YANG MUTABIR :
dalam Persidangan Sinodal Tahunan 2013
di
Makasar - Sulawesi Selatan.-
Saya menuliskan beberapa usulan seperti dalam artikel di bawah ini. Tujuannya hanyalah untuk mendorong MS GPIB XIX dan Peserta PST 2013 memikirkan dan merencanakan aktifitas Program Kerja 2013 - 2014 yang akan dimasuki.
Jikalau ada kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan.
Jikalau ada kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan.
THEMA
PERSIDANGAN
SINODE TAHUNAN
19 – 22 PEBRUARI
2013
“KEMITRAAN & KESETARAAN DEMI
KESETIAKAWANAN SOSIAL”
Galatia 3 : 24 – 29
BY
ARIE A. R.
IHALAUW
PENDAHULUAN
I.
TATANAN (ORDE) DUNIA LAMA
1.
PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan dan perkembangan sosial (bisa maju, bisa
mundur juga) yang sedang dan akan terjadi tidak seorangpun mengetahuinya secara
pasti; oleh karena pengaruh politik internasional. Jauh di balik riak politik
internasional, sesungguhnya, terletak masalah dalam negeri tiap negara-bangsa saling
mempengaruhi. Kita perlu menginventarisasi dan mengidentifikasi, masalah
domestik, seperti : pemiskinan dan keadaan miskin, pendidikan dan pembodohan, hukum
dan keadilan sosial, pemerataan kesempatan kerja dan kesejahteraan sosial, dan
lain-lain. Kita juga, selayaknya, mencermati hubungan politik antar negara,
oleh karena kondisi internasional dipengaruhi pula oleh kompetensi
(kepentingan) masing-masing ‘negara-pemimpin,’ meskipun kita tidak pernah
mengakui, namun takluk di bawah ‘kebijakan dan kemauan politik’-nya. Hubungan
yang kurang harmonis antar negara bangsa akan mempengaruhi kondisi domestik
(simaklah berbagai kasus : Iraq di bawah kepemimpinan Sadam Husein, perang
saudara di Afganistan, alasan-alasan di balik perlawanan teroris pimpinan Osama
bin Laden, perang saudara yang sekarang terjadi di Suriah, dan lain-lain).
Kadang-kadang kita sengaja melupakan akan sentimen keagamaan yang
bermain di balik tindakan diskriminasi politik perang dan terorisme dalam
negeri maupun hubungan internasional. Kita mendamaikan masalah dengan
mengemukakan pandangan, bahwa kekerasan teror yang dilakukan hanyalah
disebabkan kesenjangan sosial belaka.
Beberapa negara maju di Eropa-Amerika (beberapa juga
di Asia) mempengaruhi penataan dunia menurut ideologi bangsanya,
tanpa mau memahami kondisi psikologis masyarakat di belahar dunia lain
(Asia-Afrika). Malahan sering kita menyaksikan pemanfaatan kemakmuran ekonomi
sebagai senjata untuk tujuan penjajahan politik terhadap negara-negara di Asia–Afrika.
Embargo ekonomi yang diberikan kepada negara-negara tertentu hampir-hampir
menghancurkan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan demikian, negara maju
mengajukan alasan politis sejalan dengan ideologinya (simaklah latar belakang gerakan
bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam sidangnya di Bandung pada era enam puluhan;
simaklah kasus perang Vietnam di bawah kekuasaan Amerika). Gambaran singkat
yang dikemukakan ini hendak mengajak kita berhati-hati dan bersikap jujur mengkaji
perubahan dan perkembangan sosial di Indonesia akhir-akhir ini. Dengan demi
kita dapat mengatasi masalah sosial dalam negeri.
2. GLOBALISASI,
Di satu sisi ia dipandang sebagai sebuah gerakan yang
bersifat alamiah; akan tetapi kita perlu memikirkannya sebagai alat yang
digunakan sebagai senjata politik juga. Mungkin saja kita hanya menyoroti
kegunaannya bagi pertumbuhan kesejahteraan, namun janganlah kita melupakan
faktor X yang berperan di dalamnya. Bukankah globalisasi itu merupakan rekayasa
ideologis juga ? Simaklah alasan-alasan yang melatarbelakangi gerakan “glasnot”
di Rusia, ketika Gorbachev memerintah. Di samping alasan politik dalam negeri,
bukankah ada juga dorongan dari Nato di bawah kepemimpinan USA untuk memecahkan
perang dingin di antara mereka ? Saya tidak menentangnya, tetapi mengingatkan
kita bahwa dalam arus globalisasi terdapat pula elemen positif dan negati --- jika tidak
dikelola secara baik benar --- akan berbalik menjadi mesin
penghancur tatanan kehidupan masyarakat, termasuk keagamaan.
3. KEMITRAAN
dan KESETARAAN.
Mungkin kita berpikir
seakan-akan dahulu masalah kemitraan dan kesetaraan kurang digumuli manusia
dalam sistem sosialnya. Pandangan ini keliru, sebab kita menilai menurut ukuran
modern. Selayaknya, kita mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan
konsep berpikir manusia menurut waktu dan tempatnya. Ada beberapa persoalan
yang terkandung di dalam Tema PST 2013 ini, antara lain :
Ketegangan antar umat beragama
dalam masyarakat.
Seharusnya, kita mempelajari
latarbelakangnya dari sudut pandang sosial politik. Saya temukan beberapa akar persoalan, yakni : pertama, perpindahan keyakinan. Sejarah pertumbuhan dan
perkembangan kekristenan telah diwarnai oleh sikap antipati pemerintah (Romawi)
terhadap perubahan yang terjadi karena berpindahnya sejumlah warga menjadi
kristen. So pasti, sikap tersebut merupakan hak azasi perorangan; akan tetapi perpindahan itu
bukan saja mencakup perubahan status sosial, melainkan juga perubahan pola /
cara berpikir (misalnya : pandangan kristen tentang penguasa negara
yang berbeda keyakinan pada waktu itu). Kedua,
kristenisasi (refleksi atas pesan Yesus – Mat. 28 : 19 – 20).
Setelah kekristenan mengendalikan penguasa negara / kerajaan di Eropa, maka
lahirlah gagasan terkait gerakan yang diilhami gagasan corpus christianum (persaudaraan
kristen). So pasti, pula tersirat di dalam gerakan tersebut
pembangunan Kerajaan Allah di dunia yang dipimpin oleh umat Kristen. Alasan ini
diinspirasi karena pentafsiran sempit tentang tugas Kristen yang disuruh oleh Yesus
(Matius 28 : 19 – 20). Pesan itu sah-sah saja dan benar. Akan tetapi penguasa
Kristen menjalankan politik praktis untuk membela para misionaris. Banyak orang
dibunuh jika menolak menjadi Kristen. Sikap penguasa ini disama sejajarkan
denga sikap Pemimpin Gereja. Kristenisasi mendapat tantangan berat dari
bangsa-bangsa Asia-Afrika yang telah lama memiliki budaya-agama-suku. Saya kurang
setuju memasukkan pikiran ini ke dalam kekristenan, tetapi lebih cenderung
menyebutnya : budaya
kristen dikarenakan kristenisasi merupakan cara strategi yang ditafsirkan
menjadi doktrin teologis untuk membentuk karakter orang kristen
tentang bagaimana ia memandang manusia dan ciptaan Allah lainnya. Dalam
hubungan dengan hal ini, penganut keristen berpendapat, bahwa kekristenan
majadi satu-satunya agama yang benar, dan orang-orang kristen adalah
satu-satunya yang dipilih Allah dari antara seluruh umat manusia yang berbeda
keyakinan. Dengan demikian, menurut orang kristen, budaya-agama-suku tidak baik dan
tidak benar. Ketiga, perang salib
pengkeramatan Yerusalem – Israel. Setelah penguasa Islam – Turki menaklukan
Yerusalem (Israel), muncullah reaksi keras pihak Kristen. Hal ini
dilatarbelakangi pentafsiran tentang fungsi Yerusalem sebagai kota suci (pengkultusan
Yerusalem layaknya pandangan budaya-agama-suku). Mereka berusaha mengembalikkannya
melalui strategi perang. Sikap ini membawa pengaruh negatif yang masih berakar
dalam pemahaman Islam terhadap setiap gerakan Kristen sampai hari ini. Keempat, sikap penjajah Kristen terhadap kaum
pribumi di Indonesia. Semua kasus yang diulas itu merupakan akar
serabut saja. Kelima, akar tunggalnya adalah perbedaan pandangan teologi (ajaran masing-masing
tentang eksistensi dan fungsi agama) tentang jatidiri dan tugas fungsinal agama
membangun manusia di dalam masyarakat. Inilah pokok masalahnya.
Saya mendorong Gereja untuk meneliti,
mengkaji dan menguji berbagai kasus sosial yang berlatarbelakang sentimen
keagamaan, sebelum menegakkan hipotesa serta mencari solusi demi pengadaan Rencana
Program Kerja Tahun 2013 – 2014 mendatang. Jika tidak demikian, maka Gereja
akan berjalan dalam keadaan samar-samar, bukan gelap dan bukan terang, alias
rabun penglihatan.
4.
Gerakan
emansipasi kaum perempuan dan perlindungan anak
Kita perlu membijaki masalah
prinsipal /
subtansial (teologis) dan praktiis paedagogis, ketika mencermati
tindakan diskriminasi atas kaum perempuan serta perrlindungan terhadap anak /
anak-anak. Hal ini dikarenakan kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) dan
emansipasi kaum perempuan telah banyak dipolitisir untuk tujuan dan kepentingan
golongan / kelompok politik.
Pada prinsipnya Teologi Alkitabiah melarang berbagai
bentuk tindakan diskriminasi dan kekerasan atas kaum perempuan maupun anak /
anak-anak.
Namun perlu dicermati latarbelakang kasual dari sebuah tindakan. Tidak boleh
serta merta menghakimi. Itulah bentuk kearifan. Hal ini diperingatkan, supaya
Gereja tidak terseret ke dalam derasnya arus politisasi yang didengungkan para
politisi praktis. Oleh karena itu, Gereja perlu mengadakan ‘ensiklik’ yang menjelaskan
sikapnya terhadap kasus-kasus KDRT, diskriminasi kaum perempuan dan
perlindungan anak / anak-anak. Mendengar banyak, tetapi berbuatlah mengurangi
risiko sekecil mungkin, jikalau hal itu dapat dilakukan sesuai kesanggupan
Gereja. Tidak boleh muncul dikarenakan
paksaan dan karena desakan pihak manapun. Dengan demikian akan menjaga citra gereja selaku pengayom
semua aspirasi politik praktis, tanpa
menyalahkan dan menyakiti yang berbeda pandangan.
USULAN :
Untuk dipikirkan dan direncanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Program bidang IMAN – AJARAN - IBADAH (IAI), bidang GEREJA & MASYARAKIAT (Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia Baru), juga Bidang Program PEMBERDAYAAN & PEMBINAAN SUMBER DAYA INSANI.
Untuk dipikirkan dan direncanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Program bidang IMAN – AJARAN - IBADAH (IAI), bidang GEREJA & MASYARAKIAT (Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia Baru), juga Bidang Program PEMBERDAYAAN & PEMBINAAN SUMBER DAYA INSANI.
5.
Gereja
dan Kebudayaan.
Isue politik hangat terkait kemitraan
(partnership)
dan kesamaan
(equlity)
masih akan dipersoalkan ke depan. Beberapa masalah --- hubungan antar umat beragama, antar umat
Kristen yang berbeda denominasi sesuai dogma, perlakuan masyarakat tertentu dan
sikap pemerintah terhadap kelompok berbeda keyakinan / agama, dan
lain-lain --- memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Marilah kita belajar
untuk memisahkan manakah nilai-nilai teologi-alkitabiah menurut pesan
Yesus, Tuhan Gereja, serta budaya Kristen yang lahir karena pergumulan
Gereja dalam konteks sosialnya. Pemahaman ini, selayaknya, patut dipikirkan karena
selama ini kita kurang (jika tidak mau dikatakan “tidak sama sekali”) mengkaji
dan mengevaluasi perilaku sosial umat Kristen / warga dan pejabat Gereja dalam
masyarakat. Pertanyaan strategisnya : apakah semua
kebijakan Gereja adalah sama dengan yang dipesankan Yesus ? ataukah kebijakan itu merupakan sebuah usaha formulasi tugas
misional Gereja sebagai institusi sosio-religius ? Dan, oleh karena itu, bukankah ia dikategorikan sebagai tindakan
kulturalisasi ? Jika kita dapat menemukan jawabannya dalam pesan
Yesus, maka strateginya direncanakan Gereja, khususnya kelompok kerja (departemen)
terkait. Inilah yang saya maksudkan dengan “membudayakan masyarakat” seturut kehendak
Kristus.
USULAN :
Untuk dipikirkan dan direncanakan Kelompok Kerja (Pokja) Program Bidang GEREJA & MASYARAKAT (Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia Baru)
6.
Gereja
dan Pelayanan – Kesaksian.
Sepanjang sejarah pelayanan kesaksian
(PEL-KES) Gereja, khususnya GPIB, kita masih dipengaruhi pandangan tradisional
: membaptiskan
orang menjadi Kristen (kristenisasi) serta menggunakan cara klasik : pelayanan diakonia
/ charitas. Kita belum mengembangkan makna kemitraan dan kesetaraan
sebagai paradigma dan strategi Pel-Kes. Cobalah kaji dan uji secara kuantitatif
dan kualitatif seluruh hasil Pel-Kes sejak tahun 1970-an. Meskipun kita katakan
ada, namun jumlah dan mutunya belum sebesar biji sesawi. Dan, menurut saya, hal
sedemikian wajar, karena pada waktu itu keadaannya demikian.
Memandang ke masa depan --- sesuai Tema dan Sub
Tema PS-GPIB 2010 yang diemban oleh MS masa bakti 2010 – 2015 ---
sudah waktunya Gereja memikirkan strategi bagaimana membentuk wawasan warga dan
pejabatnya mengenai Pel – Kes bertolak dari Tema PST 2013 : KEMITRAAN &
KESETARAAN. Saya menemukan 2 (dua) eleman yang saling berhubungan,
yakni :
a)
Membangun
wawasan warga jemaat pekotaan akan tanggungjawab Kristen, supaya mereka
mendukung seluruh aktifitas Pel-Kes, dengan tujuan : menjadikan
warga jemaat dalam wilayah pos Pel-Kes sebagai mitra kerja yang setara
(sederajat, semartabat), sehingga mereka mampu memberdayakan diri dalam sistem
Gereja untuk menjalankan pekerjaan misional suatu saat kelak.
b)
Pel-Kes
bukan saja menciptakan “kondisi aji mumpung,” artinya : menciptakan manusia
(warga Gereja) yang menggantungkan diri pada pemberian Jemaat-Jemaat pekotaan
--- meskipun perlu juga ---, melainkan bagaimana Gereja secara sinodal maupun
di tingkat lokal melakukan pembinaan mental spiritual serta intelektuan warga
Pel-Kes, sehingga mereka mampu memberdayakan potensi yang tersedia untuk
menghidupi keluarga dan mendukung pekerjaan Tuhan.
USULAN :
* Berpikir ke arah itu,
Gereja --- melalui Bidang Program PELAYANAN – KESAKSIAN --- memikirkan dan
merencanakan aktifitas program terpadu bersama Bidang PPSDI.
* Gereja patut mengembangkan UP2M semaksimal mungkin serta didukung
sepenuhnya oleh Jemaat – Jemaat dalam kategori mampu secara ekonomi.
ECCLESIA
REFORMATA SEMPER REFORMANDA
Pada
waktu para reformator Gereja mencetuskan gagasan ini keadaan masih diselimuti
kabut penyesatan teologi yang menjadi landasan operasional organisasi. Semangat
gagasan tersebut terkandung gagasan reformasi sistem,
agar menghadirkan keselamatan bagi manusia dan ciptaan lainnya.
Kondisi
yang dihadapi Gereja sekarang dan ke depan telah jauh berubah dan berkembang.
Karena itu kita diajak untuk memikirkan dan merumuskan reformasi
sistem secara arif, tidak tergesa dan tidak menurut kepentingan
sekelompok orang. Harus netral dan menjamin terpenuhinya seluruh aspirasi.
Marilah kita mempertimbangkan beberapa isu prinsipal dan strategis :
a.
Reformasi bidang ajaran.
Reformnasi ajaran
Gereja tidak boleh mengubah dan menggeserkan inti keyakinan Kristen kepada
Yesus Kristus. Reformasi terkait ajaran, menurut saya, cenderung menunjuk pada
upaya Gereja mereformulasikan pandangan dan sistem ajarannya (kepercayaan) untuk
menjawab pergumulan manusia dalam konteks misional (seperi : pandangan Gereja
tentang Hak
Azasi Manusia, tentang Pelaksana dan Penyelenggaraan Hukum di Indonesia, tentang Pemerataan
Kesejahteraan dan Kesempatan Kerja, tentang Penyimpangan kekuasaan dan jabatan yang
menyebabkan korupsi, tentang perkawinan dan perceraian, tentang Manfaat Budaya
bagi Manusia, tentang Eksplorasi Alam dan Tanggungjab manusia, tentang
Pemilihan Umum, tentang Tindakan Kekerasan / teror yang mengatasnamakan Agama, tentang Kemiskinan dan
Kesejahteraan sosial, tentang Pemberantasan Kebodohan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan
Bangsa, dan lain-lain). Penjelasan pandangan Gereja (bhs. Gereja
Katolik : “ensiklik Paus,” enaknya disebut
: “fatwa / petunjuk teologis”) demikian akan
bisa dijadikan landasan bagi operasionalisasi fungsi sistem institusi.
c.
Reformasi sistem organisasi
Maksud saya : upaya revitalisasi dan refungsionalisasi. Pekerjaan ini tidak boleh mengeserkan dan
mengubah pemahaman dan pengakuan iman Gereja terhadap kesaksian Alkitab tentang
karya penyelamatan / pembebasan Allah yang tampak dalam pekerjaan dan hidup
Tuhan Yesus. Justru di atas dasar pemahaman dan pengakuan itulah Gereja
merumuskan apakah yang dimaksudkan reformasi sistem dan manakah yang harus
dibuat segera oleh tuntutan zaman.
d.
Reformasi Fungsi Struktural
TATA GEREJA adalah karya cipta manusia yang diadakan
karena alasan kontekstual. Ia bukan benda mati. Ia bertujuan mengatur dan
menertibkan berbagai kebutuhan dan kepentingan pribadi maupun sekelompok orang,
supaya disesuaikan pada kehendak organisasi. Ia menata dan mengatur pengelolaan
kekuasaan demi menghidupkan manusia (umat dan pekerja Gereja). Yang terutama
dari tujuan pengadaan Tata Gereja adalah memembebaskan
Kristus yang tersalib di dalam seruan manusia yang menderita. Mengapa
demikian ? Oleh karena manusia yang menjabat fungsi struktural sering
memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai tujuan personal maupun kolektif melalui
semboyan : demi kepentingan umum, dan atau,
demi kepentingan Gereja.
Dalam hal inilah saya mengusulkan PENYEMPURNAAN (bukan
amandemen, sebab di dalam istilah tersebut
terkandung makna “menggantikan;” sementara yang
dimaksud adalah merumuskan ulang demi meningkatkan kualitas
peraturan yang sudah ada baik menurut alasan teologis maupun operasionalnya.)
TATA GEREJA 2010 sesuai persyaratan yang dicantunkan pada setiap ayat dari
setiap Peraturan Pokok maupun Peraturan-Peraturan.
e.
Reformasi terkait Pemahaman Sentralisasi dan
Desentralisasi Kekuasaan.
Acapkali ketegangan (tension) yang muncul karena
penyelenggaraan misi Gereja, dikarenakan pemahaman konseptual tentang sentralisasi dan desentralisasi. Batasan konseptualnya
masih samar-samar. Jemaat-Jemaat diandaikan “mesin
robot” saja. Kita hanya melihat masalah bagaikan manusia
berkacamata kuda : menunnggu petunjuk pimpinan. Padahal,
semestinya, ada kebijakan / kearifan lokal
karena keragaman konteks wilayahnya. Hal seperti ini patut dihormati. Sementara
Tata Gereja kurang menjelaskan secara baik apakah makna sentralisasi
dan desentralisasi.
USULAN :
Butir
– butir (a -> e) diusulkan kepada PST
2013, dengan harapan sebagai masukan, juga rekomendasi kerja, agar MS dapat membentuk
Pok-Ja (kelompok Kerja) yang ditugaskan menyempurnakan Tata Gereja 2010. Saya
tidak bertujuan mengubah (mengamandemen) tetapi melakukan reformulasi
(refitalisasi dan refungsionalisasi), sehingga
dari padanya muncul perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan sesuai KUPG 2013
– 2014 : KEMITRAAN
DAN KESETARAAN.
ACHIRUL’KALAM
Tak
ada gading yang tak retak. Manusia tak sempurna adanya. Justru itulah alasan
untuk kita bersama mencari kesempurnaan. Mungkin saja ada kata yang salah,
mohon dimaafkan.
MEDAN – SUMATERA UTARA
Sabtu – 16 Pebruari 2013
Salam dan Horman,
Putera Sang Fajar.
Putera Sang Fajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar