Rabu, 27 Oktober 2010

Bahagia 4. Analisa - Evaluasi TAP PS 2010 - MEMBANGUN VISI MADA DEPAN

BAHAGIAN IV
LANDASAN TEOLOGI
BAGI PEMBANGUNAN GPIB SELAKU KELUARGA ALLAH

PENGANTAR
Melanjutkan tulisan sebelumnya, saya akan membahas KELUARGA ALLAH seperti yang tertuang dalam :
DAFTAR ISI
I.   GEREJA  
I.1.   KELUARGA ALLAH
a)     Perjanjian Dengan Allah dan Bersama Sesama
b)    Menjadi Satu Korporasi
c)     Membangun Visi Masa Depan
d)    Keluarga selaku Tim Kerja
I.2.   TRI DHARMA GEREJA
a)     TRI DHARMA GEREJA : Persekutuan,
b)    TRI DHARMA GEREJA : Pelayanan
c)     TRI DHARMA GEREJA : Kesaksian
-----oooo000oooo-----

c).  Membangun Visi tentang masa depan GPIB
        Konsep  yang melatar belakangi penulisan Buku Penjelasan tentang Ke – 7 pokok Pemahaman Iman GPIB (Buku Merah Maron) adalah Gereja selaku Keluarga Allah. Konsep itu diuji (evaluasi) dan dikaji (analisa) sejak di Kaliurang, pada masa MS-GPIB XVI, dilanjutkan ke Salatiga, masa MS-GPIB XVII, lalu menghilang tenggelam pada masa MSGPIB XVIII.
        Marilah kita membahas butir c) ini dalam sejarah perkembangan gagasan Teologi GPIB.
1. Visi GPIB : Perubahan dan Perkembangannya
a). Sejak dimandirikan tahun 1948 oleh Indische Kerk (sekarang GPI), GPIB belum memiliki visi, sebagaimana lazimnya dibuat oleh sebuah organisasi. Yang ada hanyalah motto : Orang akan datang dari Timur dan dari Barat, dari Utara dan dari Selatan, mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah (bd. Lu. 13:29). Motto tersebut terdapat dalam Khotbah Sulung yang disampaikan oleh alm. Em. Pdt. J Supit, pada tanggal 31 Oktober 1948d dalam Ibadah Minggu, pukul 10.00 di Paulus Kapel, Jl. Taman Sunda Kelapa. Ayat itu bukanlah perikop bacaan yang dikhotbahkan. Perikop bacaannya adalah Kel. 33 : 15 – 17.
      Namun dalam perjalanan gereja ini, pada saat mempersiapkan TATA GEREJA 1995 (yang kemudian ditetapkan pada PSI 1996), Lukas 13:29 itu dimasukan ke dalam Mukadimah Tata Dasar GPIB 1996. Mengapa begitu ? Sebab Panitia Materi TATA GEREJA 1996 menemukan kalimat yang diucapkan oleh alm. Em. Pdt J Supit secara tersirat, bahwa ia memandang ke waktu depan  akan datangnya banyak orang berbondong-bondong masuk ke dalam bahtera ini (GPIB)…. dst. Kalimat itulah yang menjadi dasar untuk memasukkan Lukas 13:29 sebagai Visi tentang masa depan GPIB.
Catatan khusus :
      Masalah ini diklarifikasikan oleh Tim Kerja yang ditugaskan MS XVIII untuk mempersiapkan TATA GEREJA dan PKUPPG 2005. Tim itu terdiri dari Sekum MS XVIII : Pdt. C Wairata MTh; Dir. PPWG : Pdt. G J Sihainenia, STh; Ketua PANTER RANTAP 2005 : Pdt. Hallie Jonatahns, STh; Pdt. Ny. Dinna T Meyer-Halatu, MTh dan Dir. Penerbitan : Pdt. Arie A R Ihalauw. Ketika ditanyakan kepada mantan Ketua PANTER RANTAP PSI 1996, Pdt Hallie Jonathans, STH, beliau mengakui, bahwa dirinyalah yang memasukkan rumusan itu ke dalam MUKADIMAH TATA GEREJA PSI 1996.
      Disebabkan ketegangan yang berlangsung dalam perdebatan terkait penggunaan istilah VISI dan MOTTO, maka RANTAP TAGER 2005 memakai istilah MOTTO terkait Lukas 13:29. Penmakaian itu diputuskan setelah mendapat penjelasan dari ahli bahasa Indonesia: Pen. Ny. Maria Kumaat dan didebatkan dalam  Semi-Loka RANTAP 2005 di Lokasi TIGA BERLIAN – Cipanas, Bulan Agustus 2005.
      Catatan ini dijamin keakurasiannya. Kalian ddipersilahkan bertanya langsung kepada orang-orang yang disebutkan namanya. Data ini masih tersimpan dalam file saya sampai hari ini.
      Sepanjang tahun 1948 – 1960an GPIB secara tegas belum memiliki Visi. Sebab pimpinan sinodal masih disibukkan dengan urusan konsolidasi organisasi GPIB serta urusan pelayanan Jemaat-Jemaat pada waktu itu.
      Sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia post Black-September 1966 seterusnya, Dewan Gereja se-Dunia mulai mengarahkan pandangan kepada Negara-Negara Asia-Afrika yang baru merdeka, termasuk Indonesia. Dalam Pemerintahan RI pun terjadi peralihan kekuasaan. Setelah PEMILU tahun 1971 terpilihlah Presiden Soeharto. Kemudian hari MPR menetapkan GARIS BESAR HALUAN NEGARA. Mencontohi hal itu GPIB membuat GARIS BESAR KEBIJAKAN UMUM PANGGILAN GEREJA (GBKUPG) yang sekarang menjadi POKOK KEBIJAKAN UMUM PANGGILAN DAN PENGUTUSAN GEREJA (PKUPPG). Sejak era 70-an GPIB mulai memakai Tema dan Sub-tema PS-GPIB.
b). Bersamaan perubahan dan perkembangan konteks masyarakat-bangsa Indonesia, yang juga dipengaruhu perubahan – perkembangan masyarakat internasional, Gereja pun dituntut menjawab pergumulan manusia pada zamannya. Pada era tahun 1970 – 1980-an GPIB, di bawah kepemimpinan Em. Pdt. D R Matimoe, mengadakan visi dan tujuan pekerjaan Gereja ke bidang Program Pelayanan-Kesaksian. Pada masa itu (dan masih terasa sampai sekarang ini) dibangun jaringan kerja untuk menangani masalah suku-suku terasing dalam wilayah Riau Kepulauan dan Kalimantan. Dimulai dengan konsep Pos – Pos PEL-KES, kemudian menjadi Jemaat Adopsi (yang dibiayai oleh beberapa Jemaat GPIB ekonomi mampu) sampai akhirnya menjadi Jemaat Mandiri.
Catatan :
      Saya hadir sebagai vicaris pada GPIB Jemaat MARANATHA di Tanjung Selor – KALTIM UTARA mendampingi alm. Em. Pdt. Broery Assah, STh. Beliau menangani wilayah Pel-Kes GPIB terluas --- dari Tanjung Selor (Kabupaten Bulungan) sampai ke Long Nawang --- Sepanjang hilir sampai hulu Sungai Kayan.
      Sepanjang era 1970 – 1980-an PS GPIB selalu dibarengi Pertemuan Sinodal PEL-KES GPIB. Namun, perlu diperhatikan, pertemuan seperti ini tidak pernah lagi dilaksanakan sejak Tahun 1995 sampai sekarang ini.
      Bentuk – bentuk PEL-KES GPIB sesuai Ketetapan PSGPIB terdahulu adalah PMKI (Pelayanan Masyarakat Kota dan Industri) serta Pelayanan Kesaksian kepada masyarakat suku-suku asli. Yang masih berkembang sampai hari ini hanyalah PELKES, sementara PMKI tak pernah terdengar lagi.
c).  Sejak tahun 1979 dalam PS-GPIB di Kuningan terjadi benturan cukup keras berkaitan dengan sistem penatalayanan / penatalolaan ekonomi GPIB. Gereja menggumuli masalah “pemanfaatan” sumber daya tak bergerak (tanah dan bangunan yang diwariskan Indische Kerk). Di samping itu pengadaan TATA GEREJA pun menimbulkan konflik, karena berbagai muatan kepentingan ada di sana.
      PS GPIB 1982 melahirkan rekomendasi tentang pengadaan PERNYATAAN IMAN GPIB yang harus disusun MS-XI, tetapi berbagai masalah penatalayanan sangat menekan pekerjaan MS-XI, sehingga pengdaan Pernyataan Iman itu baru ditetapkan pada PS-GPIB XIV Oktober tahun 1986 di Nusa Dua – Bali. Dalam PS tersebut judul Pernyataan Iman berubah menjadi PEMAHAMAN IMAN GPIB.
      Pada PS 1986 GPIB membuat beberapa keputusan penting antara lain :
1.     Menetapkan menerima PANCA SILA dan memasukkkannya ke dalam Tata Gereja.
2.     Perubahan fungsi sistem penatalayanan DEWAN-DEWAN BPK menjadi fungsional (BADAN PEMBANTU). Sejak saat itu tidak pernah lagi diadakan PERTEMUAN RAYA BPK. Tidak ada lagi PERWAKILAN BPK dalam Majelis Jemaat / PHMJ, artinya : secara jurudis formal, perupaan BPK yang yang dahuluna BADAN SETINGKAT MAJELIS JEMAAT berubah secara fungsional menjadi BADAN PEMBANTU MAJELIS JEMAAT.
2.  Lonjakan Perubahan
        Jujur, tulus dan terbuka menerima kritik dan masukan adalah sikap yang kami pegang ketika merencanakan penulisan ini. Hal itu berarti, siapapun yang menjadi pelaku sejarah diharapkan mengkritisi tulisan ini, agar bermanfaat bagi perkembangan GPIB di kemudian hari.
a).  Ketetapan PS-GPIB XV Oktober 1990 di Makasar tentang Waktu dan Tempat PS-GPIB XVI mengalami perubahan.
Pada Tahun 1994 terjadi perubahan Masa Bakthi MS adalah 4 (empat) Tahun. Akan tetapi berdasarkan pengujian (evaluasi) dan pengkajian (analisa) terhadap konteks sosial, di mana PS GPIB dilakukan sebelum PEMILU yang menetapkan keanggotaan kedua Lembaga Negara (MPR, DPR) serta Pemilihan Presiden, termasuk Penyusunan GBHN, maka GPIB mengambil keputusan untuk mengundurkan PS-nya setahun kemudian. Hal itu dimaksudkan agar GPIB dapat mengkaji GBHN untuk meningkatkan partisipasinya ke dalampembangunan masyarakat-bangsa (civil-society).

Di samping itu, terjadi tabrakan waktu PS dengan Sidang PGI yang jatuh bertepatan bulannya (Oktober 1994). Oleh karena itu, MS GPIB XV, melalui RAKERDAL 1994, meminta penngunduran waktu pelaksanaan PS sampai Bulang Maret 1995 (pada saat itu kami menjadi salah satu KETUA MAJELIS PERSIDANGAN SINODE GPIB).
b). 3 (tiga) Masalah Besar dalam PS-GPIB XVI.
      Kami berharap semua pihak pihak terkait dapat memperlakukan informasi ini sebagaimana seharusnya, supaya kita dapat meluruskan sejarah GPIB, sehingga generasi kepemimpinan masa depan tidak akan terjatuh ke dalam keadaan yang sama.
1.    Sepanjang Masa Bakhti MS XV dipenuhi intrik politik praktis. Hal ini sangat berhubungan dengan pemanfaatan aset GPIB yang tidak bergerak. Pada masa bakhti MS XV 1990 – 1995 terjadi kegoncangan besar disebabkan pemanfaatan beberapa aset GPIB di Jakarta dan Soerabaya. Jika kami harus berkata jujur dari hati yang iklas serta sikap terbuka, kesalahan periode ini merupakan warisan dari MS - MS sebelumnya. Masalah tanah POT PNIEL (di belakang GPIB PNIEL Jakarta) bukanlah masalah yang dibuat oleh MS XV; melainkan merupakan dosa warisan.
      Pada pihak lain, GPIB sama sekali tidak menjual RS. MARDI SANTOSA. GPIB hanya memiliki tanah dan bangunan di mana RS beroperasi. Rumah Sakit itu memiliki Yayasan tersendiri. Jadi keributan di sekitar penjualan RS Mardi Santosa adalah tidak benar.  Yang benar adalah : pemanfatan lahan dan bangunan untuk mengadakan aset baru serta untuk menutupi hutang Yayasan Dana Pensiun GPIB. Hanya saja, informasi yang benar ini telah dikaburkan oleh opini yang keliru, serta sikap arogansi MS XV yang tidak terbuka menginformasikan segala hal terkait proses tukar guling tersebut.
      Ada keburukan tetapi juga ada kebaikan. Generasi GPIB patut bersikap / berpikir positif. Meskipun ada kegagalan karena kesalahan (melanggar TATA GEREJA GPIB) dilakukan dalam periode ini, namun kita juga harus jujur, bahwa ada kebaikan yang dikerjakan, seperti : Pembangunan Yayasan Diakonia di Lawang terkait Panti Asuhan, GPIB mendapatkan kembali hak pengenolaan atas Gedung PPWG di Lawang yang selama ini ditempati militer AD, pengadaan tanah dan bangunan di mana RS GRIYA HUSADA beroperasi, Pengadaan fasilitas Persidangan di Sekesalam. Jadi, kita (sebagai generasi penerus) patut bersyukur kepada TUHAN Allah, bahwa sekalipun di dalam kelemahan dan kekurangan Pemimpin GPIB yang kita pilih, TUHAN bekerja menganugerahkan berkat-Nya kepada GPIB. Itulah yang tak dapat kita mengerti secara rasional. Mengapa ? Karena kita kurang membuka hati dan pikiran untuk kekurangan dan kelemahan orang lain. Menuju masa depan baru, sebagai generasi penerus, kita tidak boleh bersikap / berpikir demikian lagi.
      Kami tidak bermaksud membela / membenarkan kejahatan dan dosa apapun, tetapi mengajak semua pihak untuk merenungkan kesaksian Alkitab : “Untuk segala sesuatu di bawah matahari ada masanya” (Pengk. 3). Sedangkan TUHAN Allah saja melupakan dosa dan kesalahan Israel. Melalui Yesaya (65:17) Dia berfirman
      Sebab sesungguhnya Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru, hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati
     Biarlah TUHAN dan sejarah menjadi hakim atas kesalahan pemimpin-pemimpin. Tetapi generasi GPIB masa depan harus belajar mengampuni mereka, sebab tanpa mereka pun kita tidak akan pernah mewarisi Gereja ini. Melupakan masa lalu yang pahit merupakan prasyarat mutlak yang perlu dipenuhi GPIB, sebelum membangun masa depan yang baru. TUHAN menghendaki sikap demikian.
Pelajaran berharga bagi generasi masa depan. Kekeliruan penatalayanan / penatalolaan aset GPIB yang dilakukan ini, sebaiknya, tidak boleh terulang pada periode kerja MS – MS GPIB yang akan datang. Kegagalan pada masa lalu tidak dapat dilupakan, tetapi juga tidak boleh diteladani (preseden berbahaya). Justru kegagalan itu harus menjadi pelajaran bagi setiap fungsionaris MS GPIB untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, agar GPIB mampu memberdayakan potensinya demi mendukung seluruh pekerjaan misional.
2.    Masalah PS GPIB XVI tahun 1995 di Sekesalam – Bandung.
Pengalaman pahit tetapi membahagiakan kami alami, ketika menjadi salah satu Ketua Majelis PS GPIB 1995. Perdebatan panjang tentang masalah aset telah menyita seluruh waktu dan menguras tenaga, sehingga para peserta tak mampu menuntaskan RANTAP TATA GEREJA 1995 yang diusulkan oleh MS XV. Akhirnya PS.GPIB 1995 menetapkan, bahwa harus diadakan PSI-GPIB tahun 1996 untuk menyelesaikan :
a).  RANTAP TATA GEREJA GPIB (Hasilnya Buku Biru)
b). Mendengar hasil-hasil kerja PANSUS 7 bidang EKONOMI yang yang beranggotakan 7 orang Penatua – Diaken dan diketuai oleh Pnt. Drs Henky Baramuli.
        Penyakit kronis GPIB. Menjelang PSI 1996 muncul kontroversi dan sikap kontradiksi di kalangan Pimpinan MS tentang masalah PANSUS 7. Tarik menarik dan sikap lempar batu sembunyi tangan terjadi di Medan Merdeka 10 Jakarta. Pimpinan MS terbelah. Saling menuding dan melemparkan tanggungjawab. Di sinilah kelemahan tiap fungsionaris MS GPIB. Untuk mencari dukungan dari bawah, tiap fungsionaris saling menyalahkan dan saling menjelekkan. Permainan politik praktis mengotori kesucian Gereja. Akibatnya tetap sama. Gereja dilukai dan tiap orang yang mempertahankan kedudukan sinodal diuntungkan.
      Setelah PS 1995 dan PSI 1996 keharmonisan hubungan kerja antar fungsionaris MS kuran baik. Hal itu mengerucut dan mencuat keluar, bahkan menjalar ke Jemaat-Jemaat di DKI Jakarta. Muncul sikap pro kontra, demontrasi dan sebagainya.
        Selang beberapa waktu dari PSI 1995 terbitlah 2 (dua) buku Tata Gereja 1996. Yang satu diterbitkan oleh MS GPIB XVI (Buku Biru Tipis) dan yang lain oleh Majelis Jemaat GPIB IMMANUEL – Jakarta (Buku Ungu Muda). Keadaan seperti ini menghambat pekerjaan misi GPIB sepanjang tahun 1995 – 2000.
        Mempersiapkan PS-GPIB 2000, PST 1999 di Semarang menetapkan Tema PS 2000 : YESUS KRISTUS SUMBER PEMBAHARUAN (II Kor. 5:15-17). Pada waktu itu, diplih dan dibentuk PANITIA REKONSILIASI GPIB yang ditugaskan menjadi jurudamai antara MS GPIB dan Jemaat-Jemaat GPIB di DKI, serta kelompok Pastoral Pastorum. Namun harus diakui, bahwa pekerjaan panitia tersebut kurang maksimal, karena berbagai faktor yang mempengaruhinya.
3.  Kekisruhan Menghambat Pelaksanaan Visi dan Misi Gereja
      Ketika kita mulai berpikir mempertahankan kepentingan pribadi (dan kelompok), pada saat itulah kita menghancurkan pekerjaan Allah yang dilaksanakan oleh Gereja.
     Kondisi seperti itu muncul sejak tahun PS-GPIB 1986 di Bali, namun dapat diatasi (saya meminjam istilah ABRI – aman terkendali). Masalah mulai menghangat, setelah PS-GPIB 1995 di Makasar, disebabkan
   Pertama, Timbul masalah pribadi yang merusak hubungan kerja GPIB, sebab sekurang-kurangnya tiap pemimpin mempunyai pendukung sendiri-sendiri. Celakanya tiap pendukung ini saling berkolaborasi, karena kepentingan pribadi juga; akhirnya para pemimpin itu dojadikan wayang orang yang dipentaskan. Para pendukung memakai cela kelemahan untuk menyerang atau meniupkan isu yang memanaskan kondisi kepemimpinan sinodal.
  Kedua, kelemaham Pimpinan Sinodal yang suka mendengarkan gossip ketimbang memikirkan strategi perencanaan pelayanan-kesaksian GPIB. Pemutasian dilaksanakan berlatarbelakangkan kelompok interes atau personalia GPIB yang mendukung kebijakan MS. Akhirnya muncul kecemburuan sosial di kalangan Pendeta GPIB, karena pemutasian kurang memperhatikan faktor senioritas kedinasan, kualitas manusia, dan sebagainya.
Ketiga, perpecahan (friksi) dalam tim kerja MS GPIB menjadi lahan gossip yang segar di kalangan Jemaat-Jemaat yang kurang sependapat dengan kebijakan MS. Tanpa disadari fungsionaris MS diadu domba, sama seperti yang dilakukan Fungsionaris ke dalam tubuh Majelis Jemaat untuk mengadu domba KMJ dan PHMJ.
4. Perubahan / Penggantian Tema PS GPIB 1995
      Perubahan waktu PS ( dari tahun 1994 ke tahun 1995) diikuti pula dengan penggantian Tema PS menjadi. Pengantian tema PS itu mengejutkan, karena Pembangunan GPIB Misioner Jangka Panjang Tahan I baru akan berakhir tahun 1998. Direncanakan Pembangunan GPIB Misioner Tahan II baru akan dimulai Tahun 1998 – 2012, yang oleh karena perubahan pewaktuan menjadi 2005 – 2030.
      Perubahan Tema PS GPIB tahun 1995 ini mempengaruhi Visi GPIB ke depan. Kemungkinan besar, pengijian dan pengkajian teologi (Pusat Pengkajian, Pengembangan Teologi GPIB) dipengaruhi oleh kondisi GPIB yang kontroversial sepanjang periode 1990 – 1995, ketika menentukan tema tersebut. Penggantian tema itu pun menunjukkannnmtelah terjadi pergumulan hebat dalam prinsip penatalayanan GPIB di masa depat,
5. Prasyarat  Penggantian / Perubahan Tema
      Agaknya kita perlu kesepakatan menganai persyaratan begi pengadaan tema PS/PST GPIB. Menurut pandangan kami, persyaratan yang diperlukan adalah :
5.1.    Thema PS / PST harus didasarkan atas kesaksian Alkitab.  Keharusan ini mutlak dilestarikan, supaya bertumbuh kesadaran bahwa GPIB merupakan sebuah keluarga yang dipanggil dan  dikuduskan  Allah serta diutus oleh Kristus untuk mengerjakan pekerjaan -Nya. Tidak boleh diadakan Thema lain yang direkayasa oleh pikiran manusia. Thema PS / PST adalah VISI dari Misi GPIB baik jangka panjang maupun jangka pendek. Dari visi itulah GPIB merumuskan perencanaan strategi misinya.
5.2.    Thema PS/PST GPIB merupakan jawaban Gereja atas seruan Allah yang menderita dalam konteks masyarakat. Artinya, seluruh thema yang dipetik dari kesaksian Alkitab akan mengarahkan pekerjaan  GPIB ke masadepan.
5.3.    Thema PS/PST itu melahirkan aktivitas program (PKUPPG) yang akan direalisasikan untuk menjawab kebutuhan persekutuan Jemaat-Jemaat GPIB serta konteks misionalnya.
Pemahaman yang diuraikan di atas akan memudahkan Jemaat-Jemaat GPIB menyusun tema-tema kerja pada tingkat jemaat dalam Musyawarah pelayanan (MU-PEL).
d). Keluarga Allah selaku Tim Kerja
Kelemahan GPIB
1.  GPIB kaya akan konsep (gagasan) teologi, tetapi kurang mengaplikasikan ke dalam penatalayanan / penatalolaannya (stewardship / managemen). Kondisi seperti ini tercipta, oleh karena sebagian besar teolog GPIB membedakan masalah teologis (yang sacral) dan urusan managerial (yang profan / duniawi). Katakanlah contoh : sebagian besar Pendeta GPIB tidak suka atau mentabukan pembahasan masalah ekonomi (keuangan) Gereja; akan tetapi para Pendeta itu akan meributkan masalah kesejahteraan terkait penghasilan (gaji). Sikap seperti itu menipu diri dan membohongi warga jemaat. Jika para pendeta ingin menikmati kehidupan layan, maka mereka pun wajib menyusun konsep teologi yang jelas tentang pengadaan dan pemanfaatan SGD (Sumber Daya Gereja). Mereka harus menjadi nara sumber pemahaman teologi bagi para presbiter, agar kebijakan ekonomi yang diputuskan untuk dilaksanakan tidak menyimpang dari kesaksian Alkitab. Sikap seperti ini perlu ditinggalkan. Pendeta juga harus berbicara tentang kebijakan ekonomi Gereja.
2. Sepanjang 28 tahun pelayanan, saya menyaksikan berbagai persoalan yang timbul tenggelam dalam organisasi GPIB, dikarenakan lemahnya kekompakan anggota tim kerja pada fungsionari MS di tingkat sinodal dan PHMJ di tingkat jemaat lokal.
    Sekali lagi, GPIB adalah KELUARGA ALLAH. Semua warga dan pejabat adalah anggota-anggota dari satu keluarga, di mana Yesus Kristus adalah Kepalanya. Pembangunan Keluarga Allah itu didasarkan atas pengakuan bersama dari seluruh warga GPIB terhadap Yesus Kristus.
     Di dalam keluarga ada sistem yang telah tertata rapi : Ayah, Ibu, Anak Sulung (Pemuda), Teruna dan anak kecil (PA). Masing-masing memiliki fungsi dan peran sebagai alat penatalolaan (managemen’s tool) untuk menghidupkan keluarga. Alat penatalolaaan itu diadakan untuk mewujudkan tugas dan tujuan visional yang sudah ditetapkan bersama oleh seluruh anggota keluarga. Sekalipun berbeda fungsi sesuai pengelompokan menurut kategori (usia dan jenis kelamin), namun ada kesatuan tugas dan tujuan yang dikerjakan secara bersama-sama. Ayah, Ibu dan anak-anak dapat disebut TIM SUKSES KELUARGA. Jika TIM SUKSES KELUARGA itu kurang bekerja bersama, maka tugas dari tujuan visionalnya tidak mungkin tercapai.
     Kegagalan, atau katakanlah kekurang berhasilan MS dan PHMJ dalam pencapaian tugas misionalnya, disebabkan karena kadar pemahaman tiap anggota keluarganya kurangsepaham, kurang mengutamakan, kurang sehati merekatkan relasi personal atar tiap anggota. Feeling in group (faktor seperasaan)-nya kurang merekatkan. Hal ini dapat terjadi, karena beberapa faktor  yang mempengaruhi :
2.1.  Adaptasi kepribadian. Rendahnya pemahaman tentang fungsi kekuasaan dalam sistem organisasi. Sikap dan pandangan yang menomorsatukan status (kedudukan) dan otoritas secara hirarkis akan menjadi sandungan bagi proses penyesuaian (adaptasi) kepribadian antar fungsionaris. Jika proses penyesuaian berjalan alot dan relatif cukup lama, maka tugas-tugas akan terhambat.
2.2   Balas jasa. Kita menyadari, bahawa naiknya sesorang pemimpin tidak dapat dilepaskan juga dari dukungan orang-orang terdekat. Faktor ini juga akan menjadi alasan atas benturan para fungsionaris, ketika memutuskan masalah-masalah personalia.
        Di samping itu ada berbagai kelompok interes yang bermain di belakang kesuksesan seeorang menjadi pemimpin. Kelompok ini akan berusaha mengintervensi kebijakan-kebijakan gerejawi. Perilaku kelompok ini akan menimbulkan instabilitas dalam perasaan kesatuan / keutuhan TIM SUKSES KELUARGA (MS sebagai tim kerja). Oleh karena itu, Pimpinan MS tidak boleh memberikan ruang gerak kepada kelompok interes, agar mereka tidak mempengaruhi kebijakan-kebijakan operasional (aktivitas program).
2.3.  Kepekaan dan kepedulian. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kegagalan kepemimpinan GPIB dipengaruhi juga oleh sikap mental Pimpinan yang kurang peka dan kurang peduli mendengar suara hati sesama pelayan. Pimpinan alergi terhadap gerakan sosial yang mengkritik atau meprotes kebijakannya, namun kurang menangkap getaran suara hati sesama rekan pelayanan. Padahal gerakan sosial itu lahir, karena pimpinan kurang mendengar getaran suara hati yang dipimpin. Sikap mental seperti ini akan menghambat pekerjaan gereja.
2.4.  Kekuatan spiritualitas. Tidak dapat disangkal, kepemimpinan karismatik dari seorang Pemimpin Gereja bersumber pada spiritualitasnya (kedekatan hubungan dengan TUHAN serta kualitas intelektual), bukan ditentukan oleh penampilan. Spiritualitas yang dimiliki karena pergaulan yang akrab dengan Allah akan terdengar dalam ucapan yang jujur, lahir dari hati yang tulus, bersikap akomodatif serta terbuka kepada siapapun. Faktor ini juga mempengaruhi kepemimpinan koletif dari Pimpinan GPIB.
3.  Visi mengilhami PKUPPG dan pelaksanaannya     
     Kelemahan Pimpinan Sinodal. Mengulas kelemahan Pimpinan Sinodal bukan berarti menelanjangi dan menempatkan mereka pada sudut tempak. Saya tidak pernah berpikir demikian. Mengulas kelemahan sama artinya membuka mata untuk melihat kepada sejarah masa lalu, di mana GPIB sering mengalami hambatan, karena sikap mental Pemimpinnya.
     Di samping itu, pengujian dan pengkajian ini tidak bertujuan mencela, melainkan mencari solusi yang dapat menghubang kelemahan (weakness) menjadi kekuatan (strength) demi pemberdayaan sumber daya insani serta sistem organisasi untuk mencapat sasaran (goal oriented) yang telah ditetapkan dalam PKUPPG.
a).  Pimpinan Sinodal wajib menguasai (bukan mengetahui) hasil Ketetapan PS GPIB 2010 di bidang PKUPPG. Penguasaannya sangat menentukan sikap bagaimana mengarahkan Jemaat untuk mengoperasionalisasikan  Visi GPIB ke dalam aktivitas progam Majelis Jemaat.
b).  Pemimpin Sinodal tidak boleh mengubah ketetapan-ketetapan PS GPIB 2010 sesuai kehendak dan karena alasan  serta desakan siapapun. Konsistensi sikap (yang disebut : komintmen pribadi) untuk menjalankan seluruh TAP PS-GPIB 2010 wajib dibuktikan, agar menjadi teladan dan motivasi bagi Jemaat-Jemaat melaksanakan keputusan bersama itu.
     Jika kedua sikap itu dapat dilakukan secara optimal, maka GPIB pasti akan mampu mencapai sasaran yang ditetapkan dalam PKUPPG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar