Rabu, 24 November 2010

KELUARGA ALLAH - sebuah tulisan untuk GPIB

Sahabat-sahabatku,

Beta coba menuliskan apa yang beta pahami dan yang dipikirkan tentang Keluarga Allah. Ia bukan saja keluarga yang sempit; akan tetapi ia bersifat terbuka dan luas pemahamannya. Keluarga Allah itu bukan sekedar kebersamaan yang dibentuk oleh perjanjian antar sepasang manusia berbeda jenis kelamin. Keluarga Allah dibentuk juga berdasarkan perjanjian Allah dengan seluruh makhluk ciptaan, di dalamnya manusia (keturunan Adam dan keturunan Abraham) mengembangkan kehidupan mereka. 

Menurut pendapat saya, kita perlu menyegarkan paradigm yang selama ini dipakai Gereja, supaya kita dapat mengembangkan misi Kristus dengan baik dan benar serta adil. Keluarga Allah merupakan sebuah paradigm yang holistic, dan yang dapat dikembangkan untuk mendekati berbagai persoalan kemanusiaan dan juga masalah ekosistem. Pendekatan terhadap masalah sosial maupun lingkungan hidup (ekosistem) saat ini cukup baik, namun bersifat parsial. Masalah-masalah itu didekati dengan memakai masing-masing disiplin ilmu pengetahuan yang menimbulkan kesalah pahaman, serta menimbulkan persoalan baru. Memang gambaran tentang keluarga sudah ada sejak manusia hidup di bumi. Namun ia kurang dipakai maksimal dalam mendekati persoalan yang dihadapi manusia masa kini. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pendekatan keluarga ini dikembangkan oleh GPIB dalam menjalankan karya Yesus Kristus melalui pekerjaan misinya.

Bahagian ini dituliskan secara bersambung dan diposting secara bertahapan, supaya bisa dibaca, dianalisa dan diuji oleh kalian semua. 

Saya menyadari, bahwa tulisan ini masih belum sempurna, sebagaimana kemanusiaan saya pun tidaklah sempurna. Kesempurnaan itu milik Allah dan lahir dalam tindakan kita bersama. Oleh karena itu, mohon koreksi dan kritikan dari kalian semua.

Khusus untuk Bung Joppie Klokke !

Tolong sampaikan untuk beliau, agar bisa japri ke adres mail saya, supaya bahan-bahan ini sampai ke tangannya secara pribadi. Semakin cepat semakin baik. Jop…, ale tolong koreksi dan berikan masukan, kawan. Beta menanti masukkan ale !


Selasa, 23 Nopember 2010

Hormat dan salam

Noke Ihalauw


KELUARGA ALLAH
FUNGSI DAN PERAN GPIB SELAKU GEREJA MISIONER
GEREJA adalah persekutuan orang-orang yang diselamatkan oleh Allah berdasarkan perjanjian kasih-karunia yang dibuat oleh Allah sejak zaman Perjanjian Lama. Orang-orang itu dihimpunkan menjadi sebuah keluarga, disebut : KELUARGA ALLAH, di mana         Kristus Yesus menjadi Yang Sulung di antara               semua saudara

Dipersembahkan kepada

GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA BAGIAN BARAT
( G P I B )

Saya bertujuan membantu rekan-rekan untuk mengetahui dan mengerti apa yang dimaksudkan dalam Visi dan Misi GPIB selaku Gereja Misioner yang  bekerja menghadirkan DAMAI SEJAHTERA ALLAH ke dalam kehidupan manusia dan alam semesta  sejalan dengan perubahan dan perkembangan konteks masyarakat – bangsa Indonesia.-
MEDAN, 10 Nopember 2010

PDT. ARIE A. R. IHALAUW
-----oooo000oooo-----

PENGANTAR KE DALAM PENULISAN

Menjadi anak pertama itu baik, tetapi jauh lebih            utama  bila  seorang  anak  dapat  mengerjakan             hal-hal baik dan yang terutama, tanpa harus mempersoalkan status dan hak kesulungan
Arie Arnold Remals Ihalauw
KONTEKS MISI GEREJA
Mengatasi masalah masyarakat dan lingkungan hidup tidak dapat dilakukan secara parsial, kasus per kasus. Saat ini penyelesaian masalah perlu secara menyeluruh dan terpadu (holistik), meskipun dilakukan secara bertahap sesuai skala prioritas. Penyelesaian juga berhubungan dengan cara pendekatan, metode penelitian serta ukuran pengujian dan sebagainya. Acapkali dalam mengatasi masalah persekutuan kita kurang menyentuh akar persoalan. Perhatian tertuju pada gejala yang kelihatan saja. Pekerjaan hanya mendiamkan, namun sewaktu-waktu akan kambuh dan semakin membahayakan kehidupan pesekutuan (bagaikan penyakit kronis yang akut).
Ambillah beberapa contoh, agar kita bisa menganalisa dan menguji perencanaan aktivitas program maupun proyek.
1.       MASALAH KEMISKINAN
Gereja/Jemaat memberikan bantuan melalui aktivitas program, yakni : pelayanan kasih (karitas, sosial). Tujuannya untuk mewujudkan kesaksian Alkitab : “Kasihilah sesama manusia” (Im.19:18; Mat.22:39; Gal.5:14), “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu ! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:2, 10).  Bertolak dari pemahaman terhadap kesaksian Alkitab, kita merencanakan dan mengadakan aktifitas program kerja. Dan, kita berpikir karya karitatif itu sudah dapat dilaksanakan. Padahal kita lupa, bahwa bantuan itu belum menyelesaikan masalah mendasar yang menjerat kehidupan warga gereja / jemaat.
Kemiskinan merupakan sebuah fenomena kehidupan masyarakat yang rumit dan ruwet (kompleks). Bukan sekedar kondisi kekurangan san-pa-pan (sandang, pangan dan papan). Juga bukan sekedar kelangkaan kesempatan kerja. Akan tetapi kondisi kemiskinan itu terkait dengan sistem kehidupan sosial (juga kehidupan gereja/jemaat) serta mentalitas manusia dan hubungan antar anggota (human relationship) dalam kesatuan masyarakat (Gereja / Jemaat). Dengan demikian penuntasan masalah kemiskinan bukan sekedar memberikan bantuan saja, melainkan juga membangun kembali sistem masyarakat (Gereja / Jemaat) dan membina mentalitas warga berdasarkan nilai-nilai yang menghidupkan semua unsur terkait.
2.     MASALAH KORUPSI
Masalah ini sering dikaitkan dengan sistem kekuasaan dalam masyarakat, baik dalam bidang keagamaan maupun sipil. Dan untuk menjelekkan, malahan sering dikaitkan pula dengan zaman kolonial, seolah penjajah telah mewariskan sebuah karakter buruk kepada bangsa jajahannya. Padahal, sesungguhnya, karakter koruptor telah bertumbuh bersama-sama dengan sejarah pemerintahan dalam bentuk apapun juga. 

Usaha Pemerintah Indonesia membentuk dan mempercayakan tugas pemberantasan korupsi kepada KPK adalah benar (sesuai hukum Negara). Hal itu memiliki 2 (dua) tujuan : pertama, memperbaiki keadaan; kedua, berfifat mendidik. Akan tetapi cara tersebut perlu didukung oleh kemauan membangun kembali karakter organisasi dan penyelenggara (aparat) pemerintahan. Oleh karena itu, penularan nilai-nilai etis moral perlu dilaksanakan untuk mendukung proses pembentukan kembali kepribadian penyelenggara sistem pemerintahan.

Perubahan karakter manusia : baik penyelenggara pemerintahan maupun warga masyarakat yang berhubungan dengan masalah korupsi sangat penting. Sebab meskipun karakter penyelenggara pemerintahan telah berubah, sementara warga masyarakat tidak berubah, sia-sialah segala upaya yang dilakukan. Dengan demikian masalah korupsi tidak bias dituntaskan secara parsial, tetapi harus integral. 

Di dalam Gereja / Jemaat pun sering timbul masalah ini. Banyak aktivitas program, juga proyek, seperti dalam Pembangunan Gedung Gereja, dan proyek besar lainnya. Acapkali korupsi dilakukan oleh orang yang mengetahui dan mengerti peraturan-peraturan gerejawi. Mereka mengenal kelemahan peraturan dan memakainya sebagai alat pembenaran atas perbuatan korupsi. Hal ini tampak dari masalah yang sering muncul dalam tiap Persidangan Sinode (PS) maupun Sidang Majelis Jemaat (SMJ). Di samping itu lemahnya fungsi pengawasan (BPPG / BPPJ) telah memberikan peluang suburnya korupsi di kalangan Gereja / Jemaat. 

3.       MASALAH PLURALITAS

Masalah pluralitas (kemajemukan) telah berusia setua umur manusia di bumi. Ada berbagai latar belakang yang memunculkan masalah ini, seperti : suku, ras dan agama. Bukan hanya berkembang dalam Gereja/ Jemaat. Pluralitas dapat menjadi kekuatan pendukung kehidupan atau, sebaliknya, penghancur pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia dan sistem organisasi. Hal itu sangat tergantung dari perilaku manusia yang menjalankan sistem organisasi.

4.       MASALAH GENDER

Gender (pembedaan jenis kelamin) pun merupakan sub-bagian dari masalah pluralitas. Masalah ini terkait erat dengan pemahaman dan pelaksanaan hak-hak azasi manusia, seperti : hak bicara dan menentukan pendapat, hak kerja, hak kesejahteraan dan sejenisnya. Biasanya masalah gender muncul dalam sebuah sistem organisasi masyarakat maupun gereja/jemaat, di mana kaum laki-laki memperoleh kesempatan lebih besar / luas dari pada kaum perempuan. Apalagi peraturan-peraturan yang disusun kurang membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualitasikan / memberdayakan potensi yang dimilikinya. Masalah ini mulai dipercakapan di Eropah bersamaan dengan munculnya gerekan emansipasi wanita atau gerakan feminis dan sebagainya.
5.       MASALAH KEKERASAN DALAM RUMAT TANGGA (KDRT).
Sejalan dengan perubahan dan perkembangan sosial dalam skala luas di seantero jagad, maka status kaum perempuan dan anak-anakpun mendapat perhatian besar. Hal ini sangat berhubungan dengan pelaksanaan DHR (Declarations of Human Rights) yang mengilhami seluruh hukum positif dan organik dalam sebuah masyarakat-bangsa. Perlakuan buruk yang dialami kaum perempuan dan anak-anak menjadi fokus perhatian pemerintah dan gereja belakangan ini.
6.       MASALAH KELANGKAAN KESEMPATAN KERJA DAN URBANISASI
6.1. Tsunami globalisasi hampir-hampir tak dapat disiasati. Ia memakan korban sampai ke dalam wilayah pedesaan, yang dahulunya damai dan tenang. Warga pedesaan terusik oleh pembangunan hunian bergengsi, malahan lahan pertanian mereka menjadi inceran para konglomerat. Lahan subur yang dahulu menjadi hasil keluarga disulap menjadi hunian bergengsi. Sementara pemiliknya bermigrasi ke wilayah pinggiran kota untuk mengais hidup. Pencari kerja berusia produktif ini kurang dibekali pengetahuan dan ketrampilan memadai. Akibatnya mereka menjadi tenaga kerja murah pada industry rumahtangga ataupun pabrik-pabrik. Bahkan ada di antara anak-anak usia sekolah menjadi pengemis di kota.
6.2.  Keadaan itu membuktikan, bahwa mentalitas masyarakat desa belum siap menerima perubahan dan perkembangan, meskipun bertujuan memajukan perekonomian pedesaan. Masyarakat kurang dibekali pengetahuan tentang efek negativ dari globalisasi. 
Beberapa contoh yang dijelaskan di atas menyimpulkan, bahwa faktor penentu terciptanya masalah adalah manusia yang berperan menjalankan fungsi sistem organisasi. Berpikir membangun kembali manusia dan fungsi sistem organisasi, saya mengusulkan agar Gereja perlu menyusun strategi untuk mulai menjalankan pembaharuan secara bertahap serta menyeluruh (integral). Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, Gereja perlu merumuskan kembali pemahaman tentang eksistensinya (paradigm, red).
Menurut pendapat saya, kita (Gereja/Jemaat) perlu menyoroti kondisi tersebut dalam ruang lingkup keluarga. Sebab beberapa contoh tersebut sering terjadi dalam hubungan antar manusia (human relationship) di dalam keluarga. Keluarga, yang saya maksudkan, bukan hanya cell-group (kelompok inti) dari sebuah masyarakat dan gereja.jemaat; akan tetapi dalam arti luas juga : kaum, suku, ras,  masyarakat-bangsa (civil – society). Acapkali  kondisi  dalam keluarga kurang kondusif, karena hubungan antar anggota yang kurang harmonis hingga tercipta masalah. Hal inipun tergantung pada pengetahuan dan kemampuan anggota keluarga. Di sini kita menemukan bukti, betapa lemahnya pengetahuan tentang penatalayanan (stewardship) / penatalolaan (managemen) keluarga sebagai basis masyarakat dan gereja / jemaat. Bertolak dari sejumlah data yang ditemukan sepanjang 28 tahun pelayanan, saya mengusulkan kepada Gereja untuk menggunakan paradigm keluagra Allah sebagai basis Pembangunan Gereja Misioner.
Masyarakat Indonesia dan budayanya
Acapkali paradigma keluarga dilupakan orang, padahal ia sangat akrab dengan kehidupan masyarakat. Lihat saja pola hidup masyarakat pedesaan di Indonesia. So pasti diwarnai oleh hubungan keakraban dan kekerabatan yang cukup kental. Agaknya globalisasi mulai mengikis pemahaman kekerabatan (keluarga) dalam sistem masyarakat pedesaan. Keadaan ini patut disayangkan karena simpul relasi antar pribadi semakin melonggar, lalu digantikan oleh nilai-nilai baru yang cenderung materialis dan individualis.
Dahulu, sebelum globalisasi melanda Indonesia, masyarakat tradisional hidup dalam suasana aman tentram. Penatalolaan kehidupan berjalan baik, penuh saling pengertian di antara anggota kelompok, saling berbagi dan peduli, memiliki sikap kegotong royongan yang tinggi, dan sebagainya. Nilai-nilai kebersamaan (mapalus di Minahasa, martabe di Tapanuli, masohi di Maluku) mendorong warga masyarakat saling mendukung untuk menyelesaikan berbagai masalah. Hubungan antar anggota masyarakat desa cukup indah, karena rasa kekeluargaan masih dipegang dan dihormati.
Bersamaan dengan pesatnya perubahan dan perkembangan masyarakat karena globalisasi citra masyarakat pedesaan semakin memudar. Volume lagu “Desaku yang kucinta” semakin mengecil, citranya pun mulai memudar digantikan lagu-lagu dari vcd. Relasi kemanusiaan berbasiskan kekeluargaan pun semakin meluntur, digantikan azas manfaat. Pengabdian yang tulus, jujur dan terbuka semakin samar digantikan nilai materi (uang). Citra masyarakat pedesaan di Indonesia semakin hari bertambah pudar, bak mentari yang hamper tenggelam di balik bumi.
Maraknya globalisasi tidak seindah kehidupan masyarakat desa. Perubahan dan perkembangan yang pesat telah memunculkan reaksi berbeda pula. Ada masyarakat yang mentabukan hasil teknologi modern, seperti masyarakat suku Badui. Namun akibatnya sangat terasa bagi pembangunan desanya. Ada masyarakat yang masih berjuang membebaskan diri dari keterbelakangan pendidikan, seperti : masyarakat suku Laut di Kepulaian Riau. Begitu pula suku-suku Kayan di sepanjang sungai Kayan di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, di mana Gereja menjalankan misinya. Mereka kehilangan pegangan. Bagaikan dipaksa makan buah si malakama. Tak dimakan ayah mati, dimakan pun mati pula ibunya.
Mengapa saya menggunakan paradigm keluarga
Saya tidak dapat menyalahkan pemerintah. Saya pun tak dapat menyalahkan Gereja, apalagi menyalahkan ALLAH, Al-Khalik. Saya hanya seorang yang melihat bagaimana warga masyarakat dan warga jemaat di pedesaan mengalami kebingungan, karena serangan fajar (globalisasi) yang berlangsung tiba-tiba. Tidak ada waktu bertanya. Tidak ada kesempatan untuk membuat pilihan. Bak tsunami menghancurkan hunian, begitulah globalisasi menggeserkan nilai-nilai tradisional yang positif, yang masih menjadi pilar kehidupan pedesaan.
Lihatlah bagaimana produksi ayam goring Mbok Berek yang kalah bersaing dengan Kentucky Fried Chiken atau McDonald. Bukan saja masalah kelezatan, tetapi juga masalah harga diri. Lihatlah bagaimana koperasi desa atau pasar tradisional ditaklukkan supermarket sekelas Carefour. Tidak ada tempat bagi petani untuk curhat dan mencucurkan airmata. Mereka terpaku dan larut mengikuti perkembangan pasar global. Sistem ijon semakin menancapkan cakar mematikan petani desa. Koperasi semakin ditinggalkan, karena kurang menjawab kebutuhan masyarakat. Akibatnya muncul gerakan urbanisasi. Desa menjadi sepi dihuni perempuan tua dan anak-anak balita. Sementara laki-laki dan remaja usia produktif mencari kerja di wilayah pekotaan, termasuk menggembel. Manusia tercabut dari habitat dan akar budayanya.
Saya tidak menyoal siapapun, tetapi masalah ini ditanyai pada diri sendiri : dimanakah aku, Gereja, ketika Kristus disalibkan di wilayah pedesaan ? Apakah jawabanku terhadap Yesus yang meratap melalui bibir petani desa ? Adakah Gereja bersedia menjadi sesama bagi warga pedesaan yang mengalami degradasi mental, karena globalisasi bagaikan tsunami memorak porandakan sistem masyarakat pedesaan ? Apakah paradigma yang dipakai Gereja untuk menyelesai tuntaskan persoalan kemanusiaan dari masyarakat tertindas ?
Penyelesaian masalah kemasyarakatan dan lingkungan hidup perlu melibatkan warga gereja.
Kita, Gereja, masih terpaku pada tugas pemberitaan Injil dan sibuk membina warganya untuk maksud dan tujuan yang sama. Hal itu dapat dipahami, jika kita mengingat bahwa sampai saat ini kita (secara insitusional) masih memilih jalur kerja sesuai Matius 28 : 19 – 20 : Beritakanlah, ajarkanlah dan baptiskanlah mereka menjadi murid-Ku. Pandangan ini wajar-wajar saja, sejauh membuka kemungkinan bagi warganya untuk menjalankan aktivitas sosial.

Akan tetapi perlu disadari, bahwa perubahan dan perkembangan masyarakat berjalan pesat. Banyak masalah sosial dan lingkungan hidup berkembang menjadi berkat; malahan bersamaan dengan itu ia menjadi masalah baru yang perlu diwaspadai. Kita perlu memperlengkapi dan memberikan masukan teologi serta mendorong warganya berpartisipasi menuntaskan masalah. 
Penjelasan :
EKOSISTEM
 
manusia
 
hewan
 
tumbuhan
 
Alam semesta adalah ciptaan Allah. Ia juga menjadi rumah tinggal seluruh makhluk ciptaan, merupakan sistem kehidupan. Oleh karena itu, semua makhluk ciptaan yang tinggal bersama di dalam alam menjadi satu keluarga besar.
makhluk
 angkasa
 
Pemeliharaan dan pemberdayaannya sangat tergantung pada kemajuan kebudayaan  (Ilmu pengetahuan dan teknologi) yang dipakai manusia.

Sumber masalah sosial adalah manusia. Penatalayanan / penatalolaan yang kurang sehat, dikarenakan keinginan mempercepat pencapaian tujuan pribadi / kelompok, telah menimbulkan berbagai dampak sosial, yang disebut penyakit masyarakat, yakni kemiskinan, kekerasan dalam rumahtangga, pelanggaran hak-hak azasi manusia, diskriminasi, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya.
Sumber masalah ekosistem pun tergantung pada penatalayanan/penatalolaan kehidupan oleh manusia. Manusia tela menimbulkan krisis dalam alam semesta. Saya suka menyebutnya : pemiskinan sumber daya alam. Dengan menggunakan frasa tersebut, saya bertujuan mengingatkan, bahwa alam semesta dalam dirinya memiliki kekuatan positif (pembangun) dan negatif (perusak). Alam semesta pun sama seperti manusia. Ia memiliki karakter tersendiri. Alam semesta bukan benda mati, tidak bersifat statis tetapi bergerak. Ia juga memiliki tujuan tentang masa depannya. Dan, karena itu ia bisa mati. Kematian alam semesta itulah yang dimaksudkan para penulis Alkitab sebagai “kesudahan dunia” (bd. Mat. 24 : 3). Oleh karena itu, Yesus mengingatkan para murid dan pengikut-Nya, agar mempelajari “tanda kesudahan dunia” (Mat. 24:32 -> Tariklah pelajaran dari perumpamaan pohon ara : Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu bahwa musim bertunas sudah dekat). Dengan kata lain, saya ingin mengingatkan pula, bahwa pendalaman Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat membuka pengenalan dan pengetahuan manusia tentang kepribadian dan karakter alam semesta. Dan, oleh karena itu, manusia perlu menyusun strategi perencanaan terkait pemberdayaan alam semesta sebagai pendukung kehidupan bersama.
Pemiskinan alam.
Manusia membangun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), agar ia mampu menaklukan alam semesta (Kej.1:28). Pengetahuan itu mendorong lahirnya berbagai bentuk teknologi untuk mengolah sumber daya alam demi memajukan kesejahteraannya. Akan tetapi demi mencapai tujuan kesejahteraan (kemakmuran ekonomi), maka manusia mengeksploitasi sumber daya alam. Lalu alam kehilangan kekuatannya. Alam menjadi sakit.  Makin hari kekuatan hidupnya semakin melemah, karena ia tidak diberikan kesempatan berdaur ulang. Ekosistem semakin komplek (ruwet dan rumit). Inilah yang saya maksudkan dengan pemiskinan alam. Akhirnya penyakit yang diderita alam mengancam keseimbangan ekosistem dan berimbas pada kehidupan manusia. Alam berbalik menjadi musuh manusia, karena ia merasa tidak diperlakukan secara benar dan adil (sesuai hukum alam).
Kasihilah sesamamu !
Siapakah sesama yang terdekat bagi manusia ? Alkitab mengajarkan kepada saya 3 (tiga) pemahaman penting, yakni :
1.    Sesama adalah manusia. Pemahaman ini membuka wawasan, bahwa sesama, yang disebut : manusia, tidak boleh dikategorikan berdasarkan latar belakang darah daging, suku-bangsa, dan agama. Keber-sesama-an itu patut dimengerti seluas pemahaman kemanusiaan.

2.    Sesama adalah ciptaan Allah yang bernyawa. Seluruh hewan dan tetumbuhan ciptaan Allah adalah sesama bagi manusia. Mereka menjadi salah satu sumber daya pendukung dan sekaligus sahabat seperjalanan.

3.    Sesama adalah alam (sesama yang memiliki kekuatan). Sejak mulanya Allah telah menciptakan alam semesta sebagai sahabat manusia sepanjang perjalanan menuju masa depan. Memang alam menjadi salah satu sumber daya pendukung.
Persoalannya : bagaimanakah manusia memahami eksistensi ciptaan lainnya (2 & 3) sebagai sahabat seperjalanan menuju masa depan. Jika pemahamannya benar, maka manusia mampu mengembangkan seluruh aspek kehidupan alam secara bertanggung jawab, sehingga masing-masing unsur (manusia, hewan – tetumbuhan dan alam) dapat saling memberkati . Dalam hal ini setiap unsure mampu memberdayakan diri.
KELUARGA ALLAH
Bertolak dari pemahaman iman saya yang telah dijelaskan di atas, saya memahami dan mengakui, bahwa semua jenis makhluk yang berdiam di dalam alam semesta adalah satu keluarga ciptaan Allah. Saya menyebutya KELUARGA ALLAH. Mereka harus saling mengasihi. Dan, sikap saling mengasihi itu wajib diperlihatkan oleh manusia sebagai makhluk berakalbudi (homo-rationale). Ciptaan lain tidak mungkin memahami manusia; akan tetapi melalui IPTEK manusia dapat mengenal dan mengasihi mereka (Kita dapat mengaplikasikan IPTEK melalui legenda tentang Raja Salomo yang memiliki hikmat untuk mengerti bahasa berbagai binatang).
Dikarenakan manusia adalah makluk berakalbudi, maka ia ditugaskan Allah untuk membangun alam (Kej. 2:15) sebagai rumah tinggal (Yun. oikomenos) seluruh makhluk ciptaan Allah. Rumah tinggal itu memiliki sistem kehidupan yang disebut : ekosistem. Dan juga memiliki nilai, seperti : kasih-sayang, keadilan dan kebenaran, damai sejahtera dan sukacita, dan sejenisnya. Nilai-nilai ini menjadi landasan bagi pembangunan relasi horizontal, yang disebut : keseimbangan hidup, di mana masing-masing unsur saling memberi dan saling memberdayakan. Begitulah pola dan sistem kehidupan sebagai KELUARGA ALLAH.
 SALAM HORMAT
PDT. IHALAUW
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar