THE MISSING INTERPRETATION
OF GOD’S PLAN
Apakah benar
umat Israel salah menafsirkan visi Allah
untuk
menyelamatkan bumi dari kehancuran serta membebaskan
umat manusia
dari penderitaan ?
Tulisan ini
ditujukan kepada anakku yang kekasih
BENNI’Y AMOR SALUTAVI ECCLESIA
dia yang
akan melanjutkan perjalanan dari panggilan dan
pilihan
Allah ke atas keluarga kami turun temurun
Ditulis di
MEDAN –
SUMATERA UTARA
HARI KAMIS,
08 MARET 2012
oleh
PUTERA SANG
FAJAR
Arie A. R. Ihalauw
-----ooo00ooo-----
II
PEMBERIRAAN INJIL DAN KARYA BUDAYA MASYARAKAT
“Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.”
KEJADIAN 1 : 27 - 28
A. PENDAHULUAN
Budaya adalah hasil karya yang tercipta dari instink,
perasaan, imaginasi, budi (pikiran) manusia secara individual maupun kolektif. Ia
merupakan reaksi terhadap berbagai persoalan karena perjumpaan dengan
lingkungan hidup (masyarakat dan alam). Manusia bertarung melawan kekuatan
adikodrati yang tampil dalam beragam bentuk kekuatan alami. Perjumpaan ini
mendesak manusia untuk mengadakan peralatan,
agar ia mampu bertahan hidup. Di sinilah saya memahami agama sebagai salah satu hasil
karya budaya manusia (peralatan
ataupun perlengkapan) masyarakat.
Katakanlah contoh, mitos tentang matahari.
Mitos tentang matahari selaku dewa tersebar
pada semua budaya-agama-suku, seperti kepercayaan ritual budaya-agama-suku tentang Shamash – dewa bangsa Sumerian, Re di Mesir, Lugh dalam budaya suku-suku Celtik di Eropah, Totaniuh pada suku Aztec di Mexico, Apollo dalam budaya Yunani-Roma, Dewa
Amaterasu di Jepang, Surya di
India, Maui pada suku-suku Polinesia,
dll.
Ritus Penyembahan Matahari. Manusia membutuhkan terang bagi kehidupannya di bumi. Terang dapat dinikmati melalui pemunculan matahari. Benda ini diyakini memiliki kekuatan menghidupkan dan mematikan. Oleh karena kepercayaan
ini mendorong manusia menciptakan ritual
penyembahan matahari sebagai simbol kekuatan adikodrati, maka lama kelamaan disusunlah ajaran, yang kemudian diwariskan turun temurun untuk dijadikan pedoman pelaksanaan ritus penyembahan. Inilah budaya-agama-suku.
Bentuk budaya yang lahir dari hubungan mistikal manusia dan alam. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan, bahwa
agama-budaya juga merupakan sistem kepercayaan
terstruktur dalam ajaran-ajarannya sebagai nilai-nilai yang membentuk institusi
(lembaga organisasi).
Penalaran singkat di atas
mendorong kita untuk memikirkan ulang Agama – Agama Langit yang diajarkan di
atas bumi oleh penganut Yahisme Musa (Yahudi – Yudais), Kristen dan Islam. Mengapa
‘harus’ mengadakan reinterpretasi
atas keyakinan Agama-Agama Langit ? Oleh karena banyk simbol-simbol dan mitos-mitos
budaya-agama-suku yang dipakainya.
Upaya ini perlu diadakan terus menerus, supaya kita menemukan ‘inti keyakinan’ yang diajarkan.
B. MITOS DALAM KEJADIAN VI – IX
1. NARASI ASLI BANJIR BANDANG.
Kitab Suci Agama-Agama Langit menceritakan,
bahwa Allah mendatangkan banjir bandang
atau air bah ke atas bumi pada masa
Nuh (Islam : Nabi Nuh). Cerita ini diakui sebagai pengilhaman Allah.
Padahal jika melacak kembali asal-usulnya, maka kita akan menemukan cerita Air Bah (Kej. VII) terdapat dalam naskah
Epik Gilgamesh (Tablet XI) Penulisan
epic itu berdekatan waktu pemerintahan Kaisar
Hammurabi. Namun menurut informasi, epic Gilgamesh tentang banjir bandang
itu berumber dari mitos Antrasis. [1]
Akan tetapi para arkheolog berbeda pendapat mengenai keaslian epic Gilgamesh
tentang banjir banda tersebut. Mereka merujuk pada naskah-naskah kuno dari
mitos bangsa Summerian terkait mitos penciptaan kosmos dan air bah.[2]
2. TRANSFORMASI NILAI
Mengapa penganut Agama-Agama Langit percaya, bahwa narasi banjir
bandang itu diilhamkan Allah, padahal ia bersumber dari mitos bangsa Mesir dan
Sumerian ? Apakah alasan kuat untuk mengklaim cerita itu sebagai pewahyuan
ilahi ?
Narasi Banjir Bandang bukanlah
asli milik sastera Israel. Ia sudah ada sebelum Kitab Kejadian ditulis. Ia bukanlah firman yang diilhamkan Allah.
Meskipun sudah selayaknya kita menerima hasil temuan arkeologi; akan tetapi
kita tidak boleh berhenti di sini. Kita mesti mencaritahu : Apakah alasan yang melatarbelakangi tujuan
penyalinan narasi epic Gilgamesh ke dalam Tanach (Kitab Suci Agama Israel) ? So pasti, kita akan menyimak Kejadian 6
terlebih dahulu, karena di sanalah penulis meletakan alasannya : “Ketika
dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata,
maka menyesallah TUHAN,
bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya” (ay. 5-6). Dari kutipan itu kita menemukan alasan penulisan :
a. Kejahatan manusia semakin dahsyat.
Perbuatan Adam-Eva melanggar perintah Allah (Kej. 2:16) dengan menyantap buah
pohon di tengah taman (Kej. 3) tidak berhenti di sana. Manusia tidak bertobat.
Tidak takut TUHAN. Malahan
sebaliknya, tindakan criminal berlangsung (Kej. 4:1-16), perkawinan campur
semakin bertumbuh subur (Kej. 6:1-2).
b. Hati sebagai sumber kejahatan.
Perbuatan jahat itu lahir dari kecenderungan hati manusia : keinginan,
hawa nafsu, dendam, libido seksual, dan sebagainya.
c. Apakah Allah menyesal ? Penulis Kejadian membandingkan hati manusia dan hati Allah, tulisnya : “Hal itu memilukan hati-Nya maka
menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi.” Allah merasa kesal melihat
tingkah laku manusia yang menentang kehendakNya dengan melanggar petunjuk hidup
yang Ia berikan. Sesungguhnya, Dia memiliki rencana yang indah, tetapi manusia
mengikuti ‘kecenderungan hatinya’[3]. Manusia mengikuti keinginan
untuk memperoleh kepuasan sesaat, tetapi menghancurkan masa depannya. Akhirnya
Allah mengambil keputusan untuk menghukum manusia (Kej. 6:7).
Transliteralisasi dan
transformasi nilai.
Selanjutnya kita bisa mengerti alasan penulis mengambil alih epik Gilgamesh – Antrahasis dihubungkan
pada penghakiman Allah. Epik yang menceritakan Air Bah itu di-baptis-kan kemudian dimaknai pemahaman
iman umat tentang kemaha-kuasaan Allah Israel. Dia memakai bencana alam untuk
menjalankan rencana-Nya : “Aku telah memutuskan
untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan
oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi. Sebab
sesungguhnya Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala yang ada di
bumi akan mati binasa.” (Kej. 6:13,17).
3. PENGHAKIMAN ALLAH DAN ALASAN HUKUM
Mengapa Allah melakukan
penghukuman ? Menurut
penulis Kejadian mengajukan alasan kuat dari keputusan Allah, karena “bumi telah penuh
dengan kekerasan oleh mereka”[4] “Mereka”,
manusia, melakukan tindakan kekerasan yang bertentangan kehendak Allah.
Seseorang atau sekelompok orang
dikatakan bersalah, jika nyata-nyata melakukan perbuatan melanggar hukum. Nah,
… jika kita membaca cerita penulis Kejadian tentang pernyataan Allah tentang
penghukuman manusia di zaman Nuh, maka muncul pertanyaan : Apakah alasan hukum yang dipakai
Allah untuk menyatakan seseorang bersalah, padahal pada masa Nuh belum ada
Hukum Taurat ? Pertanyaan ini merupakan
stimulus bagi siapapun yang ingin mempelajari kesaksian Alkitab mengenai
anugerah yang menyelamatkan (save only by
grace).
Meskipun pada masa itu TUHAN Allah belum memberikan Hukum
Taurat; akan tetapi sudah ada ‘rambu-rambu’
budaya yang mengatur kehidupan etis-moral. Norma
kesusilaan (aturan lisan atau adat-istiadat) telah disusun untuk menata-tertibkan
kehidupan bersama. Codex (Hukum Tertulis)
Hammurabi bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Mesopotamia dan Mesir
pada waktu itu. Codex itu mengatur pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ada nilai positif di
dalamnya. Ada gagasan-gagasan tentang kesejahteraan
ekonomi, ketertiban hukum yang mengatur kontrak sosial, hak azasi manusia,
keamanan dan kenyamanan bersama, dan lain-lain. Walaupun pada waktu itu
mereka belum mengenal TUHAN, Allah Israel (katakanlah juga : Hukum Taurat, apalagi Yesus
Kristus); akan tetapi codex itu telah
menjadi Hukum Taurat yang dituliskan Allah di dalam hati dan akalbudi.[5] Allah memakai Codex Hammurabi maupun
norma-norma lisan menjadi petunjuk
pelaksanaan hidup bersama, agar hak-hak azasi setiap warga masyarakat
terjamin penuh. Dan, oleh karena itu, Allah
dapat menggunakannya untuk menjatuhkan penghukuman pada masa Nuh.
Misinterpretasi Manusia yang
menyebabkan dosa.
Jika menyimak Kejadian 1 – 6,
maka kita akan menemukan catatan-catatan yang memperlihatkan kesalahpahaman
yang disebabkan pentafsiran manusia akan perintah Allah, seperti :
a. Seksualitas dan Perkawinan.
Kejadian 6 : 1 – 4 “anak-anak Allah menikahi anak-anak manusia.” Muncullah
pertanyaan : siapakah yang dimaksudkan “anak-anak
Allah” dan siapa pula “anak-anak
manusia,” sehingga perkawinannya dipermasalahkan oleh Allah ? Apakah hubungan “orang-orang raksasa” dengan “anak-anak
perempuan manusia” ? Sekali lagi, narasi ini bukan berasal dari cerita
rakyat Israel,melainkan ditemukan pada legenda bangsa-bangsa sekitarnya, sama
seperti cerita Air Bah. Di dalam epic Gilgamesh – Antrahasih ditemukan cerita
tentang Gilgamesh, Raja Uruk. Banyak
simbol terkait sejarah manusia di dalamnya.[6]
Jika kita menyimak Kejadian
secara teliti, maka kita menemukan 2 (dua) pernyataan yang saling berhubungan
serta menyoroti perkawinan. Pernyataan pertama berbunyi : “Allah memberkati mereka, lalu Allah
berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut
dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”
(Kej. 1:28); dan kedua : “Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging” (Kej. 2 : 24). Dari kedua pernyataan tersebut kita dapat
menarik kesimpulan tersurat maupun tersirat :
* “Beranakcuculah
dan bertambah banyak; penuhilah bumi…” Suruhan ini bersifat
umum. Tidak ditegaskan bagaimana kaidah normatif bagi proses beranakcucu. Belum
terdapat konsep yang jelas tentang bentuk perkawinan sebagaimana sekarang ini. Suruhan itupun menunjuk pada fungsi prokreasi manusia
dan penggunaan sekse. Yang penting adalah memiliki keturunan (anak atau
anak-anak).
Namun disadari bahwa suruhan itu secara
tersirat tidak menyetujui seksualitas
antar sesama jenis. Makna ini tersirat menurut kata perintah : “beranakcuculah.” Hal itu menyiratkan
larangan terhadap hubungan homoseksual atau lesbianitas.
* “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Hukum Hamurabi tentang Perkawinan. Codex
(hukum) yang dituliskan pada masa pemerintahan Hamurabi, Raja Uruk (Iraq
sekarang), jauh lebih tua usianya dari Hukum Musa. Di dalamnya termuat Hukum Perkawinan (Codex 127 – 153[7]). Tujuannya menata tertibkan
hubungan suami-isteri dan keluarga. Melalui codex tersebut kita akan melihat,
bagaimana Raja Hammurabi menata masyarakatnya. Salah satu aspek kehidupan yang ditata
tertibkan adalah seksualitas. Jika kebutuhan dan hubungan seksual tidak
ditata baik, maka akan membahayakan kehidupan bersama. Codex Hamurabi
dituliskan, agar warga / rakyatnya memahami, bahwa penataan sosial wajib dinomorsatukan
dari pada kepentingan / kebutuhan akan
hak individu. Oleh karena itu, setiap individu selaku warga wajib mengorbankan
hak-haknya di atas altar masyarakat sesuai aturan yang berlaku.
Katakanlah contoh yang diambil dari Codex
tentang Perkawinan dan Perceraian dengan segala konsekwensinya; misalnya, seorang
isteri bisa mau dan atau tidak mau mengorbankan apa saja demi
anak-anak; akan tetapi ia harus setia melayani suaminya. Ia tidak boleh
bersetubuh dengan puteranya, dan juga suami tidak boleh bersebadan dengan
putrinya. Sang suami terikat pada isterinya, sebaliknya demikian.
Butir a dan b di atas telah ditata dalam
Codex Hammurabi. Bagaimanakah dengan Hukum Musa yang ditulis kemudian (sekitar
Abad X – IX sb M) ?
b. Hubungan antara Kejadian 1:28 dan 2:24.
Kedua ayat ditulis berlatar-belakangkan
budaya Israel yang tersusun menurut Hukum Musa. Jika menyimak suruhan Allah
tentang “beranakcuculah” dan “seorang laki-laki … bersatu dengan isterinya,”
maka kita akan menemukan azas legalitas dari persetubuhan
yang diakui masyarakat Israel, dan bahwa perihal ‘beranakcucu’ wajib dilakukan
dalam ikatan perkawinan.
Hukum Kekudusan. Pada sisi lain, TUHAN, Allah Israel, melarang
persetubuhan antar manusia dan binatang (bd. Hukum Kekudusan – Im.
20:15,16), antar sesama jenis kelamin (Im. 20:13). Hanya saja ditambahkan
kalimat : “Janganlah kamu hidup menurut kebiasaan bangsa yang akan Kuhalau dari
depanmu, …” (Im. 20:23; bd. 18:24-30). Melalui pernyataan tersebut
penulis menegasikan budaya-agama-suku di sekitarnya, seakan tidak pernah ada
hukum kesusilaan yang lebih memiliki nilai-nilai kemanusiaan selain Hukum Musa.
Dan pandangan seperti ini kurang cocok. Akan tetapi kita perlu menyorotinya dari
sudut pandang pendidikan etis-moral (budi
pekerti), bahwa Allah mengehendaki suatu umat yang kepribadian --- karakter --- yang baik untuk dicontohi
bangsa-bangsa sekitarnya.
Kekuasaan dan kekerasan. Allah berfirman : “…berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi" (Kej. 1:28b). Pemberian “kuasa” ini berhubungan
erat pada suruhanNya : “Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam
taman Eden untuk mengusahakan dan
memelihara taman itu” (Kej. 2:15).
Makna Kata Kerja. Terjemahan ayat tersebut
menurut HEB (Hebrew-English Bible) berbunyi : “And the LORD God took the man, and put him into the garden of Eden to tend it and to keep it.”
‘To tend’ (Ibr.
‘abad’;
KJV ‘to dress’) diterjemahkan ‘mengerjakan’ atau ‘melayani’, sehingga kita dapat merumuskan
manusia disuruh Allah untuk “menggarap” (Ing. to cultivate) taman Eden. Dengan demikian terkandung makna
dari terjemahan KJV --- to dress -- ‘mendandani’ taman itu supaya semakin
cantik.
‘To keep’
(Ibr. shamar) artinya ‘melakukan perawatan atau pemeliharaan.’
Jika kita menghubungkan
penjelasan ini pada konteks Kejadian 1:28, makan akan muncul pemahaman, bahwa
Allah menginginkan Adam (manusia) mengurus, mengawasi dan memelihara bumi (yang
dilambangkan Taman Eden). Manusia (Adam) bertanggungjawab untuk mengurusi
pemeliharaan alam. Ia mengolahnya bagi kebutuhan hidup, tetapi juga menjalankan
perbaikan atas fungsi alam.
Allah meciptakan dan memberikan lingkungan
alam sebagai wilayah (Lat. dominion) tempat tinggal ciptanNya. Ia
juga mendelegasikan wewenang (otoritas, kuasa) dan tanggung jawab kepada
manusia untuk “mengusahakan dan memelihara,”
maka penatalolaan dan pengelolaan bumi;
akan tetapi manusia harus menyadari, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu.
Oleh karna itu, ia bertanggungjawab atas seluruh pekerjaannya. Ia tidak boleh
melakukan kekerasan atau berbuat sewenang-wenang atas alam sebagai sesama ciptaan.
Pemberian mandat bukan berarti
manusia dapat melakukan segala sesuatu menurut kecenderungan hatinya. Allah
tidak menghendaki tindakan kekerasan terhadap sesama ciptaan, termasuk bumi.
Pikirkanlah, bagaimana mungkin Dia, melimpahkan kuasa kepada manusia untuk
menghancurkan bumi ciptaanNya ? Itu bukan keinginanNya; sebab itu, sudah
selayaknya manusia mempertimbangkan masalah lingkungan hidup (ekosistem). So
pasti, hal ini tersirat dalam perintah Allah, ketika Ia memberikan wewenang
kepada manusia.
c. Hubungan dengan Nuh.
Setelah masa penghukuman
berakhir, Allah memulihkan keadaan manusia (Nuh dan keluarganya serta semua
ciptaan). Ia mengadakan perjanjian kasih karunia dan berpesan kepada Nuh : "Beranakcuculah dan
bertambah banyaklah serta penuhilah bumi. Akan takut dan akan gentar kepadamu segala
binatang di bumi dan segala burung di udara, segala yang bergerak di muka bumi
dan segala ikan di laut; ke dalam tanganmulah semuanya itu diserahkan”
(Kej. 9:1-2). Sekali lagi Allah memberikan kesempatan kedua kepada manusia
(Nuh) sesudah air bah, supaya ia menjalankan tanggung-jawab menatalayani alam.
C. BUDAYA DAN PEMBERITAAN GEREJA DI TENGAH
BANGSA.
Terlepas dari pemahaman iman tentang apakah
penggunaan mitos dalam Epik Golgamesh –
Antrahasis benar ataukah tidak benar dalam penulisan Alkitab, yang pasti ha
itu ada. Tak dapat disangkal. Akan
tetapi saya tidak bermaksud membahas penilaian semacam itu. Artikel ini
bertujuan menjawab persoalan : apakah budaya (karya seni) manusia boleh ataukah
tidak boleh digunakan dalam pemberitaan firman Allah. Dan, saya menyetujuinya,
asalkan setiap pemberita membersihkan dan memberikan makna injili ke dalam
pewartaannya supaya tidak muncul sikap sinkritis.
Pendapat ini saya kemukakan bertolak
dari ucapan nabi dan karya penulis APL maupun APB. Mereka menggunakan mitos
yang beredar dalam masyarakat untuk mewartakan Injil Kristus. Katakanlah apa
yang dilakukan Paulus ketika berpidato di Yunani (Kis. 17:16-34). Ia berkata : “Hai orang-orang
Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada
dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan
melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan
tulisan : Kepada Allah yang tidak dikenal.
Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang
kuberitakan kepada kamu” (ay22-23).
Melalui pidato itu kita mengetahui, bahwa rasul Paulus tidak mengesampingkan
karya seni dan pengetahuan masyarakat berbudaya. Justeru sebaliknya Paulus
memanfaatkan kebudayaan sebagai wacana pemberitaan. Paulus tahu persis, bahwa
orang-orang Yunani yang tinggal di Kota Athena sangat berpendidikan. Mereka
memiliki mitos tentang dewa-dewi, sama seperti masyarakat Sumer-Akadian yang
mempunyai Epik Gilgamesh – Antrahasih. Masyarakat Athena juga menyusun sistem
kehidupan bersama berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam mitosnya. Oleh
karena itu, ia menyapa orang Athena dengan menggunakan tradisi mereka.
TUHAN tidak marah dan tidak
tersinggung, jika
Gereja menggunakan cerita rakyat untuk menyampaikan firmanNya, sejauh
pemberitaan itu tidak mengajak pendengar untuk kembali kepada keyakinan semula.
Bukankah kita bersepakat mengatakan, kerangka budaya (mitos) dapat dapat dipakai
sebagai wacana pemberitaan, asalkan kita memasukkan makna injili ke dalamnya ?
Memakai kerangka budaya dan mengisi makna baru, sesungguhnya, merupakan upaya
reinterpretasi - reformulasi dan transformasi.
Reinterpretasi dan Reformulasi artinya : kita melakukan upaya reinterpretasi dan reformulasi atas format tradisi budaya suku untuk
menjembatani pemahaman masyarakat tradisional, supaya mereka mudah menyerap
pemberitaan firman.
Transformasi artinya
: kita mengisi nilai-nilai injili ke
dalam format lama (mitos tradisional)
yang dikenal masyarakat, sehingga proses
penyadaran berlangsung tanpa penolakan.
Dengan demikian, tanpa disadari
maupun disadari pendengar tidak merasa terusik oleh pemberitaan Injil. Malahan
sebaliknya, mereka dengan sukacita menerima Injil Kritus dengan senang hati,
tanpa paksaan.
MEDAN – SUMATERA UTARA
HARI SELASA, 17 JULI 2012
PUTERA SANG FAJAR.
--> BERAMBUNG
[3] Alur pemahaman teologi ini dikembangkan
kemudian hari dalam tradisi kenabian terkait hati dan pengenalan akan Allah.
[4] Topik ini akan semakin berkembang
dalam sejarah Israel di masa Kerajaan terkait kasus pengasingan ke Babilonia.
[5] Pelajarilah
gagasan teologi Paulus dalam Surat Roma 2, khususnya ayat 14-15 : “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak
memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut
hukum Taurat, maka, walaupun mereka
tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka
sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati
mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling
menuduh atau saling membela.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar