiran Yesus). Tujuan Matius : membandingkan, malahan sekaligus menempatkan Yesus sebagai Allah-Yang-Bersabda, jauh melebihi Musa. Artinya, jikalau sepanjang masa Perjanjian Lama, Israel hanya mendengar Sabda/Firman Allah yang disampaikan oleh perantaraan manusia (Yer. 1:7; 15:19), sekarang di dalam masa Perjanjian Baru, Israel menyaksikan secara langsung seluruh aktivitas Allah dalam sejarah manusia, bangsa Israel, umat Allah. 

     Israel tidak saja mendengar firman tentang persembahan korban anak-domba keselamatan pada hari raya Paskah dan atau Hari Raya Pendamaian; akan tetapi mereka juga menyaksikan pengorbanan Yesus, selaku Anak-Domba-Allah sesuai kesaksian Nabi Yesaya (Yes.53:7), yang disembelih di atas Bukit Golgota (Tengkorak). Jadi bukan saja berita yang disampaika turun-temurun, tetapi peristiwa keselamatan yang dilakukan Allah di dalam bentangan sejarah dunia, dan bangsa Israel. 

a). Pemahaman atas Kata / Istilah

     Jikalau kita tidak menelaah kata / istilah yang dipakai dalam perikop ini, maka akar teologinya akan dangkal. Kita akan menekankan aspek praktis dari tindakan memberikan sedekah / persembahan. Dan, hal inilah yang selalu dilakukan setiap menyampaikan pengajaran terkait Matius 6 : 1 – 4. Pengajaran seperti ini bertujuan untuk menghimpun kolekte agar menambah pemasukan keuangan saja. Sementara ia tidak berfungsi untuk menggugah kesadaran (motivasi) memberi berdasarkan KASIH AKAN ALLAH dan AKAN SESAMA MANUSIA sesuai ajaran Yesus (Mat. 5:23-26; 22:37-40).

     Kata / istilah sedekah yang ditransliterasiken ke dalam Bahasa Indonesia memiliki akar teologi yang kuat dalam Bahasa Ibrani : TZEDEQ (AH).

a.1. Sedekah (tsadoqah) berasal dari kata dasar tzdg (tzedeg) artinya  benar, adil

a.2. Kata tzedeqah dalam Alkitab Bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia : kebenaran, keadilan. Dalam kasus-kasus kalimat tertentu, kadang juga diterjemahkan: hukum (ada pula kata Ibrani lain untuk hukum : mishphat / misphatim).

a.3. Penggunaan akhiran AH pada kata tzedeqah mempunyai 2 (dua) makna :

       Pertama, menunjuk pada jenis kelamin feminine (betina, perempuan). Dan, kedua, menunjuk pada kebiasaan Israel menyatukan tindakan itu pada nama TUHAN : Yahweh, Yahua, Yaho. Namun arti yag kedua ini masih bersifat hipotesis saja. Meskipun saya percaya, bahwa contoh yang benar dan baik tentang perihal member sedekah itu tampak jelas dala perbuatan TUHAN (Yahua) mempersembahkan Anak-Domba-Nya di Salib

b). Makna Kata dalam Pemahaman Iman (Teologi Alktabiah)

b.1. Sesuai dengan arti akar katanya, saya berpendapat, bahwa sedekah, dalam arti pemberian atau persembahan korban, wajib dipenuhi berdasarkan HUKUM (tzedeqah) yang difirmankan TUHAN Allah sebagaimana tertulis dalam Alkitab. Terkait juga dengan kuantitas dan kualitasnya (misalnya : persepuluhan). 

b.2.`       Tsedeqah (pemberian, persembahan korban) itu pertama-tama dilakukan oleh Allah. Itulah contoh yang benar, yakni : ketika Ia menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia, sehingga manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7), juga berkat material dan jasmaniah yang diberikan-Nya k atas kehidupan manusia. 

       Pemberian atau persembahan korban dari Allah itu mencerminkan kebenaran (motivasi yang benar) Allah yang bersumber pada hati-Nya yang penuh kasih semata-mata. Tidak pamrih dan tidak menuntut balas jasa.

b.3. Pemberian atau persembahan korban dari Allah itu juga menunjukkan keadilan-Nya ke atas kehidupan manusia. 

b.4. Secara juridis formal, tzedeqah memperlihatkan sikap (tindakan) dan keputusan (pernyataan hukum) Allah yang memenuhi perjanjian kasih karunia dengan manusia, sejak zaman Abraham (menurut kesaksian Alkitab) sampai memuncak pada peristiwa penyaliban Yesus.

b.5. Penyaliban Yesus menjadi bukti, bahwa ketika Allah mengadili manusia berdosa, Ia telah menghukum Diri-Nya sendiri untuk membenarkan ciptaan-Nya. Manusia berdosa dibenarkan dan dikuduskan (teologi reformasi calvinis tentang SANKTIFIKASI) oleh persembahan (anugerah) Allah. 

c). Etika Praktis dalam Pelayanan – Kesaksian Gereja / Jemaat

     Bertolak dari penghayatan terhadap butir-butir yang dijelaskan di atas, maka orang Kristen perlu melandaskan pemahaman tentang pemberian / persembahan korban sebagai berikut :

c.1.  Pemberian atau persembahan korban apapun yang disampaikan kepada Allah melalui kantong persembahan dan atau amplop pengucapan syukur tidaklah sesempurna apa yang telah dilakukan oleh Allah dalam pekerjaan Yesus Kristus

c.2.  Seluruh pemberian atau persembahan korban yang diberikan merupakan ungkapan syukur kepada Allah (I Tess. 5:18), oleh karena kasih-Nya (bd. I Yoh. 4:19).

c.3.  Pemberian atau persembahan korban itu bertujuan untuk memuliakan Allah (bd. Kol. 3:17) dan untuk mendukung pekerjaan pemberitaan Injil (bd. Rom 10:13-15a). Bukan untuk menyogok Allah dan atau mendapat pahala sorgawi.

c.3.  Pemberian atau persembahan korban itu bersifat sukarela, sukacita jangan dengan duka atau karena paksaan (II Kor. 9:7), serta bertumbuh dari hati yang menyadari, bahwa segala sesuatu yang kita berikan / persembahkan berasal dari berkat Allah yang diterima melalui pekerjaan maupun pemeliharaan kesehatan jasmani-rohani kita. 

c.4.  Memang benar, pemberian / persembahan korban itu bersifat sukarela, sukacita dan bukan karena paksaan. Tetapi kita pun menyadari, bahwa Allah memberikan berkat dalam jumlah yang tidak terbatas; karena itu, ketika kita memberi persembahan, janganlah kita menipu Allah (Mal. 3:8-10), sebab kita sendiri tahu persis jumlah berkat-Nya, dan Allah pun mengetahui niat hati kita.

Akhir ul’kalam

Saa sengaja menuliskan garis besar pemahaman saja, sebab saya yakin benar dan tahu persis, bahwa kalian dapat menyusun pengajaran sesuai perikp bacaan ini dengan tepat. SELAMAT MELAYANI.

Medan, 10 Januari 2011

SALAM DAN DOA BERKATKU

PDT. ARIE A. R. IHALAUW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar