Rabu, 24 November 2010

BAHAGIAN KEDUA - Keluarga Allah ----


– 2 –
LANDASAN TEOLOGIS BAGI PERSIAPAN     
PEMBANGUNAN MISI GEREJA
Umumnya manusia bertumbuh dan berkembang dalam dan sesuai konteks sosio-budayanya. Ia terikat pada nilai-nilai yang diwariskan leluhur. Nilai-nilai itu dipakai untuk menyusun dan merencanakan : visi – misi, tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan dan pengawasan, agar seluruh mimpin tentang masa depannya dapat terwujud. Nilai-nilai itu saya sebut adat-istiadat. Bukan sekedar kebiasaan / adat-istiadat ( custom ) saja, tetapi kekuatan spiritual yang mendorong lahirnya karya budaya manusia. Nilai-nilai itu diwariskan melalui pendidikan dan pengajaran sejak masa kecil dalam sebuah keluarga untuk mengatur perilaku manusia dalam kehidupan bersama.
Kekristenan dibesarkan dalam wadah yang berbeda. Ia merupakan salah satu aliran Yudaisme, sekurang-kurangnya berlatarbelakangkan Agama Israel. Ia, kekristenan, juga mewarisi berbagai mitos yang bertujuan menghidupkan spiritualitas umat. Mitos itu adalah tradisi yang terpelihara dan diturunkan melalui pengajaran kepada tiap generasi (bd. Ul. 6:6-9). Sejak zaman leluhurnya, Israel sangat menekankan salah satu tradisi utama, yakni :  memelihara kesatuan utuh dari persekutuan keluarga yang tercipta karena keintiman hubungan antar anggota keluarga. Latar belakang APL yang mengjadi wacana bagi kelahiran APB banyak berisikan tradisi tentang kehidupan perorangan yang berhubungan dengan fungsi – perannya dalam keluarga.
1.      Pemahaman ISRAEL – YEHUDA  sebagai keluarga keturunan (darah daging) Abraham, Ishak dan Yakub. Katakanlah beberapa contoh :
a). Tradisi di sekitar Abraham (Kej. 12 : 1 – 3), sekalipun diterima secara pribadi; akan tetapi melibatkan seluruh anggota keluarganya. Abraham tidak sendirian meninggalkan rumah bapaknya bersama Sara, Lot (keponakannya) serta semua pekerjanya. Simaklah tulisan penulis Kejadian ini :
Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu. Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu mashur dan engkau akan menjadi berkat. … (Kej. 12:1–3).
Panggilan Abraham serta kepergian seluruh anggota rumahtangganya meninggalkan Ur-Kasdim dipahami sebagai prototipe dari karya penyelamatan dan pembebasan yang dilakukan Allah. Dan, bentuk seperti ini berulang terus menerus dalam sejarah umat Israel. Bagi Israel, ALLAH bertindak membebaskan keluarga secara utuh, di dalamnya tiap individu berada. Pembebasan itu tidak bersifat pribadi, melainkan bersifat kolektif; dan atau, meskipun ada juga tradisi lisan yang berhubungan dengan pembebasan pribadi, namun hal itu selalu terkait pada umat (Ibr. AM, bangsa -> sebagai keluarga besar) secara utuh.
b).  Tradisi di sekitar Yusuf, anak Yakub (Kej. 37, 39–50). Meskipun ia diperlakukan buruk oleh saudara-saudaranya, dijual kepada pedagang Arab, dijadikan pembantu di rumah Potifar, dimasukkan ke penjara, kemudian ia diangkat menjadi “penguasa” di Mesir; akan tetapi keadaan itu dihayati Yusuf sebagai panggilan dan pengutusan Allah untuk membebaskan keturunan (keluarga) Yakub dari bencana kelaparan (Kej. 45:1-15).
c).  Tradisi di sekitar Musa (Kel. 1 – 6). Memang benar, Musa melakukan tindak kekerasan yang mengorbankan warga Mesir, karena membela saudara sebangsanya. Akhirnya Musa melarikan diri ke Midian, karena pengkhianatan saudara Israel yang ditolongnya (Kel. 2:11-22). Di sana ALLAH menjumpai serta menugaskan dia untuk membebaskan Israel dari penindasan penguasa dan rakyat Mesir. Penulis Kitab Kejadian tidak menceritakan Musa secara terpisah dari keturunan Yakub. Justeru panggilannya dihubungkan dengan penyelenggaraan tugas pembebasan yang dirancangkan ALLAH ke atas kehidupan Israel, umat-Nya.
Tradisi ini tetap dipertahankan Musa, ketika ia memimpin bangsa Israel dari Mesir menuju tanah Kanaan, tanah perjanjian. Kesatuan keluarga-keluarga Israel (keturunan Yakub) sebagai sebuah bangsa, karena berasal dari satu leluhur : Abraham. Menurut tradisi ini, seseorang disebut warga Israel, karena ia memiliki hubungan darah daging dengan Abraham, Ishak dan Yakub.
d).  Tradisi di sekitar kehidupan nabi Hosea (Hos. 1 – 3). Meskipun tradisi ini terkait pemberitaan simbolik; akan tetapi perkawinan Hosea dengan Gomer binti Diblaim merupakan gambaran dari keluarga Yakub : Israel Utara dan Yehuda.
Masuknya Orang Asing ke dalam Keluarga Israel-Yehuda
Akan tetapi konsep pemahaman itu berkembang di kemudian hari, sekurang-kurangnya sejak Israel keluar dari  membuka diri menyambut orang asing dalam persekutuan keluarganya, setelah mereka harus menjalani ritual keagamaan Israel. Tanpa memenuhi tuntutan hukum agama (Taurat dan Sunat), status kewargaan orang asing tidak akan pernah berubah (bd. Kej. 17:9-14).
Para penulis APL menyadari, bahwa sejak awal pembentukan Keluarga Abraham yang mengadakan perjalanan ke tanah Kanaan, bukan saja bersifat homogen (yang terdiri dari anak-anak Terah -> Kej. 11 :27 - 30), tetapi juga ada banyak orang yang bekerja pada Abraham. Keluarga yang berangkat dari Ur di Kasdim menuju Kanaan itu bersifat heterogen (plural / majemuk dalam arti suku dan rasnya).
Untuk memurnikan dan membuat berbagai anggota dengan beragam latar belakang itu menjadi satu keluarga, maka penulis Kitab Kejadian menegaskan meterai perjanjian, yaitu : sunat, sebagai alat pemersatu keutuhan keluarga.
Firman Allah kepada Abraham : “Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun. Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu : setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit khatanmu, itulah yang akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu. Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun : baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu. Orang yang lahir di rumahmu dan yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal” (Kej. 17:9-13).
Beberapa catatan :
             i.      Pada awalnya perjanjian itu ditujukan kepada “engkau dan keturunanmu” (Kej. 17:8a; bd. Kej. 12:2). Yang dimaksud dengan keturunan adalah anak-anak yang dilahirkan langsung (darah daging) Abraham.

           ii.      Akan tetapi dalam ayat 10 telah terjadi pergeseran makna sejalan dengan penggunaan kata ganti orang kedua tunggal “engkau” (yang menunjuk pada Abraham dan keturunannya secara biologis, an sich) menjadi kata ganti orang kedua jamak “kamu”. Kata ganti orang kedua jamak (“kamu”) itu menunjuk pada “yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu. Orang yang lahir di rumahmu dan yang engkau beli dengan uang harus disunat” (Kej. 17: 12,13a). Jadi orang-orang bukan sedarah daging, yang dibeli dan yang bekerja di dalam rumah Abraham, haruslah disunat. Di dalam dan melalui penyunatan itu mereka menjadi satu keluarga perjanjian.

          iii.      Perkembangan ini merupakan sebuah keadaan yang lazim terjadi dalam budaya Timur Tengah Kuno. Di sinilah kita dapat memahami arti kata “orang yang lahir di rumahmu”. Mereka itu bukan saja anak-anak secara biologis dari Abraham, tetapi juga anak-anak yang karena iman mengikatkan diri kepada perjanjian yang dibuat Allah dengan Abraham. Melalui penyunatan, mereka menyebut Abraham sebagai bapa. Dan, inilah makna sunat : mempersatukan yang jauh menjadi yang dekat, yang bukan keturunan darah daging menjadi satu keluarga perjanjian. Makna inilah yang kemudian dikembangkan oleh Rasul Paulus dalam surat-suratnya. Baik anak kandung maupun anak-anak dari orang-orang asing, oleh meterai perjanjian, yaitu : sunat, telah diikatkan menjadi satu keluarga : KELUARGA ALLAH, keluarga perjanjian.
2.    PERJUMPAAN BUDAYA YUNANI DAN KEKRISTENAN
Ketika para Misionaris Kristen Abad I (seperti : rasul Paulus) memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada bangsa-bangsa non-Israeli, mereka berhadapan dengan tingkat pengetahuan dan kebudayaan yang cukup maju, mapan. Masyarakat Yunani telah memiliki sistem budaya pengetahuan, yang disebut : filsafat. Hampir seluruh kosak kata yang digunakan telah memiliki makna filsafat yang tetap. Orang-orang Yunani Roma telah maju dalam ilmu pengetahuan. Bahasa yang digunakan merupakan symbol dan tanda dari konsep berpikir filsafat tentang alam semesta, masyarakat-bangsa, sistem nilai etis-moral, mitos tentang dewa-dewi, sistem keagamaan, dan lain-lain sejenisnya.  Ada ketegangan (masalah) dalam perjumpaan Injil dan budaya asing.
Ketegangan berlangsung di antara orang Kristen-Israeli (Kristen keturunan Israel yang masih memegang teguh tradisi Yudaisme : Sunat dan Hukum Taurat) dengan orang Kristen non-Israeli (Ibr. goyim, Yun. pantha ta ethne). Menurut orang Kristen-Israeli, semua “orang asing” yang masuk menjadi orang Israel (termasuk menerima Yesus selaku Kristus) wajib memenuhi tuntutan Taurat dan disunatkan. Jika mereka tidak mematuhi, maka kekristenannya belum sempurna. Kondisi ini terjadi di semua wilayah, di mana Injil Kristus diberitakan. Beberapa contoh yang diceritakan di bawah ini, kiranya bias membantu kita memahami kondisi tersebut.
a).  Jemaat Kristen yang dipimpin Matius.
1. Masalah dalam Jemaat yang dipimpin Matius
Pemberitaan Injil di Timur Tengah telah menarik perhatian semua suku-bangsa. Banyak orang dari beragam latarbelakang social-budaya beralih keyakinan. Mereka menjadi pengikut “jalan Tuhan” (sebutan ini dipakai tabib Lukas sebelum dijuluki Kristen -> Kisah Rasul 11 : 26). Pada mulanya gelombang masuknya orang-orang asing (red. non-israeli) tidak begitu menimbulkan masalah. Namun lama kelamaan keasliannya diprotes oleh orang Kristen-israeli, terkait dengan ketaatan kepada hukum Taurat dan pelaksanaan sunat selaku tanda perjanjian.
Gelombang protes itu menimbulkan keresahan dan keretakan hubungan di kalangan persekutuan. Menyaksikan kondisi seperti itu, Matius menuliskan Injilnya sebagai jawaban atas masalah tersebut. Melalui penulisan Injilnya Matius bertujuan : mengajar dan menggembalakan warga jemaatnya, agar mereka mengetahui dan mengerti maksud dari rencana ALLAH dalam pekerjaan Yesus Kristus.
     Untuk menyadarkan dan meyakinkan kedua belah pihak warga jemaat, Matius menyusun Injilnya sesuai pola penulisan ke – 5 Kitab Musa (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan). Saya mengutip salah satu perikup dalam bahagian II (psl. 5 – 7 -> Pengajaran Yesus di Bukit), yaitu : 7 : 24 – 27 tentang DASAR BAGI PEMBANGUNAN RUMAH. Pada perikop itu Matius sengaja menggunakan perumpamaan untuk membandingkan pekerjaan yang sama, tetapi dilakukan dalam dua cara yang berbeda : pekerjaan para tua-tua Agama Israel dan pekerjaan Gereja. Matius sengaja merujuk pada pernyataan Yesus Kristus :
Barangsiapa yang mendengarkan perkataan-Ku dan melakukannya, ia sama seperti orang yang bijaksana yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh, karena didirikan di atas batu” (Mat. 7:24-25).
     Matius memiliki VISI dan MISI tentang pembangunan sebuah rumah. Ia mengkondisikan hasil pekerjaan itu dalam pasal 5 : 3 – 13 (sebuah rumah di mana setiap penghuninya menikmati kebahagiaan. Banyak teolog sepakat, bahwa Ucapan Bahagia ini adalah gaya penulisan Matius untuk mengimplementasikan Hukum Taurat dalam Agama Israel). Visi itu hanya dapat dicapai, jika penghuni mendirikan rumahnya sesuai dengan perkataan-Ku (firman Kristus Yesus). Visi pembangunan keluarga Kristen yang dimaksudkan adalah keluarga Kristen yang menikmari kebahagiaan. Sementara cara yang harus ditempuh, agar tujuan itu tercapai adalah perkataan Yesus Kristus, yang disimpulkan Matius : Kasihilah TUHAN dan kasihilah sesama (Mat. 22:37-40. Bahagian ini diuraikan lebih mendalam pada pasal 5 : 17 – 48).
     Penggembalaan dan pengajaran itu bertujuan untuk membentuk perilaku ibadah warga Kristen-israeli dan non-israeli, baik dalam membangun hubungan dengan ALLAH serta perilaku sosialnya. Ajaran ini menjadi jelas, ketika Matius menuliskan :
Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan banyak orang, supaya dilihat mereka, jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga” (Mat. 6:1).
     atau juga …
Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu : Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya (Mat. 6:5).
     Dengan memakai kalimat : Aku berkata kepadamu, Matius menegaskan, bahwa seluruh ibadah baik ddalam bidang liturgis (ritual) juga pelayanan kemasyarakatan wajib dilakukan oleh semua orang Kristen-Israeli maupun non-israeli berdasarkan perkataan (ajaran) Yesus. Bukan untuk mencari penghormatan manusia, tetapi agar karya hidup ibadah itu berkenan kepada ALLAH. Dalam proses pembangunan keluarga (Mat. 7:24-27), hukum Taurat tetap diperlukan, bukan sebagai jalan keselamatan, tetapi sebagai petunjuk hidup baru dari keluarga yang dibangun di atas dasar perkataan Yesus. Di sinilah hukum Taurat berubah fungsinya menjadi petunjuk etis dari jemaat sebagai keluarga. Orang Kristen yang melakukannya diumpamakan sebagai “garam” dan “pelita” (Mat. 5:13-16).
2.   Apakah alasan teologis bagi Matius untuk menggunakan ucapan Yesus ?
     Dasar teologis yang dipakai Matius termaktub dalam ucapan Yesus, setelah Rasul Petrus (mewakili Jemaat) menyatakan pemahaman dan pengakuan imannya : “Engkaulah Mesiah, Anak Allah yang hidup” (Mat. 16:16). Sesudah Petrus menyatakan ke-Mesiah-an (keilahian), Yesus berkata :
        Bukan manusia yang mengatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu : Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut pun tidak akan menguasainya (Mat. 16 : 17-18).
     Menurut Matius, Jemaat didirikan (dibangun) di atas dasar karya Yesus Kristus. Dia sendirilah yang membangun jemaat-Nya.  Meski tantangan dan ancaman (Mat. 16:18 -> alam maut; Mat. 7:25, 27 -> ancaman alam : hujan, banjir dan angin badai) membahayakan kehidupan Jemaat sebagai Keluarga, namun kuasa Kristus selalu menaunginya (Mat. 28:20). Perlindungan Tuhan itu memperlihatkan betapa Dia mengasihi Jemaat.
     Oleh karena Yesus Kristus dan perkataan-Nya menjadi landasan pembangunan Jemaat selaku keluarga, maka seluruh penyelesaian masalah pun harus dilakukan sesuai kehendak-Nya.
b).  Surat – Surat Rasul Paulus
     Masalah yang dihadapi Matius Penulis Injil sama dengan yang dialami Rasul Paulus, setelah Jemaat-Jemaat Kristen yang diinjilinya mulai bertumbuh. Banyak perantau Israel yang beragama Yudais  maupun orang Kristen-israeli mempengaruhi Jemaat-Jemaat yang sedang bertumbuh itu dengan ajaran-ajaran leluhurnya. Akhirnya muncul perselisihan paham dalam jemaat.
     Menjawab persoalan dalam jemaat-jemaat yang diinjilinya, Rasul Paulus memakai beberapa lambing untuk menjelaskan wujud jemaat, seperti :
1.      Gereja selaku tubuh Kristus.
2.      Gereja selaku baith Allah.
3.      Gereja selaku Keluarga Allah.
Akan tetapi Paulus bersikukuh berpegang pada dasar pembangunan jemaat yang didasarkan atas karya Kristus Yesus (I Kor. 3:11).
     Keluarga Allah
     Paulus menemukan kenyataan, bahwa ada pula perantau Kristen-israeli yang sudah memberitakan Injil ke kota-kota yang kemudian didatanginya. Perantau Kristen-israeli meninggalkan tanah Yudea dikarenakan berbagai alasan, terutama penghambatan dan penganiayaan yang dilakukan penguasa lokal dan baith Allah atas orang-orang Kristen. Di perantauan mereka berkumpul dalam rumah-rumah, mengadakan ibadah dan memberitakan Injil dan mengajarkan firman Allah. Mereka itu disebut jemaat rumah / jemaat keluarga. Hasil pekerjaan mereka cukup menggembirakan. Banyak orang dari bangsa-bangsa non-israeli berpindah keyakinan. Namun usahanya terbatas. Katakanlah contoh : di Korintus telah bertumbuh jemaat rumah / jemaat keluarga, sebelum Paulus memberitakan Injil di sana. Malahan di Kota Roma pun Akwila – Piskilla, Narsisus, serta Trifena – Tifosa telah melakukan penginjilan di sana. Dari sinilah berkembang pemahaman tentang jemaat rumah/jemaat keluarga. Gereja-Gereja mulai mengembangkan warisan tersebut menjadi strategi pembinaan warganya. Dan, saya mendorong Gereja mememberdayakan kembali (re-fungsionalisasi dan re-fitalisasi) kehkasan ini menjadi strategi pembinaan, penggembalaan dan penginjilan (misi) masa depan.
     Memang secara tekstual penggunaan simbol / lambang keluarga Allah hanya beberapa kali ditemukan  dalam surat-surat Paulus. Akan tetapi simbol tersebut memiliki makna penting. Rasul menggunakan simbol itu dalam suratnya kepada Jemaat Efesus untuk menjelaskan kesatuan antara orang Kristen-israeli dan Kristen non-israeli. Meskipun kedua golongan itu telah berhimpun bersama, namun suasana persekutuan terasa kurang harmonis karena berbagai hambatan latar belakang sosio-budaya. Kedua kelompok Kristen itu disebut yang “jauh” dan yang “dekat”.
     Untuk mendamaikan keadaan di dalam jemaat Efesus, Paulus menuliskan (Efs. 2) :
    17. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang “jauh” dan damai sejahtera kepada kamu yang “dekat”, 18. karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. 19. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota keluarga Allah, 20. yang dibangun dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi baith Allah, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.
Persoalan dalam Jemaat Efesus membuka pemahaman, bahwa acapkali latarbelakang sosio-budaya sangat mengganggu pekerjaan pelayanan dalam Gereja maupun Jemaat-Jemaat Lokal. Kita tidak mungkin bisa menutup-nutupi kondisi, bahwa dalam sebuah jemaat sering terjadi gesekan karena adanya latar belakang berbeda. Walaupun kita menyebutnya dinamika kelompok, namun kadang-kadang dinamika tersebut berubah menjadi pemicu masalah.
Kondisi praktis dalam Gereja/Jemaat. Kata “yang jauh” dan “yang dekat” pun acapkali dipakai, ketika Gereja/ Jemaat akan melakukan aktifitas program. Katakanlah contoh : ketika Jemaat akan menyelenggarakan Perayaan Natal Kristus, dipilih dan disusun Panitia Penyelenggara. Dalam hal ini pilihan dijatuhkan pada orang-orang yang dekat, yang dikenal baik. Dan, jikalau pertanyaan diajukan, maka jawabannya adalah : “Mereka memiliki potensi serta rajin bekerja”. Padahal kita melupakan orang-orang “yang jauh”, yang kurang dikenal karena kerajinannya mengikuti kegiatan gerejawi. Sikap dan pandangan seperti itu tidak teologis, bersifat praktis belaka. Malahan akan menimbulkan hambatan bagi pelayanan, serta memberikan kesempatan bertumbuhnya kelompok-kelompok baru yang menentang kebijakan gereja.
Perselisihan dalam Jemaat Efesus dapat menjadi contoh untuk membaca kondisi dalam Gereja / Jemaat masa kini.
Perselisihan antar pribadi dan kelompok dalam Jemaat Efesus berlatar-belakang ajaran. Masing-masing pengajar dan pemberita Injil, setelah Paulus meninggalkan Efesus, memiliki karunia pengetahuan yang diberi oleh Rohkristus. Akan tetapi mereka adalah kaum awam yang kurang memiliki pengetahuan teologi yang kuat. Mereka masing-masing mengajar warga jemaat sesuai isi pengetahuannya; sebab itu, ketika orang-orang Israel-Yudais, dan juga kelompok Kristen-israeli (yang berlatar- belakang Yudaisme) mengambangkan ajaran Taurat dan Sunat, serta menarik perhatian banyak warga jemaat, maka  terjadilah kesalahpahaman yang menimbulkan keretakan.
        Jemaat adalah Karya Allah dalam pekerjaan Kristus
1.      Perselisihan dalam Jemaat
Setiap kali Paulus berbicara tentang Jemaat, ia menghubungkannya dengan rencana Allah yang dikerjakan oleh Kristus Yesus. Dalam perikop yang dikutip di ataspun terkandung pemahaman seperti itu. “Ia (Yesus Kristus) telah datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu” (ay. 17). Istilah kata ganti orang II jamak (kamu) dipakai  untuk m Kristen-israeli dan Kristen non-israeli. Kedua golongan itu dahulu, sebelum kedatangan Kristus Yesus dan pemberitaan Injil, tidak saling mengenal. Paulus menyebutnya yang jauh dan yang dekat. Mereka tidak memiliki hubungan darah daging.
Mereka adalah orang asing dan pendatang bagi sesamanya (ay. 19a). Kedua istilah ini (orang asing dan pendatang) mengingatkan kita akan status seseorang dalam kehidupan masyarakat Israel selaku am-YHWH. Status seseorang sebagai warga Israel sangat ditentukan oleh sikap ketaatannya menjalankan tuntutan hukum Taurat, yaitu : sunat. Jika orang asing atau pendatang telah disunat, ia diakui sebagai anggota keluarga / warga Israel.
Rasa percaya diri yang berlebihan (lebih cenderung kepada sikap arogan) selaku keluarga Allah masih kuat berakar dalam pikiran Kristen-israeli. Mereka adalah keturunan Abraham secara biologis dan sekaligus pengikut Yesus Kristus. Oleh karena itu, mereka menganggap rendah bangsa-bangsa asing (Ibr. goyim; Yun. panta ta ethna) yang oleh iman telah menjadi Kristen. Mereka menuntut orang-orang asing itu harus mematuhi hukum Taurat dan disunat.
Sebaliknya, Kristen non-israeli berpendapat, bahwa kedatangan Yesus Kristus telah meniadakan kutukan Allah, karena tidak memberlakukan tuntutan hukum Taurat dan sunat. Yesus Kristus telah memerdekakan semua orang percaya. Oleh karena itu, Kristen non-israeli tidak perlu melakukan hukum Taurat juga tak perlu disunat. Masalah ini menjadi pokok perdebatan sengit antara warga Kristen-israeli dan non-israeli.
     Paulus mengatasi masalah tersebut dengan menyatakan, bahwa kehadiran Yesus Kristus, yang telah membawa damai sejahtera, telah mempersatukan yang dekat (orang bersunat, keturunan Abraham secara biologis, Kristen-israeli) dan orang yang jauh (yang tidak bersunat, Kristen non-israeli, keturunan Abraham menurut iman), setelah Dia merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan (Efs, 2:14). Agaknya pemisah yang membuat kedua pihak sulit dipersatukan, bukan saja masalah keagamaan, tetapi termasuk latar belakang social budaya juga. Saya menyimak secara tersirat adanya semacam sikap yang lahir dari perasaan anti-semit, terkait suku, ras dan agama. Artinya, penolakan dari Kristen non-israeli terhadap Kristen-israeli yang mendewakan latar belakang : kesukuan, historis, sosial budaya dan agamanya. Kristen-israeli beranggapan, merekalah yang terdekat dan mengenal Allah. Merekalah orang-orang beradat, karena TUHAN Allah telah mengatur kehidupan mereka melalui hukum Taurat. Sementara  Kristen non-israeli adalah orang-orang yang berasal dari ‘goyim’ (orang asing). Orang-orang ini tidak beradat, tidak mengenal Allah. Oleh karena itu, mereka wajib mentaati hukum Taurat dengan menjalankan seluruh tuntutannya, termasuk sunat. Kesombongan seperti ini telah memicu perseteruan dalam persekutuan jemaat. Dan, pemicunya adalah kesalah pahaman terhadap pengertian Paulus (bd. Efs, 3:4b -> kamu dapat mengetahui dari padanya pengertianku) tentang kebebasan dan kemerdekaan yang dianugerahkan oleh Allah ke atas manusia karena iman kepada pekerjaan Kristus. (Inilah pandangannya : “Sebab dengan mati-Nya Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya …” -> Efs. 2:15).
     Yang dimaksudkan Paulus tentang kebebasan/kemerdekaan dari tuntutan hukum Taurat : ALLAH telah menganugerahkan Kristus sebagai Jalan Keselamatan. Dan, bahwa manusia tidak diselamatkan karena melakukan tuntutan Taurat, melainkan manusia dibenarkan oleh Allah berdasarkan iman kepada Kristus. Jadi Paulus tidak bermaksud meniadakan hukum Taurat; akan tetapi ia bertujuan memberikan fungsi dan peran baru kepada Taurat, yakni petunjuk hidup yang baru. Di dalam Kristus, hukum Taurat yang selama ini dipahami sebagai jalan keselamatan kembali kepada fungsi semula petunjuk pelaksanaan karya ibadah hidup. Latarbelakang pemahaman ini kurang diketahui kedua pihak, sehingga menimbulkan perseteruan.
Kondisi praktis dalam Gereja/Jemaat saat ini. Kita tidak dapat menutup kemungkinan terjadinya perselisihan dalam Gereja/Jemaat karena masalah ajaran. Keadaan ini dimungkinkan karena :
a). Warga Gereja/Jemaat berasal dari berbagai latarbelakang sosial.
b). Tingkat pemahaman akan ajaran gereja yang beragam, dikarenakan asal-usul warga gereja (warga gereja/jemaat berasal dari berbagai denominasi. Tidak homogen). 
c). Keragaman itu lebih diperparah, karena para presbiter (kaum awam) maupun teolog gereja (pendeta) kurang menguasai pokok-pokok Pemahaman Iman Gereja, maka mereka tidak mampu menjelaskan, bahkan sering penjelasan-penjelasan para presbiter menimbulkan kebingungan di kalangan warga.
e). Berkembangnya aliran-aliran baru dalam kekrristenan yang cukup signifikan. Warga tertarik mengikutinya. Hal itu menimbulkan kesalahpahaman, sebab warga berpikir bahwa semua ajaran Gereja adalah sama karena didasarkan pada kesaksian Alkitab.
Kondisi ini cukup membawa dampak berpengaruh bagi pertumbuhan dan pembangunan Jemaat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, Gereja perlu melaksanakan pembinaan secara menyeluruh dan terpadu, agar penularan ajaran dapat dikuasai semua presbiter. Dengan demikian penggembalaan pun dapat berjalan lancar dan tertib.

2.  Makna Karya Kristus bagi Pembangunan Manusia dan Keluarga Allah
Paulus membuka wawasan berpikir warga Kristen di Efesus tentang Kristus yang membawa pendamaian antara Allah dan manusia (Efs. 2:16) dan antara manusia dengan sesamanya (Efs. 2:11-14). Inilah potret Kristus yang universal. Di dalam Dia, ALLAH menciptakan “manusia baru” (Efs 2:15; bd. II Kor. 5:17-18), dengan meniadakan tembok pemisah. Jika warga Kristen Efesus menghayati pengorbanan Kristus, niscaya tak akan terjadi perseteruan karena kesalah pahaman. Inilah salah satu pokok pemberitaan Paulus kepada bangsa-bangsa, baik Israel maupun non-israeli. Kedua topik, yakni : Kristus yang membawa damai sejahtera (Efs. 2 : 14, 16, 17) dan manusia baru (Efs. 2:15) ditonjolkan dalam perikop ini.
     Gagasan manusia baru itu dikemukakan Paulus, ketika ia meniadakan (menegasikan) perseteruan dengan menonjolkan pendamaian (damai-sejahtera) yang diwujudkan oleh Yesus Kristus melalui kematian di salib. Yesus Kristus adalah prototipe manusia baru yang dianugerahkan Allah ke dalam kehidupan bersama sesama-Nya. Dia adalah ukuran baku (standard) yang diberikan Allah bagi upaya pembangunan manusia seutuhnya.
c). Gereja / Jemaat bertumbuh dari keluarga
     Meskipun pertobatan itu dinyatakan secara individual, namun hal itu dilakukan dalam keluarga. Kisah masuknya / berpindahnya orang-orang non-israeli menjelaskan, bahwa sudah ada keluarga-keluarga Kristen yang terbentuk, sebelum Paulus memberitakan Injil Kristus kepada bangsa-bangsa (bd. Rom.16:4 -> juga semua jemaat bukan Yahudi). Dalam suratnya kepada orang Kristen di Roma, Paulus menyampaikan salam kepada “jemaat rumah” (Rom. 16:9 -> yang termasuk isi rumah Aristobulus; ay. 10 -> Salam kepada mereka yang termasuk isi rumah Narkisus, yang ada dalam Tuhan; bd. I Kor. 16:15 -> Stefanus dan keluarganya adalah orang-orang yang pertama bertobat di Akhaya; Kol. 4:15 -> juga kepada Nimfas dan jemaat yang ada di rumahnya). Memang benar, kita dapat menafsirkan, bahwa “jemaat rumah” itu bias terdiri dari beberapa keluarga yang berhimpun dalam satu rumah untuk beribadah; akan tetapi yang saya maksudkan adalah jemaat keluarga, an sich, seperti yang disapa oleh Paulus :
     Ada suatu permintaan lagi kepadamu, saudara-saudara. Kamu tahu, bahwa Stefanus dan keluarganya adalah orang-orang yang pertama-tama bertobat di Akhaya, dan bahwa mereka telah mengabdikan diri kepada pelayanan orang-orang kudus (I Kor. 16:15).
     Oleh karena itu, istilah “jemaat rumah” dapat diartikan : pertama, mereka yang memiliki pertalian darah daging bersama dengan orang-orang lain yang tinggal serta bekerja di dalam keluarga itu; dan, kedua, keluarga-keluarga yang berkumpul dalam sebuah rumah untuk menyelenggarakan ibadah untuk mendengarkan Injil Kristus serta pengajaran para rasul.
d). Penggunaan Istilah
     Istilah Jemaat atau umat dalam APB merupakan upaya transformatif dari gagasan teologi APL. Hal itu dilakukan oleh para penulis APB. Beberapa istilah Ibrani diterjemahkan, seperti :
d.1.    Am-YHWH
        Istilah “am” berarti “umat” (terkadang dipakai juga menunjuk pada Israel sebagai bangsa). Istilah ini hanya dipakai dalam bentuk tunggal dan tidak pernah dalam bentuk jamak. Pada awal pertumbuhannya am-YHWH digunakan untuk menyebut bangsa Israel yang memiliki pertalian darah daging, anak-anak keturunan Yakub (Kej. 32:28), yang terdiri dari orang-orang yang lahir di dalam sebuah keluarga, puak / kaum, dan suku; kemudian membentuk satu konfederasi (perserikatan) yang disebut Bangsa Israel. Sistem kekeluargaan seperti ini bersifat tertutup.
        Perkembangan kemudian hari memperlihatkan kecenderungan pemakaian istilah ini dikenakan kepada semua orang yang bergabung menjadi satu kesatuan masyarakat-bangsa Israel. Bukan saja pada waktu eksodus dari Mesir (bd. Kel. 12:48-49), tetapi semua orang-orang asing yang dibeli dengan uang, dan telah disunat sejak masa Abraham (bd. Kej. 17:12-13) sampai pra-Yesus. Orang-orang itu atas kemauan sendiri menerima tanda / meterai perjanjian, yakni sunat. Mereka inilah yang disebut umat TUHAN atau am-YHWH. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi sebuah perkembangan dari sistem kekeluargaan di mana siapapun boleh masuk ke dalam persekutuan am-YHWH. Sistem kekeluargaan yang bersifat terbuka. Istilah ini diterjemahkan ke dalam APL menjadi laou tou Theou (umat milik/dari Allah).  Hal itu menunjuk pula pada misi Israel, selaku am-YHWH, di tengah bangsa-bangsa (Ibr. tunggal : goy, dan jamak : goyim).
d.2.    Qahal (akar kata Ibr. QHL)
        Istilah ini dipakai untuk menunjuk pada persekutuan orang-orang Israel yang berkumpul pada pertemuan raya di sekitar kemah suci untuk mendengarkan pengajaran TUHAN. Istilah ini diterjemahkan ke dalam Alkitab LXX (Septuaginta, Alkitab Bahasa Yunani) menjadi ekklesia (Yun. terdiri dari dua kata : ex : keluar + kaleo : memanggil) Artinya, orang-orang yang dipanggil keluar untuk masuk ke dalam persekutuan hidup bersama Allah (bd. I Pet. 2:9). Bertolak dari kasus eksodus dari Mesir, tidak ada lagi batasan keluarga berdasarkan pertalian darah daging, sebab beberapa orang dari berbagai suku bangsa telah menyatukan diri ke dalamnya.
        Istilah itu dipakai penulis APB untuk mentransformasikan nilai pembebasan yang dikerjakan Allah dari penindasan/perbudakan Mesir ke dalam persekutuan orang-orang percaya. Artinya,  para penulis APL mengumpamakan keadaan penindasan/perbudakan di Mesir sebagai lambang kekuatan kuasa maut/kegelapan yang membelenggu manusia. Kemudian ALLAH sendiri berinisyatif mengadakan pembebasan melalui pekerjaan Kristus Yesus, sehingga terbentuklah suatu umat / keluarga baru, yang terdiri dari berbagai latarbelakang.
3.  Keluarga terbentuk atas inisyatif Allah dan manusia
APL dan APB menyaksikan, bahwa perkawinan terbentuk oleh inisyatif 2 (dua) pihak : laki-laki dan perempuan. Proses situ bertumbuh dari cinta-kasih. Menjalin hubungan bersama sampai ke dalam penentuan terkait perkawinan. Sepanjang proses ada banyak persoalan dilalui, terutama penyesuaian kepribadian dan tujuan masa depan. Mulai dari masalah fundamental sampai memasuki perkawinan.
Gambaran perkawinan itu dipakai para penulis ALkitab untuk mengiaskan :
3.1.  Inisyatif Allah membangun hubungan baik dengan umat-Nya
Allah meminang Israel menjadi pasangan perkawinan (Hos. 2:17-19 -> “Pada waktu itu Aku akan memperisterikan engkau…”). Prinsip perkawinan dalam Kejadia 2 : 24 (Seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya…) menegaskan, bahwa perkawinan itu terjadi, jika laki-laki membuat inisyatif untuk mengambil keputusan meminang kekasihnya. Allah, oleh Israel disebut suami (Hos. 2:15) dan berjenis kelamin laki-laki, menjadikan umat-Nya sebagai kekasih sah dengan memenuhi seluruh mahar perkawinan. Pemberian mahar perkawinan (Hos. 2:17-19) menunjukkan, bahwa Allah telah melunasi seluruh kewajiban sebagai seorang suami. Dan, oleh karena itu, Israel menjadi milik-Nya yang sah. Ia harus selalu menjalann hidupnya sebagai persekutuan milik Allah, umat kepunyaan Allah sendiri, bangsa pilihan. Dengan demikian hal itu menegaskan bahwa Allah sendiri bekerja membangun kembali hubungan kasih sayang dengan umat-Nya. Hal itu dilakukan-Nya berdasarkan kasih perjanjian yang dibuat sejak zaman Abraham.
3.2.  Perkawinan disahkan dalam akta perjanjian
Perjanjian perkawinan yang dilakukan antara pihak laki-laki (yang melambangkan Allah) dan perempuan (yang melambangkan umat Israel, juga Gereja) dalam kebiasaan masyarakat dijadikan simbol keagamaan dan diisikan makna baru.  Tanda perjanjian perkawinan itu bukanlah cincin tetapi sunat (Kej. 17:10-12).
Kesaksian APB mentransformasikan tanda perjanjian kepada sunat dan baptisan Kristus. Kedua tanda itu mengingatkan umat akan karya pengorbanan Yesus Kristus. Kematian–kebangkitan merupakan karya Allah, di mana Dia mengadakan perjanjian keselamatan oleh darah Kristus. Berdasarkan pekerjaan Yesus Kristus pula Allah membangun suatu umat perjanjian baru, sebuah Keluarga Baru, di mana Yesus Kristus menjadi yang sulung (Rom. 8:29); dan, orang percaya semua orang beriman anggota-anggota keluarga. Mereka semua memiliki hubungan persaudaraan di dalam Kristus.
3.3.  Perkawinan sebagai lambang penebusan
a). Pekawinan Boas dan Ruth : hukum penebusan tanah
Di Israel ada hukum penebusan tanah. Juga di dalam Kitab Ruth diceritakan tentang penebusan tanah yang dilakukan oleh Boas, orang Bethlehem (Rut2:4). Dia adalah kaum kerabat Naomi (Rut 2:20b) dari suaminya : Elimelekh.  Dialah yang menjadi penebus tanah, sekaligus menikahi Ruth (Rut 4:7-13), perempuan Moab, isteri Mahlon (Ruth 4:10), anak Naomi dan Elimelekh. 

Penebusan itu bertujuan menjaga harta milik dan harga diri dari keluarga pemiliknya . Dan, penebusan itu wajib dilakukan oleh kaum keluarga terdekat. Oleh karena itu, si penebus berkata kepada Boas : “Jika demikian aku ini tidak dapat menebusnya, sebab aku akan merusak milik pusakaku sendiri. Aku berharap engkau menebus apa yang seharusnya aku tebus, …” (Ruth 4:6). Boas menjawab : 

Kamulah pada hari ini menjadi saksi, bahwa segala milik Elimelekh dan segla milih Mahlon dan Kilyon, aku beli dari tangan Naomi, juga Ruth, perempuan Moab, isteri Mahlon, aku peroleh untuk menegakkan nama orang yang telah mati itu di atas milik pusakanya. Demikianlah nama orang itu tidak akan lenyap dari antara saudara-saudaranya dan dari antara warga kota (Ruth 4:9b-10).
     Penebusan tanah yang menjadikan Ruth, menantu Naomi, sebagai isteri Boas, tidak berhubungan dengan dosa dan kesalahan; akan tetapi untuk menyelamatkan orang tertindas. Dan, hal itu dilakukan Boas, bukan hanya sebagai sebuah kewajiban yang patut dilakukan seorang kaum keluarga terdekat (Ruth 2:20b), tetapi ia juga mengasihi Ruth (Ruth 2:10b -> Mengapa aku mendapatkan belas kasihan dari padamu, sehingga tuan memperhatikan aku…?).
b). Perkawinan Hosea sebagai gambaran penebusan Allah atas Israel
Kondisi yang dihadapi Boas berbeda dengan Hosea. Pada satu sisi, perkawinan kembali antara nabi dengan perempuan pelacur (Hos. 3) berlatarbelakangkan dosa dan kesalahan. Israel-Yehuda disimbolkan sebagai Gomer binti Diblaim, perempuan pelacur, yang dinikahi nabi Hosea (1:2-3). Sama seperti Gomer (Israel-Yehuda) berulang-ulang terjatuh ke dalam dosa perzinahan/pelacuran, tetapi TUHAN Allah setia. Dia mengawini kembali pelacur itu (Hos. 3:1-5). 

Alkitab memberikan kesaksian, bahwa perkawinan pun dipakai untuk melambangkan karya penebusan Allah. Gambaran pelunasan mahar perkawinan (Hos.2:17-19), bukan saja menceritakan tradisi pembayaran mahar yang berlaku dalam masyarakat Israel, melainkan juga menegaskan bahwa TUHAN membayar lunas segala tuntutan wajib dalam perkawinan. Tindakan itu dibuat-Nya, karena Dia mencintai Israel (Hos. 3:1;bd. 11:1a,4,8). Sama seperti Boas membayar harga seluruh tanah suami dan anaknya kepada Naomi, demikian pula TUHAN membayar mahar perkawinan kembali Israel-Yehuda (Hos. 2:17-19). Dan sama seperti Ruth ditebus oleh Boas, sekalipun sebelumnya ia tidak mengenal perempuan Moab itu; demikianlah TUHAN menebus Israel tanpa memandang dosa dan kesalahan umat. Allah menebus Israel-Yehuda bukan berdasarkan perbuatan baik yang dibuatnya, tetapi untuk memulihkan kekudusan nama-Nya yang telah dinajiskan (bd. Yeh. 36:22 -> tetapi karena nama-Ku yang kudus yang kamu najiskan; ay. 36 -> Dan bangsa-bangsa yang ada di sekitarmu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang membangun kembali…). Kedua contoh tersebut menyatakan kualitas kasih, yakni : pengorbanan sang penebus

4.   Tujuan Pembangunan
     Tradisi (lisan maupun tulisan) yang termaktub dalam Alkitab membuat kita memahami tujuan pembangunan Keluarga Allah. Para penulis ingin mengemukakan pekerjaan Allah atas umat-Nya, baik melalui kiasan maupun periistiwa historis.
4.1. Tujuan Pengajaran
       Nabi Yeheskiel menuliskan, bahwa penyelamatan / pembebasan yang dikerjakan-Nya bertujuan mendidik dan membina umat (Yeh. 36:31 -> Kamu akan teringat-ingat kepada kelakuanmu yang jahat dan perbuatan-perbuatanmu yang tidak baik…), agar mereka mengenal TUHAN selaku Pencipta dan Penebusnya. Dialah yang membangkitkan Israel (Yeh. 37) serta membawa kembali dari pembuangan, sama seperti yang telah dilakukan-Nya terhadap nenek-moyang mereka ketika Ia membawanya keluar dari tanah Mesir.
Kamu akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN, … yang mengatakannya dan yang membuatnya…” (Yeh. 35:9, 15; 37:6, 14; 39:28; dan ayat-ayat yang lain ).
4.1. Tujuan Misioner
Israel-Yehuda harus menyadari, bahwa pembebasan dan pemulihan yang dikerjakan itu bukan karena perbuatan baik yang dilakukannya, “bukan karena kamu Aku bertindak”, kata Yeheskiel (Yeh.36:22,32), Tindakan itu dibuat berdasarkan kehendak-Nya sendiri. Dia ingin menegakkan kembali harga diri dan nama baik-Nya di depan mata bangsa-bangsa. Nabi Yeheskiel berfirman : “supaya bangsa-bangsa yang ada di sekitarmu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN” (Yeh. 36:36; 37:27; 38:23 -> Aku akan menunjukkan kebesaran-Ku dan kekudusan-Ku; 39:7b; dan ayat-ayat yang lain).

Israel-Yehuda patut menyadari, bahwa mereka hanya menjadi alat (sarana) yang dipakai untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya serta menjadi saluran berkat kepada semua kaum di muka bumi (bd. Kej. 12:3b).
Aplikasi : pengayaan pemahaman Warga Gereja
1.    Keselamatan (kebebasan, kemerdekaan) adalah anugerah Allah semata-mata (Bahasa Reformator : sola gratia, saved by grace alone). Keselamatan itu bukan hasil perbuatan baik siapapun. Orang percaya yang berhimpun di dalam Gereja berasal dari berbagai bangsa yang tidak mengenal Allah. Hanya Dia saja yang bekerja membebaskan dari dosa, supaya muncul kesadaran : siapakah yang dapat menyombongkan diri di hadapan Allah ? Bukan orang percaya tidak mempunyai pertalian langsung dengan Abraham secara darah daging. Kita, orang percaya yang berasal dari bangsa-bangsa non-israeli adalah cabang yang dicangkokkan pada pokok anggur oleh iman kepada Yesus Kristus.
2.    Oleh iman (sola fide, by faith alone) kepada Yesus Kristus, semua kita telah ditebus, dibebaskan, dimerdekakan dan diselamatkan oleh Allah. Keselamatan itu telah menempatkan orang percaya selaku umat pilihan dan juga anggota dari satu keluarga Allah. Mereka memiliki hak istimewa, yakni  anak-anak Allah. Pengangkatan (pemahaman tentang adopsi)-nya patut menumbuhkan rasa syukur kepada-Nya. Tidak boleh sombong, tetapi hidup untuk melayani dan menyaksikan kemurahan Allah. Rasul Paulus menuliskan : “Memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaanmu itu sebagai kesempatan untuk kehidupan di dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal. 5:13). Jadi panggilan untuk merdeka itu perlu diisi dengan perbuatan baik, supaya orang banyak mengenal Allah dan memuliakan nama-Nya di dalam Kristus Yesus.
3.    Penyelamatan dilakukan Allah, karena Dia mengasihi Israel, umat-Nya. Nabi Hosea berfirman : “Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas-kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia” (11:8-9). Dia setia pada perjanjian kasih-karunia yang diikatkan dengan Abraham, leluhur orang beriman. Dan, oleh karena, kesetiaan-Nya Allah bertindak memelihara umat, supaya mereka selalu menyelenggarakan ibadah kepada-Nya. Suatu ibadah yang menghadirkan berkat kepada semua kaum di muka bumi.
4.    Orang percaya perlu menyadari, bahwa hak istimewa itu dapat terlepas, jika mengkhianati Dia yang menyelamatkan serta melakukan perbuatan jahat. Hak istimewa itu bukan juga menjadi landasan untuk membanggakan diri, melainkan kekuatan untuk terus melayani dan bersaksi di dalam dunia ciptaan-Nya. Ingatlah !, jikalau Allah menghukum umat-Nya, Israel, maka apakah yang dapat dikatakan lagi, jikalau kita ditemukan-Nya sedang berbuat jahat ?  Pemahaman seperti ini perlu dirumuskan ke dalam setiap aktivitas program pelayanan-kesaksian, supaya nama Yesus-Kristus dikenal semua orang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar