Senin, 13 Agustus 2012

BERESHIT BARA ELOHIM - oleh Putera Sang Fajar




MATERI KATEKISASI 2012 – 2013
DIPERUNTUKKAN BAGI PESERTA KATEKISASI
GPIB JEMAAT KASIH KARUNIA DI MEDAN

ditulis
MEDAN – SUMATERA UTARA,
Senin 13 Agustus 2012

oleh

Arie a. R. Ihalauw
PUTERA SANG FAJAR

- 1 -
“BERESHIT BARA ELOHIM...”

Bereshit bara Elohim et-ha-syamaim we-et ha’aretz” ( Biblia Hebraica Stuttgartensia atau BHS diterjemahkan oleh KJV => In the beginning God created the heavens and the earth; LAI. => “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi => Kej. 1 : 1). 



A.     PENJELASAN

1.   Dalam Alkitab Bahasa Ibrani (Biblia Hebraica Stuttgartensia = BHS), khususnya pada Kitab-Kitab Musa --- yang disebut Pentateuch ---, setiap kata pertama pada pasal 1 menjadi judul kita tersebut. Kata בְּרֵאשִׁית (bc. bereshit) di Kejadian 1 : 1 menjadi Nama / Judul kitab tersebut.

2.  בְּרֵאשִׁית (bc. bereshit) berasal dari verbum (kt. kerja) “bara” --- ארב --- artinya : menciptakan, membuat menjadi ada.

3. “Bereshit”, sesungguhnya, kosa kata Ibrani ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia : “Pada mulanya...” memiliki beberapa tujuan penulisan :

a.   Kata “pada mulanya”, sebaiknya diterjemahkan “purbakala.”   

b. Kata purbakala menunjukkan, bahwa sudah ada “sesuatu” sebelum “ada peristiwa / kejadian,” dan “sesuatu” itu adalah Allah.

c.  Kata purbakala-pun menjelaskan tentang ‘tata kala / tata waktu.’ Umumnya orang berpendapat, bahwa sebuah peristiwa / kejadian berhubungan erat dengan waktu. Sementara penulis Kitab Kejadian hendak menegaskan pemahaman iman Israel, bahwa sudah ada waktu, sebelum segala sesuatu terjadi (sebelum ada peristiwa / kejadian). Waktu itu ada di dalam pikiran dan rencana kerja Allah. Dia ada di sana sebelum segala sesuatu dijadikan olehNya.

B.   PEMAHAMAN IMAN ISRAEL.

Pemahaman seperti itu sulit dinalarkan dan dipercaya oleh umat Israel Kuno serta bangsa-bangsa non-israeli {Ibr. goy (tunggal) dan goyim (jamak)}. Ketidakpercayaan itu disebabkan pada saat itu hampir seluruh budaya-agama-suku menyembah dan mengajarkan kepercayaan tentang “kekuatan-kekuatan adikodrati” yang tampak dalam fenomena alami (matahari, bulan, bintang, dan sebagainya). Dan, jauh sebelum umat Israel diciptakan Allah, leluhurnya, ABRAMpun, menganut kepercayaan ayahnya : Terah ben Nahor.

1).  Keluar dari Budaya-Agama-Suku.

          Kita tidak bisa mengatakan, bahwa Terah ben Nahor beserta anak-anaknya tak memiliki sistem kepercayaan (agama), sebelum Allah memanggil dan menyuruh ABRAM meninggalkan rumah orangtuanya (Kej. 12:1-3). So pasti, ABRAM beragama (kepercayaan). Hanya saja penulis Kitab Kejadian tidak mencatat secara jelas nama kepercayaan maupun ilah / sesembahannya. Namun kita dapat menelusuri jejak keber-agama-an ABRAM, seperti tertulis :

“Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada ABRAM dan berfirman: "Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu." Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya. Kemudian ia pindah dari situ ke pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang kemahnya dengan Betel di sebelah barat dan Ai di sebelah timur, lalu ia mendirikan di situ mezbah bagi TUHAN dan memanggil nama TUHAN.” (Kej. 12 : 7 – 8).

       Catatan Arkeologis

ABRAM mendirikan mezbah di Beth-El (Ibr. בֵּית אֵל ; Yun. Baiqhl; terj. Rumah Allah). Itulah cerita penulis Kitab Kejadian. Beth-El terletak 12 mil sebelah utara Yerusalem, di antara wilayah suku Benjamin dan suku Ephraim. Kota kecil ini pertama kali disebutkan dalam dua narasi terkait ABRAM (Kej. 12:7-8) dan Yakub {Kej. 28 : 16 – 17 => “Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia : "Sesungguhnya TUHAN ada di tempat (Ibr. יְהוָה בַּמָּקוֹם; baca : bamaqom Yehuah) ini, dan aku tidak mengetahuinya." Ia takut dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah (Ibr. בֵּית אֱלֹהִים), ini pintu gerbang sorga”; juga dalam Kej. 35 : 6 – 7 => “Lalu sampailah Yakub ke Lus yang di tanah Kanaan -- yaitu Beth-el (tul. אֵל-בֵּית) --, ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia. Didirikannyalah mezbah di situ, dan dinamainyalah tempat itu El-Betel (tul. אֵל-בֵּית), karena Allah telah menyatakan diri kepadanya di situ, ketika ia lari terhadap kakaknya.”}. Menurut nama aslinya, Beth-El disebut Luz (Kej. 35:7), sebuah kota tua dalam wilayah Kanaan, sebelum masa leluhur Israel.

2).  Kepercayaan (iman) lahir dari rahim pengalaman.

Jikalau kita membaca kalimat : ABRAM mendirikan mezbah di Beth-El (Kej. 12:7,8), maka preposisinya : jauh sebelum ABRAM mengikuti panggilan Allah, ia telah memiliki sistem kepercayaan, oleh karena ritual penyembahan itu tidak serta merta muncul tiba-tiba. Hanya saja penulis Kitab Kejadian menyebutkan nama TUHAN, supaya umat mengetahui dan mengerti, bahwa ABRAM bukan lagi sosok manusia-lama yang masih terkait dengan sesembahan (kepercayaan) Terah ben Nahor, ayahnya; melainkan ia telah menjadi manusia-baru yang berganti nama : ABRAHAM (Kej. 17:5 => “Karena itu namamu bukan lagi ABRAM, melainkan ABRAHAM, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa”).

Menurut hemat saya, tidak ada kemungkinan bagi siapapun untuk mengatakan, bahwa kepercayaan (iman) kepada Allah muncul tiba-tiba dari sebuah kekosongan tak berbentuk. Kepercayaan (iman) berproses bagaikan untaian zamrud yang disatukan menjadi kalung indah. Iman tidak muncul dari sebuah kepastian absulut yang dapat dinalarkan, melainkan ia bergerak dari keraguan akan Allah menuju kepercayaan mutlak, bahwa kita memiliki bukti-bukti kuat yang bertolak dari pengalaman keseharian, sehingga kita berkata : TUHAN adalah sumber hidup (bd. Maz. 36:10-11 => “Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang. Lanjutkanlah kasih setia-Mu bagi orang yang mengenal Engkau, dan keadilan-Mu bagi orang yang tulus hati !”).

3). Abram bukan berangkat dari kepastian iman, melainkan dari keraguan terhadap Allah-Yang-Berjanji menuju kebenaran iman.

ABRAMpun tidak mengenal Allah yang memanggilnya. Ia tidak pernah mampu menjelaskan siapakah TUHAN, Allah, yang menyuruh keluar dari kehidupan bersama orangtuanya. Ia tidak berangkat dari sebuah kepercayaan absulut tentang Allah seperti yang dikatakan ajaran kristen; akan tetapi ia membuka hati dan pikiran untuk menerima dan menjalani kemungkinan-kemungkinan terunggul yang dapat mengarahkan langkahnya menuju masa depan yang baik. Ia tidak percaya begitu saja, tetapi ia mengumpulkan bukti-bukti kepercayaan sepanjang pengalaman berjalan bersama “suara yang memanggil”-nya. Ia bukan hanya keluar dari sebuah ikatan akan kehidupan masalalu di rumah orangtuanya. Ia berjalan keluar untuk mengumpulkan bukti, bahwa keraguan (bd. Kej. 15:8 => “Kata Abram: "Ya Tuhan ALLAH, dari manakah aku tahu, bahwa aku akan memilikinya ?”)  akan Allah-Yang-Berjanji, sungguh-sungguh, bukan sebuah utopia atau ilusi. Sepanjang pengalaman perjalanan bersama Allah-Yang-Berjanji lama kelamaan keraguan Abram berakar kuat dan bertumbuh tegak di atas bukti-bukti yang dikerjakan Allah. Pada puncaknya penulis Kitab Kejadia menyaksikan : Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” (Kej. 15:6). Bukti-bukti kepercayaan Abraham itulah yang disebut AGAMA ABRAHAM. Jadi menurut saya, agama tidak berangkat dari sesuatu yang kosong tak berbentuk, tetapi bertumbuh dalam pengalaman sepanjang perjalanan bersama Allah-Yang-Berjanji. Agama sedemikian akan menjadi spiritualitas siapapun yang ingin hidup untuk mencapai masa depan TUHAN.

4).  Hubungan BARA ELOHIM dan Pengalaman Keagamaan.

4.1. Agama bukan ciptaan Allah (Kej. 1:28).

      Mungkin saja saya berpendapat tidak lazim seperti yang dikatakan banyak orang, bahwa agama-agama langit itu diturunkan dari atas (Allah); dan, oleh karena itu, ia diciptakan Allah. Saya berpandangan, bahwa Firman Roh yang diilhamkan Allah kepada manusia, agar menunjukkan jalan yang layak dijalani. Dan, saya meletakkan dasar pemahaman ini pada 2 (dua) kesaksian penulis Kitab Kejadian

a. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah : "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi.” (Kej. 1 : 1 – 3).

b. “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7).

     Kedua ayat kutipan menggambarkan sebuah kenyataan, bahwa segala sesuatu yang hidup dan berada dalam alam semesta dikerjakan oleh Allah (karya Allah). Pemahaman tersebut dijelaskan begini :

Pertama, Allah adalah sumber kekuatan gerak (energy yang bersifat dinamik) yang menyebabkan terciptanya kehidupan (kebaikan), dan bukan kekacauan yang mematikan (kejahatan). Kekuatan itu tidak pernah berhenti, tidak pernah mati dan binasa, tidak pernah hilang, tetapi selalu membuat yang tiada (tidak terpikirkan dan terinderai manusia) menjadi ada serta tampak jelas. Dialah “causa prima.”

Pandangan itu tersurat dalam Kejadian 1 : 1 – 3, di mana penulis Kitab Kejadian mengatakan : “... dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah : "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi.” Segala sesuatu yang tampak jelas di hadapan mata manusia merupakan hasil karya Allah (Roh dan FirmanNya). Hal itu disebutkan penulis : “ROH Allah melayang-layang,” tidak sama artinya dengan layang-layang, melainkan menunjukkan Allah yang sedang bekerja (seperti tertulis : “Ber–FIRMAN–lah Allah...).

Kedua, segala sesuatu yang baik datangnya dari Allah, sumber kebaikan. Pernyataan tersebut berangkat dari kesaksian Kejadian (1:2) yang sarat makna. Ketika ROH Allah bekerja, maka Dia mengatur dan menertibkan kekacauan, supaya fungsi hidup ciptaanNya dapat berkembang menuju kebaikan. Secara tersirat ada nuansa pembaharuan dan pemulihan ciptaan yang menderita di bawah tekanan kuasa kegelapan. Dengan demikian umat Allah memahami dan mengakui, bahwa ciptaan tidak (kurang) memiliki kekuatan untuk memulihkan dan membaharui diri, jikalau tidak ditolong Allah.

Ketiga, umat Israel mengakui, bahwa manusia bersifat material (Ibr. adamah, debu tanah) yang tidak bergerak / hidup. Ia “menjadi” makhluk yang hidup, karena Allah menghembuskan “roh” (Ibr. ruach -> nafas, angin, semangat, spirit) ke dalamnya.  

Jadi menurut pemahaman iman penulis Kitab Kejadian, kehadiran Allah dalam wujud ROH dan FIRMAN telah menciptakan kehidupan bertumbuh menuju keadaan yang baik. Kehadiran Allah menaklukkan kuasa kegelapan yang mengacaukan kehidupan ciptaan. Inilah yang saya maksudkan spiritualitas (sama dengan religiositas ? Wallahualam), yanjg kemudian dijadikan Pengajaran Agama Kristen (dogma/ doktrin).
         

SALAM

PUTERA SANG FAJAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar