Kamis, 28 April 2011

MATERI BINA KHUSUS 01/IV-2011/Arie/PERSEPULUHAN


MA-BIN-PWG  :  A-1/Biblika/Arie/IV-2011.-


MENCARI PIKIRAN ALLAH
DALAM KESAKSIAN ALKITAB TENTANG PRAKTIK

PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN

disusun oleh

PDT. ARIE A. R. IHALAUW

Untuk tujuan penjemaatan Ketetapan PS-GPIB 2010 dan PST-GPIB 2011 dalam Musyawarah Pelayanan Jemaat – Jemaat GPIB di Sumatera Utara dan Aceh – Jumat, 28 April 2011
PENDAHULUAN

Sikap pro – kontra terhadap pemberlakuan ketetapan PS-GPIB 2010 dan PST-GPIB 2011 tentang Persembahan Persepuluhan masih berlangsung di kalangan Warga dan Pejabat GPIB. Ada pihak yang menyetujui dan ada pula yang menentangnya. Masing-masing pihak mengajukan alasan-alasan teologis sesuai kesaksian Alkitab. Manakah pendapat yang salah, dan manakah yang benar ? Jawabannya tergantung dari sudut pandang serta kebutuhan / kepentingan yang menjawabnya. 

Acapkali kita memaksakan sebuah keputusan, tanpa memberikan penjelasan yang benar dan baik tentang latarbelakang yang mendukung pengambilan keputusan etis-moral. Latarbalakang tersebut perlu dikemukakan secara baik-benar, agar Warga dan Pejabat Gereja tidak salah menafsirkan ataupun menasrihkan keputusan yang ditetapkan. Dengan mempertimbangkan hal itu saya menuliskan artikel ini, bukan untuk berargumentasi dengan siapapun yang telah menulis, tetapi sekedar untuk membantu rekan-rekan menyajikan informasi biblika yang berimbang tentang masalah Persembahan Persepuluhan serta alasan GPIB menerapkannya dalam Pembangunan Ekonomi Gereja.

A.    LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Melalui artikel ini saya menyatakan, bahwa tidak ada niat untuk menyoal kebijakan GPIB sebelum tahun 2011. Akan tetapi saya mencoba melihat latar belakang yang mendorong munculnya sebuah perilaku organisasi yang menyimpang, sehingga di kemudian hari tidak akan diulangi kesalahan yang sama. 

A.1. Pembiayaan Aktifitas Gereja Negara dan dampaknya. 

Sejak masa pemandirian (pelembagaan) GPIB terlepas dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI, dahulu Indische Kerk), Gereja ini mengalami kesulitan ekonomi. Indische Kerk adalah semacam perwakilan Gereja Negara di Indonesia. Sebelum pemandirian (Minggu, 31 Oktober 1948) seluruh aktifitas keuangan ditanggung / dibiayai / dibantu Pemerintah Kerajaan Belanda. Oleh karena Negara berpandangan, bahwa melalui kehadiran Gereja, maka  pemerintah Belanda telah melaksanakan misi Yesus di Hindia Belanda (nama Negara Indonesia pada masa kolonial, karena dianggap sebagai bahagian dari Kerajaan Belanda). Pandangan ini muncul bersamaan dengan perubahan sikap pemerintah terhadap usaha misionaris Belanda. Kondisi ekonomi Gereja seperti ini dialami semua Gereja yang dimandirikan GPI, yakni : Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Protestan di Maluku (GPM) dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Akibatnya, ketika Gereja-Gereja eks Indische Kerk dimandirikan, terjadilah culture-shock (benturan) budaya, di mana Gereja Lokal (GMIM, GPM, GMIT, juga GPIB) wajib membiayai sendiri seluruh aktifitas program persekutuan – pelayanan – kesaksian.

A.2.  Dampak Pemandirian / Pelembagaan ke dalam Persekonomian Gereja.

         Seandainya kita telah membaca hasil-hasil Persidangan Proto-Sinode tahun 1948 (baik dalam Bulan Mei 1948 maupun dalam Bulan Oktober 1948), maka kita akan menemukan percakapan intensif di sekitar masalah pada waktu itu, yakni : (1). pemeliharaan Warga Gereja yang diserahkan ke dalam persekutuan Jemaat –Jemaat dari Gereja ke – 4 -> sekarang GPIB. (2). Pemeliharaan itu berhubungan langsung dengan pembiayaan aktivitas program persekutuan – pelayanan – kesaksian, dan lain-lainnya. Pada waktu itu perekonomian Jemaat-Jemaat GPIB yang tersebar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Bali – NTB, Jawa dan Sumatera masih belum seperti kondisi sekarang ini. Gereja diperhadapkan kepada 3 (tiga) masalah utama : a). Pembenahan (pemetaan kembali) wilayah pelayanan – kesaksian; b). Pembangunan Organisasi (fungsi-sistem) dan c).  Pembangunan Ekonomi Gereja.  Ketiga masalah tersebut saling mengait. Walaupun demikian Gereja masih menerima bantuan keuangan dari luar negeri melalui lembaga-lembaga penginjilan atau dari donatur individual. 

A.3.  Pernyataan Sikap Pemandirian Gereja di Bidang Ekonomi

         Sepanjang dekade 1970 – 1980 Gereja mengambil keputusan untuk tidak menggantungkan diri pada bantuan luar negeri, melainkan memberdayakan potensi warganya (persembahan-persembahan). Hal itu tampak dalam penerapan Iuran Warga Sidi Jemaat kepada Jemaat Lokal, dan kemudian Iuran Jemaat kepada Majelis Sinode GPIB (kemudian berubah menjadi Iuran Tetap Bulanan sampai Tata Gereja 1990 dan terakhir menjadi Persembahan Tetap Bulanan sampai Tata Gereja 2010). Akan tetapisecara jujur kita harus mengakui, bahwa penatalayanan perekonomian dan perbendaharaan Gereja belum difungsikan maksimal, sehingga menimbulkan masalah. Belum lagi perbedaan persepsi tentang otonomisasi Jemaat, di mana seakan-akan Jemaat Lokal-lah yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengelola harta milik Gereja yang bergerak dan tidak bergerak. Hal ini disebabkan dangkalnya pemahaman akan sistem presbiterial-sinodal --- sehidup semati dalam pelayanan ---, secara mendalam belum dihayati. Akibatnya, banyak masalah ekonomi Gereja yang muncul sejak tahun 1970 – 2000.

A.4.  Serangan Badai Eksternal

       Masihkah anda mengingat situasi ekonomi dalam dekade 1970-an, di mana mantan Menteri Agama Alhamsyah menjabat Kementrian Agama ? Pada masa itu sampai sekarang ini ditetapkan Kebijakan Pemerintah, bahwa tanpa sepengetahuan pemerintah semua badan-badan usaha--- termasuk Gereja --- tidak boleh mentransfer dana luar negeri dalam jumlah tertentu. Pada waktu itu (mungkin sampai sekarang) kebijakan tersebut menyulitkan Gereja-Gereja di Indonesia. 

Masih banyak lagi hal-hal yang melatarbelakangi sebuah keputusan dan kebijakan di bidang ekonomi; akan tetapi adakah keuntungan bagi kita untuk mempersoalkan serta menyalahkan masalalu ? Tidak ada ! Yang terutama adalah : mengenal kelemahan yang menyebabkan kita bersama melakukan kesalahan, bertobat meninggalkannya serta membaharui diri di bawah pimpinan Rohkristus untuk berjalan menyongsong tahun rahmat Allah.

B.    MENGGAGAS MASA DEPAN DI BAWAH KEPEMIMPINAN ALLAH

C.1.  Apakah Tujuan Pengadaan PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN

Jelas sekali, Alkitab Perjanjian Baru (APB) tidak memberikan landasan kuat bagi penerapan Hukum Taurat, khususnya kultus ritual Persembahan Persepuluhan di dalam Gereja Kristus. Lantas apakah alasan yang diajukan GPIB untuk menetapkan kultus-ritual Persembahan Persepuluhan untuk dilakukan oleh Warga Jemaat kepada Jemaat Lokal dan dari Jemaat Lokal kepada Majelis Sinode ?

Saya membaca persoalan ini sebagai sebuah ancaman (threat) dan kesempatan (challenge). Persoalan tersebut dapat menjadi ancaman (threat), jikalau GPIB memisahkan kesaksian Alkitab Perjanjian Lama (APL) dari pada kesaksian Alkitab Perjanjian Baru (APB). Menurut pendapat saya, GPIB menyatakan diri sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dari persekutuan Gereja Kristen di seluruh dunia. Simbol pernyataan itu tampak dalam penerimaan Gereja atas Kanon Alkitab dan Pengakuan Iman Ekumenis. Jikalau GPIB hanya menerima Pengakuan Iman Ekumenis, sementara memilahkan dan memisahkan kesaksian utuh dari Kanon Alkitab yang telah ditetapkan dalam Sidang Ekumenis (Konsili) tahun 325 di Nicea Konstantinopel, maka, sesungguhnya, GPIB telah berlaku tidak benar.

Yesus-Kristus, Tuhan dan Kepala Gereja, tidak bermaksud meniadakan kultus-ritual yang diatur dalam Hukum Taurat (bd. Mat. 5:17-20 -> Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu : Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. Maka Aku berkata kepadamu : Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga). Yang dibaharui oleh Yesus-Kristus adalah pemahaman Israel yang salah tentang maksud dan tujuan pemberlakuan Hukum Taurat. Setelah masa Musa, bangsa Israel menggantikan qiblat ibadah umat. Bukan kepada Allah tetapi untuk memenuhi perintah yang ditafsirkan manusia (bd. Yes. 29:13 ->Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan). Sesungguhnya pusat (qiblat) ibadah umat Israel adalah menyembah (melayani) Allah dengan memperlihatkan perilaku sosial yang sepadan dengan anugerah yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Namun oleh karena pentafsiran alim ulamanya, mereka hanya melakukan ritual-ritual belaka. 

Israel merasa aman dan yakin, bahwa jika secara hurufiah mereka memenuhi seluruh aturan keagamaan, maka Tuhan ALLAH akan menjadi senang. Padahal bukan hal itulah yang dikehendaki-Nya (bd. Amos 5 : 21 – 27 -> “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”. Apakah kamu mempersembahkan kepada-Ku korban sembelihan dan korban sajian, selama empat puluh tahun di padang gurun itu, hai kaum Israel ? Kamu akan mengangkut Sakut, rajamu, dan Kewan, dewa bintangmu, patung-patungmu yang telah kamu buat bagimu itu, dan Aku akan membawa kamu ke dalam pembuangan jauh ke seberang Damsyik," firman TUHAN, yang nama-Nya Allah semesta alam”; Mikha 6 : 8 -> “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu ?”). Sesungguhnya TUHAN tidak menolak ritual-ritual keagamaan. Yang tidak disukai TUHAN adalah cara hidup orang beragama yang memperlihatkan ketidak setiaan dan ketidak taatan menjalankan keadilan, kebenaran, kebaikan kepada sesama. Itulah yang dimaksudkan Yesus-Kristus: “Aku berkata kepadamu : Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”. Bukan ritual-ritual yang ditolak Allah, melainkan motivasi yang tampak dalam perilaku sosial (cara hidup) dari pelaksana Ibadah yang ditolak-Nya. Alkitab tidak menginformasikan secara tegas, bahwa secara tegas Yesus-Kristus menolak pemberlakuan ritual persembahan. Yesus-Kristus tidak sependapat dengan alim ulama yang melaksanakan ritual-ritual keagamaan tanpa kasih sayangserta berbuat adil dan benar kepada orang banyak.
 
C.2.  Integritas kesaksian Alkitab.

Pernyataan di atas bukan bersifat dogmatis, melainkan biblis (alkitabiah). Tidak ada kemungkinan apapun yang dapat dilakukan oleh GPIB, jikalau tidak berpijak di atas pernyataan APL tentang pemenuhan janji Allah dalam APL yang dikerjakan oleh Yesus-Kristus. Pekerjaan Yesus-Kristus pun merupakan kesatuan-utuh yang menyatakan kebenaran kesaksian APL. Di sinilah saya berdiri, dan di dalam hal inilah saya menyatakan pendapat terhadap pandangan Yohanes Calvin dan Kelompok Calvinis :

Siapakah Yohanes Calvin itu, sehingga GPIB patut membangga-kannya ketimbang Yesus-Kristus yang telah berkorban demi keselamatan kita ? Begitu pentingkah GPIB mempertahankan teologi kaum Calivinis, sehingga kurang menghormati kesatuan-utuh dari seluruh kesaksian Alkitab yang telah dikanonkan ?
Menghormati Yohanes Calvin dan karyanya merupakan sebuah sikap etis-moral. Akan tetapi penghormatan itu tidak boleh mendorong GPIB untuk terus menerus membangun ajaran teologi yang alkitabiah sesuai tradisi dalam kanon Alkitab. Tidaklah salah juga, jika GPIB mengembangkan teologi alkitabiah, yang mungkin saja, bisa bertentangan dengan pandangan kaum calvinis. Dengan demikian genaplah kesaksian Alkitab : “Kita harus lebih takut kepada Allah dari pada kepada manusia. Sebab Anak Manusia adalah Tuhan atas seluruh tradisi Gereja dan menjadi pusat Ibadah Gereja.”
 
GEREJA SEBAGAI KELUARGA ALLAH

Kesaksian Alkitab yang baik untuk mengaplikasikan Gereja gambaran ke dalam konteks sosial-budaya Indonesia adalah KELUARGA ALLAH. Penduduk Indonesia sudah terbiasa mempraktikkan sistem kekeluargaan sebagai pendekatan budaya atas berbagai masalah. Dalam pendekatan seperti ini diletakkanlah pemahaman tentang tugas dan peran,  hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus dilakukan tiap anggota keluarga, fungsi organisasi, tujuan yang akan dicapai, perencanaan strategi untuk mencapai tujuan, aturan-aturan dan urusan-urusan kerumah-tanggaan, dan lain-lain. Gambaran ini lebih cocok diterapkan dalam kehidupan bergereja / berjemaat, supaya tiap anggota merasa “at home” serta mampu mengembangkan potensi hidup pemberian Allah. 

Yesus-Kristus adalah pusat ibadah keluarga. Oleh Dia-lah Allah menciptakan Keluarga Kristen, an sich (Mat. 19:5-6; -> “Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan ? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” bd. Efs. 5:31; Efs. 5:23 -> “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu”; Efs. 5:32 -> “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”), dan Gereja selaku KELUARGA ALLAH (bd. Efs. 2 : 17 – 20 -> “Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat", karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru).

C.3.  Kesaksian Alkitab dan Ketaatan Gereja

       GPIB tidak dipanggil dan diutus oleh siapapun selain dari pada Allah yang berbicara langsung melalui mulut Kristus-Yesus. Inkarnasi / penjelmaan Allah dalam bentuk dan wujud manusia Yesus menyatakan, bahwa Dia telah “mengkontekstualisasikan diri. Firman menjadi manusia (Yoh. 1:14). Dia telah masuk dan menjadi manusia dalam konteks sosio-kultural. Di dalam pemahaman inilah saya meletakkan dasar kokoh bagi Pembangunan Teologi dan Pembangunan Ekonomi GPIB yang berorientasi pada Alkitab. Jadi, tidaklah salah, jika GPIB mengkontekstualisasikan (mempri-bumikan) kesaksian Alkitab pada penatalolaan/penatalayanan persekutuannya. Sebaliknya, jika GPIB tidak mendasarkan penatalayanan/ penatalolaan persekutuan sesuai kesaksian Alkitab, maka ia bukanlah Gereja menurut kesaksian Alkitab. Seluruh model penatalayanan/penatalolaan wajib didasarkan di atas kesaksian Alkitab : Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru !  Memang benar, konteks sosial-budaya lokal tidak menentukan; akan tetapi ia mempengaruhi model penatalayanan / penatalolaan dari persekutuan – pelayanan – kesaksian Gereja.

C.4.  Pembangunan GPIB selaku Gereja Misioner

            Apakah pandangan Alkitab tentang harta milik Gereja ? Tujuan pelayanan GPIB bukan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Itu bukan berarti : uang tidak dibutuhkan oleh Gereja. Uang hanyalah kebutuhan biasa. Ia tidak boleh mengatur pelayanan. Pelayanan dan kesaksian wajib dijalankan sekalipun sedang terjadi krisis keuangan dalam Gereja. Pemahaman akan hal ini sangat penting. Menurut pendapat saya, istilah pelayanan perlu dijeaskan, agar secara jernih kita mengetahui dan mengerti gagasan tentang istilah tersebut dalam pekerjaan Jemaat Kristen Abad I.

a).   Gereja dan Penatalayanan Pelayanan. 

Pelayanan yang dimaksudkan bukan dalam peng-arti-an yang dipahami oleh Gereja sekarang ini. Pelayanan juga terkait pada penatalolaan / penatalayanan harta milik Gereja / Jemaat (bd. Kis. 6 : 1 – 5 -> “Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari. Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: "Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja. Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman. Usul itu diterima baik oleh seluruh jemaat, lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia). Istilah “pelayanan” dalam ayat 1, 2, 4 (Yun. diakonia - diakonia, diakonein - diakonein) meskipun memiliki arti yang sama, tetapi ia perlu dihubungkan dengan kata berikutnya (ay.1 -> “dalam pelayanan sehari-hari” -> Yun. th diakonia th kaqhmerinh; ay. 2 -> untuk melayani meja -> Yun. diakonein trpexaiz; ay.4 -> pelayanan Firman -> “th diakonia tou logon”). Beberapa makna dapat disimpulkan :
  
Pertama,      tugas utama Gereja adalah melayankan firman Allah (ay.4). Menurut Yesus-Kristus, Firman Allah adalah kebutuhan dasar manusia (Mat. 4:4; bd. Ul. 8:3). Dalam hal ini pelayanan firman Allah dapat disamakan artinya dengan Pemberitaan Injil Kristus dan atau Pengajaran Firman (kesaksian Alkitab).
Kedua,   kebutuhan lain yang mengikuti kebutuhan utama adalah pelayanan sehari-hari. Dan pelayanan sehari hari itu dihubungan dengan kebutuhan warga jemaat (orang berkekurangan seperti janda – ay. 1), katakanlah : pelayanan -- melayani -- meja (ay. 2). Bertujuan melayani warga jemaat yang menderita.
Dengan demikian tugas pelayanan itu mencakup aspek spiritual dan material (bd. Teologi PL tentang makna istilah damai sejahtera  - Ibd. Shaloom). Dan untuk memudahkan pelayanan kepada warga jemaat yang menderita diadakan jabatan khusus dalam jemaat : pelayan atau pelayan-pelayan (tung. Diakonos; jmk. Diakonoi) yang ditugaskan khusus untuk menatalayani kegiatan urusan-urusan kerumah tanggaan Jemaat di bidang sosial (pelayanan kasih / karitas). Pelayanan kepada warga menderita (kebutuhan material) merupakan hasil pemberian (persembahan) karena semua warga digerakkan hatinya oleh pelayanan Firman Allah. Jadi pelayan atau pelayan-pelayan itu berfungsi dan berperan menatalola / menatalayani pekerjaan (tugas) Gereja atas seluruh aspek kebutuhan manusia sesuai pesan Yesus-Kristus. 

b). Visi Menerangi Pembangunan Misi

     Kelemahan Jemaat-Jemaat GPIB selama ini adalah kurangnya kebersamaan pemahaman tentang pelaksanaan Visi dan Misi yang ditetapkan dalam setiap Persidangan Sinode (PS) dan Persidangan Sinodal Tahunan (PST). Hal ini bisa timbul karena pemahaman keliru tentang pelembagaan / pendewasaan Jemaat. Para presbiter dalam Jemaat Lokal masih berpandangan, bahwa pelembagaan jemaat masih sama artinya dengan pemberian otonomi (hak mengurus diri sendiri) yang luar dan tidak terbatas. Padahal pandangan ini telah lama ditinggalkan dan dituangkan ke dalam kesepakatan bersama, yang tertuang dalam Tata Gereja, tentang hubungan kerja antara Jemaat-Jemaat dan atau antara Jemaat-Jemaat bersama Majelis Sinode berdasarkan sistem pemerintahan Gereja yang bersifat presbiterial-sinodal. 

Sistem pemerintahan Gereja yang bersifat presbiterial-sinodal. Sistem tampak dalam berbagai strategi yang berada dalam lingkaran sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi adalah strategi, di mana urusan-urusan tertentu diserahkan sepenuhnya kepada Pimpinan Sinodal. Sementara desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang/otoritas (tanggung jawab terbatas) oleh Pimpinan Sinodal kepada Pimpinan Jemaat Lokal untuk merealisasikan / mengoperasio-nalkan tugas-tugas Gereja yang diamanatkan oleh PS-GPIB dan atau PST-GPIB. Sentralisasi lebih bersifat prinsipal, sedang desentralisasi cenderung menunjuk pada aktifitas operasionalnya. 

Salah satu contoh penting yang perlu diketahui dan dimengerti adalah Operasionalisasi Visi GPIB 2010 – 2030. Sesuai dengan ketetapan PS-GPIB 2005, maka Gereja, yang adalah persekutuan keluarga Jemaat, ditugaskan Allah untuk memberitakan dan melayankan damai-sejahtera yang telah dikerjakan secara sempurna oleh Yesus-Kristus (Yoh. 14:27 -> “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”). Oleh karena itu, perupaan Gereja sebagai misi patut mempertimbangkan Visinya. Gereja perlu mentafsirkan dan merumuskan kembali damai-sejahtera (Ibr. םלוש Shalom; Yun. eirhnhn - Eirene) dalam konteks misionalnya Tafsiran dan rumusan itu akan menjadi landasan bagi upaya reformasi fungsi-sistem organisasinya. Nilai sorgawi (tanda-tanda Kerajaan Allah) ini patut dikembangkan dalam ajaran Gereja (Perangkat Teologi) menjadi semangat yang mengilhami seluruh aktifitas progran kerja Gereja (Perangkat Misional) yang tertuang ke dalam Pokok Kebijakan Umum Panggilan Pengutusan Gereja (PKUPPG) serta patut menghidupkan dan menggerakkan fungsi organisasi (Perangkat Konstitusional – TATA GEREJA) sepanjang masa bakhti 30 tahun ke depan. 

c). Visi Menerangi Pembangunan Ekonomi Gereja

     Apakah tujuan Pembangunan Ekonomi Gereja / Jemaat ? Pertanyaan ini perlu diajukan kembali, agar Gereja merumuskan ulang panggilannya untuk menata-layani / menatalola harta milik pemberian Allah. 

     Menurut pendapat saya, penatalayanan/penatalolaan harta milik pemberian Allah, seharusnya, sejalan dengan semangat yang terkandung pada Visi Alkitabiah yang ditetapkan PS-GPIB 2005 lalu : YESUS KRISTUS, SUMBER DAMAI SEJAHTERA (Yoh. 14:27). Visi itu menerangi seluruh aktifitas pekerjaan Gereja yang diutus menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Kristus, yakni :

1)    Keselamatan / pembebasan dari kuasa dosa (Iblis – Setan) yang membawa kehidupan manusia ke dalam kesengsaraan.

2)    Menghadirkan suasana perdamaian ke dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.

3)    Membangun kesejahteraan (keadilan sosial) untuk dan bersama masyarakat.

4)    Menegakkan keadilan dan kebenaran Allah yang menumbuhkan suasana sukacita.

5)    Dan pekerjaan-pekerjaan yang lain sesuai kesaksian Alkitab.

Sehubungan dengan pelaksanaan (opersionalisasi) pekerjaan-pekerjaan itu, Gereja merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dalam bentuk PKUPPG / KUPPG. Dan, salah satu bidang PKUPPG / KUPPG adalah PEMBANGUNAN EKONOMI GEREJA.

Selama ini ketika kita membahas masalah PEMBANGUNAN EKONOMI GEREJA, maka perhatian warga dan pejabat Gereja hanya terpusat pada harta milik yang tidak bergerak yang bergerak, dan keuangan semata-mata. Pemahaman seperti ini tidak benar. Ekonomi Gereja bukan saja diartikan demikian; akan tetapi, seharusnya, dirumuskan : Sumber Daya Gereja ialah,

1)    Sejarah dan Teologi (Iman – Ajaran – Ibadah) Gereja.
2)    Manusia : warga dan pejabat Gereja.
3)    Wilayah Pelayanan Gereja.
4)    Fungsi-sistem Organisasi Gereja.
5)    Harta milik yang tidak bergerak dan yang bergerak.
6)     Uang dan pemberian-pemberian lain yang diterima Gereja.


IBADAH DAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN

C.     IBADAH DAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN

Ada 2 (dua) persoalan yang perlu ditanggapi : (1) Apakah yang dimaksudkan Persembahan Persepuluhan ? (2) Apakah Persembahan Persepuluhan dapat diterapkan dalam Gereja Kristus ? Kedua persoalan itu perlu dijelaskan, sebelum Gereja mempraktikkan Persembahan Persepuluhan sesuai Tata Gereja 2011. Untuk membuka wawasan kita akan menyimak kesaksian Alkitab. 

C.1.  Budaya Suku Bangsa di sekitar Israel

          Jauh sebelum Israel memberlakukan Persembahan Persepuluhan telah dikenal dan dipraktikan oleh suku bangsa yang berdomisili dalam wilayah Kanaan dan sekitarnya. Sejak zaman pemerintahan Hamurabi, penguasa itu telah menetapkan undang-undang, yang disebut CODEX HAMMURABI, di mana seluruh rakyat dan negeri taklukan wajib membayar upeti kepada raja. Maksud dan tujuan pembayaran upeti itu adalah :

a)  Untuk menunjukkan kesetiaan kepada raja yang berkuasa. Pembayaran ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh rakyat dalam kerajaan maupun oleh penguasa dan rakyat dari kerajaan yang ditaklukan.

b)  Untuk mendukung perekonomian kerajaan yang bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan umum (bermuatan pol-ek-sos-bud -> POLITIK, EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA).

Untuk mencapai tujuan tersebut kerajaan mengeluarkan undang-undang yang mengatur nilai pembyaran upeti. Namun harus pula dipahami, bahwa undang-undang itu menjadi “alat paksa”, agar kewajiban dilaksanakan oleh seluruh rakyat kerajaan. 

C.2.  Transformasi Kultur Kanaan ke dalam Agama Israel 

2.1. Perjumpaan budaya (akuturasi).

        Ciri ini melekat erat pada eksistensi kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Mesopotamia, termasuk Timur Tengah Kuno.  Meskipun pada awalnya Agama Israel memiliki konsep tentang “Kerajaan Allah”; akan tetapi bukan tidak mungkin Israel pun memiliki tujuan politik, ketika mereka menyelenggarakan ibadahnya kepada TUHAN.  Oleh karena itu, kita tidak usah terkejut, jika muncul desakan rakyat meminta Hakim Samuel mengangkat seorang raja untuk memerintahi mereka. Kondisi seperti ini ditafsirkan sebagai kontekstualisasi ajaran karena perjumpaan dengan budaya asing (istilah Sosiologi : AKULTURASI). 

2.2. Keselamatan dan Hukum Taurat

      Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada Israel melalui Musa bertujuan, agar Israel sebagai umat-Nya melaksanakan fungsi ibadah secara vertikal kepada Allah dan secara horisontal kepada sesama manusia. Dengan kata lain, Hukum Taurat mengatur perilaku dan menertibkan pekerjaan umat yang berhubungan dengan kultus ritual di Bait Allah serta pelayanan sosial. 

      Sejak semula Israel tidak mengenal pembelahan (dikotomi) institusi pemerintahan sipil dan pemerintahan agama. Konsep pemerintahan itu bersifat integral. Bersumber dari konsep dasar tentang Kerajaan (kekuasaan) Allah.  TUHAN, Allah Israel, adalah Raja dan Pemimpin mereka, sebab Dia-lah yang menciptakan umat-Nya. Raja Israel, yang bernama TUHAN, menjalankan pemerintahan atas seluruh ciptaan dalam alam semesta. Representasi kekuasaan-Nya dijalankan oleh Penguasa Sipil (Musa sebagai Simbol) dan Pemimpin Spiritual / Agama (Harun dan suku Lewi sebagai Simbol). Keduanya merupakan sarana untuk menghadirkan tanda-tanda pemerintahan Raja TUHAN atas Israel. Tujuan-Nya jelas : menyelamatkan dari dosa serta membebaskan manusia dari kesengsaraan. Tujuan itulah yang terkandung dalam tradisi hukum (Taurat, ketetapan-ketetapan, peraturan-peraturan, aturan-aturan, keputusan-keputusan, dan perintah-perintah) di Israel. Dengan demikian seluruh orang Israel harus mengetahui dan memngerti, bahwa Raja TUHAN memakai penguasa sipil dan pemimpin spiritual / agama untuk menjalankan penyelamatan / pembebasan yang direncanakan-Nya.

      Konsep seperti ini dikembangkan oleh Gereja Roma Katolik pada abad pertengahan. Konsep ini diakhiri oleh gerakan reinaisan, di mana terjadi pembelahan / pemisahan antara kekuasaan Negara dari cengkeraman Gereja. Dan, keadaan tersebut berlangsung sampai hari ini. 

      Sesungguhnya, menurut kesaksian APL, keselamatan itu adalah anugerah Allah. Bukan karena perbuatan baik manusia. Semua manusia telah berbuat jahat (Maz. 14:1-3). Anugerah itu tampak jelas, ketika Allah berkerja membebaskan Israel dari Mesir, bahkan ketika mengembalikan Israel dari pembuangan Babilonia, Allah berfirman : Bukan karena kamu Aku bertindak, hai kaum Israel, tetapi karena nama-Ku yang kudus yang kamu najiskan di tengah bangsa-bangsa di mana kamu datang,… ketahuilah itu. Merasa malulah kamu dan biarlah kamu dipermalukan karena kelakuanmu, hai kaum Israel. (Yeh.36:22,32). Jadi bukan karena Israel melakukan seluruh tuntutan hukum Taurat secara tertulis, tetapi mereka diselamatkan karena belas kasihan-Nya (Hos. 11: 8 – 9 -> “Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan”). Bukan karena persembahan korban yang mewah dan baik, lalu Allah menyelamatkan umat-Nya; tetapi keselamatan dan pembebasan itu dilakukan Allah karena belas-kasihan-Nya. Dari sinilah Yesus-Kristus melakukan reformasi sistem keagamaan di Israel. Dan dari inti pemahaman inilah para penulis APB menuliskan tujuan kehadiran Allah dalam karya Yesus-Kristus.

C.3.  Ritual Persembahan Korban
 
Mengapa tradisi ritual persembahan korban begitu penting dalam kultus ibadah Israel ? 

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu menelusuri sejarah pertumbuhan dan perkembangan gagasan-gagasan teologi Israel sesuai kesaksian APL.

3.1. TUHAN, Allah Abraham – Ishak – Yakub, adalah qiblat dan  pusat ibadah. 

Pertama, pertumbuhan dan perkembangan tradisi Agama Israel perlu ditelusuri sejak zaman leluhur Israel : Abraham – Ishak – Yakub. Kemudian dilanjutkan oleh Musa – Harun.  Kita tidak bisa mengatakan, bahwa sejarah tradisi Agama Israel seperti yang dituliskan dalam Perjanjian Lama berawal dari Musa. Meskipun pernyataan ini baik, tetapi tidak seluruhnya benar. Tradisi keagamaan Israel dimulai sejak Abraham dipanggil oleh Allah (Kej. 12:1–3 -> Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat). Qiblat dan pusat Agama Abraham – Ishak – Yakub adalah ALLAH YANG MEMANGGIL. Oleh karena itu, Israel selalu menghubungkan TUHAN dengan Allah yang disembah Abraham – Ishak – Yakub (Kel. 3 : 15 – 16 -> Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun. Pergilah, kumpulkanlah para tua-tua Israel dan katakanlah kepada mereka: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, telah menampakkan diri kepadaku, serta berfirman: Aku sudah mengindahkan kamu, juga apa yang dilakukan kepadamu di Mesir). Oleh karena itu, Allah Abraham – Ishak – Yakub, menjadi TUHAN yang memiliki keturunan mereka. Dia harus dijadikan qiblat dan pusat ibadah Israel.

Kedua, pemahaman dan pengakuan iman (credo, confesi) Israel mengemukakan, bahwa qiblat dan pusat ibadah umat adalah TUHAN Allah (Ul. 6:4-6 -> “Dengarlah, hai orang Israel : TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa ! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan se-genap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan”). Hal sama dilakukan oleh Yoshua, ketika ia menyampaikan pidato perpisahan pada akhir masa jabatannya : Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN. Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribada, … Lalu bangsa itu menjawab: "Jauhlah dari pada kami meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada allah lain ! Sebab TUHAN, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita lalui…” (Yosh. 24:15 – 17; bd. ay. 21 “Tetapi bangsa itu berkata kepada Yosua: "Tidak, hanya kepada TUHAN saja kami akan beribadah."; ay. 24-25 -> “Lalu jawab bangsa itu kepada Yosua: "Kepada TUHAN, Allah kita, kami akan beribadah, dan firman-Nya akan kami dengarkan. Pada hari itu juga Yosua mengikat perjanjian dengan bangsa itu dan membuat ketetapan dan peraturan bagi mereka di Sikhem”).

3.2. Refleksi Panggilan atas Abraham ke dalam Eksodus dari Mesir

     Tradisi dan peristiwa Allah memanggil Abraham dijadikan landasan kuat bagi teolog Israel dalam APL untuk mengembangkan makna pembebasan (ekxodus) dari Mesir. Pola narasi ini tampak dalam 2 (dua) hal : Pertama, telah terjadi kekacauan besar dalam wilayah Mesopotamia (Babel), sebelum Abraham disuruh pergi keluar dari tanah kelahirannya (Kej. 11:1-9, 27-32).  Penulis Kitab-Kitab Musa”, menyoroti keadaan sama yang dialami keturunan Israel dalam kurun waktu dan tempat berbeda, di Mesir. Israel mengalami kesengsaraan setelah kematian Yusuf, karena Firaun baru yang memerintah tidak mengenal Yusuf (Kel. 1: 8 -> “Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir, yang tidak mengenal Yusuf”). Kedua, kondisi kesengsaraan menjadi alasan kuat bagi Allah untuk membebaskan umat-Nya. Stuktur narasi seperti ini selalu dipakai berulang-ulang, meskipun terjadi perubahan tidak berarti, dalam tiap narasi penyelamatan / pembebasan yang dikerjakan oleh Allah dalam sejarah umat-Nya.

3.3. Pergeseran Qiblat dan Pusat Ibadah

      Pertama, setelah dibebaskan Allah dari Mesir, Israel mulai bergaul dengan suku-suku bangsa Kanaan. Sejak saat itulah terjadi akulturasi (percampuran budaya dan agama). Perjumpaan itu tampak dalam ritual  penyembahan patung anak lembu emas (Kel. 32; bd. Ul. 9:7-29). 

     Kedua, sepnjang masa kerajaan Israel-Yehuda menggeserkan qiblat dan pusat ibadah pada perayaan-perayaan korban persembahan sesuai Hukum Musa. Seakan hal inilah yang dituntut TUHAN dari mereka. TUHAN tidak senang akan hal itu. Ibadah Israel berubah menjadi Ibadah Hukum, tanpa pengenalan akan Allah dan tanpa mengerjakan kehendak TUHAN Allahnya (bd. Yes. 29:13 -> “Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,…”). Israel membangun hidup keagamaannya menurut keinginan sendiri, lalu mencari legalitasnya dalam Hukum Musa. 

3.3. Ibadah tanpa keadilan dan kebenaran, tanpa kebaikan dan kasih setia, tanpa kerendahan hati.

      Sejak Israel menduduki dan bergaul dengan suku-suku bangsa Kanaan, terjadilan perkembangan besar dalam praktik hidup keagamaannya. Qiblat dan pusat ibadah tidak tertuju lagi kepada TUHAN Allah, melainkan sekedar untuk memenuhi tuntutan hukum Taurat. Itulah sebabnya para nabi menyatakan ketidak senangan Allah atas Ibadah Israel, suatu ibadah tanpa keadilan dan kebenaran : “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir. Apakah kamu mempersembahkan kepada-Ku korban sembelihan dan korban sajian, selama empat puluh tahun di padang gurun itu, hai kaum Israel ?” (Am. 5 : 21-27). Padahal yang dikehendaki adalah “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran” (Hos. 6:6); “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup; dengan demikian TUHAN, Allah semesta alam, akan menyertai kamu,… Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang; mungkin TUHAN, Allah semesta alam, akan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf” (Am. 5:14-15); “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu : selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu ?” (Mikh. 6:8). 
 
      Allah menghendaki pengenalan akan Dia serta memperlihatkan perilaku yang menghadirkan keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kasih-setia (kesetiakawanan sosial) dan hidup dengan rendah hati, sama seperti yang telah dilakukan-Nya, ketika Dia membebaskan Israel pada waktu mereka menjadi budak di Mesir (bd. Kel. 3:2 –> “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.”; 23:9b -> “sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir”).

C.4.  Persembahan Persepuluhan

4.1. Kesaksian Alkitab

Tujuan penelitian dan pengkajian atas kesaksian Alkitab mengenai Persembahan Persepuluhan bukanlah untuk membenarkan Ketetapan PS-GPIB tahun 2010 dan PST-GPIB 2011. Sebab jika hal itu dilakukan untuk tujuan tersebut, maka saya telah mengkhianati kebenaran Alkitab. Upaya ini dilakukan oleh karena saya menyadari tanggungjawab yang diberikan Allah melalui pengutusan GPIB untuk membantu menemukan “kebijakan Alkitab” demi menjelaskan keputusan gerejawi terkait pada pelaksanaan Persembahan Persepuluhan di dalam Gereja ini. 

a.   Kesaksian Perjanjian Lama

      Tradisi APL terkait Persembahan Persepuluhan sangat beragam. Seperti telah dikemukakan di atas, Persembahan Persepuluhan bukanlah tradisi Agama Israel. Ia merupakan sebuah sendimentasi dari tradisi-tradisi budaya-agama-suku yang ditranformasikan ke dalam Agama Israel. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati memperlakukan sumber tradisi terkait ritual ini. 

a.1. Persembahan Abraham kepada Melkizedek, Raja Salem.

Melkisedek, raja Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: "Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan musuhmu ke tanganmu." Lalu Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya. (Kej. 14:18 – 20).
Jelas sekali, bahwa Kejadian 14  : 18 – 20 ini disisipkan oleh penulis narasi. Sebab, seharusnya, Kejadian 14 : 17 dilanjutkan ayat 21 – 24, sehingga ia berbunyi :

17. Setelah Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong dia ke lembah Syawe, yakni Lembah Raja (ay. 18 – 20  tentang pertemuan dengan Melkizedek) 21. Berkatalah raja Sodom itu kepada Abram: "Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah untukmu harta benda itu." 22. Tetapi kata Abram kepada raja negeri Sodom itu: "Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi: 23. Aku tidak akan mengambil apa-apa dari kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasutpun tidak, supaya engkau jangan dapat berkata: Aku telah membuat Abram menjadi kaya. 24. Kalau aku, jangan sekali-kali ! Hanya apa yang telah dimakan oleh bujang-bujang ini dan juga bagian orang-orang yang pergi bersama-sama dengan aku, yakni Aner, Eskol dan Mamre, biarlah mereka itu mengambil bagiannya masing-masing."
Identitas Melkizedek. Oleh karena itu, sisipan narasi Abraham <–> Melkizedek menjadi tidak jelas. Dari manakah asal-usul Melkizedek ? Asal usulnya tidak diketahui secara pasti (bd. Ibr. 7 : 3 -> Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya.). Hanya dituliskan jabatannya selaku Raja dan Imam di Salem  (ay.18). 

Terkait dengan persepuluhan yang diberikan Abraham kepada Melkizedek, baik penulis Kejadian maupun Surat Ibrani menyatakan hal yang sama : … lalu Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya (bd. Ibr. 7 : 4 -> Camkanlah betapa besarnya orang itu, yang kepadanya Abraham, bapa leluhur kita, memberikan sepersepuluh dari segala rampasan yang paling baik”). Narasi Abraham <-> Melkizedek pun tidak memberikan informasi mendetail mengenai tradisi sepersepuluh. Abraham melakukannya jauh sebelum ada Hukum Taurat (Musa).

a.2. Tradisi Yakub

“Lalu bernazarlah Yakub: "Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.” (Kej. 28:20-22)
      Sama halnya dengan perbuatan Abraham; akan tetapi tujuan persembahan sepersepuluh itu diberikan Yakub pun kepada TUHAN, bukan untuk manusia. Hal itu terjadi jauh sebelum ada Hukum Taurat.

a.3. Tradisi Hukum Musa (Taurat)

          22 Haruslah engkau benar-benar mempersembahkan seperse-puluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu, tahun demi tahun. 23 Di hadapan TUHAN, Allahmu, di tempat yang akan dipilih-Nya untuk membuat nama-Nya diam di sana, haruslah engkau memakan persembahan persepuluhan dari gandummu, dari anggurmu dan minyakmu, ataupun dari anak-anak sulung lembu sapimu dan kambing dombamu, supaya engkau belajar untuk selalu takut akan TUHAN, Allahmu. 24 Apabila, dalam hal engkau diberkati TUHAN, Allahmu, jalan itu terlalu jauh bagimu, sehingga engkau tidak dapat mengangkutnya, karena tempat yang akan dipilih TUHAN untuk menegakkan nama-Nya di sana terlalu jauh dari tempatmu, 25 maka haruslah engkau menguangkannya dan membawa uang itu dalam bungkusan dan pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, 26. dan haruslah engkau membelanja-kan uang itu untuk segala yang disukai hatimu, untuk lembu sapi atau kambing domba, untuk anggur atau minuman yang memabukkan, atau apapun yang diingini hatimu, dan haruslah engkau makan di sana di hadapan TUHAN, Allahmu dan bersukaria, engkau dan seisi rumahmu. 27 Juga orang Lewi yang diam di dalam tempatmu janganlah kauabaikan, sebab ia tidak mendapat bagian milik pusaka bersama-sama engkau. 28 Pada akhir tiga tahun engkau harus mengeluarkan segala persembah-an persepuluhan dari hasil tanahmu dalam tahun itu dan menaruhnya di dalam kotamu; 29 maka orang Lewi, karena ia tidak mendapat bagian milik pusaka bersama-sama engkau, dan orang asing, anak yatim dan janda yang di dalam tempatmu, akan datang makan dan menjadi kenyang, supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau di dalam segala usaha yang dikerjakan tanganmu." (Ul. 14 : 22 – 29).
Ada beberapa butir penjelasan yang dapat ditemukan dalam tradisi ini :

i.    22 Haruslah engkau benar-benar mempersembahkan sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu, tahun demi tahun (ay. 22).

·      Persembahan sepersepulun itu diambil dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu. Jadi tidak dikatakan dalam Hukum Musa, bahwa ada diskon; atau pun tidak dikatakan setelah memotong modal pembelian benih, lalu dihitung sepersepuluh dari hasil ladang untuk dipersembahkan ke ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu.

·      Persembahan sepersepuluh itu diberikan pada setiap tahun atau setiap akhir tahun (kemungkinan ada Hari Raya Keagamaan di Israel yang terkait dengan persembahan seprsepuluh ini). 

Masalahnya : apakah waktu membawa persembahan sepersepuluh itu setiap bulan ataukah setiap tahun (setahun satu kali) ?

·      Persembahan Persepuluhan merupakan persembahan natura (hasil bumi, hasil lading, hasil panen).

ii.   24 Apabila, dalam hal engkau diberkati TUHAN, Allahmu , jalan itu terlalu jauh bagimu, sehingga engkau tidak dapat mengangkutnya, karena tempat yang akan dipilih TUHAN untuk menegakkan nama-Nya di sana terlalu jauh dari tempatmu, 25 maka haruslah engkau menguangkannya dan membawa uang itu dalam bungkusan dan pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu,

·      “… apabila dalam hal engkau diberkati TUHAN, Allahmu”. Kata “apabila” dapat memiliki konotasi “jika, jikalau, seandainya, andaikan” yang menunjuk pada kondisi tertentu di mana seseorang menerima berkat TUHAN selama setahun. “Jikalau seseorang menerima berkat Allah selama setahun, maka ia wajib membawa persembahan sepersepuluh ke tempat yang dipilih Allah”. Lalu bagaimanakah, jika ia tidak menerima berkat ? Dibutuhkan ketulusan hati dan kejujuran untuk melakukan sebuah tindakan etis-moral. Bisa saja seorang yang mendapat berkat pun berbohong dalam jumlah sepersepuluh dari  seluruh penghasilannya.

·      Persembahan sepersepuluh dari hasil panen (hasil panen dan hasil bumi) dapat diuangkan. Sekali lagi, orang Israel yang bertempat tinggal jauh dari “tempat yang dipilih oleh Allah” (Bait Allah di Yerusalem, Bukit Zion) dapat menguangkan hasil bumi dan hasil panen, kemudian uang itu diserahkan kepada pengurus Bait Allah di Bukit Zion – Yerusalem. Ketentuan ini bersifat kondisional. Tidak berlaku umum. Artinya, bila seseorang bertempat tinggal di Bukit Zaitun yang dekat jaraknya dengan Yerusalem, ia dapat membawa hasil bumi dan hasil panen ke sana. Selanjutnya, orang Israel yang tinggak di Kapernaum atau Yerikho, yang jaraknya jauh dari Yerusalem, dapat menjual hasil bumi dan hasil panen, lalu membawa uangnya ke Bait Allah.

iii.  27 Juga orang Lewi yang diam di dalam tempatmu janganlah kauabaikan, sebab ia tidak mendapat bagian milik pusaka bersama-sama engkau. 28 Pada akhir tiga tahun engkau harus mengeluarkan segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu dalam tahun itu dan menaruhnya di dalam kotamu; 29 maka orang Lewi, karena ia tidak mendapat bagian milik pusaka bersama-sama engkau, dan orang asing, anak yatim dan janda yang di dalam tempatmu, akan datang makan dan menjadi kenyang, supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau di dalam segala usaha yang dikerjakan tanganmu."

·      Hak Orang Lewi dan kewajiban umat Allah

Menurut tradisi sumber-sumber EYDP, pertama, suku Lewi tidak mendapat tanah warisan/pusaka, ketika Israel menduduki wilayah Kanaan (lsimak ay. 29), karena Allah mengkhususkan mereka untuk menata-layani ibadah umat-Nya. 

Kedua, orang asing, anak yatim dan janda adalah kaum dhuafa (secara ekonomi disebut berkekurangan. Saya kurang setuju  menggunakan istilah “miskin”, sebab istilah ini bermakna ganda, istilah bersayap). Kaum dhuafa ini dikategorikan sebagai kaum tertindas, kaum menderita, kaum sengsara, orang-orang sebatang kara. Mereka berhak menerima jatah dari persembahan sepersepuluh yang diberikan Israel ke Bait Allah

Dengan demikian persembahan sepersepuluh (10% dari hasil bumi dan hasil panen) yang diberikan Israel ke Bait Allah mempunyai tujuan diakonal : pelayanan kemasyarakatan (pelayanan kasih / karitas). Dalam istilah APB disebut pelayanan meja, tidak sama artinya dengan Perjamuan Kudus.
Dalam hal inilah persembahan sepersepuluh (10%) dilegalisasir untuk kepentingan ibadah umat (menurut tradisi hukum-hukum). 

a.4. Perbedaan antara pesembahan sepersepuluh (10%) yang dilakukan oleh Abraham dan Yakub dan yang dituntut oleh hukum Musa yang diberlakukan pada masa kerajaan.

a). Yakub memberikan persembahan sepersepuluh kepada Allah, bukan berdasarkan tuntutan hukum agama ! Tindakan itu lahir dari motivasi (kesadaran dan pengenalannya akan Allah) etis-moral tentang apa yang dilakukan. Keduanya mempersembahkan sepersepuluh (10%) bukan karena takut menerima hukuman Allah, melainkan karena ucapan syukur atas kebaikan yang telah diperoleh dari tangan-Nya.  

b). Begitu pula Abraham memberikan persembahan seperse-puluh (10%) kepada Melkizesek, bukan supaya ia meme-nuhi tuntutan hukum (sebab waktu itu belum ada Hukum Taurat). Akan tetapi persembahan persepuluhan kepada Allah merupakan tindakan yang lahir dari hati nurani. Itulah ucapan terima kasih. Ikhlas, tulus dan bersumber dari kejujujuran hati. 

c). Selanjutnya Israel masa kerajaan membawa persembahan sepersepuluh (10%) karena tuntutan hukum, bukan karena motivasi (kesadaran) etis moral. 

a.5. Sikap dan Pernyataan Allah atas ritual persembahan korban

Inilah sikap dan pernyataan Allah tentang persembahan korban (termasuk persembahan persepuluhan) : Apakah kamu mempersembahkan kepada-Ku korban sembelihan dan korban sajian, selama empat puluh tahun di padang gurun itu, hai kaum Israel ?” (Am. 5 : 27). 

Apakah yang dikehendaki Allah ? “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai penge-nalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran” (Hos. 6:6); “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup; dengan demikian TUHAN, Allah semesta alam, akan menyertai kamu,… Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang; mungkin TUHAN, Allah semesta alam, akan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf” (Am. 5:14-15); “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu : selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu ?” (Mikh. 6:8). Secara manusiawi siapapun dapat melaksanakan ritual persembahan korban sesuai tuntutan hukum. Itupun baik, tetapi yang benar ialah Allah menghendaki pengenalan akan Dia yang mewarnai perilaku etis-moral dalam pelayanan kemasyarakatan.

b.    Kesaksian Perjanjian Baru

b.1.  Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan (Mat. 23:23)

       Ayat ini tidak menunjukkan, bahwa Yesus mnganjurkan orang kristen membayar persepuluhan. Yesus sedang mengecam para Ahli Taurat dan Orang Parisi yang “telah menduduki kursi Musa” (Mat. 23:2). Mereka mengajarkan umat Israel membayar persepuluhan. Bukan persepuluhan yang dimaksudkan oleh Yesus; akan tetapi nilai etis-moral yang terkandung dalam tindakan ritual, yakni : keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (bd. Mikh. 6:8 -> “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu : selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu ?). Dengan demikian, menurut Yesus, persembahan persepuluhan bukan dilakukan untuk memenuhi tuntutan hukum Taurat, melainkan untuk memperlihatkan kehendak Allah yang termaktub di dalamnya.

b.2.  Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. (Lukas 18:11-12).
       Sama seperti butir b.1. di atas, kutipan ini tidak dapat digunakan untuk membenarkan pendapat, bahwa orang kristen wajib membayar persepuluhan. Ucapn itu merupakan sindiran Yesus terhadap cara hidup keagamaan para Ahli Taurat dan orang Parisi.
b.3.  Dan di sini manusia-manusia fana menerima persepuluhan, dan di sana Ia, yang tentang Dia diberi kesaksian, bahwa Ia hidup. Maka dapatlah dikatakan, bahwa dengan perantaraan Abraham dipungut juga persepuluhan dari Lewi, yang berhak menerima persepuluh-an,… (Ibrani 7:8-9). 

       Kutipan di atas bukan merupakan sebuah perintah, agar orang kristen memberikan sepersepuluh (10%). Sama sekali kutipan tersebut tidak berbicara tentang kewajiban orang kristen membayar sepersepuluh (10%). Akan tetapi penulis Surat Ibrani bermaksud membandingkan imamat Melkizedek dan  imamat Harun. Melikizedek yang bukan keturunan Lewi (keturunan iman), ternyata dilayani oleh Abraham (leluhur orang Lewi).  

b.4.  Yesus berkata : “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat. 5 : 17 – 18).

       Ucapan Yesus ini pun tidak dapat dipakai menjadi landasan bagi persembahan / persepuluhan sepersepuluh (10%). Penulis Injil Matius tidak menghubungkan ucapan Yesus dengan plaksanaan klausul tertentu di dalam Hukum Taurat (tentang persembahan persepuluhan). Kutipan ini dimaksudkan penulis Matius untuk menasihati orang kristen-israeli dan non-israeli, karena mempersoalkan status dan fungsi hukum Taurat.

Jikalau demikian : adakah ayat-ayat APB menjelaskan tentang persembahan persepuluhan ? Kita tidak menemukan penjelasan apapun dalam Alkitab Perjanjian Baru (APB), bahwa orang Kristen wajib memberi persembahan persepuluhan (10%), jika hal itu dibandingkan dengan dunia APL.  

c.    Memberi secara Kristen

       APB hanya menuliskan tentang bagaimana orang Kristen memberikan persembahannya :

c.1. Waktu Pemberian

Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing --- sesuai dengan apa yang kamu peroleh ---menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang (1 Kor. 16:2). Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu. Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan,…(2 Kor. 8:12)

·         Pemberian itu dipersiapkan dari rumah dibawa pada tiap-tiap minggu. 

·         Pemberian itu diambil dari “apa yang diperoleh, berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu” pada setiap minggu.

c.2. Tujuan Pemberian Kristen

“Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan “ (2 Kor. 8:12-15)

      Tujuan dan pemanfaatan persembahan kristen, sesungguhnya, supaya ada keseimbangan. Istilah “keseimbangan” dipakai dalam pngertian keadilan. Paulus menuliskan surat ini kepada Jemaat Korintus, agar mereka mengumpulkan pemberian sukarela untuk membantu anggota-anggota jemaat yang sedang dilanda musibah kekeringan yang menimbulkan kekurangan pangan di Yerusalem. Pauluspun tidak memaksa orang kristen di Korintus untu memberikan persembahan sukarela; akan tetapi ia ingin melihat keiklasan kasih mereka (2 Kor. 8:8). Inilah kasih itu “Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Kor. 5:15). 

c.3. Sifat dan Sikap Memberi

“Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”  (2 Kor. 9:7). Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu. Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan,…(2 Kor. 8:12).

3.1. Sifat pemberian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar