Jumat, 15 Februari 2013

USULAN KEPADA PESERTA PST 2013 DI MAKASAR


YANG MUTABIR :



  • Majelis Sinode GPIB XIX,  dan sekalian 
  • Utusan Jemaat - Jemaat

  • dalam Persidangan Sinodal Tahunan 2013


    di 

    Makasar - Sulawesi Selatan.-

    Saya menuliskan beberapa usulan seperti dalam artikel di bawah ini. Tujuannya hanyalah untuk mendorong MS GPIB XIX dan Peserta PST 2013 memikirkan dan merencanakan aktifitas Program Kerja 2013 - 2014 yang akan dimasuki.

    Jikalau ada kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan.



    THEMA
    PERSIDANGAN SINODE TAHUNAN
    19 – 22 PEBRUARI 2013

    “KEMITRAAN & KESETARAAN DEMI KESETIAKAWANAN SOSIAL”
    Galatia 3 : 24 – 29

    BY
    ARIE A. R. IHALAUW

    PENDAHULUAN

    I.    TATANAN (ORDE) DUNIA LAMA

    1.   PERUBAHAN SOSIAL

    Perubahan dan perkembangan sosial (bisa maju, bisa mundur juga) yang sedang dan akan terjadi tidak seorangpun mengetahuinya secara pasti; oleh karena pengaruh politik internasional. Jauh di balik riak politik internasional, sesungguhnya, terletak masalah dalam negeri tiap negara-bangsa saling mempengaruhi. Kita perlu menginventarisasi dan mengidentifikasi, masalah domestik, seperti : pemiskinan dan keadaan miskin, pendidikan dan pembodohan, hukum dan keadilan sosial, pemerataan kesempatan kerja dan kesejahteraan sosial, dan lain-lain. Kita juga, selayaknya, mencermati hubungan politik antar negara, oleh karena kondisi internasional dipengaruhi pula oleh kompetensi (kepentingan) masing-masing ‘negara-pemimpin,’ meskipun kita tidak pernah mengakui, namun takluk di bawah ‘kebijakan dan kemauan politik’-nya. Hubungan yang kurang harmonis antar negara bangsa akan mempengaruhi kondisi domestik (simaklah berbagai kasus : Iraq di bawah kepemimpinan Sadam Husein, perang saudara di Afganistan, alasan-alasan di balik perlawanan teroris pimpinan Osama bin Laden, perang saudara yang sekarang terjadi di Suriah, dan lain-lain).

    Kadang-kadang kita sengaja melupakan akan sentimen keagamaan yang bermain di balik tindakan diskriminasi politik perang dan terorisme dalam negeri maupun hubungan internasional. Kita mendamaikan masalah dengan mengemukakan pandangan, bahwa kekerasan teror yang dilakukan hanyalah disebabkan kesenjangan sosial belaka.    

    Beberapa negara maju di Eropa-Amerika (beberapa juga di Asia) mempengaruhi penataan dunia menurut ideologi bangsanya, tanpa mau memahami kondisi psikologis masyarakat di belahar dunia lain (Asia-Afrika). Malahan sering kita menyaksikan pemanfaatan kemakmuran ekonomi sebagai senjata untuk tujuan penjajahan politik terhadap negara-negara di Asia–Afrika. Embargo ekonomi yang diberikan kepada negara-negara tertentu hampir-hampir menghancurkan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan demikian, negara maju mengajukan alasan politis sejalan dengan ideologinya (simaklah latar belakang gerakan bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam sidangnya di Bandung pada era enam puluhan; simaklah kasus perang Vietnam di bawah kekuasaan Amerika). Gambaran singkat yang dikemukakan ini hendak mengajak kita berhati-hati dan bersikap jujur mengkaji perubahan dan perkembangan sosial di Indonesia akhir-akhir ini. Dengan demi kita dapat mengatasi masalah sosial dalam negeri.

    2.  GLOBALISASI,

    Di satu sisi ia dipandang sebagai sebuah gerakan yang bersifat alamiah; akan tetapi kita perlu memikirkannya sebagai alat yang digunakan sebagai senjata politik juga. Mungkin saja kita hanya menyoroti kegunaannya bagi pertumbuhan kesejahteraan, namun janganlah kita melupakan faktor X yang berperan di dalamnya. Bukankah globalisasi itu merupakan rekayasa ideologis juga ? Simaklah alasan-alasan yang melatarbelakangi gerakan “glasnot” di Rusia, ketika Gorbachev memerintah. Di samping alasan politik dalam negeri, bukankah ada juga dorongan dari Nato di bawah kepemimpinan USA untuk memecahkan perang dingin di antara mereka ? Saya tidak menentangnya, tetapi mengingatkan kita bahwa dalam arus globalisasi terdapat pula elemen positif dan negati --- jika tidak dikelola secara baik benar --- akan berbalik menjadi mesin penghancur tatanan kehidupan masyarakat, termasuk keagamaan.  

    3.  KEMITRAAN dan KESETARAAN.

    Mungkin kita berpikir seakan-akan dahulu masalah kemitraan dan kesetaraan kurang digumuli manusia dalam sistem sosialnya. Pandangan ini keliru, sebab kita menilai menurut ukuran modern. Selayaknya, kita mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan konsep berpikir manusia menurut waktu dan tempatnya. Ada beberapa persoalan yang terkandung di dalam Tema PST 2013 ini, antara lain :

    Ketegangan antar umat beragama dalam masyarakat.

    Seharusnya, kita mempelajari latarbelakangnya dari sudut pandang sosial politik. Saya temukan beberapa akar  persoalan, yakni : pertama, perpindahan keyakinan. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan kekristenan telah diwarnai oleh sikap antipati pemerintah (Romawi) terhadap perubahan yang terjadi karena berpindahnya sejumlah warga menjadi kristen. So pasti, sikap tersebut merupakan hak azasi perorangan; akan tetapi perpindahan itu bukan saja mencakup perubahan status sosial, melainkan juga perubahan pola / cara berpikir (misalnya : pandangan kristen tentang penguasa negara yang berbeda keyakinan pada waktu itu). Kedua, kristenisasi (refleksi atas pesan Yesus – Mat. 28 : 19 – 20). Setelah kekristenan mengendalikan penguasa negara / kerajaan di Eropa, maka lahirlah gagasan terkait gerakan yang diilhami gagasan corpus christianum (persaudaraan kristen). So pasti, pula tersirat di dalam gerakan tersebut pembangunan Kerajaan Allah di dunia yang dipimpin oleh umat Kristen. Alasan ini diinspirasi karena pentafsiran sempit tentang tugas Kristen yang disuruh oleh Yesus (Matius 28 : 19 – 20). Pesan itu sah-sah saja dan benar. Akan tetapi penguasa Kristen menjalankan politik praktis untuk membela para misionaris. Banyak orang dibunuh jika menolak menjadi Kristen. Sikap penguasa ini disama sejajarkan denga sikap Pemimpin Gereja. Kristenisasi mendapat tantangan berat dari bangsa-bangsa Asia-Afrika yang telah lama memiliki budaya-agama-suku. Saya kurang setuju memasukkan pikiran ini ke dalam kekristenan, tetapi lebih cenderung menyebutnya : budaya kristen dikarenakan kristenisasi merupakan cara strategi yang ditafsirkan menjadi doktrin teologis untuk membentuk karakter orang kristen tentang bagaimana ia memandang manusia dan ciptaan Allah lainnya. Dalam hubungan dengan hal ini, penganut keristen berpendapat, bahwa kekristenan majadi satu-satunya agama yang benar, dan orang-orang kristen adalah satu-satunya yang dipilih Allah dari antara seluruh umat manusia yang berbeda keyakinan. Dengan demikian, menurut orang kristen, budaya-agama-suku tidak baik dan tidak benar. Ketiga, perang salib pengkeramatan Yerusalem – Israel. Setelah penguasa Islam – Turki menaklukan Yerusalem (Israel), muncullah reaksi keras pihak Kristen. Hal ini dilatarbelakangi pentafsiran tentang fungsi Yerusalem sebagai kota suci (pengkultusan Yerusalem layaknya pandangan budaya-agama-suku). Mereka berusaha mengembalikkannya melalui strategi perang. Sikap ini membawa pengaruh negatif yang masih berakar dalam pemahaman Islam terhadap setiap gerakan Kristen sampai hari ini. Keempat, sikap penjajah Kristen terhadap kaum pribumi di Indonesia. Semua kasus yang diulas itu merupakan akar serabut saja. Kelima, akar tunggalnya adalah perbedaan pandangan teologi (ajaran masing-masing tentang eksistensi dan fungsi agama) tentang jatidiri dan tugas fungsinal agama membangun manusia di dalam masyarakat. Inilah pokok masalahnya.

    Saya mendorong Gereja untuk meneliti, mengkaji dan menguji berbagai kasus sosial yang berlatarbelakang sentimen keagamaan, sebelum menegakkan hipotesa serta mencari solusi demi pengadaan Rencana Program Kerja Tahun 2013 – 2014 mendatang. Jika tidak demikian, maka Gereja akan berjalan dalam keadaan samar-samar, bukan gelap dan bukan terang, alias rabun penglihatan.

    4.    Gerakan emansipasi kaum perempuan dan perlindungan anak

    Kita perlu membijaki masalah prinsipal / subtansial (teologis) dan praktiis paedagogis, ketika mencermati tindakan diskriminasi atas kaum perempuan serta perrlindungan terhadap anak / anak-anak. Hal ini dikarenakan kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) dan emansipasi kaum perempuan telah banyak dipolitisir untuk tujuan dan kepentingan golongan / kelompok politik.

    Pada prinsipnya Teologi Alkitabiah melarang berbagai bentuk tindakan diskriminasi dan kekerasan atas kaum perempuan maupun anak / anak-anak. Namun perlu dicermati latarbelakang kasual dari sebuah tindakan. Tidak boleh serta merta menghakimi. Itulah bentuk kearifan. Hal ini diperingatkan, supaya Gereja tidak terseret ke dalam derasnya arus politisasi yang didengungkan para politisi praktis. Oleh karena itu, Gereja perlu mengadakan ‘ensiklik’ yang menjelaskan sikapnya terhadap kasus-kasus KDRT, diskriminasi kaum perempuan dan perlindungan anak / anak-anak. Mendengar banyak, tetapi berbuatlah mengurangi risiko sekecil mungkin, jikalau hal itu dapat dilakukan sesuai kesanggupan Gereja. Tidak boleh  muncul dikarenakan paksaan dan karena desakan pihak manapun. Dengan demikian akan menjaga citra gereja selaku pengayom semua aspirasi  politik praktis, tanpa menyalahkan dan menyakiti yang berbeda pandangan.

    USULAN :

    Untuk dipikirkan dan direncanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Program bidang IMAN – AJARAN - IBADAH (IAI), bidang GEREJA & MASYARAKIAT (Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia Baru), juga Bidang Program PEMBERDAYAAN & PEMBINAAN SUMBER DAYA INSANI.

    5.  Gereja dan Kebudayaan.

    Isue politik hangat terkait kemitraan (partnership) dan kesamaan (equlity) masih akan dipersoalkan ke depan. Beberapa masalah --- hubungan antar umat beragama, antar umat Kristen yang berbeda denominasi sesuai dogma, perlakuan masyarakat tertentu dan sikap pemerintah terhadap kelompok berbeda keyakinan / agama, dan lain-lain --- memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Marilah kita belajar untuk memisahkan manakah nilai-nilai teologi-alkitabiah menurut pesan Yesus, Tuhan Gereja, serta budaya Kristen yang lahir karena pergumulan Gereja dalam konteks sosialnya. Pemahaman ini, selayaknya, patut dipikirkan karena selama ini kita kurang (jika tidak mau dikatakan “tidak sama sekali”) mengkaji dan mengevaluasi perilaku sosial umat Kristen / warga dan pejabat Gereja dalam masyarakat. Pertanyaan strategisnya : apakah semua kebijakan Gereja adalah sama dengan yang dipesankan Yesus ? ataukah kebijakan itu merupakan sebuah usaha formulasi tugas misional Gereja sebagai institusi sosio-religius ? Dan, oleh karena itu, bukankah ia dikategorikan sebagai tindakan kulturalisasi ? Jika kita dapat menemukan jawabannya dalam pesan Yesus, maka strateginya direncanakan Gereja, khususnya kelompok kerja (departemen) terkait. Inilah yang saya maksudkan dengan “membudayakan masyarakat” seturut kehendak Kristus.

    USULAN :

    Untuk dipikirkan dan direncanakan Kelompok Kerja (Pokja) Program Bidang GEREJA & MASYARAKAT (Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia Baru)

    6.  Gereja dan Pelayanan – Kesaksian.

    Sepanjang sejarah pelayanan kesaksian (PEL-KES) Gereja, khususnya GPIB, kita masih dipengaruhi pandangan tradisional : membaptiskan orang menjadi Kristen (kristenisasi) serta menggunakan cara klasik : pelayanan diakonia / charitas. Kita belum mengembangkan makna kemitraan dan kesetaraan sebagai paradigma dan strategi Pel-Kes. Cobalah kaji dan uji secara kuantitatif dan kualitatif seluruh hasil Pel-Kes sejak tahun 1970-an. Meskipun kita katakan ada, namun jumlah dan mutunya belum sebesar biji sesawi. Dan, menurut saya, hal sedemikian wajar, karena pada waktu itu keadaannya demikian.

    Memandang ke masa depan --- sesuai Tema dan Sub Tema PS-GPIB 2010 yang diemban oleh MS masa bakti 2010 – 2015 --- sudah waktunya Gereja memikirkan strategi bagaimana membentuk wawasan warga dan pejabatnya mengenai Pel – Kes bertolak dari Tema PST 2013 : KEMITRAAN & KESETARAAN. Saya menemukan 2 (dua) eleman yang saling berhubungan, yakni :

    a)   Membangun wawasan warga jemaat pekotaan akan tanggungjawab Kristen, supaya mereka mendukung seluruh aktifitas Pel-Kes, dengan tujuan : menjadikan warga jemaat dalam wilayah pos Pel-Kes sebagai mitra kerja yang setara (sederajat, semartabat), sehingga mereka mampu memberdayakan diri dalam sistem Gereja untuk menjalankan pekerjaan misional suatu saat kelak.

    b)   Pel-Kes bukan saja menciptakan “kondisi aji mumpung,” artinya : menciptakan manusia (warga Gereja) yang menggantungkan diri pada pemberian Jemaat-Jemaat pekotaan --- meskipun perlu juga ---, melainkan bagaimana Gereja secara sinodal maupun di tingkat lokal melakukan pembinaan mental spiritual serta intelektuan warga Pel-Kes, sehingga mereka mampu memberdayakan potensi yang tersedia untuk menghidupi keluarga dan mendukung pekerjaan Tuhan.

    USULAN :

    * Berpikir ke arah itu, Gereja --- melalui Bidang Program PELAYANAN – KESAKSIAN --- memikirkan dan merencanakan aktifitas program terpadu bersama Bidang PPSDI.

     * Gereja patut mengembangkan UP2M semaksimal mungkin serta didukung sepenuhnya oleh Jemaat – Jemaat dalam kategori mampu secara ekonomi.

    ECCLESIA REFORMATA SEMPER REFORMANDA

    Pada waktu para reformator Gereja mencetuskan gagasan ini keadaan masih diselimuti kabut penyesatan teologi yang menjadi landasan operasional organisasi. Semangat gagasan tersebut terkandung gagasan reformasi sistem, agar menghadirkan keselamatan bagi manusia dan ciptaan lainnya.

    Kondisi yang dihadapi Gereja sekarang dan ke depan telah jauh berubah dan berkembang. Karena itu kita diajak untuk memikirkan dan merumuskan reformasi sistem secara arif, tidak tergesa dan tidak menurut kepentingan sekelompok orang. Harus netral dan menjamin terpenuhinya seluruh aspirasi. Marilah kita mempertimbangkan beberapa isu prinsipal dan strategis :

    a.    Reformasi bidang ajaran.

       Reformnasi ajaran Gereja tidak boleh mengubah dan menggeserkan inti keyakinan Kristen kepada Yesus Kristus. Reformasi terkait ajaran, menurut saya, cenderung menunjuk pada upaya Gereja mereformulasikan pandangan dan sistem ajarannya (kepercayaan) untuk menjawab pergumulan manusia dalam konteks misional (seperi : pandangan Gereja tentang Hak Azasi Manusia, tentang Pelaksana dan Penyelenggaraan Hukum di Indonesia, tentang Pemerataan Kesejahteraan dan Kesempatan Kerja, tentang Penyimpangan kekuasaan dan jabatan yang menyebabkan korupsi, tentang perkawinan dan perceraian, tentang Manfaat Budaya bagi Manusia, tentang Eksplorasi Alam dan Tanggungjab manusia, tentang Pemilihan Umum, tentang Tindakan Kekerasan / teror yang mengatasnamakan Agama, tentang Kemiskinan dan Kesejahteraan sosial, tentang Pemberantasan Kebodohan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan Bangsa, dan lain-lain). Penjelasan pandangan Gereja (bhs. Gereja Katolik : “ensiklik Paus,” enaknya disebut : “fatwa / petunjuk teologis”) demikian akan bisa dijadikan landasan bagi operasionalisasi fungsi sistem institusi.

    c.    Reformasi sistem organisasi

    Maksud saya : upaya revitalisasi dan refungsionalisasi.  Pekerjaan ini tidak boleh mengeserkan dan mengubah pemahaman dan pengakuan iman Gereja terhadap kesaksian Alkitab tentang karya penyelamatan / pembebasan Allah yang tampak dalam pekerjaan dan hidup Tuhan Yesus. Justru di atas dasar pemahaman dan pengakuan itulah Gereja merumuskan apakah yang dimaksudkan reformasi sistem dan manakah yang harus dibuat segera oleh tuntutan zaman.

    d.    Reformasi Fungsi Struktural

    TATA GEREJA adalah karya cipta manusia yang diadakan karena alasan kontekstual. Ia bukan benda mati. Ia bertujuan mengatur dan menertibkan berbagai kebutuhan dan kepentingan pribadi maupun sekelompok orang, supaya disesuaikan pada kehendak organisasi. Ia menata dan mengatur pengelolaan kekuasaan demi menghidupkan manusia (umat dan pekerja Gereja). Yang terutama dari tujuan pengadaan Tata Gereja adalah memembebaskan Kristus yang tersalib di dalam seruan manusia yang menderita. Mengapa demikian ? Oleh karena manusia yang menjabat fungsi struktural sering memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai tujuan personal maupun kolektif melalui semboyan : demi kepentingan umum, dan atau, demi kepentingan Gereja.

    Dalam hal inilah saya mengusulkan PENYEMPURNAAN (bukan amandemen, sebab di dalam istilah tersebut terkandung makna “menggantikan;” sementara yang dimaksud adalah merumuskan ulang demi meningkatkan kualitas peraturan yang sudah ada baik menurut alasan teologis maupun operasionalnya.) TATA GEREJA 2010 sesuai persyaratan yang dicantunkan pada setiap ayat dari setiap Peraturan Pokok maupun Peraturan-Peraturan.

    e.    Reformasi terkait Pemahaman Sentralisasi dan Desentralisasi Kekuasaan.

    Acapkali ketegangan (tension) yang muncul karena penyelenggaraan misi Gereja, dikarenakan pemahaman konseptual tentang sentralisasi dan desentralisasi. Batasan konseptualnya masih samar-samar. Jemaat-Jemaat diandaikan “mesin robot” saja. Kita hanya melihat masalah bagaikan manusia berkacamata kuda : menunnggu petunjuk pimpinan. Padahal, semestinya, ada kebijakan / kearifan lokal karena keragaman konteks wilayahnya. Hal seperti ini patut dihormati. Sementara Tata Gereja kurang menjelaskan secara baik apakah makna sentralisasi dan desentralisasi.

    USULAN :

    Butir – butir (a -> e) diusulkan kepada PST 2013, dengan harapan sebagai masukan, juga rekomendasi kerja, agar MS dapat membentuk Pok-Ja (kelompok Kerja) yang ditugaskan menyempurnakan Tata Gereja 2010. Saya tidak bertujuan mengubah (mengamandemen) tetapi melakukan reformulasi (refitalisasi dan refungsionalisasi), sehingga dari padanya muncul perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan sesuai KUPG 2013 – 2014 : KEMITRAAN DAN KESETARAAN.

    ACHIRUL’KALAM

    Tak ada gading yang tak retak. Manusia tak sempurna adanya. Justru itulah alasan untuk kita bersama mencari kesempurnaan. Mungkin saja ada kata yang salah, mohon dimaafkan.


    MEDAN – SUMATERA UTARA
    Sabtu – 16 Pebruari 2013

    Salam dan Horman,

    Putera Sang Fajar.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar