Selasa, 22 November 2011

SAAT KRISTUS TERLAHIR KEMBALI....



SAAT NATAL MENJELANG….

SEBUAH UNGKAPAN KEPRIHATINAN SOSIAL ATAS
GAYA HIDUP ORANG KRISTEN MENYONGSONG NATAL KRISTUS
DI TENGAH – TENGAH KEMELARATAN YANG MENGGEROGOTI KAUM MARGINAL

MEDAN – SUMATERA UTARA,
RABU, 23 NOPEMBER 2011

CERITA INI DITULISKAN ULANG DARI CATATAN HARIANKU
KETIKA MASIH MENJADI PELAYAN DI GPIB JEMAAT EBEN-HAEZER SOERABAYA

diceritakan oleh
ARIE A. R. IHALAUW

Suatu senja di penghujung Nopember 1996 di Kota Soerabaya. Baru beberapa bulan aku mutasi dari Palembang ke kota itu. Didampingi Pak Herry Moningka, Ibu Mimi Kailola, Ibu Verstegen dan Ibu Yasin – Papilaya. Aku menjalankan tugas keseharianku mengunjungi beberapa warga jemaat penerima santunan (Pelayanan Kasih / PELKAS). Pikirku : “Mungkin semuanya telah berubah”. Dahulu tahun 1982 kujalani masa vicariatku di Jemaat ini. Kami mengunjungi beberapa keluarga jemaat Sektor Pelayanan untuk melihat bagaimana mereka mempersiapkan diri menyongsong Natal….

Di sebuah gubuk tua di Gang Dolly tinggallah sebuah keluarga kecil suami-isteri dan keempat anak serta nenek tua renta.

Mat Sore, Mbah !” sapa kami berlima berurutan. Pemilik rumah agak panik. Tak menyangka akan dikunjungi para pelayan. Anak perempuannya sibuk merapikan bilik tamu seluas tiga kali dua meter. Mengangkat kasur busa, sementara si cucunya tergolek, sambil ngedot air putih. Ketika aku berdiri di depan pintu gubug, si Mbah menghampiri lalu memeluk dan menciumiku berulang-ulang. Aku membiarkannya melepaskan rasa rindu. Sambil terisak ia berseru kepada Tuhan : “Duh Gusti Kaula…..” Kalimat itu tak sempat dihabiskan, karena derai tangisnya diiringi anak dan cucunya. Bathinku tergetar keras…. Rasa kemanusiaanku luluh lantak. Tak terbayangkan olehku, keluarga yang telah lama kutinggalkan sejak masa vikaris masih sama seperti yang dulu…. Mataku memerah, tak terasa air bergulir hangat ke pipiku membasahi rambut perempuan renta Kudekap Mbah tua itu, sambil berusaha menenangkannya. Kuingat kembali saat-saat ketika masih menjadi vicaris…. Mbah renta itulah yang sering mencuci pakaianku. Dialah orang pertama yang mencuci togaku…..

Berat rasanya melihat kenyataan yang sedang dihadapi orangtua itu. Kucoba menghiburnya dengan sebuah lagu berbahasa Jawa : “Wonten panglipuran ing Gusti Yesus, wonten panglipuran engkang. Gusti paling ayem lan paling katresnaan, wonten panglipuran engkang.” Si Mbah tua renta itupun melantunkannya bersama. Pipinya yang sudah keriput, karena susunan giginya ompong, dihiasi senyum pasrah. Selesai bernyanyi ia bertanya : “Kapan teko nang kene, sinyo ?”…. “Udah enam bulan, Mbah !” jawabku singkat. “Makasih Yesus, saya bisa ketemu sinyo lagi… Lha keadaan kamu pie, nyo ?” tanyanya. Aku tersenyum miris… “Ya seperti yang dilihat Mbah…”. Lalu si Mbah mulai mengisahkan pengalaman sejak kami berpisah di than 1984, ketika saya akan bertugas ke Tarakan. “Nah… ini baju hangat yang dikasi sinyo, saat malam perpisahan di Gereja”, kata si Mbah sambil memegang baju yang sedang dipakainya. Aku tertegun. Baju itu sudah berusia 12 tahun, tetapi si Mbah menjaganya baik. Sulit membayangkan, bagaimana cintanya padaku dengan menjaga pemberianku. Aku memeluknya erat. Tak kuhiraukan lagi merah pinang menempel di jubah putih pelayananku. Aku bangga padanya. Dan ia membiarkan dirinya tenang dalam pelukanku. Hatiku damai, seakan aku memeluk ibu kandungku sendiri.

Wis nduwe bocah ta, nyo ?” tanyanya singkat. “Tiga orang, Mbah” jawabku pendek. Kami berdua tersenyum. “Mbah… sebentar lagi Natal tiba… Gimana rasanya ?” tanyaku. “Ya ora pie-pie ta, nyo. Umahku koyo ngene…” jawabnya dalam dialek Surabaya. “Mbah mau kan, kalo rayain Natal bersama sinyo di Pastori…, biar kita bercerita tentang masa-masa vicaris bersama Non Sientje. Kan mbah yang jodoin kami berdua…..” Tiba tiba suasana sendu berubah menjadi ceria diiringi gelak tawa si Mbah terkekeh-kekeh. “Tapi….” Mbah terdiam sejenak. “….  maksud Mbah ?” selaku. “Ya itu tu…., sinyo ngga nakal lagi kek dulu, kan ?” si Mbah menatapku dalam…. “ya ngga punya banyak cewe lagi kaya dulu, kan ?” kritik si Mbah polos. Ibu Mimi, Tante Verstegen, Ibu Yasin memandangku dengan mata terheran-heran. Mereka berpikir aku pasti tersinggung. “Ya nggalah, Mbah. Satu aja ngga abis-abisnya, moso harus banyak sih ? Arie yang dulu Mbah kenal telah berubah….” jelasku…. “Jangan heran ibu-ibu dan Pak Herry… si Mbah ini dukun yang ampuh selama kami berdua pacaran. Setiap mengakhiri kunjungan ke kostku, pasti ia berdoa untuk kelanggengan hubunganku dengan Sientje… hahahahahha….”

Kunjungan sore itu diakhiri doa. Lalu kami meninggalkan gubuk reyot dengan menitipkan pemberian Gereja. “Mbah… ingat ya, Natal ini kita berkumpul lagi di pastori Mongonsidi” kataku. Mbah menjawab “Iya, nyo”. Kami berlima berlalu….

Sepanjang perjalanan menuju Pastori Mongonsidi kami berlima mendiskusikan bagaimana caranya mengadakan Natal bersama keluarga tak mampu dalam Jemaat EBEN HAEZER di Soerabaya. Natal bukanlah pesta meriah yang berhiarkan pernik-pernik mainan dan kerlap-kerlip lampur natal, kelezatan makanan dan kenikmatan minuman kaleng. Perayaan seperti itu bukanlah cirri yang melekat pada Natal Kristus. Itu sejenis pesta kaum barbar yang menang perang atau perompak yang bersukaria karena berhasil merompak kapal di Lautan Hindia. Natal seperti ini memperlihatkan kesombongan rohani berlebihan yang merendahkan martabat kaum marginal.

Padahal Natal Kristus merupakan sebuah pernyataan sikap soliditas dan solidaritas Allah bersama umat manusia yang papa menderita karena penindasan dosa. NATAL KRISTUS patut dikembalikan kepada maknanya semula : SEDERHANA, BERWIBAWA, BERKUALITAS KASIH YANG TERULUR BAGI KAUM PAPA YANG TERPINGGIRKAN. Bukannya sebuah kenikmatan yang berakhir dalam kesengsaraan, karena keluarga berhutang untuk sebuah persta sehari. NATAL adalah sebuah GERAKAN HIDUP MENGASIHI SESAMA. Natal akan menjadi sebuah keindangan, jika KHOTBAH tidak diucapkan melainkan DIPRAKTIKKAN DALAM BENTUK KEPEDULIAN SOSIAL KEPADA MEREKA YANG TERLINDAS. Jika tidak demikian, maka NATAL kehilangan fungsi keilahiannya. Selamat mempersiapkan NATAL, sejak ADVEND I : Minggu, 27 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar