THE MISSING INTERPRETATION
OF GOD’S PLAN
Apakah benar
umat Israel salah menafsirkan visi Allah
untuk menyelamatkan
bumi dari kehancuran serta membebaskan
umat manusia
dari penderitaan ?
Tulisan ini
ditujukan kepada anakku yang kekasih
BENNI’Y AMOR SALUTAVI ECCLESIA
dia yang
akan melanjutkan perjalanan dari panggilan dan
pilihan
Allah ke atas keluarga kami turun temurun
Ditulis di
MEDAN –
SUMATERA UTARA
HARI KAMIS,
08 MARET 2012
oleh
PUTERA SANG
FAJAR
Arie A. R. Ihalauw
PENDAHULUAN
ALKITAB, menurut keyakinan iman saya, merupakan
sebuah buku cerita tentang pengalaman orang-orang beriman dalam perjalanan
bersama Allah, sambil membangun dan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di
alam semesta. Kisah perjumpaan itu diceritakan dalam berbagai bentuk sastera
sesuai kemampuan intelektual penulis pada masa kerjanya. Peristiwa perjumpaan
yang dituliskan dalam konteks sosial dan waktu yang berbeda perlu ditafsirkan secara
akurat (bd. II Pet. 1:20-21), agar kita menemukan manakah Firman Allah, an sich dan apa saja unsur budaya yang membungkusnya.
Dengan kata lain, sebaiknya orang percaya mempelajari Alkitab secara benar dan
oleh pimpinan Rohkristus, maka ia menemukan ‘inti berita’ tentang
ucapan Allah. Kemudian ‘inti berita’ itu diberitakan terus
menerus kepada manusia dalam konteksnya.
Terinspirasi oleh masalah sosial
budaya dan ekologi, saya membayangkan bagaimana tugas pemberitaan Injil yang
dilaksanakan oleh Gereja dalam dunia ciptaan Allah. Melalui
pertanyaan-pertanyaan kristis terhadap sejarah Israel dalam APL, saya
membandingkan dengan tugas orang Kristen
dan Gereja dewasa ini :
1.
Mengapa catatan sejarah umat Israel APL
selalu diwarnai penghukuman Allah ?
Mencari latarbelakang
kekisruhan pemahaman umat Israel dalam APL tentang tugas panggilan umat yang disuruh Allah. Hal itu nyata dalam ucapan
ilahi kepada Abraham : “Olehmu semua kaum di muka bumi akan
mendapat berkat” (Kej. 12:3b) dan kesaksian Nabi Yesaya : “Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud
penyelamatan, telah
memegang tanganmu; Aku membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang bagi bangsa-bangsa” (Yes. 42:6). Acapkali Israel
gagal menjalankan pesan Allah ?
2. Apakah
pesan Yesus Kristus kepada orang Kristen dan Gereja ?
APB mencatat
bukan hanya satu pesan saja, seperti yang dikatakan “amanat agung” (Mat.
28:19-20); akan tetapi ada pula catatan-catatan pesanNya yang terdapat di dalam
kitab dan surat-surat lainnya dalam APB. Saya cenderung menggunakan catatan
Markus yang berbunyi : “Yesus berkata kepada mereka: "Pergilah ke seluruh dunia,
beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (16:15).
Pesan yang dituliskan Markus jauh lebih menjawab masalah relasi horizontal : antar
manusia dalam masyarakat dan antara manusia dengan ciptaan Allah lainnya.
Apakah alasan saya ?
Istilah yang
dipakai oleh Matius dan Markus menunjukkan perbedaan prinsipal yang menonjol.
Markus menggunakan kata “dunia” (Yun. kosmos, kosmon),
sedangkan Matius : “bumi” (Yun. ges, geo). Dunia bersifat universal
(makro), sedangkan bumi, particular (mikro). Bumi adalah salah satu makluk
ciptaan Allah dalam sistem tatasurya. Dunia (kosmos) mencakup makna kata “langit dan bumi” (Ibr. we-ha’aretz hasyamaim). Mula-mula Allah
mengaruniakan Injil keselamatan (kabar baik tentang penyelamatan) kepada
manusia melalui Yesus Kristus. Oleh iman kepada Allah di dalam nama Yesus
Kristus, eksistensi manusia dibaharui dan dipulihkan. Menurut penulis Injil
Markus, manusia disuruh Allah ‘memberitakan kabar baik,’ sekaligus menjadi
‘juruselamat’
bagi segala
makhluk (Yun. pase te krisei; Ing. the
whole creation) ciptaan lainnya.
Jika kita
memadukan suruhan Allah kepada Israel dalam APL dan pesan Yesus Kristus kepada
orang Kristen dan Gereja menurut kesaksian Injil Markus, maka kita akan
menemukan keindahan dalam tugas itu : Manusia Baru diciptakan Allah melalui karya
Yesus Kristus untuk memberitakan kabar baik (Injil) dan sekaligus menjadi ‘juruselamat’
bagi seluruh makhluk ciptaanNya di dalam dunia. Dengan demikian, seluruh alam semesta mendapatkan berkat yang
dijanjikan Allah kepada Abraham. Jika orang Kristen dan Gereja kurang
memperhatikan dan mengerjakan pesan ini, maka kehancuran ciptaan Allah
dibebankan ke atas pundaknya. Bukan ancaman, tetapi peringatan untuk berkarya
di dalam dunia.
Berlatarbelakangkan
uraian di atas, maka saya menuliskan artikel bersambung yang diberi judul : THE MISSING INTERPRETATION OF GOD’S PLAN (Kesalahan Penafsiran Atas
Rencana Allah). Mengapa menggunakan judul itu ?
Artikel ini
bertujuan melakukan introspeksi diri bagi orang Kristen dan Gereja, agar tidak
melakukan hal sama seperti yang telah dilakukan oleh Israel dalam APL. Mengutip
I Korintus 10, di mana Paulus mengingatkan Jemaat Kristen di Korintus tentang
bagaimana cara hidup umat Israel sebagai anak-anak Allah, Gereja dan orang
Kristen masa kinipun diperingatkan, agar menggunakan kesempatan ini untuk mengerjakan keselamatan Allah (bd. Plp.
2:12-13). Bukankah pesan itu yang disampaikan oleh Yesaya kepada umat Israel
(42:6), sama seperti yang dipesankan Yesus (Mat. 16:15-16) ? Lantas, bagaimanakah jika pesan itu tidak
dilaksanakan atau salah diinterpretasikan ? Para teolog Gereja dan Teolog
akademisi-lah yang perlu dikoreksi, sebab merekalah penterjemah dari firman
Allah yang dituliskan dalam Alkitab.
I
SEJARAH PERADABAN MANUSIA
MENURUT KESAKSIAN KITAB SUCI KRISTEN
A.
PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DAN TUGAS MANUSIA
Jauh sebelum Alkitab ditulis
sudah ada narasi lisan di kalangan suku-suku bangsa (Mesir, Mesopotamia, Timur
Tengah Kuno, dll) tentang mitologi penciptaan alam semesta serta seluruh
makhluk ciptaan. Narasi lisan itu lahir dari perjumpaan manusia dengan alam dan
ciptaan lainnya. Mitologi penciptaan
1. Keaslian Narasi Penciptaan. Narasi penciptaan merupakan sebuah
karya manusia yang lahir karena pengalaman perjumpaan manusia dengan alam dan
makhluk ciptaan lainnya. Cerita itu dapat ditemukan pada seluruh karya sastera
suku-suku bangsa (Mesopotamia, Mesir, Timur Tengah Kuno, India, Tiongkok,
Jepang, dll). So pasti, cerita penciptaan telah ada jauh sebelum Abraham
menerima panggilan Allah (Kej. 12:1-3).
2. Tujuan Penulisan Umum Penulisan Narasi Penciptaan. Kita tidak
mungkin menyimpulkan, bahwa narasi penciptaan (Kej. 1:1 – 2:7) sungguh-sungguh berasal
dari budaya Israel, sebab cerita itu tersebar dalam semua suku yang berbudaya
dalam beragam versi. Tidak mengherankan, jika para penulis Alkitab Perjanjian
Lama (APL) mengutipnya. Para penulis APL menafsirkan mitos tersebut menurut ‘ideologi’
Israel terkait kepercayaan tentang TUHAN, Allahnya. So pasti, penggunaan
narasi itu bertujuan pengajaran (Ul. 6:6-9) : untuk membangun dan mewariskan nilai-nilai kepercayaan kepada tiap
generasi tentang keperkasaan TUHAN,
Allahnya, yang melebihi dewa-dewi bangsa-bangsa sekitarnya.
3. Tujuan Khusus Penulisan Narasi Penciptaan. Narasi penciptaan
yang dipakai oleh para penulis APL mengungkpkan cukup banyak tujuan khusus baik
yang tersurat maupun tersirat.
a. Pengenalan tentang Penciptaan Langit-Bumi.
Menyatakan kemahakuasaan TUHAN, Allah Israel, kepada bangsa-bangsa sekitarnya. Dialah yang
menciptakan langit-bumi dengan segala isinya. Tidak ada dewa-dewi yang dapat disandingkan
dan dibandingkan dengan Dia.
b. Pengenalan Sejarah Penciptaan Bangsa Israel.
Sama seperti Allah Israel menjadikan alam semesta, setelah menatatertibkan
kekacauan oleh kekuatan kuasa Roh dan Firman (Kej. 1:1-3); demikianlah Dia
menciptakan Bangsa Israel. Exodus
Mesir selalu dirayakan Israel sebagai peristiwa kemenangan Allah atas dewa-dewi
Mesir, sekaligus pembentukan Israel selaku umat pilihanNya. Karya penyelamatan atau
pembebasan dirayakan melalui Paskah oleh setiap keturunan.
c. Pengenalan tentang Waktu dan Sejarah. Menurut para penulis APL,
sejarah bukan hanya catatan-catatan kronologis tentang peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian yang terhubung pada pelaku sejarah bangsa. Sejaran tidak
dimulai sejak terbentuknya Israel sebagai bangsa merdeka secara politis. Sejarah tercipta oleh tindakan TUHAN, Allah Israel, dalam ruang
tempat dan ruang waktu.
Pada waktu Allah bekerja menyelamatkan langit-bumi yang diselimuti kekacauan
abadi, maka pada saat itulah tercipta sejarah baru : sejarah keselamatan. Israel dan bangsa-bangsa dijadikan partisipan
aktif di dalam sejarah yang diciptakan oleh Allah.
d. Kemahaesaan Allah. Melalui narasi penciptaan para
penulis APL menegaskan keunggulan Allah
Israel atas dewa-dewi bangsa asing. Maksudnya, keunggulan itu bukan berarti
Israel menganut panteisme, di mana TUHAN dihayati sebagai kekuatan
adikodrati yang unggul di samping dewa-dewi lokal; akan tetapi orang Israel meniadakan
kekuatan dewa-dewi, dengan menyatakan : “YHWH Eloheynu ehad” (TUHAN
itu Allah kita, TUHAN
itu Esa – Ul. 4:6),
artinya : “Eniy YHWH we-eyn od” (Tidak ada Allah di samping Aku – Yes. 45 : 6). Hal itu dinyatakan
dalam simbol bahasa : Allah – Firman – Roh (Kej. 1:3 yang juga dipakai dalam
kasus KGO Pertama Jamak “Kita” – Kej.
1:26).
MISS INTERPRETASI
ISRAEL.
Interaksi sosial budaya antar Israel –
Kanaan setelah pendudukan Kanaan menimbulkan akulturasi iman dan budaya. Israel
tidak membedakan inti ajaran Yahwisme Musaik dengan mitos-mitos tentang para
dewa yang disembah suku-suku Kanaan. Mereka mudah dipengaruhi. Dipikirnya TUHAN, Allah yang disembah leluhurnya,
sama dengan Baal. Mereka telah salah menafsirkan klausul pertama dalam Hukum
Musa (Kel. 20:4 – Jangan ada allah lain
di hadapan hadiratKu). Israel menduakan TUHAN. Sikap sinkritis ini dikecam
oleh para nabi. Acapkali orang Israel berpandangan panteisme juga, seakan di
samping Allah masih ada kekuatan ilahi lainnya (bd. Ayb. 1:6). Sikap iman
seperti ini dikecam oleh Yesaya (Yes. 45:18c – “Eniy YHWH
we-eyn od” -> Tidak ada Allah di samping Aku).
e. Penciptaan sebagai Simbol Keselamatan. Bahagian pendahuluan dari cerita
penciptaan (Kej. 1:1-3) sarat makna. Langit-bumi yang belum berbentuk, kosong
dan masih diselimuti gelap gulita menunjukkan, bahwa keadaannya dikuasai oleh
kekacauan (simbol Iblis, kuasa kegelapan). Allah bekerja menyelamatkan
langit-bumi oleh Roh (Kej. 1:2 – “we-ruach Elohim merachepet” -> “Roh Allah melayang-layang”) dan FirmanNya (Kej. 1:3 – “wayomer Elohim yehi … wayehi -> “Allah
berfirman : ‘Jadilah… dan terjadilah…”). Tepat pada saat Roh dan Firman
itu bekerja, maka pada detik itulah alam semesta dibebaskan dari pengaruh kuasa
kegelapan. Sejarah keselamatan tercipta dan dimulai di sana. Inilah pemahaman iman
Israel.
B. ALLAH MEMANGGIL MANUSIA MENJADI CO-WORKER
(Kej. 1:26-28; 2:15).
Kapankah Allah memanggil manusia menjadi
co-worker (teman sekerja), padahal manusia belum diciptakan ? Para penulis APL mengajak umat Israel
memahami, bahwa penciptaan manusia (Kej. 1:25-28; Maz. 8) sebagai wacana untuk
mengerti akan panggilan dan pilihan Allah (bd. Yer. 1:4-5). Dalam penciptaan
manusia Allah mewujudkan visi tentang
masa depan ciptaanNya : keselamatan. Oleh karena itu, Dia mendelegasikan kuasa,
kekuatan reproduksi (melahirkan) serta tugas pemberdayaan potensi ciptaan
lainnya. Ia ingin agar alam semesta “menjadi”
rumah tinggal bersama (Yun. oikumenos) yang bersifat abadi bagi seluruh ciptaan (disimbolkan Taman Eden
atau Firdauz). Pendelegasian kuasa bukan bertujuan, supaya manusia “menjadi Allah” atas alam, melainkan diharapkan manusia menjadikan alam sebagai sahabat
seperjalanan ke masa depan. Itulah yang dimaksudkan penulis Kejadian : “TUHAN
Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman
itu.” (Kej.
2:15).
Dari cerita penciptaan manusia dan
pendelegasian wewenang oleh Allah kepadanya, kita dapat mengerti 3 (tiga)
komponen pembangunan masa depan ciptaan, yakni : Allah – manusia – alam dan makhluk ciptaan lain. Inilah catatan
yang diberikan oleh penulis Kejadian (Kej. 2:15). Sama seperti Allah menjadikan
manusia sebagai teman sekerja, demikianlah manusiapun membangun persabatan
dengan alam dan makhluk ciptaan lainnya. Ketiganya bekerja bersama membangun
Kerajaan Allah di bumi (simbol Taman Eden atau Firdauz).
II
PEMBERIRAAN INJIL DAN KARYA BUDAYA MASYARAKAT
“Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
KEJADIAN 1 : 27 - 28
A. PENDAHULUAN
Budaya adalah hasil karya yang tercipta dari instink, perasaan, imaginasi, budi (pikiran) manusia secara individual maupun kolektif. Ia merupakan reaksi terhadap berbagai persoalan karena perjumpaan dengan lingkungan hidup (masyarakat dan alam). Manusia bertarung melawan kekuatan adikodrati yang tampil dalam beragam bentuk kekuatan alami. Perjumpaan ini mendesak manusia untuk mengadakan peralatan, agar ia mampu bertahan hidup. Di sinilah saya memahami agama sebagai salah satu hasil karya budaya manusia (peralatanataupun perlengkapan) masyarakat. Katakanlah contoh, mitos tentang matahari. Mitos tentang matahari selaku dewa tersebar pada semua budaya-agama-suku, seperti kepercayaan ritual budaya-agama-suku tentang Shamash – dewa bangsa Sumerian, Re di Mesir, Lugh dalam budaya suku-suku Celtik di Eropah, Totaniuhpada suku Aztec di Mexico, Apollo dalam budaya Yunani-Roma, Dewa Amaterasudi Jepang, Surya di India, Maui pada suku-suku Polinesia, dll.
Ritus Penyembahan Matahari. Manusia membutuhkan terang bagi kehidupannya di bumi. Terang dapat dinikmati melalui pemunculan matahari. Benda ini diyakini memiliki kekuatan menghidupkan dan mematikan. Oleh karena kepercayaan ini mendorong manusia menciptakan ritual penyembahanmatahari sebagai simbol kekuatan adikodrati, maka lama kelamaan disusunlahajaran, yang kemudian diwariskan turun temurun untuk dijadikan pedoman pelaksanaan ritus penyembahan. Inilah budaya-agama-suku. Bentuk budaya yang lahir dari hubungan mistikal manusia dan alam. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan, bahwa agama-budaya juga merupakan sistem kepercayaan terstruktur dalam ajaran-ajarannya sebagai nilai-nilai yang membentuk institusi (lembaga organisasi).
Penalaran singkat di atas mendorong kita untuk memikirkan ulang Agama – Agama Langit yang diajarkan di atas bumi oleh penganut Yahisme Musa (Yahudi – Yudais), Kristen dan Islam. Mengapa ‘harus’ mengadakan reinterpretasi atas keyakinan Agama-Agama Langit ? Oleh karena banyk simbol-simbol dan mitos-mitos budaya-agama-suku yang dipakainya. Upaya ini perlu diadakan terus menerus, supaya kita menemukan ‘inti keyakinan’ yang diajarkan.
B. MITOS DALAM KEJADIAN VI – IX
1. NARASI ASLI BANJIR BANDANG.
Kitab Suci Agama-Agama Langit menceritakan, bahwa Allah mendatangkanbanjir bandang atau air bah ke atas bumi pada masa Nuh (Islam : Nabi Nuh). Cerita ini diakui sebagai pengilhaman Allah. Padahal jika melacak kembali asal-usulnya, maka kita akan menemukan cerita Air Bah (Kej. VII) terdapat dalam naskah Epik Gilgamesh (Tablet XI) Penulisan epic itu berdekatan waktu pemerintahan Kaisar Hammurabi. Namun menurut informasi, epic Gilgamesh tentang banjir bandang itu berumber dari mitos Antrasis. [1] Akan tetapi para arkheolog berbeda pendapat mengenai keaslian epic Gilgamesh tentang banjir banda tersebut. Mereka merujuk pada naskah-naskah kuno dari mitos bangsa Summerian terkait mitos penciptaan kosmos dan air bah.[2]
2. TRANSFORMASI NILAI
Mengapa penganut Agama-Agama Langit percaya, bahwa narasi banjir bandang itu diilhamkan Allah, padahal ia bersumber dari mitos bangsa Mesir dan Sumerian ? Apakah alasan kuat untuk mengklaim cerita itu sebagai pewahyuan ilahi ?
Narasi Banjir Bandang bukanlah asli milik sastera Israel. Ia sudah ada sebelum Kitab Kejadian ditulis. Ia bukanlah firman yang diilhamkan Allah. Meskipun sudah selayaknya kita menerima hasil temuan arkeologi; akan tetapi kita tidak boleh berhenti di sini. Kita mesti mencaritahu : Apakah alasan yang melatarbelakangi tujuan penyalinan narasi epic Gilgamesh ke dalam Tanach (Kitab Suci Agama Israel) ? So pasti, kita akan menyimak Kejadian 6 terlebih dahulu, karena di sanalah penulis meletakan alasannya : “Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwasegala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya” (ay. 5-6). Dari kutipan itu kita menemukan alasan penulisan :
a. Kejahatan manusia semakin dahsyat. Perbuatan Adam-Eva melanggar perintah Allah (Kej. 2:16) dengan menyantap buah pohon di tengah taman (Kej. 3) tidak berhenti di sana. Manusia tidak bertobat. Tidak takut TUHAN. Malahan sebaliknya, tindakan criminal berlangsung (Kej. 4:1-16), perkawinan campur semakin bertumbuh subur (Kej. 6:1-2).
b. Hati sebagai sumber kejahatan. Perbuatan jahat itu lahir dari kecenderungan hati manusia : keinginan, hawa nafsu, dendam, libido seksual, dan sebagainya.
c. Apakah Allah menyesal ? Penulis Kejadian membandingkan hati manusia dan hati Allah, tulisnya : “Hal itu memilukan hati-Nya maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi.” Allah merasa kesal melihat tingkah laku manusia yang menentang kehendakNya dengan melanggar petunjuk hidup yang Ia berikan. Sesungguhnya, Dia memiliki rencana yang indah, tetapi manusia mengikuti‘kecenderungan hatinya’[3]. Manusia mengikuti keinginan untuk memperoleh kepuasan sesaat, tetapi menghancurkan masa depannya. Akhirnya Allah mengambil keputusan untuk menghukum manusia (Kej. 6:7).
Transliteralisasi dan transformasi nilai. Selanjutnya kita bisa mengerti alasan penulis mengambil alih epik Gilgamesh – Antrahasisdihubungkan pada penghakiman Allah. Epik yang menceritakan Air Bah itu di-baptis-kan kemudian dimaknai pemahaman iman umat tentang kemaha-kuasaan Allah Israel. Dia memakai bencana alam untuk menjalankan rencana-Nya : “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi. Sebab sesungguhnya Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala yang ada di bumi akan mati binasa.” (Kej. 6:13,17).
3. PENGHAKIMAN ALLAH DAN ALASAN HUKUM
Mengapa Allah melakukan penghukuman ? Menurut penulis Kejadian mengajukan alasan kuat dari keputusan Allah, karena “bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka”[4] “Mereka”, manusia, melakukan tindakan kekerasan yang bertentangan kehendak Allah.
Seseorang atau sekelompok orang dikatakan bersalah, jika nyata-nyata melakukan perbuatan melanggar hukum. Nah, … jika kita membaca cerita penulis Kejadian tentang pernyataan Allah tentang penghukuman manusia di zaman Nuh, maka muncul pertanyaan : Apakah alasan hukum yang dipakai Allah untuk menyatakan seseorang bersalah, padahal pada masa Nuh belum ada Hukum Taurat ? Pertanyaan ini merupakan stimulus bagi siapapun yang ingin mempelajari kesaksian Alkitab mengenai anugerah yang menyelamatkan (save only by grace).
Meskipun pada masa itu TUHAN Allah belum memberikan Hukum Taurat; akan tetapi sudah ada ‘rambu-rambu’ budaya yang mengatur kehidupan etis-moral.Norma kesusilaan (aturan lisan atau adat-istiadat) telah disusun untuk menata-tertibkan kehidupan bersama. Codex (Hukum Tertulis) Hammurabibukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Mesopotamia dan Mesir pada waktu itu. Codex itu mengatur pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ada nilai positif di dalamnya. Ada gagasan-gagasan tentang kesejahteraan ekonomi, ketertiban hukum yang mengatur kontrak sosial, hak azasi manusia, keamanan dan kenyamanan bersama, dan lain-lain. Walaupun pada waktu itu mereka belum mengenal TUHAN, Allah Israel (katakanlah juga : Hukum Taurat, apalagi Yesus Kristus); akan tetapi codex itu telah menjadi Hukum Taurat yang dituliskan Allah di dalam hati dan akalbudi.[5] Allah memakai Codex Hammurabi maupun norma-norma lisan menjadi petunjuk pelaksanaan hidup bersama, agar hak-hak azasi setiap warga masyarakat terjamin penuh. Dan, oleh karena itu, Allah dapat menggunakannya untuk menjatuhkan penghukuman pada masa Nuh.
Misinterpretasi Manusia yang menyebabkan dosa.
Jika menyimak Kejadian 1 – 6, maka kita akan menemukan catatan-catatan yang memperlihatkan kesalahpahaman yang disebabkan pentafsiran manusia akan perintah Allah, seperti :
a. Seksualitas dan Perkawinan.
Kejadian 6 : 1 – 4 “anak-anak Allah menikahi anak-anak manusia.” Muncullah pertanyaan : siapakah yang dimaksudkan “anak-anak Allah”dan siapa pula “anak-anak manusia,” sehingga perkawinannya dipermasalahkan oleh Allah ? Apakah hubungan “orang-orang raksasa”dengan “anak-anak perempuan manusia” ? Sekali lagi, narasi ini bukan berasal dari cerita rakyat Israel,melainkan ditemukan pada legenda bangsa-bangsa sekitarnya, sama seperti cerita Air Bah. Di dalam epic Gilgamesh – Antrahasih ditemukan cerita tentang Gilgamesh, Raja Uruk. Banyak simbol terkait sejarah manusia di dalamnya.[6]
Jika kita menyimak Kejadian secara teliti, maka kita menemukan 2 (dua) pernyataan yang saling berhubungan serta menyoroti perkawinan. Pernyataan pertama berbunyi : “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1:28); dan kedua : “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2 : 24). Dari kedua pernyataan tersebut kita dapat menarik kesimpulan tersurat maupun tersirat :
* “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi…” Suruhan ini bersifat umum. Tidak ditegaskan bagaimana kaidah normatif bagi proses beranakcucu. Belum terdapat konsep yang jelas tentang bentuk perkawinan sebagaimana sekarang ini. Suruhan itupun menunjuk pada fungsi prokreasi manusia dan penggunaan sekse. Yang penting adalah memiliki keturunan (anak atau anak-anak).
Namun disadari bahwa suruhan itu secara tersirat tidak menyetujuiseksualitas antar sesama jenis. Makna ini tersirat menurut kata perintah : “beranakcuculah.” Hal itu menyiratkan larangan terhadap hubungan homoseksual atau lesbianitas.
* “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Hukum Hamurabi tentang Perkawinan. Codex (hukum) yang dituliskan pada masa pemerintahan Hamurabi, Raja Uruk (Iraq sekarang), jauh lebih tua usianya dari Hukum Musa. Di dalamnya termuat Hukum Perkawinan (Codex 127 – 153[7]). Tujuannya menata tertibkan hubungan suami-isteri dan keluarga. Melalui codex tersebut kita akan melihat, bagaimana Raja Hammurabi menata masyarakatnya. Salah satu aspek kehidupan yang ditata tertibkan adalah seksualitas. Jika kebutuhan dan hubungan seksual tidak ditata baik, maka akan membahayakan kehidupan bersama. Codex Hamurabi dituliskan, agar warga / rakyatnya memahami, bahwa penataan sosial wajib dinomorsatukan dari pada kepentingan / kebutuhan akan hak individu. Oleh karena itu, setiap individu selaku warga wajib mengorbankan hak-haknya di atas altar masyarakat sesuai aturan yang berlaku.
Katakanlah contoh yang diambil dari Codex tentang Perkawinan dan Perceraian dengan segala konsekwensinya; misalnya, seorang isteribisa mau dan atau tidak mau mengorbankan apa saja demi anak-anak; akan tetapi ia harus setia melayani suaminya. Ia tidak boleh bersetubuh dengan puteranya, dan juga suami tidak boleh bersebadan dengan putrinya. Sang suami terikat pada isterinya, sebaliknya demikian.
Butir a dan b di atas telah ditata dalam Codex Hammurabi. Bagaimanakah dengan Hukum Musa yang ditulis kemudian (sekitar Abad X – IX sb M) ?
b. Hubungan antara Kejadian 1:28 dan 2:24.
Kedua ayat ditulis berlatar-belakangkan budaya Israel yang tersusun menurut Hukum Musa. Jika menyimak suruhan Allah tentang“beranakcuculah” dan “seorang laki-laki … bersatu dengan isterinya,” maka kita akan menemukan azas legalitas dari persetubuhan yang diakui masyarakat Israel, dan bahwa perihal ‘beranakcucu’ wajib dilakukan dalam ikatan perkawinan.
Hukum Kekudusan. Pada sisi lain, TUHAN, Allah Israel, melarang persetubuhan antar manusia dan binatang (bd. Hukum Kekudusan – Im. 20:15,16), antar sesama jenis kelamin (Im. 20:13). Hanya saja ditambahkan kalimat : “Janganlah kamu hidup menurut kebiasaan bangsa yang akan Kuhalau dari depanmu, …” (Im. 20:23; bd. 18:24-30). Melalui pernyataan tersebut penulis menegasikan budaya-agama-suku di sekitarnya, seakan tidak pernah ada hukum kesusilaan yang lebih memiliki nilai-nilai kemanusiaan selain Hukum Musa. Dan pandangan seperti ini kurang cocok. Akan tetapi kita perlu menyorotinya dari sudut pandang pendidikan etis-moral (budi pekerti), bahwa Allah mengehendaki suatu umat yang kepribadian --- karakter --- yang baik untuk dicontohi bangsa-bangsa sekitarnya.
Kekuasaan dan kekerasan. Allah berfirman : “…berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kej. 1:28b). Pemberian “kuasa” ini berhubungan erat pada suruhanNya : “Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15).
Makna Kata Kerja. Terjemahan ayat tersebut menurut HEB (Hebrew-English Bible) berbunyi : “And the LORD God took the man, and put him into the garden of Eden to tend it and to keep it.”
‘To tend’ (Ibr. ‘abad’; KJV ‘to dress’) diterjemahkan ‘mengerjakan’ atau‘melayani’, sehingga kita dapat merumuskan manusia disuruh Allah untuk“menggarap” (Ing. to cultivate) taman Eden. Dengan demikian terkandung makna dari terjemahan KJV --- to dress -- ‘mendandani’ taman itu supaya semakin cantik.
‘To keep’ (Ibr. shamar) artinya ‘melakukan perawatan ataupemeliharaan.’
Jika kita menghubungkan penjelasan ini pada konteks Kejadian 1:28, makan akan muncul pemahaman, bahwa Allah menginginkan Adam (manusia) mengurus, mengawasi dan memelihara bumi (yang dilambangkan Taman Eden). Manusia (Adam) bertanggungjawab untuk mengurusi pemeliharaan alam. Ia mengolahnya bagi kebutuhan hidup, tetapi juga menjalankan perbaikan atas fungsi alam.
Allah meciptakan dan memberikan lingkungan alam sebagai wilayah (Lat.dominion) tempat tinggal ciptanNya. Ia juga mendelegasikan wewenang (otoritas, kuasa) dan tanggung jawab kepada manusia untuk “mengusahakan dan memelihara,” maka penatalolaan dan pengelolaan bumi; akan tetapi manusia harus menyadari, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Oleh karna itu, ia bertanggungjawab atas seluruh pekerjaannya. Ia tidak boleh melakukan kekerasan atau berbuat sewenang-wenang atas alam sebagai sesama ciptaan.
Pemberian mandat bukan berarti manusia dapat melakukan segala sesuatu menurut kecenderungan hatinya. Allah tidak menghendaki tindakan kekerasan terhadap sesama ciptaan, termasuk bumi. Pikirkanlah, bagaimana mungkin Dia, melimpahkan kuasa kepada manusia untuk menghancurkan bumi ciptaanNya ? Itu bukan keinginanNya; sebab itu, sudah selayaknya manusia mempertimbangkan masalah lingkungan hidup (ekosistem). So pasti, hal ini tersirat dalam perintah Allah, ketika Ia memberikan wewenang kepada manusia.
c. Hubungan dengan Nuh.
Setelah masa penghukuman berakhir, Allah memulihkan keadaan manusia (Nuh dan keluarganya serta semua ciptaan). Ia mengadakan perjanjian kasih karunia dan berpesan kepada Nuh : "Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi. Akan takut dan akan gentar kepadamu segala binatang di bumi dan segala burung di udara, segala yang bergerak di muka bumi dan segala ikan di laut; ke dalam tanganmulah semuanya itu diserahkan” (Kej. 9:1-2). Sekali lagi Allah memberikan kesempatan kedua kepada manusia (Nuh) sesudah air bah, supaya ia menjalankan tanggung-jawab menatalayani alam.
C. BUDAYA DAN PEMBERITAAN GEREJA DI TENGAH BANGSA.
Terlepas dari pemahaman iman tentang apakah penggunaan mitos dalam Epik Golgamesh – Antrahasis benar ataukah tidak benar dalam penulisan Alkitab, yang pasti ha itu ada. Tak dapat disangkal. Akan tetapi saya tidak bermaksud membahas penilaian semacam itu. Artikel ini bertujuan menjawab persoalan : apakah budaya (karya seni) manusia boleh ataukah tidak boleh digunakan dalam pemberitaan firman Allah. Dan, saya menyetujuinya, asalkan setiap pemberita membersihkan dan memberikan makna injili ke dalam pewartaannya supaya tidak muncul sikap sinkritis.
Pendapat ini saya kemukakan bertolak dari ucapan nabi dan karya penulis APL maupun APB. Mereka menggunakan mitos yang beredar dalam masyarakat untuk mewartakan Injil Kristus. Katakanlah apa yang dilakukan Paulus ketika berpidato di Yunani (Kis. 17:16-34). Ia berkata : “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan : Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (ay22-23). Melalui pidato itu kita mengetahui, bahwa rasul Paulus tidak mengesampingkan karya seni dan pengetahuan masyarakat berbudaya. Justeru sebaliknya Paulus memanfaatkan kebudayaan sebagai wacana pemberitaan. Paulus tahu persis, bahwa orang-orang Yunani yang tinggal di Kota Athena sangat berpendidikan. Mereka memiliki mitos tentang dewa-dewi, sama seperti masyarakat Sumer-Akadian yang mempunyai Epik Gilgamesh – Antrahasih. Masyarakat Athena juga menyusun sistem kehidupan bersama berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam mitosnya. Oleh karena itu, ia menyapa orang Athena dengan menggunakan tradisi mereka.
TUHAN tidak marah dan tidak tersinggung, jika Gereja menggunakan cerita rakyat untuk menyampaikan firmanNya, sejauh pemberitaan itu tidak mengajak pendengar untuk kembali kepada keyakinan semula. Bukankah kita bersepakat mengatakan, kerangka budaya (mitos) dapat dapat dipakai sebagai wacana pemberitaan, asalkan kita memasukkan makna injili ke dalamnya ? Memakai kerangka budaya dan mengisi makna baru, sesungguhnya, merupakan upaya reinterpretasi - reformulasi dan transformasi.
Reinterpretasi dan Reformulasi artinya : kita melakukan upaya reinterpretasi dan reformulasi atas format tradisi budaya suku untuk menjembatani pemahaman masyarakat tradisional, supaya mereka mudah menyerap pemberitaan firman.
Transformasi artinya : kita mengisi nilai-nilai injili ke dalam format lama (mitos tradisional) yang dikenal masyarakat, sehingga proses penyadaran berlangsung tanpa penolakan.
Dengan demikian, tanpa disadari maupun disadari pendengar tidak merasa terusik oleh pemberitaan Injil. Malahan sebaliknya, mereka dengan sukacita menerima Injil Kritus dengan senang hati, tanpa paksaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar