Senin, 16 Januari 2012

PAKAIAN JABATAN DAN PAKAIAN LITURGIS - Mengenal Tradisi Gereja Seri I


PAKAIAN PELAYAN,
MEMPERTANYAKAN TRADISI GEREJA

DITULISKAN DI
MEDAN – SUMATERA UTARA
HARI SENIN, 16 JANUARI 2012

OLEH
ARIE A. R. IHALAUW

PEMAHAMAN. Tradisi adalah sebuah kebiasaan yang diwariskan turun temurun untuk dilakukan. Tradisi itu pertama-tama bersifat LISAN, barulah TERTULIS. Penulisan tradisi itu disebabkan perjumpaan dengan konteks baru (setelah perubahan dan perkembangan) yang dihadapi oleh generasi penerus. Alkitab adalah sebuah TRADISI LISAN, yang kemudian DITULISKAN oleh para penulis untuk menjaga KEMURNIAN AJARAN yang diberitakan dan diajarkan pendahulunya.

PAKAIAN PELAYANAN (LITURGIS ?). Salah satu tradisi yang diwariskan adalah PAKAIAN IMAM (Kel. 28 : 1 – 43). Pakaian imam ini dibuat berdasarkan refleksi teologi Israel tentang KEMULIAAN dan KEKUDUSAN Allah (Kel. 28 : 2 – 4 -> “… pakaian kudus…,untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” Seluruh warna-warni dan pernik-perniknya merupakan SIMBOLISASI yang mengungkapkan kepercayaan Israel kepada Allah.

Pakaian itu dipakai “untuk menyelenggarakan kebaktian di tempat kudus” (Kel. 28:43). Di dalam kalimat tersebut tersirat 2 (dua) pemahaman : pertama, pakaian itu dipakai untuk menyelenggarakan kebaktian; dan, kedua, pakaian itu dipakai di tempat yang kudus atau penggunaannya dihubungkan dengan penyelenggaraan kebaktian di tempat khusus / kudus. Jadi pakaian pelayanan (liturgis ?) tidak boleh dipakai jika tidak ada kebaktian dan kalaupun ada kebaktian hanya dipakai di tempat khusus yang telah dikuduskan.

TRADISI GEREJA MENGENAI PAKAIAN LITURGI DAN PAKAIAN JABATAN. Sampai sekarang Gereja belum menguraikan pandangan teologinya tentang PAKAIAN LITURGI dan PAKAIAN JABATAN terkait waktu dan tempat penggunaannya. Saya masih menyimpan data tertulis tentang jawaban mantan Ketua MS-GPIB XIII (alm. Em. Pdt. B. Simauw, STh), ketika menjawab pertanyaan salah seorang peserta PS-GPIB tahun 1990 di Makasar, bahwa TOGA TIDAK BOLEH DIPAKAI DI LUAR IBADAH GEREJA DAN DI DALAM GEDUNG GEREJA YANG SUDAH DITAHBISKAN. Pada kesempatan itu, Pdt. Paul Waney, MTh, sebagai Ketua Panitia Materi bidang Teologi sub komisi IBADAH GEREJA, selesai memamerkan TOGA WARNA PUTIH dan ARTIBUT PELAYANAN (STOLA dan KAIN MIMBAR). Pada saat itu saya masih dibilang yunior pada jajaran GPIB (dan baru menyelesaikan studi lanjut). Saya tidak memiliki hak apapun untuk mengemukakan pendapat pribadi. Bukan berarti saya tidak menggumuli pernyataan tersebut.  Beberapa pertanyaan muncul dalam benak tentang :

1.   TOGA DAN BANIANG PUTIH. Sepengetahuan kita bersama, TOGA HITAM dan DASI PUTIH BERCABANG adalah pakaian pelayan firman GPIB. Sejak tahun 1948 tidak ada perbedaan istilah antara Pakaian Liturgis dan Pakaian Jabatan. Kedua istilah itu baru diperkenalkan dalam PS-GPIB 1990 di Makasar, tanpa menguraikan alasan-alasan perubahan. Hanya dikatakan : “Hal itu disebabkan karena beberapa Gereja-Saudara (GPI – GMIM) telah mengubah warna toga hitam menjadi toga berwarna putih. Dan toga hitam terkesan menakut-nakutkan.” Itulah alasan yang dikemukakan Pdt. Paul Waney, MTh. Saya menarik kesimpulan, bahwa TIDAK ADA URAIAN TEOLOGIS-ALKITABIAH tentang PAKAIAN JABATAN dan PAKAIAN LITURGI, padahal segala sesuatu yang berubah di dalam Gereja perlu dijelaskan secara mendetail terkait pemahaman teologinya.

2.   TOGA HITAM SEBAGAI PAKAIAN LITURGI DAN JABATAN. Sejak tahun 1948 Gereja memahami TOGA sebagai PAKAIAN LITURGI DAN PAKAIAN JABATAN yang digunakan oleh Pendeta / Pelayan Firman dan Sakramen untuk mengadakan Ibadah. Pemahaman itu merupakan warisan yang diturunkan dan dipelihara dari generasi ke generasi. Ia adalah warisan yang diterima sejak masa pemerintahan Indische Kerk. Pewarisan itu pun dilakukan tanpa sedikitpun uraian tertulis tentang asal-usulnya. Oleh karena itu, bukan saja WARNA-nya tetapi juga SEJARAH PENGGUNAAN TOGA dalam penyelenggaraan ibadah gereja perlu dipertanyakan kembali, agar kita bisa merumuskan sebuah penjelasan teologisnya.

3.   WAKTU DAN TEMPAT PENGGUNAAN TOGA. Inilah pernyataan lisan dari mantan Ketua MS-GPIB XIV dalam PS-GPIB 1990 di Makasar : “TOGA TIDAK BOLEH DIPAKAI DI LUAR IBADAH GEREJA DAN HANYA DI DALAM GEDUNG GEREJA YANG SUDAH DITAHBISKAN.” Pernyataan tersebut pun tidak dilandasi atas sebuah penjelasan teologi. Namun dari penjelasan tersebut, saya menemukan 2 (dua) makna :

3.1.  TOGA TIDAK BOLEH DIPAKAI DI LUAR IBADAH GEREJA. Pernyataan ini menegaskan, bahwa penggunaan Toga Putih hanya di dalam IBADAH GEREJA. Istilah IBADAH cenderung menunjuk pada aktifitas pelayanan firman di dalam Gedung Gereja saja. Oleh karena itu, Pendeta GPIB yang diundang untuk menjadi saksi pengambilan sumpah, tidak diperbolehkan memakai TOGA. Kedua,

3.2.  HANYA DI DALAM GEDUNG GEREJA YANG SUDAH DITAHBISKAN. Pernyataan ini menegaskan : pertama, toga hanya digunakan sepanjang penyelenggaraan Ibadah yang di dalam Gedung  GEREJA YANG SUDAH DITAHBISKAN; kedua, toga tidak dapat digunakan dalam Gedung GEREJA YANG BELUM DITAHBISKAN, sekalipun sudah permanen, seperti : Gedung Gereja di Pos-Pos Pelayanan, Pelaksanaan Ibadah di luar Gedung Gereja Yang Sudah Ditahbiskan (seperti : Ibadah Pemberkatan Perkawinan Kristen di Hotel, dan sebagainya).
     
      Akan tetapi saya tegaskan ulang, seluruh penjelasan tersebut dikemukakan tanpa argumentasi teologis secara tertulis oleh PANTER bid. TEOLOGI GPIB tahun 1986 – 1990. Oleh karena itu, selayaknyalah, kita mempercakapkannya kembali untuk mengisi dan merumuskan pemahaman teologi di sekitar atribut atau simbol-simbol yang dipakai oleh GPIB saat ini.

4.   PAKAIAN JABATAN. Saya pun tidak pernah mencatat alasan teologis mengenai pengadaan PAKAIAN JABATAN ( BANIANG PUTIH), sebab pada waktu itu tak seorangpun menjelaskan hal itu, sama seperti pada perubahan TOGA WARNA HITAM menjadi PUTIH.

5.  Akhir-akhir ini muncul berbagai pertanyaan sehubungan dengan penggunaan TOGA dalam ibadah pemberkatan Perkawinan Kristen di luar Gedung Gereja yang sudah ditahbiskan, Pelaynan Firman dalam Gedung Gereja Permanen yang belum ditahbiskan di Pos - Pos Pelayanan GPIB, serta permintaan pemerintah agar Pejabat Gereja yang diundang untuk menyaksikan sumpah jabatan wajib menggunakan TOGA.

SELAMAT MENGKAJI DAN MENGUJI

Salam Penulis

1 komentar:

  1. Pada umumnya, warna toga Pendeta adalah hitam dan putih.
    Bolehkah toga Pendeta menggunakan warna selain hitam dan putih??
    Mohon pencerahannya. Terima kasih.

    BalasHapus