Selasa, 28 Februari 2017

MATERI PEMBERITAAN MINGGU VII PRAPASKAH - 5 Maret 2017 => Oleh A. R. Ihalauw

RANCANGAN 
PEMBERITAAN FIRMAN ALLAH
MINGGU VII - PRAPASKAH
Minggu, 05 Maret 2017

ALLAH, POKOK ENGHARAPAN KITA

Ayub 6 : 1 - 13

disusun oleh 
Pdt. Arie Arnold R Ihalauw

A, PENDAHULUAN

1. Penderitaan adalah fenomena sosial yang sering kita temukan dalam masyarakat. Penderitaan itu terlihat dalam 2 (dua) bentuk konkrit, yakni : lahir dan bathin, pisik dan psikis, spiritual dan material, dll. 

2. Penderitaan merupakan suatu keadaan yang dapat terjadi dalam kurun waktu lama maupun sebentar saja. Hal itu tergantung cepat lambatnya bantuan diberikan. Jika bantuan terlamba disuplai, maka keadaan semakin parah, di mana manusia merasa ditinggalkan bergumul seorang diri. Dalam kondisi seperti itu si penderita akan kehilangan pengharapan.

B. KONTEKS SOSIO - KULTRAL

Kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia berlangsung baik saat ini, Akan tetapi hasilnya dinikmati penduduk pekotaan, khususnya lapisan elite yang dekat dengan sumbu kekuasaan semata. Sementara masyarakat pedesaan dijadikan sapi perah saja. Mereka kehilangan kesematan untuk memperoleh kesejahteraan, lahan pekerjaan; malahan laan persawahannya dijual untuk dijadikan pembangunan Supermall, daerah hunian mewah, dsbnya. Status mereka berubah dari pemilik tanah menjadi penyewa di lahan miliknya dahulu.

Jurang perbedaan kaya miskin terentang panjang dri Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan Nusantara. Sistem perekonomian masih saja menguntungka pemilk modal dibanding rakyat kecil. Solidaritas bangsa ini mengerucut ke puncak-puncak kekuatan sosio-politik, di mana praktek monopoli terpelihara serta berjalan tanpa meninggalkan jejak dan bekasnya. Meski pemerintah berusaha menjalankan amanah rakyat, namun tengkulak politik dan ekonomi merasa nyaman dan aman mengeruk keuntungan.

Munculnya kantong kantong wilayah gembel dan pengemis di lampu-lampu merah menunjukan, bahwa keiskinan merupaka penyakit, bagaikan kanker gsnas yang mengetogoti kehidupan manusia dalam masyarakat. Malahan bibit penyakit itu menciptakan jenis jenis penyakit masyarakat yang lebih kompleks serta sulit disembuhkan, seperti kantong pelacuran, homoseksualitas / lesbianitas, perampokan dengan kekerasan, pencurian, maling dan sebagainya. 

Keadaan seperti ini menjadi tantangan bagi Gereja secara nasional maypyn regional smpai ke tingkat parokial (Jemaat / kongregasi) untuk mendengar seruah Tuhan, seperti yang diceritakan penulis Injil Matius (25 : 31 - 45), di mana Sang Raja berkata : "Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi aku makan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian.... " Orang-orang itu berkata : "Kapankah kami melihat Tuhan lapar, telanjang, haus.... ?" Lalu Raja itu menjawab mereka : " Jikalau kamu melakukan segala sesuatu yang baik bagi saudara-saudaraKu yang hina itu, kamu telah melakukannya untuk Aku."

Gambran yng terkandung pada cerita itu menjelaskan seruan Allah yang menderita melalui orang-orang tertundas orang-orang sengsara, kaum dhuafa faqir miskin, dll. Seruan itu wajar ditafsirkan ecara tologis sebagai tantangan bagi panggilan pelayanan - kesaksian Gereja di tengah masyarakat.


C. NASKAH AYUB 6 : 1 - 13

1. Lalu Ayub menjawab: 2. "Ah, hendaklah kiranya kekesalan hatiku ditimbang, dan kemalanganku ditaruh bersama-sama di atas neraca ! 3.  Maka  beratnya akan melebihi pasir di laut; oleh sebab itu tergesa-gesalah perkataanku. 4. Karena anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku, dan racunnya diisap oleh jiwaku; kedahsyatan Allah seperti pasukan melawan aku. 5. Meringkikkah keledai liar di tempat rumput muda, atau melenguhkah lembu dekat makanannya ?  6. Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa garam atau apakah putih telur ada rasanya ? 7. Aku tidak sudi menjamahnya, semuanya itu makanan yang memualkan bagiku. 8. Ah, kiranya terkabul permintaanku dan Allah memberi apa yang kuharapkan. 9. Kiranya Allah berkenan meremukkan aku, kiranya Ia melepaskan tangan-Nya dan menghabisi nyawaku ! 10. Itulah yang masih merupakan hiburan bagiku, bahkan aku akan melompat-lompat kegirangan di waktu kepedihan yang tak kenal belas kasihan, sebab aku tidak pernah menyangkal firman Yang Mahakudus. 11. Apakah kekuatanku, sehingga aku sanggup bertahan, dan apakah masa depanku, sehingga aku harus bersabar ? 12. Apakah kekuatanku seperti kekuatan batu? Apakah tubuhku dari tembaga ? 13. Bukankah tidak ada lagi pertolongan bagiku, dan keselamatan jauh dari padaku ?

D. PENJELASAN TEOLOGIS

a). Penulis Kitab Ayub secara sengaja menonjolkan percakapan Ayub dan sahabat-sahabatnya tentang pokok teologis, PENDERITAAN MANUSIA. Mengapa manusia menderita > Apakah tujuan penderitaan ? Bagaimanakah manusia menghadapi dan menuntaskan penderitaannya ?  Masalah penderitaan  / kesengsaraan / kesusahann / penyakit / ancaman bahaya sampai pada kematian merupakan fenomena sosial yang diangkat dan didebatkan teolog sekaliber Ayub, Elihu, Elifas dll, Teman-temannya berpendapat, penderitaan berasal dari Allah. Inilah pandangan tradisional keagamaan. Seakan segala sesuatu yang baik dan yang tidak aik ersumber dari Allah.

b). Ayub tidak berpikir demikian. Pandangannya  berbeda dengan sahabat-sahabatnya. Gambarn dalam pasal 7, menjelaskan Ayub mencari Allah untuk menanyakan, apakah Allah yang mencobainya; akan tetapi Ayub sendiri menjawab persoalannya. Melalui penderitaan itu ia bertanya, tetapi tidak ada jawaban dari Allah. Allah hanya berdiam diri. Ayublah yang harus menuntaskan pergumulannya. Di tengah keputus asaannnya, ia berseru : "... aku tahu, Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu,  
Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah,yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikanNya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.(Ayb 25:22 -25). Menurut keyakinan Atub, ada harapan di dalam pergumulan. Dan harapan itu ada pada Allah; oleh sebab itu, ia berkata kepada sahabatnya "Hati sanubariku merana karena rindu !" Seakan Ayub ingin memastikan, bahwa tidak ada seorangpun dapat menyelesaikan penderitaannya, kecuali Allah : Dialah sumber kerinduan bagi orang-orang sengsara yang berharap kepadaNya. Inilah sumber enghiburan dan kekuatan spiritual, sehingga sekalipun ia mengalami kepahitan, ia tetap bersuka cita dengan mengingat akan kebaikan Allah. 

E. PENERAPAN KE DALAM KONTEKS UMAT

1. PENDERITAAN ADALAH FENOMENA SOSIAL 

Tidak seorangpun, entahkan yang beragama Islam, Kristen, Hindhu - Budha maupun penganut aliran kepercayaan, yang tidak pernah mengalami kesengsaraan. Semua manusia yang diciprakan dari debu tanah, so pasti, pernah merasakan kepedihan hati; oleh karena, penyakit dan kematian mengancam kehidupan pribadi dan keluarga. 



2. APAKAH PENDERITAAN ITU KEHENDAK ALLAH ?

Pertama tama kita perlu memahami 2 (dua) kata Bahasa Indonesia, yakni : MUSIBAH dan BENCANA. 

MUSIBAH itu terjadi oleh kesalahan manusia semata-mata; misalnya, salah satu  alasan terjadinya banjir adalah ulah manusia merusak ekosistem alam. Manusia menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan, tanpa menanam kembali (reboisasi) alam. Dengan demikian jika curah hujan lebat, maka air tidak dapat tertahan, lalu terjadi banjir dari hulu gunung menuju pemukiman penduduk. 

Di sisi lain, BENCANA terjadi diluar kendali atau bukan karena ulah manusia; misalnya, curah hujan lebat tanpa batas waktu berhenti bukanlah akibat ulah manusia, melainkan fenomena alam semata. Kita dapat berkata, bahwa salah satu penyebab banjir disebabkan ulah manusia; akan tetapi curah hujan tanpa batas waktu berhenti di luar kendali manusia

Jadi  dalam satu kasus (terhubung banjir), kita harus berpikir terkait 2 (dua) hal, yakni : tergangunya eksistem  ( hasil ulah manusia ) serta lama waktu dan banyaknya curah hujan ( di luar kendali manusia). Cara berpikir seperti ini amat memungkinkan untuk ersikap ositif dalam mengatasi persoalan sosial.

Sehubungan dengan kasus BANJIR, kita tidak boleh mengatakan, bahwa hal itu adalah kehendak Allah. Hal ini dikarenakan Allah telah membuat perjanjian dengan manusia, setelah masa Air Bah di zaman Nuh. Hati hati mengambil ksimpulan dengan menghubungkan malapetaka banjir dengan hukuman Allah. Tidak teologis !

Kedua, kasus penyakit (epilepsy, leprosy, demam berdarah)... Dalam tradisi keagamaan Israel kuno, penyakit dihubungkan dengan kutukan / hukuman Allah; katakanlah, epilepsi ( sakit ayan ) dihubungkan dengan kuasa kegelapan, juga kusta ( Yun. leprosy ) dihubungkn dengan  kutukan Allah ( penyakit yang diderita Miryam, kakak perempuan Musa ). Dahulu kita dapat berpikir demikian, namun sejalan kemajan pengetahuan kesehatan, kita tak dapat mengatakan, bahwa enyakit itu berasal dari Allah; melainkan penyakit itu ada karena gaya hidup manusia. Jika manusia tidak menjaga lingkungan hidup, maka ia akan tertimpa penyakit epidemis, seerti types, kolera, disentri, dll. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan obat-obat penangkal, supaya membebaskan diri dari serangan penyakit.

Contoh lain lagi, yakni kematian anak sulun di Mesir....  Kita perlu menganalisa cerita tersebut menurut pengetahuan kesehatan masyarakat. Apakah penyebabnya ? Sungai Nil membelah Kota Mesir. Sungai itupun menjadi tempat nyamuk berkembang biak. Bukan tidak mungkin, anak-anak dan orang tua menggunakan sungai untuk mandi. Bisa jadi di sanalah anak-anak kejangkitan virus malaria demam berdarah yang mematikan. Peristiwa itu diceritakan oleh Penulis Kitab Keluaran sebagai tulah ke 10 : keatian anak sulung. Begitulah orang-orang zaman dahulu membaca fenomena tersebut. Namun dalam perkembangan pengetahuan kesehatan saat ini, pemahaman tradisional itu ditanggapi serta dijawab seara logis.

Ketiga, hubungan psikologis antara penyakit dan kemiskinan....  Menurut saya, orang selalu mendoakan kesembuhan si penderita sakit dan penyakitnya. Sikap iman itu baik, tetapi belum menjawab persoalan yang dihadapi si penderita. Persoalannya seperti ini..., katakanlah contohnya, seorang kepala keluarga menderita kanker ganas. Ia dianjurkan menjalano chemoterapi sebanyak dua belas kali. So pasti, keutusan dokter amat memberatkan kondisi ekonomi keluarga, sebab penghilan rumahtangga ditanggun sepenuhnya oleh apak tersebut. Akibatnya, seluruh keluarga merasakan pahitnya pergumulan. Hanya ada 2 (dua) kemungkinan sembuh. Pertama, melalui pengobatan, tetapi menelan biaya besar serta menggenjot harapan keluarga. Itupun masih ada kemungkinan si ayah menghadapi kematian. Ujung-ujungnya juga Rugkan...., mengapa  !? Karena sejumlah uang telah dikeluarkan, malahan harta benda ludes untuk mencari penyembuhan; tetapi hasil akhir hanyalah kematian belaka.

Kedua, hidup dari doa semata-mata. Sikap kesaleh salehan ini lahir dari rasa pesimis terhadap tubdaan medis, Akhirnya manusia akan mati. Pengobatan hanyalah usaha manusia untuk mencegah percepatan perkebangan bibit penyakit, atau memperlambat perkembangan penyakit..., syukur syukur sembuh total. Akan tetapi sikap ekstrim melalui doa dapat disembuhkan, akhirnya berujung pada kegagalan total yang mematikan. Kita lupa, bahwa Allah dapat menggunkan terapi medis untuk menyembuhkan penyakit. Tetap jika uaya kedokteran dilakukan tanpa iman yang benar..., so pasti, tidak akan berbuah baik. 

Oleh karena itu, kita perlu menyadari, bahwa debat teologis tentang penanggulangan bahaya penyakit, bukan hanya dilakukan dunia kedokteran berdasarkan temuan bioteknologi saja; akan tetapi semua ilmuan kesehatan wajib mengakui keahakuasaan Allah; bahwa Dia memakai para dokter untuk menjalankan rencan keselamatan (pemulihan kesehatan) atas manusia. Dengan demikian, sikap ekstrim yang tidak mempedulikan hasil kemajuan teknologi kedokteran adalah keliru; dan sebaliknya pemahaman bahwa kemajua bioteknologi mampu menuntaskan penyakit manusia adalah salah. Yang benar adalah MUJIZAT ALLAH TERJADI BAGI SIAPAPUN, seperti pada Ayub, APABILA MANUSIA MENGEMBANGKAN TEKNOLOGI KESEHATAN / KEDOKTERAN UNTUK TUJUAN PENYELAMATAN SAMBIL BERDOA MEMOHONKAN PERTOLONGAN ALLAH. Itulah yang saya katakan : TIADA YANG MUSTAHIL BAGI ALLAH YANG MENYATAKAN KEBAIKAYA DI DALAM NAMA YESUS KRISTUS.

Selamat Menyusun Pemberitaan


Bogor - Selasa, 28 Pebruari 2017

SALAM HORMAT DAN DOAKU

Pdt Arnold R Ihalauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar