Jumat, 18 Maret 2011

SUMBANG PIKIR SAYA terkait PEMBANGUNAN EKONOMI GPIB


Teman - Temanku,
Tulisan ini saya persembahkan bagi hotmat dan kemuliaan Allah dan kepada Majelis Sinode GPIB serta seluruh Jemaat-Jemaat GPIB di seluruh wiilayah pelayanan.
Saya mohon maaf, jikalau tulisan ini terlampau panjang. Akan tetapi saya tidak bisa berpikir parsial dalam menjalaskan konsep tentang PEMBANGUNAN GPIB MISIONER sebagai KELUARGA ALLAH yang meneruskan pekerjaan Yesus-Kristus. Saya meihat bahwa PEMBANGUNAN EKONOMI GEREJA GPIB, tidak dapat dilepaskan dan tidak dapat dibicarakan secara terpisah dari PEMBANGUNAN GPIB sebagai KELUARGA ALLAH. Pembahasan atau pun percakapan itu harus integral dan komprehensif, jika tidak demikian, maka akan terjadi miscommunication dalam hal implementasinya. 

Tulisan ini hanyalah sebahagian kecil dari apa yang saya mimpikan tentang GPIB selaku KELUARGA ALLAH yang ditugaskan-Nya untuk mengerjakan pekerjaan penyelamatan / pembebasan atas seluruh ciptaannya di dunia, khususnya di Indonesia, di seluruh wilayah pelayanan GPIB. 

Banyak kekurangan dari tulisan saya ini, namun saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyumbangkan konsep yang saya pikirkan demi mewujudkan KETATAPAN PS-GPIB 2011 ke dalam seluruh aktifitas program GPIB (KUPPG). 

Mudah-mudahan tulisan ini menggairahkan kalian untuk lebih intensif lagi merumuskan aktivitas program Jemaat sesuai konteks yang kalian sedang hadapi.

Kiranya Tulisan ini memuliakan nama Tuhanku : Yesus-Kristus, yang oleh Dia, saya mengenal Bapa segala ciptaan, dan yang sampai hari ini memimpin saya melakukan pekerjaan-Nya oleh Kuasa Rohkristus !

Salam dan Cintaku
Noke Ihalauw di Medan


PEMBINAAN WARGA GEREJA

BAHAGIAN PERTAMA

PEMBANGUNAN
GEREJA SEBAGAI KELUARGA ALLAH

Sebuah sumbangan pemikiran tentang KELUARGA ALLAH berdasarkan kesaksian Alkitab bagi tujuan pemberdayaan Sumber Daya Gereja untuk menjalankan misi Kristus-Yesus yang dilakukan oleh Gereja
PDT. ARIE A R IHALAUW

I.    Pendahuluan

Membicarakan Pembangunan GPIB sebagai Gereja – Jemaat Misioner bukan sebuah pekerjaan mudah. Hal ini sangat complicated. Ia bukan hanya gagasan teologis belaka, melainkan mencakup segala sesuatu yang berhubungang dengan sebuah sistem dan fungsi kehidupan. Walaupun demikian perlu diakui, bahwa pengembangan gagasan tentang Gereja wajib didasarkan atas uraian teologis sesuai kesaksian Alkitab. 

Konteks menurut kesaksian Alkitab

Alkitab menyaksikan bahwa konteks itu telah ada mendahului kehadiran Gereja dan manusia hadir di bumi (bd. Kej. 1:1-25 -> penciptaan alam mendahului kehadiran manusia; Kej. 10 : 1-10 -> Pembangunan dan kehancuran Menara Babel mendahului panggilan – pengutusan Abraham; dan cerita-cerita lain yang terdapat dalam Alkitab). 

Gereja dipanggil dan ditugaskan Allah untuk menyelenggarakan ibadah kepada-Nya di dunia. Bertolak dari pemahaman ini, Gereja perlu membaca tanda-tanda zaman, agar ia mempu melaksanakan pekerjaan itu dengan baik-benar. Oleh karena itu, jika membahas Pembangunan Ekonomi Gereja, maka kita perlu membaca tanda-tanda zaman terkait perubahan ekonomi dunia (global) maupun kebijakan-kebijakan Pemerinta Indonesia terkait bidang ekonomi. Perubahan dan perkembangan baru yang bergerak cepat juga mempengaruhi perupaan misi Gereja kini dan mendatang. Gereja dipaksa memikirkan ulang karya sarana/fasilitas ekonimi yang mendukung kelancaran pekerjaan pelayanan-kesaksiannya.

Ketetapan PS-GPIB 1982 menyebutkan cara pemanfaatan (pemberdayaan) Sumber Daya Ekonomi Gereja (terkait financial supporting) dapat dilakukan secara konvensional {sesuai Tap PS-GPIB : Iuran Tetap Bulanan (ITB) yang kemudian menjadi Persembahan Tetap Bulanan (PTB), pemanfaatan harta milik Gereja yang tidak bergerak (tetapi tidak produktif atau lahan mati), dll}   maupun inkonvensional (aktivitas program bidang yang bernilai ekonomis, seperti : usaha penggalangan dana melalui bazaar, dll). Akan tetapi realisasinya menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan persekutuan. Oleh karena itu, dalam kurun waktu masa kini menuju masa depan, GPIB perlu memikirkan perencanaan terkait pemberdayaan Sumber Daya Ekonominya, dengan tetap menjunjung tinggi pesan moral yang disampaikan oleh Alkitab dan yang termaktub dalam Tata Gereja

Upaya mereformasi Tradisi. Usaha pemanfaatan (pemberdayaan) Sumber Daya Ekonomi Gereja (SDEG) mengalami hambatan dan tantangan, dikarenakan GPIB masih berpegang pada pemahaman ajaran tradisional (calvinisme) tentang pengelolaan SDEG. Menurut pemahaman tradisional itu, GPIB tidak boleh menyentuh kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan dunia bisnis (perniagaan). Hal itu akan merusakkan kekudusan Gereja. Pandangan seperti ini menghambat pembangunan ekonomi Gereja. Untuk mengatasi kesulitan keuangan, maka GPIB menerapkan PTB dari tahun ke tahun. Padahal pembayaran PTB dari Jemaat-Jemaat kepada Majelis Sinode tidak melebihi 40 % dari jumlah Jemaat-Jemaat GPIB. Keadaan ini menimbulkan kesulitan (defisit anggaran) pembiayaan aktivitas program sinodal. 

Kesalahan Strategi dalam Pengelolaan SDEG. Mengingat pesan dan ketetapan PS-GPIB, maka Majelis Sinode membuat kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi, agar aktivitas program (PKUPPG dan KUPPG) dapat dilaksanakan sebaik-baiknya. Namun disebabkan kesulitan anggaran penerimaan, maka MS-GPIB menafsirkan istilah “pemanfaatan” SDEG dalam berbagai cara (strategi) seperti : tukar-guling, sewa-pakai, relokasi, dan sebagainya. Secara juridis formal (Tata Gereja) kebijakan-kebijakan sinodal di bidang ekonomi adalah sah dan resmi. Akan tetapi dampaknya cukup luas. Keadaan itu tidak bersifat prinsipal tetapi teknis-strategikal. Berulang-ulang Gereja dirugikan oleh kebijakan strategis yang diputuskan MS-GPIB. Sayangnya, GPIB kurang belajar memperbaiki diri. 

Reformulasi Pemandirian Gereja dan Reformasi Sistem. Bertolak dari pengembangan pemahaman tentang Pemandirian Gereja sejak tahun 1970-an, maka GPIB memutuskan Pemandirian Ekonomi (Daya dan Dana). Itulah sebabnya diadakan Iuran Warga Sidi Jemaat (kemudian menjadi Iuran Tetap Bulanan yang dipersembahkan Jemaat Lokal kepada MS-GPIB, dan akhirnya berubah menjadi Persembahan Tetap Bulanan sampai hari ini). Pada dasarnya gagasan pemandirian ekonomi baik dan benar. Akan tetapi kurang didukung oleh strategi pengajaran Gereja (Pembinaan Warga Gereja, PWG). Akhirnya GPIB mengalami kesulitan di bidang ekonomi. Oleh karena itu, Gereja perlu memikirkan, merencanakan dan mengadakan reformasi sistem di bidang penatalayanan/penatalolaan ekonominya supaya tidak menimbulkan masalah baru ke depan. 

Pertama, Reinterpretasi dan Reformulasi Ajaran. Gereja perlu menafsirkan dan merumuskan ulang seluruh ajarannya, berdasarkan kesaksian Alkitab, sejalan dengan konteks sosial yang sedang bergerak. Penegasan ini tidak boleh diartikan, bahwa Gereja meninggalkan sifat calvinisnya, melainkan ia mengembangkan tradisi calvinis ke dalam konteks Indonesia baru. Ia tetap menjaga kemurnian ajarannya dengan mengupayakan formulasi yang bersifat calvinis. Oleh karena itu, Dept. Teologi GPIB perlu diberdayakan seoptimal mungkin, supaya penyelenggaraan pekerjaan Kristus yang dijalankan oleh Gereja dapat mencapai tujuan yang ditetapkan oleh PS-GPIB.

Kedua, Reformasi sistem : Upaya Revitalisasi dan Refungsionalisasi. Soalnya : Kapankah proses reformasi sistem dijalankan ? Pertanyaan ini selalu menjadi faktor penghambat reformasi. Menurut pendapat saya, Reformasi sistem dilakukan setelah GPIB menyelesaikan tuntas reinterpretasi dan reformulasi atas seluruh ajarannya. Kapan ? Hal itu terjadi di antara dua masa PS-GPIB (atau sama dengan masa bakhti MS-GPIB). Namun perlu diingat, reformasi sistem tidak boleh menggeserkan kerugma Injil Kristus yang menjadi tugas panggilan Gereja (Tema PS GPIB 2005 – 2030 : Yesus Kristus Sumber Damai Sejahtera -> Yoh. 14 : 27;  dan Tema PST 2011-2012 : Manusia Baru Yang Terus Dibaharui -> Efs. 4:22-23; Kol. 3:10). 

Jika dikatakan reformasi sistem Gereja berjalan di antara dua masa PS, maka hal itu berarti : seluruh reinterpretasi terhadap kesaksian Alkitab dan Ajaran GPIB telah selesai direformulasikan dan telah menjadi ketetapan hukum yang wajib diberjakukan oleh seluruh jajaran GPIB. Katakanlah contoh, PS-GPIB 2010 di Jakarta telah mereconsiliasi (menuntaskan) berbagai masalah terkait penugasan MS-GPIB XVII dan MS-GPIB XVIII yang direkomendasikan oleh PS-GPIB Tahun 2000 dan 2005. Oleh karena itu, seluruh perbedaan persepsi tentang apapun (Perangkat : Teologi, Institusional dan Penunjang) dinyatakan selesai, menurut ketetapan hukum Gereja. 

Tugas MS-GPIB XIX. Bertolak dari ketetapan PS-GPIB 2010, maka MS-GPIB XIX selaku mandataris PS dapat mengadakan Refmormasi Sistem Gereja sejak 2011 – 2016 mendatang sesuai masa bakhtinya. Dan, untuk merealisasikan ketetapan PS-GPIB, MS-GPIB pun dapat mengambil kebijakan-kebijakan teknis-srategikal, agar visi GPIB dapat dicapai sesuai kurun waktu jangka pendek dan jangka panjang. 

Pembangunan Ekonomi Gereja. Katakanlah sebuah contoh : berdasarkan Tap. PS-GPIB 2010, maka Gereja meniadakan Persembahan Tetap Bulanan dan mengadakan Persembahan Persepuluhan (dasar teologi alkitabiahnya akan diuraikan oleh Pdt. S. Th Kaihatu, MTh). Perubahan itu bukan disebabkan alasan masalah ekonomi Gereja; akan tetapi lebih dikarenakan kesadaran Gereja untuk memberlakukan kembali kesaksian Alkitab (bd. gagasan teologi tentang Persembahan Persepuluhan dalam Kitab-Kitab Musa, Teologi Kitab Ezra, Nehemia, Maleakhi). Perubahan ini, sesungguhnya, menegaskan sikap pro-aktif Gereja untuk memberlakukan apa yang dikehendaki Allah sesuai pesan Alkitab. Inilah yang dimaksudkan dengan Revitalisasi dan Refungsionalisasi Sistem di bidang ekonomi Gereja. 

Kebijakan Teknis-Strategikal. Mendukung ketetapan sinodal tersebut, MS-GPIB XIX perlu mereformasi sistem ekonomi Gereja. Oleh karena itu, perlu dikeluarkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Persembahan Persepuluhan dari warga jemaat kepada Jemaat Lokal, dan dari Jemaat Lokal kepada Majelis Sinode.

Ekonomi Gereja

Kesaksian Alkitab yang dipakai Gereja untuk menjelaskan pandangan teologi tentang ekonomi (Yun: οικονόμια, economia) mempunyai beberapa peng-arti-an. Secara hurufiah Gereja meng-arti-kan ekonomi sebagai penata layanan (stewarships) atau penatalolaan (managemen) urusan-urusan gerejawi, biasanya dengan asumsi bahwa proses itu akan selalu dijalankan secara baik-benar oleh orang-orang benar-baik. Itu berarti ekonomi Gereja sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang diadakan bersama-sama berdasarkan ketetapan-ketetapan gerejawi sebagai sumber spiritualitas serta bergerak menghadirkan kasih-karunia Allah. Jadi ekonomi Gereja merupakan kekuatan kreatif yang menciptakan kebaruan bagi pertumbuhan kehidupan. Pemahaman di atas berseberangan dengan azas legalitas (Yun.  ακριβεια; baca – akribia) yang melekat pada setiap klausul Hukum / Tata Gereja, an sich.

Kata ekonomi dan konsepnya yang, sesungguhnya, patut dikembangkan Gereja bersumber dari kesaksian Alkitab tentang a). penatalayanan / penatalolaan Allah untuk memulihkan kondisi dan membaharui sistemm kehidupan dunia dan manusia yang hancur karena dosa; b). kata tersebut menunjuk pada penatalayanan / penatalolaan pekerjaan penggembalaan (pastoral-economy), juga yang berhubungan pekerjaan gerejawi (ecclesiatical-economy). Hal ini hanya bisa terwujud baik, jika Gereja perlu meneliti (to obervate) dan mengkaji (to analyze) serta menguji (to evaluate) pelaksanaan pembangunan (Tri Dharma : persekutuan – pelayanan – kesaksian) serta semua problem dan isu yang digumuli Gereja sepanjang sejarahnya. 

Eklesiatikal Ekonomi

Catatan-catatan alkitabiah menjelaskan, bahwa ada banyak problem dan isu muncul karena pelaksanaan penggembalaan Gereja yang berhubungan langsung dengan penatalayanan (penatalolaan) ekonominya. Catatan-catatan alkitabiah itu menjadi contoh untuk menyoroti sejarah perkembangan penatalayanan (penatalolaan) GPIB sepanjang sejarah pelayananannya di Indonesia. 

1.   Allah adalah Sumber Kekuatan Ekonomi Gereja

Acapkali kita memisahkan urusan-urusan ekonomi dari urusan-urusan pelayanan-kesaksian. Sikap yang lahir dari pemahaman ini, keliru ! Pada galibnya, Alkitab tidak membedakannya. Istilah yang dipakai para penulis Alkitab tentang kekuatan spiritual – material adalah ALLAH. ALLAH adalah kekuatan HAYATI (spiritual – material. Simaklah salah satu Tema PS–GPIB : Yesus Kristus Sumber Hidup -> Maz. 36 : 10 -> Sebab pada-Mu ada sumber hayat dan di dalam terang-mu kami melihat terang; bd. Yoh. 1:4-5). Di dalam Diri-Nya ada sistem kehidupan yang memiliki  Kekuatan Kreatif, dan dari pada-Nya keluar seluruh Firman yang menatatertibkan kehidupan ciptaan : firman yang berfungsi menjalankan piñata – layanan  / penatalolaan. Dia, Allah, adalah Pemilik dan Penatalayan atas seluruh ciptaan-Nya. Di sinilah saya mengajak Gereja untuk memahami, bahwa Trinitas (Tritunggal Allah Mahakudus) patut dijadikan landasan konseptuan terkait Pembangunan Ekonomi Gereja.
2.   Pemberian dan pembagian otoritas dalam Gereja. 

Problem dan isu yang muncul dalam Jemaat-Jemaat Kristen Abad I adalah pembagian / pendelegasian otoritas (kuasa, Yun. exousia),  untuk mengikat dan melepaskan, yang diberikan oleh Yesus-Kristus untuk menatalayani / menatalola dan menjalankan pemerintahan Gereja (Mat. 16:19 -> … kepadamu Kuberikan kunci Kerajaan Sorga …; 18:18 -> … apa yang kamu ikat di dunia ini kan terikat di sorga, dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga). Otoritas ini diberikan kepada Pemimpin Gereja (Yun. episkopos; Ind. Penilik dan Pengawas pekerjaan) setelah masa para rasul. Dalam konsep seperti ini kita memahami istilah ekonomi dalam makna “penatalayanan (stewardship), penatalolaan (managemen) dan  pemberdayaan sumber daya Gereja”.

3.   Sumber Daya Ekonomi Gereja

“Sebab dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu” (1 Taw. 29:14; bd. Ul. 8:7-18. Simaklah juga rumusan Doa Persembahan dalam Tata Ibadah GPIB). Rumusan doa persembahan itu menyatakan pemahaman dan pengakuan iman GPB, bahwa Sumber Daya Ekonomi Gereja adalah milik ALLAH yang dipercayakan untuk dikelola oleh Gereja demi tujuan-tujuan pelayanan  dan kesaksian  yang dilaksanakan oleh persekutuan secara bersama-sama (makna Presbiterial – Sinodal yang mengilhami / menjadi jiwa dari penatalolaan Sumber Daya Ekonomi Gereja).

Dalam hal ini muncul peng-arti-an baru tentang Sumber Daya Ekonomi Gereja (penggunaan kosa kata Yun. οικονόμια, economia) yang dirumuskan sebagai berikut :

a)    Manusia sebagai Sumber Daya Ekonomi Gereja

Manusia, baik individual maupun kolektif, merupakan pemberian ALLAH kepada Gereja. Manusia adalah pelaksana / penyelenggara pekerjaan Allah dalam Gereja. Dia bukan saja menjadi objek melainkan juga pelaku pembangunan. Kepadanya ALLAH memberikan karunia-karunia rohani, talenta dan bakat, hikmat dan pengetahuan (bd. Rom. 12 :6-8; 1 Kor. 12 – 14), agar mampu mengemban tugas panggilan–pengutusan-Nya (bd. Mrk. 16:15; Mat. 28 : 19-20; Kis. 1:8).  

b)   Sistem dan fungsi Organisasi serta Peran 

Sistem kehidupan yang sempurna (ideal) ada dalam Tritunggal Allah Mahakudus. Di dalamnya Gereja dapat membaca banyak hal, antara lain :

i.   Kepribadian dan karakter tiap-tiap fungsi Tritunggal
ii.  Nisbah (hubungan dinamis) antara tiap fiungsional dari Tritunggal.
iii. Visi dan Misi yang dirancangkan dan dikerjakan bersama-sama dalam kurun waktu yang berbeda.
iv. Disiplin yang konsisten.
v.  Integritas kepemimpinan
vi. dan lain-lain yang terkait dengan hakekat dan eksistensi Tritunggal


Sistem kehidupan, yang ada dalam pribadi Tritunggal Allah Mahakudus, mengandung kekuatan kreatif sebagaimana tampak pada karya-Nya sejak langit dan bumi diciptakan sampai langit dan bumi ditiadakan. Ia menatatertibkan kekacauan (memulihkan keadaan), membaharui sistem-kehidupan (reformasi dalam tindakan refungsionalisasi dan revitalisasi, termasuk juga restrukturisasi fungsi sistem) yang telah dhancurkan manusia-berdosa, agar visi dan misi-Nya dapat tercapai. Inilah yang saya maksudkan dalam rumusan ekonomi menurut kesaksian Alkitab. 

Gereja sebagai Keluarga Allah yang menjalankan tugas missioner.
 
Dasar kesaksian Alkitab tentang Keluarga Allah mengandung peng-arti-an sebagai berikut :

Pertama, Keluarga Allah ada dalam gambaran Tritunggal Allah Mahakudus. Artinya, ketika gambaran menjadi  Tritunggal Allah Mahakudus bentuk ideal bagi upaya pembangunan integritas kehidupan ciptaan. 

Kedua, yang dimaksudkan Keluarga Allah adalah sebuah keluarga yang dibangun oleh ALLAH sendiri. Dia sendiri berinisyatif, menyusun perencanaan dan mengerjakan pembangunan keluarga-Nya. Dalam arti yang luas penulis Kejadian (Kej. 1:1 – 2:22) hendak menegaskan, bahwa seluruh makhluk ciptaan yang diadakan oleh Firman dan tangan-Nya (penciptaan manusia -> Kej. 1:26) adalah Keluarga Allah. Manusia dijadikan-Nya pelaksana pekerjaannya (mandator ilahi -> Kej. 1:28 sesuai tugas yang diberikan -> Kej. 2:15). Dari sinilah juga kita mengerti latarbelakang panggilan – pengutusan Abraham (Kej. 12:1-3), dan tujuan pembentukan umat Israel (Kel. 4:22-24). 

Refeksi teologis tentang Keluarga Allah dilanjutkan oleh para penulis Injil – Injil Sinoptis dalam Perjanjian Baru, bahwa karya Yesus-Kristus menjadi landasan kuat bagi usaha pembangunan Keluarga Allah. (Mat. 16:18 -> Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Jemaat-Ku). 

Paulus, rasul yang diutus Kristus kepada bangsa-bangsa non-Israeli, menuliskan : 

Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang merubuhkan tembok pemisah…, Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yangJauhdan damai sejahtera kepada kamu  yangDekat”. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kaum sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota Keluarga Allah, yang dibangun di atas para rasul dan nabi, dengan Yesus Kristus sebagai Batu Penjuru (bd. I Pet. 2;1-10; 1 Kor. 3 : 11) Di daam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun,, menjadi Baith Allah yang kudus di dalam Tuhan” (Efs. 4 : 14, 19-20).
c)    Urusan-Urusan Rumahtangga Gereja

Saya bertolak dari pesan Alkitab berkaitan tugas persekutuan orang pecaya :

1.          Matius 18:19-20          ->        Jadikan segala bangsa murid-Ku, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu

2.          Markus 16:15                ->        Beritakanlah Injil kepada segala makhluk.

3.          Kisah 1:8                           ->        Menjadi saksi-Ku sampai kejung bumi

Rasul Paulus menyimpulkan secara tepat apa yang dimaksudkan oleh Yesus-Kristus, sebagai berikut :

Sebab barangsiapa yang berseru kepada Tuhan akan diselamatkan (Rom. 10 : 13)
Permasalahan teknis-strategikal adalah :

a.    Bagaimana orang lain dapat berseru kepada Tuhan, jika mereka tidak percaya ? (Rom. 10 : 14.a)
Paulus berangkat dari pemahaman, bahwa hanya orang-orang yang percaya kepada Allah oleh iman kepada Yesus-Kristus yang diselamatkan. 

Kendalanya : bagaimanakah orang-orang non-kristen itu dapat percaya, jikalau tidak ada orang Kristen yang “pergi” kepada mereka untuk memberitakan tentang Yesus-Kristus ? (Rom. 10:14.b - c)

b.   “Dan bagaimanakah mereka dapat memberitakan-Nya, jika tidak mereka tidak diutus ?” (Rom. 10 : 15)

Kalaupun ada orang yang bersedia untuk “pergi” memberitakan Injil Kristus, ada pula kendala : 

i    Siapakah yang mengutus utusan / pemberita Injil ? So pasti, jawabannya : GEREJA.
ii   Bagaimanakah Gereja mempersiapkan utusan pemberita Injil ?
iii  Bagaimanakah Gereja memfasilitasi utusannya ?

c.    Ketiga pertanyaan itu berhubungan erat dengan piñata-layanan/ penatalolaan Gereja secara menyeluruh.

 BAHAGIAN KEDUA

KETETAPAN PS-GPIB 2010

TENTANG

PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN
Landasan Pemahaman Iman GPIB

– 1 – 
GEREJA BUKAN BANK
Uang bukan menjadi tujuan Gereja. Dan, Gereja bukan bekerja untuk mencari serta mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Memang uang adalah kebutuhan, tetapi bukan menjadi tujuan. Uang hanyalah sarana penunjang pekerjaan misional.
– 2 – 
PENATALAYANAN KEUANGAN
BERSIFAT TERTIB, JUJUR DAN TERBUKA

Penatalayanan keuangan Gereja di tingkat sinodal maupun           di dalam Jemaat Lokal berorientasi pada membiayai pekerjaan pelayanan-kesaksian yang dilakukan oleh Gereja, secara sinodal dan didukung oleh Jemaat-Jemaat Lokal; dan, oleh karena itu, penatalayanan / penatalolaan keuangan Gereja – Jemaat dikelola secara tertib, jujur dan bersifat terbuka
Mengalir dari persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya dan landasan Pemahaman Iman GPIB di atas, saya berusaha memahami upaya Gereja (GPIB) menetapkan pemberlakuan Persembahan Persepuluhan, dengan tujuan : mendukung aktivitas pelayaan-kesaksiannya.

1.    Konteks Misional dan Persembahan Persepuluhan

Konteks yang dihadapi Gereja-Gereja di Indonesia berbeda dengan Gereja-Gereja di Eropah. Hal ini menjadi latarbelakang yang meneguhkan saya untuk mengajukan keberatan atas pandangan akademisi tentang Persembahan Persepuluhan. Memang benar, Alkitab Perjanjian Baru (APB) kurang memberikan informasi tentang kewajiban memberikan Persembahan Persepuluhan, ketimbang yang tertulis dalam Alkitab Perjanjian Lama (APL).  Memang benar, Yesus-Kristus maupun Rasul Paulus tidak menganjurkan warga jemat untuk melakukannya.  Pandangan eksegetis yang dikemukakan akademisi teologi tentang Persembahan Persepuluhan tidak dapat ditolak, namun bukan berarti Gereja tidak dapat memberlakukannya. Gerejapun memiliki argumentasi untuk mengajarkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran demi pelaksanaan pekerjaan Yesus-Kristus. 

a)    Pada awalnya penduduk Eropah dan Amerika beragama Kristen. Sistem pemerintahannya pun bernuansa kristiani. Tidaklah mengejutkan, jika Pemerintah mendukung sepenuhnya pembiayaan aktivitas program Gereja, karena kehadirannya bertujuan untuk membangun moralitas bangsa.

b)   Sementara itu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mayoritas  beragama Islam, di mana Pemerintah mendonasi semua kegiatan keagamaan, sama seperti kondisi Gereja-Gereja di Eropa dan Amerika pada abad-abad sebelumnya. 

Keberatan atas Pandangan Akademisi Teologi

Konteks butir b di atas telah memaksa Gereja-Gereja di Indonesia memikirkan dan merencanakan sarana / fasilitas pelayanan-kesaksian sesuai dengan kemampuan ekonomi warganya. Jadi adalah tidak salah, jika GPIB memutuskan dan menetapkan Persembahan Persepuluhan untuk diterapkan menunjang karya Yesus-Kristus yang dikerjakannya. 

2.    Kondisi Ekumenikal

Perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi politik ekonomi internasional. Hal yang samapun berlaku atas perekonomian Gereja. Meskipun perasaan ekumenikal di kalangan Gereja-Gereja sangat kuat, bukan berarti hal itu menjadi sandaran bagi Gereja di Indonesia mengharapkan donasi Gereja-Gereja di Barat secara tetap dan terus menerus. Kerja sama, dalam bentuk apapun, pasti membawa efek ke dalam kehidupan bergereja. Oleh karena itu,  Gereja-Gereja di Indonesia perlu mengembangkan paradigm baru yang ditafsirkan dan dirumuskan kembali berdasarkan keyakinannya atas kesaksian Alkitab sesuai konteks yang sedang dan akan dihadapinya. 

Menurut pendapat saya, TUHAN Allah juga tidak akan menghukum Gereja, jikalau upaya pemberdayaan ekonominya diolah dan dikelola secara bertanggungjawab demi tujuan menghadirkan damai sejahtera kepada ciptaan-Nya. Bertolak dari keyakinan ini, saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada GPIB atas usahanya untuk membangun ekonomi Gereja yang bersih, bertanggungjawab, penuh kejujuran, ketulusan, keterbukaan dan dalam sikap pengabdian yang sungguh kepada Yesus-Kristus, Tuhan dan Kepala Gereja.
 
Melalui tulisan ini pula,  saya menyampaikan pesa moral bagi semua praktisi maupun akademisi teologi atau non-teologi, agar mempelajari perjalanan pembangunan ekonomi Gereja dalam sejarahnya : Lupakanlah masa lalu, dan bangunlah masa depan bersama Yesus-Kristus !

3.    Kondisi GPIB memasuki milenium kedua 

Jujur saja, kondisi GPIB sedang mengalami rehabilitasi kesehatannya di seluruh aspek kehidupan beribadah. Dalam kondisi seperti ini Gereja membutuhkan perhatian dari seluruh warga dan pejabat untuk mendukung proses pemulihan dan pembaharuan, agar sistem Gereja mampu mengatasi tantangan ke depan. Mengerjakan pekerjaan Allah dalam Millennium II, memutuhkan kesungguhan hati dari setiap pelaku dan pekerja Gereja. Kita masih akan menghadapi krisis ekonomi global yang berkepanjangan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi demestik, di mana GPIB menjalankan misi-Nya. Masalah yang dihadapi GPIB adalah :

·         Krisis Kebersamaan.

     Perasaan kebersamaan (feeling in-group, jiwa presbiterial-sinodal) ini sangat rawan, dan sewaktu-waktu bisa menjadi pemicu masalah sinodal maupun dalam Jemaat Lokal. Masih saja ada pemahaman yang keliru tentang Pendewasaan / Pemandirian Jemaat. Hal ini dikarenakan interaksi warga dan presbiter dengan dunia sekitarnya. Pemahaman tentang Pendewasaan / Pemandirian Jemaat masih dilekatkan pada peng-arti-an Otonomisasi Jemaat atau Menjadi Jemaat Otonom, di mana pengelolaan dilakukan sendiri demi mencapai tujuan sendiri (Jemaat Lokal). 

     Perasaan kebersamaan (feeling in-group, jiwa presbiterial-sinodal) selalu senjata yang dipakai oleh siapapun untuk saling menyerang, jika kepentingan dan kebutuhannya terusik. Jika hal ini terus menerus dilakukan, maka pembangunan seluruh aspek kehidupan beribadah akan terhambat kemajuannya. 

·         Krisis Kewibawaan dan Kepemimpinan

     Beragam masalah yang terjadi sepanjang sejarah Gereja juga bersumber dari pengelolaan otoritas (kuasa, tanggungjawab dan wewenang). Hal itu tampak dalam sikap membangun dan membina hubungan kerja yang baik. Oleh karena itu, semua pihak perlu merenungkan kembali otoritas yang diberikan Yesus-Kristus (Mat. 16:19) dalam menjalankan misi-Nya melalui pekerjaan Gereja. Baik Pemimpin maupun yang dipimpin perlu menciptakan iklim kerja yang kondusif, agar tujuan beribadah dapat membawa damai sejahtera kepada semua orang. Iklim kondusif itu bisa terwujud, jika semua pihak terkait setia mengasihi Allah (mendengar suara-Nya dengan embaca Alkitab) dan taat menjalankan Tata Gereja sebagai ketetapan bersama.  

     Kemajuan sebuah misi akan sangat dipengaruhi integritas pemimpin. Warga Gereja masih bersikap pendeta-sentris. Ucapan dan tindakannya akan menentukan pola perilaku ibadah dari warganya. Pandangan pendeta-sentris itu sendiri memiliki kekuatan dan kelemahannya, positif dan negatif. Semuanya tergantung pada pengenalan diri dan pemahaman tentang panggilan-pengutusan seseorang sebagai pendeta (juga penatua dan diaken). 

·         Krisis Kepercayaan

   Secara khusus sejarah penatalayanan / penatalolaan ekonomi Gereja mencatat banyak masalah beruntun. Hal tersebut menciptakan Krisis Kepercayaan dalam hubungan MS – MJ. Kita tidak bolah saling menyalahkan, tetapi perlu berusaha membenahi ke dalam (baik MS maupun MJ). Pemulihan kondisi kerja yang kondusif hanya terjadi, jika masing-masing institusi mengubah perilaku individu yang berperan di dalamnya. 

   Krisis Kepercayaan sangat menentukan kemajuan (pertumbuhan) pembangunan ekonomi Gereja. Bukan saja Majelis Jemaat mencurigai penatalolaan ekonomi yang dilakukan MS, tetapi juga warga jemaat pun berpikir yang sama terhadap pekerjaan MJ di dalam Jemaat Lokal.  Oleh karena itu, Pembangunan Ekonomi Gereja yang sehat hanya bisa terwujud, jikalau kita melakukannya secara terbuka (bukan transparan), dalam kejujuran dan saling mempercayai. Dimulai dari diri sendiri. 

·         Krisis Sumber Daya Gereja

     Tidak perlu merasa malu, jika kita mengakui bahwa saat ini GPIB mengalami krisis sumber daya insani dan ekonomi (saya cenderung tidak memakai istilah Dana, karena memiliki arti tersendiri yang menunjuk pada Uang. Sementara istilah Ekonomi lebih luas maknanya di dalamnya termasuk Uang dan Harta Milik Yang Tak Bergerak serta Sistem Managemen Organisasi GPIB). Kesulitan ini diakibatkan karena penatalayanan / penatalolaan yang kurang sehat sebelumnya. Oleh karena itu, GPIB perlu meningkatkan kemampuan managerialnya secara tertib, supaya mendatangkan hasil yang positif. 

·         Pilihan dilematis : Sentralisasi ataukah Desentralisasi

Perbedaan persepsi terhadap pemahaman sentralisasi dan de-sentralisasi merupakan persoalan dilematis yang selama ini menggoyhkan penatalayanan / penatalolaan GPIB. Mengingat persoalan ini masih terkait dengan pemahaman Jemaat-Jemaat Lokal tentang otonomisasi (padahal pemahaman otonomisasi tidak pernah ada dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan penatalayanan GPIB selama ini, dan meskipun ada tetapi sudah lama ditinggalkan). Hal ini dijelaskan berdasarkan ketetapan PS-GPIB dalam decade 1960-an tentang sistem penatalayanan yang bersifat presbiterial-sinodal.(Masih ingatkah anda akan Pidato Penutupan PS-GPIB XVII – 2005 di Bali oleh Ketua  Umum MS-GPIB XVII : Pdt. R. A. Waney. MTh yang mengulas masalah sentralisasi dan de-sentralisasi ?). Jika perbedaan persepsi penatalayanan ini tidak segera diselesaikan, maka ia akan menimbulkan persoalan-persoalan beruntun.

BAHAGIAN KTIGA
DASAR ALKITABIAH TENTANG
PELAKSANAAN KETETAPAN PS-GPIB 2010

PENERAPAN  PRAKTIS   MENGENAI

PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN


Sub-pokok bahasan ini tidak bertujuan menguraikan dasar-dasar teologi alkitabiah tentang Persembahan Persepuluhan, melainkan membantu kita menemukan alasan-alasan dan Tata Cara Pelaksanaannya.

A.  Hidup adalah Pemberian Allah

1.   Pemahaman Iman Gereja menyatakan, bahwa kehidupan seluruh makhluk tergantung pada kebaikan Allah (Maz. 8; 36:10; Yoh. 1:3–5). Dia-lah Pencipta dan Pemilik.

2.   Oleh pengaruh kuasa dosa, manusia dan alam semesta telah menjadi rusak, mengalami kehancuran melalui kematian. Allah sendiri yang mengambil iniyatif dan bekerja menyelamatkan ciptaan-Nya di dalam Yesus-Kristus. Dalam iman kepada-Nya, Allah mengaruniakan kehidupan kekal kepada manusia.

3.   Masa depan ciptaan pun adalah karunia Allah. Oleh Roh-Nya Allah memimpin manusia dari “satu titik sejarah ke titik sejarah yang baru”. Ia selalu bekerja memulihkan kondisi kehidupan untuk membaharui ciptaan terus menerus menurut waktu dan kehendak-Nya yang baik.

Itulah sebabnya dikatakan : kehidupan seluruh ciptaan tergantung pada kasih sayang Allah

B. Yesus Kristus adalah Persembahan Yang Sempurna

     Sejak manusia mengenal kultus-ritual keagamaan yang berhubungan dengan persembahan (Kain dan Habel -> Kej.4:1-16), bukan berarti pemberian itu sempurna penuh. Persembahan itu merupakan pemberian manusia untuk memenuhi kewajiban yang diatur menurut hukum agama (azas legalistic; contohnya Islam -> zedeqah, zakat). Sebenarnya hal itu dilakukan bukan bersumbr pada ketulusan dan kerelaan hati, melainkan karena kepentingan yang melatarbelakangi perbuatan tersebut. 

     Israel pun memberikan pesmbahan, karena hal itu dituntut oleh hukum Taurat yang diberikan Musa. Terkait pada sistem ibadah umat Israel dalam Perjanjian Lama. Israel berpikir, bahwa pemberian persembahan-persembahan itu menyenangkan hati Allah, padahal ia dilakukan untuk memenuhi hukum Agama Israel. Allah menolak persembahan itu. Melalui Amos, Allah befirman : “Sungguh, apabila kamu mempersembahnkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang.” (Am. 5:22). TUHAN Allah mengajukan pertanyaan : “Apakah kamu mempersembahkan kepada-Ku korban sembelihan dan korban sajian, selama empat puluh tahun di padang gurun itu, hai kaum Israel” (Am. 5:25). 

     Kecaman Amos menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam perilaku ibadah umat Israel. Apakah yang salah ? Mikha, nabi se-zaman dengan Amos, menyampaikan ucapan ilahi (6:8) : “Hai manusia, telah diberitakukan kepadamu apa yang baik. Dan apa yang dituntut Tuhan dari padamu : selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu ?” (bd. Am. 5 : 24 -> Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang mengalir). Jadi, pemberian persembahan itu bukanlah tindakan untuk memenuhi hukum agama (Hukum Taurat), melainkan berintikan hukum moral. Ia harus lahir dari kerendahan hati, perasaan hati yang mencintai Allah, serta mengalirkan keadilan dan kebenaran Allah kepada sesama. Sikap inilah yang terpancar pada dan terkandung dalam arti kata : Korban atau  Pengorbaan. Itulah sebabnya Allah menolak pemberian persembahan umat-Nya.

     Korban Persembahan Yang Sempurna. Menurut kesaksian penulis APB (Surat Ibrani dan beberapa surat Paulus), pemberian korban persembahan yang dilakukan untuk memenuhi hukum Taurat tidaklah sempurna, sebab orientasinya adalah : untuk memperoleh berkat dan keselamatan dari Allah. Di samping itu ada kecenderungan untuk memperlihatkan kemampuan individual. Persembahan yang diadakan untuk memenuhi tuntutan hukum (aspek legalistic) bertujuan juga, agar Allah menyelamatkan mereka (berfifat pamrih, balas jasa). Padahal perilaku manusianya tetap berdosa dan melakukan kejahatan. Pemberian persembahan seperti itu tidak memenuhi kehendak Allah. 

     Lalu Allah memberikan contoh utama, agar umat mengenal makna persembahan yang dikehendaki-Nya. Yesus-Kristus adalah contoh dari persembahan yang sempurna. Ia bukan saja memenuhi tuntutan hukum Taurat (Mat. 5:17 – 19), juga memenuhi hukum moral (Mat. 22 : 37 – 40; bd. Yoh. 15 : 13 -> Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawa-nya untuk sahabat-sahabatnya). Di dalam pengorbanan Yesus-Kristus itulah, Allah mengharapkan manusia dapat mengenal makna yang benar dari sebuah persembahan korban.

C. Transformasi Persembahan Allah menjadi Dasar pengem-bangan Persembahan Umat Perjanjian Baru.

     Nilai persembahan yang terpancar dari dan terkandung dalam karya Yesus-Kristus adalah Kasih yang tidak bersifat pamrih, mencintai Allah, mengorbankan kepentingan sendiri demi keselamatan sesama. Memahami makna tersebut Rasul Paulus menekankan :

C.1. Dasar Persembahan Kristen

        “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus-Kristus, bahwa Ia, yang oleh kamu telah menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2 Kor. 8:9).

C.2. Maksud dan Tujuan Pemberian Persembahan Kristen

a. “Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kelebihan mereka mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2 Kor. 8 : 13 – 14).

b.  “Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya merka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bahagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus.” (2 Kor. 8 : 4).

c.  “Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu ! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:2, 10).

d.  “… demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini” (2 Kor. 8:6-7)

e.  “Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah” (2 Kor. 9:12; bd. Kol. 3:17).

C.3. Sikap Hati dari Orang yang memberikan Persembahan

a.  “Selagi dicobai dengan berat dalam perlbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan” (2 Kor. 8:2).

b.  “Aku bersaksi, bahwa mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka. Dengan kerelaan sendiri… Mereka memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah, kemudian oleh karena kehendak Allah…” (2 Kor.8 : 3–4).

Paulus menyimpulkan dengan jelas, bahwa sikap hati dari orang yang memberikan persembahan itu adalah : “Memberikan menurut kerelaan hati, jangan dengan sedih atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita”(2 Kor. 9 : 7).

D.  Persembahan Persepuluhan dalam APL dan APB

     Ada perbedaan mendasar dari pemberian persembahan dalam ajaran APL dan APB. Di dalam APL, seseorang memberikan persembahan, karena hal itu diwajibkan menurut hukum agama (Taurat). Ia wajib memenuhi tuntutan hukum. Sementara di dalam APB, sikap memberi persembahan lahir dari hati yang mengucap syukur kepada Allah (2 Kor. 9:12; bd. Kol. 3:17) atas anugerah keselamatan yang telah diterima oleh iman kepada Yesus-Kristus. 

     Persembahan Persepuluhan merupakan kewajiban sosio-religius (Persembahan persepuluhan disebut demikian, dikarenakan tujuannya yang dikemasi dalam kemasan teologis sesuai ajaran Musa) dari tiap warga Israel kepada institusinya. Persepuluhan itu diberikan kepada Baith Allah dan pelayan-pelayannya (imam-imam biasa, imam-imam kepala dari keturunan Lewi dan imam-imam besar yang berasal dari Harun. Namun perlu diingat, tidak semua keturunan Lewi menjadi imam di Baith Allah, meskipun mereka menjadi karyawan / pekerja di sana). Di kemudian hari, pada masa kerja Nabi Maleakhi, terjadi perkembangan di mana persepuluhan itu tidak lagi diberikan langsung kepada imam-imam, melainkan ke dalam rumah perbendaharaan (Ibr. bt-shphr) Bait Allah (Mal. 3:10). So pasti, perubahan itu disebabkan karena desakan kemanusiaan dan managerial

     Persembahan persepuluhan dalam APL dikenakan atas penghasilan yang diperoleh seorang pekerja. Sesungguhnya, persembahan persepuluhan ini tidak jauh berbeda dari sistem perpajakan yang sekarang ini sedang diberlakukan oleh semua Negara di dunia : Pajak Penghasilan / Pendapatan.

      Jemaat Kristen Abad I tidak memberlakukannya. Namun dalam perkembangan penatalayanan ekonomi Jemaat, maka pada Abad IV – VII berkembanglah praktik persembahan persepuluhan. Hal itu bertujuan mendukung pekerjaan pelayanan-kesaksian yang dijalankan oleh Jemaat. Dengan demikian, sesungguhnya, persembahan persepuluhan merupakan upaya intitusi Jemaat menghidupkan kembali tradisi alkitabiah demi mendukung tujuan pelayanan-kesaksian Jemaat. Sangat kontekstual. Dengan cara tersebut, pemimpin Jemaat hendak  mengatakan, bahwa persembahan persepuluhan adalah kewajiban yang memiliki nilai iman, bukan seperti yang dipikirkan oleh para teolog Kristen masa kini. 

E.  Pemberian Persembahan Persepuluhan dalam GPIB

     Sekarang ini tugas GPIB adalah bagaimana menafsirkan dan merumuskan ulang makna persembahan persepuluhan menurut kesaksian Alkitab, agar warga jemaat mengerti kewajiban dan tanggungjawab terhadap penugasan Allah yang dilakukan secara bersama-sama (presbiterial-sinodal) oleh GPIB dan Jemaat-Jemaatnya. 

     Persoalannya sebagai berikut :

E.1. Tujuan Pemberian Persembahan Persepuluhan 

       Berdasarkan hasil Ketetapan PS-GPIB 2010 di Jakarta yang telah dikokohkan dalam Keputusan PST-GPIB 2011 di Pontianak tentang  pelaksanaan pemberian Persembahan Persepuluhan (disingkat Perlu), maka GPIB mengubah sistem penatalayanan di bidang keuangannya dari Iuran Warga Sidi Jemaat (tahun 48 - 60-an), Iuran Tetap Bulanan (tahun 70 – 80an), Persembahan Tetap Bulanan (tahun 80 – 2010) menjadi Persembahan Persepuluhan (tahun 2011 sampai ….). 

       Persembahan Pesepuluhan ini akan dimanfaatkan untuk mendukung pelaksanaan aktivitas program yang bersumber dari pemahaman tentang Tri Dharma Gereja : Persekutuan – Pelayanan – Kesaksian GPIB

       Persembahan Persepuluhan itu sifatnya bertingkat : dari warga jemaat kepada Jemaat Lokal dan dari Jemaat Lokal kepada Majelis Sinode. Seungguhnya, persembahan persepuluhan itu bermakna presbiterial-sinodal. Ia bermaksud mewujudkan pelayanan kasih kepada semua orang percaya dan masyaraat. Ia juga merupakan perwujudan kesepakatan bersama yang lahir dari penghayatan tentang sehidup-semati dalam pelayanan.

E.2. Teknis Pelaksanaan Persembahan Perspuluhan.

Pertama, apakah persembahan persepuluhan itu diperhitungkan atas penghasilan atau pendapatan (gaji) ? Bagaimanakah dengan hasil yang diperoleh seorang pengusaha / wiraswastwan, di bandingkan dengan pekerjaan seorang karyawan / pegawai ? Hal ini perlu dipikirkan, karena tidak semua warga GPIB adalah Pegawai Negeri atau Perusahan. 

       Kedua, apakah persembahan persepuluhan itu diberikan secara kolektif (keluarga) ataukah tiap orang yang bekerja ?

E.2. Kuantitas Persembahan Persepuluhan.

a. Berapakah jumlah (kuantum) yang ditetapkan 10 % riil dari pendapatan dan atau tiap penghasilan ? ataukah

b.  Jumlah (kuantum) persembahan persepuluhan itu didasarkan atas anjuran rasul Paulus : “Memberikan menurut kerelaan hati, jangan dengan sedih atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita”(2 Kor. 9 : 7) ?

c.  Jika kewajiban memberikan persembahan persepuluhan itu dikenakan kepada Jemaat Lokal, maka perlu dipikirkan penjelasannya tentang 1). Apakah jumlah (kuantum) persembahan persepuluhan itu ditetapkan berdasarkan hasil kotor per bulan (bruto) ? 2). Hasil bersih (netto) per bulan ? ataukah 3). Dikenakan/ diambil / dikeluarkan dari 10% pos aktivitas program Persembahan Persepuluhan yang diberikan oleh tiap warga jemaat kepada Jemaat Lokal ?

Akhirul’kalam

Akirnya saya mengutip tulisan Paulus : Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan (Ef. 6:8). Jadi akhirnya, saudara-sudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu (Flp. 4:8). Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau dengan perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita (Kol. 3:17).  Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu (Flp. 4:9b; bd. Ro. 15:5-6,15).

Medan – Sumatera Utara
Kamis, 17 Maret 2011

Salam dan Doaku,

Pdt. Arie A. R. Ihalauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar