Sabtu, 02 Februari 2013

Belajar menemukan MAKNA kata FIRMAN menurut Rasul Yohanes) - PEMBERITAAN MINGGU 03 Pebruari '13


PEMBELAJARAN DALAM PEMBERITAAN
IBADAH MINGGU, 03 PEBRUARI 2013

F I R M A N

by

PUTERA SANG FAJAR

A. PENDAHULUAN

IMAN MENURUT PANDANGAN SAYA. Saya tidak bermaksud mengganggu “iman” kalian. Sebab saya tak memahami apakah yang kalian maksudkan / konsep kalian tentang "iman".. Yang saya tahu persis “iman’ itu adalah “anugerah Allah” yang memerlukan penjelasan ilmiah / rasional (Ingatlah salah satu ucapan Yesus: “... kasihilah Allah dengan segenap akalbudimu” => Mat. 22:37). Oleh karena itu, menurut pemahaman saya, iman anugerah Allah” itu patut dibahasakan secara benar, supaya orang non-kristen mengetahui dan mengerti isi / makna kepercayaan kita.

SIKAP SAYA TERHADAP ALIRAN / PAHAM TEOLOGI, Saya bukan seorang teolog, dan bukan pengikut / penganut aliran teologi manapun. Saya pengikut Yesus Kristus. Oleh karena itu, janganlah heran, jika cara berdialektika yang saya gunakan, kadang-kadang, mengkritik sikap kaum fundamentalis kristen (sehingga saya dicap liberalis), dan juga kadang-kadang mengecam pikitan kaum liberalis (sehingga saya dicap sebagai fundamentalis). Saya kurang suka digolongkan ke dalam salah satu aliran teologi Kristen. Sebab saya cenderung mengambil posisi sebagai peneliti, pengkaji dan penguji pandangan teologi apapun berdasarkan perkembangan konsep gagasan teologi yang tertulis dalam Kitab Suci Kristen (66 kitab yang dikanonkan tahun 325 Masehi dalam Konsili Ekumenis di Nicea - Itali, tidak termasuk “deuterokanonika” dalam Alkitab terjemahan Gereja Roma Katolik).

B.  PENGENALAN KATA DALAM INJIL YOHANES 1 : 1 – 9

Pada mulanya adalah FIRMAN; FIRMAN itu bersama-sama dengan Allah dan
FIRMAN itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama – sama dengan Allah”
(Yoh. 1:1-2)
      
a.   Asal – Usul Kata.

Kata “firman” berasal dari Bahasa Arab, sedangkan Bahasa Indonesia : “sabda, kata., ucap, ujar.” Bahas a APL-nya : “dabar, amar” dan APB-nya : “logos.

b.   Penggunaan Kata.

Secara umum kita --- dalam masyarakat luas --- kurang begitu memperhatikan pembedaan pemakaian kata kerja (verbum). Hal ini menunjukkan tingkat kemampuan berbahasa Indonesia masih rendah, contohnya kata kerja (verbum) : “firman”, “sabda” dan “kata.” 

Masing-masing kata kerja dikenakan kepada subjek (orang) sesuai kedudukan / jabatan / statusnya. Pertama, verbum “firman” (berfirman) tak pernah dikaitkan kepada manusia (tak mungkin kita katakan) : “Orang itu berfirman !,” meskipun ia berkedudukan sebagai raja atau presiden. Verbum (kata-kerja) tersebut hanya dikenakan kepada Yang Mahakuasa : Allah, TUHAN (Allah berfirman). Kedua, verbum “sabda.” Sepanjang sejarah perkembangan bahasa, tak pernah verbum tersebut dikaitkan pada rakyat biasa. Ia selalu dikaitkan dengan orang yang berstatus pemimpin, seperti raja dan ulama / baghawan (dalam tradisi Jawa Kuno, kita membaca : Sabda Gusti Pangeran, Sabda Panditha Ratu). Ketiga, “kata.” Verbum ini biasanya dipakai secara umum di kalangan masyarakat.

c.  Makna Verbum : Firman.

*   Pada bahagian pertama dari butir b di atas saya jelaskan, bahwa verbum “firman” selalu dihubungkan kepada TUHAN Allah. Apakah maksudnya orang Israel Kuno berpikir demikian ? Oleh karena mereka memahami TUHAN, Allah leluhurnya, selaku Pencipta dan Pemilik umat. Menurut pemahaman iman (gagasan teologi Agama Israel Kuno), TUHAN itu adalah Allah Mahakuasa. Ia memiliki kekuatan kuasa, yang disebut Roh. Roh itu subtansi / hakekat / esensi Allah, sehingga segala sesuatu yang dikaryakan (difirmankan dan dikerjakan) memamerkan kekuatan kuasaNya.

* Firman (bc. kata) adalah simbol bahasa yang menunjuk pada pikiran dan perasaan bathiniah seseorang yang mengucapkannya; katakanlah contoh : jika seorang ayah menyuruh mengambil kursi, lalu anaknya membawa bangku, maka kita dapat menilai, bahwa telah terjadi kesalahan berpikir dalam benak si anak. Mengapa ? Karena gambaran sang ayah kurang sejajar dengan kemampuan berpikir anak, dan atau, anak tidak mengerti perintah ayahnya. Kursi berbeda dari bangku, meskipun fungsi-nya sama : untuk diduduki. Di sinilah kita mengerti kekesalan seorang ayah, karena permintaan atau perintahnya salah ditafsirkan. Keliru mengkomunikasikan gagasan.

   Amat berbeda, seandainya sang ayah menyuruh mengambil “tempat duduk.” Jika anaknya memberikan “dengklek,” maka sang ayah harus menerimanya, sebab yang dimintainya adalah “tempat duduk(“dengklek” adalah tempat duduk yang dipakai ibu-ibu ketika mencuci pakaian).

Dengan demikian, jika kita mempertanggungjawabkan “iman kristen” (apologia), maka kita harus memakai kata / kalimat / bahasa secara tepat dan benar, supaya teman diskusi akan mengerti pikiran dan perasaan kita. Jika kita tidak melakukannya secara benar baik, maka akan timbul kesalahpahaman, yang ujung-ujungnya berakhir perpecahan atau sedikit-dikitnya membuat perasaan kurang enak.
       
Sebuah contoh lagi, “Tutuplah pintu !” ujar seorang atasan kepada bawahan. Yang disuruhpun melakukannya sempurna. Keesokan harinya, terdengar berita kehilangan di ruang kantor. Atasannya segera memanggil bawahan dan membentak : “Apakah yang kaukerjakan ?” Jawab bawahannya : “Saya mengerjakan sesuai perintah Bapak. Saya sudah menutup pintu !” Atasan berkata ketus : “Maksud saya, kuncilah pintu ruang kantorku !” Bawahannya menyanggah : “Mengunci pintu tidak ada dalam perintah Bapak.” Kasus ini menunjukkan kesalahan interpretasi. Atasan tak mampu mengkomunikasikan pikiran dan keinginan secara benar, sehingga bawahannya (yang berpendidikan rendah) tak dapat menangkap maksudnya. Karena ini, bawahan tidak boleh disalahkan atau sekurang-kurangnya dikambing hitamkan dalam peristiwa pencurian itu (simaklah percakapan Ular dan Eva di Taman Eden -> Kej. 3:1-7).

Kedua contoh dikemukakan dengan harapan dapat ditelaah oleh para pengajar dan pengkhotbah, supaya berhati hati menggunakan “kata-kata” ketika memberitakan firman Allah. Salah memakai kata akan menimbulkan misinterpretasi dan miskomunikasi, yang ujung-ujungnya berakhir dalam debat kurir.

Kesimpulan :

1).   Alangkah baiknya setiap Pelayan Firman (Penatua – Diaken – Pendeta) membaca intensif perikop bacaan yang akan diberitakan secara baik benar.

2).   Berusahalah menemukan “kata kunci” dalam perikop bacaan. Kemudian carilah “kata-kunci” itu dalam seluruh kesaksian penulis kitab, misalnya : FIRMAN, HIDUP, TERANG, KEMULIAAN... carilah penggunaannya dalam Kitab Injil Yohanes. Lantas perhatikanlah keunikan kata menurut pemahaman penulis Injil Yohanes, sebab sekalipun kata yang sama digunakan oleh penulis kitab Injil lain (misalnya : Markus, Matius, Lukas) belum tentu gagasan teologinya sama. Dengan cara demikian pemberita menghormati penulis Injil Yohanes.

       Ketrampilan seperti itu akan meningkat, jika anda rajih menempa diri !


Latihlah dirimu, supaya terampil
berbahasa dan mengkomunikasikan Injil Kristus !

MEDAN – SUMATERA UTARA,
HARI MINGGU, 03 PEBRUARI 2013

SALAM DAN DOAKU

PENULIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar