Selasa, 15 Maret 2011

KASIH YANG MENGORBANKAN DIRI - sebuah ilustrasi


Ilustrasi Untuk Pengajaran

CINTA-KASIH  & PENGORBANAN

Sebuah cerita untuk memahami makna PENGORBANAN YESUS KRISTUS bagi keselamatan manusia

by
ARIE A. R. IHALAUW

Di desa kecil Keluarga Pak Arie berdiam di sana. Pak Arie seorang petani yang rajin. Ia hidup bersama Bu Sinsi dan kelima anaknya : Yada, Goel, Amor, Chesed dan Astrid. Ibu Sinsi adalah penjual sayur keliling desa. Keluarga sederhana itu selalu rajin mengikuti di hari Minggu. Tiga di antara lima anaknya sedang duduk di sekolah dasar. Setiap pukul 05.30 subuh Yada, Goel dan Amor berjalan kaki ke sekolah. Ada dua setengah jauh jarak yang mereka tempuh pulang – pergi setiap hari. Yada, Go’el dan Amor tetap ceria tiap waktu berangkat maupun pulang dari sekolah. Mereka selalu menjalankan tugas belajarnya dengan baik, agar kedua orangtuanya bahagia.

Suatu hari….

Go’el pulang sekolah lebih awal dari kedua saudaranya. Ia berjalan sambil bernyanyi lagu-lagu yang diajarkan kedua orang tuanya, ketika keluarga Pak Arie beribadah pagi sebelum semua kegiatan dilakukan  :

Ku ingin s’perti Yesus yang rendah hati-Nya. Lemah lembut dan manis besarlah kasih-Nya, tetapi sungguh sayang, ‘ku nakal dan cemar. Ya Yesus b’ri ‘ku hati seperti hati-Mu.
‘Ku ingin s’perti Yesus yang rela berkorban. Walaupun harus mati demi kebaikan. Ajarlah aku Tuhan mengikut jejak-Mu. Berilah kekuatan kerjakan karya-Mu !
Lagu itu dinyanyikan sambil berlari-lari kecil menuju rumahnya. Go’el tiba di rumah tepat pada waktu ibunya selesai menyiapkan makanan. Ia menyalami bundanya, lalu masuk kekamar untuk berdoa. 

Go’el duduk makan bersama bundanya. Sambil makan keduanya bercerita tentang kegiatan belajar di sekolah. Dengan semangat Go’el menceritakan hasil belajar yang diperoleh. Bundanya makin ceria. Ia menepuk bahu anaknya, sambil berkata : “Go’el, kau harus rajin belajar ! Tapi juga berdoa kepada Tuhan Yesus, agar Dia memberikan kesehatan dan semangat untuk semakin lebih pandai lagi, ya nak !” Go’el mengangguk, sembari memandang wajah bundanya. 

Setelah makan siang selesai Go’el disuruh membawa makanan untuk ayahnya di sawah. Tetap ceria, si Go’el manis berjalan sambil menjinjing rantang makanan ayahnya. Tak lupa ia menyanyikan lagi yang diajarkan orangtuanya :

‘Ku ingin s’perti Yesus yang rela berkorban. Walaupun harus mati demi kebaikan. Ajarlah aku Tuhan mengikut jejak-Mu. Berilah kekuatan kerjakan karya-Mu !
Halilintar sambung menyambung. Bunyi guruh menggelegar. Awan hitam menggelantung di atas kepalanya. Suasana hari cerah berubah mencekam. Tetapi keceriaan si Go’el tak hilang. Ia berjalan menyeberangi rel kereta api yang melintasi persawahan. Anak itu masih saja menyanyi sampai tiba di dangau tempat ayahnya beristirahat :

Tiap langkahku, kutahu Yesus memimpin. Ke tempat tinggi ‘ku dihantar-Nya, hingga sekali nanti aku tiba di rumah Allah sorga yang baka.
Setelah menerima makanan kiriman isterinya, Pak Arie menyuruh Go’el pulang. Gerimis berubah menjadi lebat, bak air dicurahkan dari langit. Go’el basah kuyup. Ia terus berjalan. Ketika tiba di tepi bantaran kanal  irigasi, Go’el terkejut. Rel kereta api yang melintasi kanal irigasi telah putus karena erosi. Dengan hati-hati Go’el berenang menyeberangi kanal. Napasnya terngah-ngah ketika tiba di seberang. Ia terduduk lemas memandang ke sawah, di mana ayahnya berada…..

Tiba-tiba …..

Dari arah berlawanan Go’el melihat sinar lampu kereta api. Ia tersentak lalu berdiri di sisi kanal. Menatap rel kereta yang putus menggantung…. Sinar lampu kereta api makin dekat semakin mendegupkan jantung Go’el. Pikirnya : “Bagaimanakah nasib penumpang kereta, jika tiba di kanal itu. Aku harus menyelamatkan mereka”. Ia berpikir keras untuk menolong masinis kereta. Mencoba melambaikan kaos putih yang dipakainya. Tetapi kereta melaju cepat ke arah kanal. Akhirnya Go’el mengambil pecahan kaca yang terbuang di dekat tempat ia berdiri. Go’el mengiris pergelangan tangannya. Darah segar mengalir deras bercampur air hujan yang menimpali tubuh kecil itu. Go’el membungkus pergelangan dengan baju kaosnya. Warna putih telah berubah menjadi merah darah…..

Kereta api semakin mendekat saja…. Dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, Go’el berdiri bagaikan seorang pejuang. Ia melambaikan kaos merah darah. Tiba-tiba bunyi rem kereta menggelegar bagaikan ringkikan kuda liar. Masinis menghentikan kereta dari jarak yang tidak begitu jauh. Kereta api meluncur perlahan. Tepat di depan Go’el. “Ya Allah…, anak kecil ini telah menolong kami” desis masinis, sambil menggendong tubuh Go’el yang terkulai lemah bercucuran darah. Seluruh penumpang kereta turun melihat kejadian itu. Tubuh Go’el bergetar keras…. Napasnya terngah-ngah. 

Tiba-tiba saja matanya terbuka, layak baru bangun tidur. Go’el bertutur lemah : “Pak,…. Semua selamat ?” tanyanya dengan bibir tersenyum. “Ia, nak ! Terima kasih, kau sudah menyelamatkan kami !” ucap masinis. Semua penumpang tertegun haru. Perlahan….. perlahan sekali… bagaikan seorang yang kantuk berat…., Go’el menutup matanya. Bibirnya masih tersenyum… Masinis terduduk di bantaran kanal. Sementara tubuh Go’el berada di pangkuannya. Sambil menangis lelaki kekar itu berteriak keras : “Tuhaaaaaaaaaannnnnnn !” Hanya kata itu yang diucapkan sesegukkan. Pecahlah tangis seluruh penumpang…. 

Go’el telah pergi untuk selama-lamanya. Anak kecil itu telah mengorbankan darahnya demi menyelamatkan ketujuh gerbong kereta api yang sarat penumpang. 

Hujanpun berhenti…. Mentari sore menepis awan hitam pekat. Kaki langit memerah darah…. Berita kematian Go’el menyebar. Kabar itu menggelegar memecahkan kesunyian desa. Ayah bunda dan keempat saudaranya hanya terdiam kaku. Mata mereka berlinang. Tidak seperti penduduk desa yang berdatangan sambil menangis histeris. 

Go’el telah pergi ke haribaan Bapa sorgawi. Tubuh yang terbujur kaku diantarkan seluruh penumpang ke rumah Pak Arie dan Bu Sinsi. Suami-isteri dan keempat anaknya hanya menatap jasad anak terkasih. Bu Sinsi berdesis : “Terima kasih Allah, kami bangga akan anak ini, sebab kematiannya tidak sia-sia. Terima kasih Allah, Engkau telah memuliakan Go’el di depan banyak orang. Kami menyerahkan tubuhnya kepadamu, ya Allah. Go’el, anakku ! Bunda percaya, jika waktu ditentukan kelak, kita akan berkumpul kembali di rumah Allah”. 

Semua yang hadir tertegun melihat dan mendengar ucapan isteri Pak Arie. Satu satu mereka menyalaminya, sambil berpelukan lalu menangis di pundaknya Tetapi Bu Sinsi menghibur mereka. Keluarga Pak Arie menyanyikan kedua lagu yang dicintai Go’El untuk  menghibur pelayat yang datang ke rumahnya. Di akhir salam-salaman, Pak Arie berkata : “Saderek-saderek, itulah nama anak kami : GO’EL artinya TUHAN MENEBUS… (Yes. 63:16)  mungkin Tuhan telah menetapkan dia untuk melakukan penyelamatan ini…. Segalanya diserahkan kepada Tuhan sebagai persembahan keluarga kami”

Go’el telah pergi,…. tetapi namanya masih diingat semua penumpang kereta api. Mereka berterima kasih kepada Allah, sebab anak kecil itu telah dijadikan Juruselamat yang bisa membuat mereka melihat hari esok. 


5 komentar:

  1. penyelamatan yang sangat luar biasa melalui pengorbanan anak kecil itu,,,,,,,sehingga semua yang ada di kereta apai bisa melihat hari esok ,,,,,,,,,

    BalasHapus
  2. Ilustrasi yang sangat bagus Pak Pendeta. Saya mohon izin untuk meringkasnya untuk ditaruh di cerita ilustrasi dalam lembaran info pelayanan gereja kami (sumber akan tetap saya cantumkan). Terima kasih sebelumnya. Tuhan Yesus memberkati Pak Pendeta dalam pelayanan dan kehidupan keluarga.

    BalasHapus
  3. Luar biasa cerita ini sangat termotivasi

    BalasHapus
  4. Luar biasa dan memberikan motivasi serta inspirasi....

    BalasHapus
  5. Keluarga yang memiliki Tuhan, pasti anggota keluarganya hebat

    BalasHapus