Sebuah Tinjauan
Teologis
ARSITEKTUR GEDUNG GEREJA GPIB
Gedung Gereja merupakan
sebuah SIMBOL yang lahir
dari kancah
pergumulan Gereja di tengah konteks sosial budaya.
Ia bukan hanya
sebuah SIMBOL, tetapi juga PEMAHAMAN TEOLOGI.
oleh
ARIE A. R. IHALAUW
PENDAHULUAN
1. Sampai hari ini Warga dan Presbiter belum
menyadari --- kalau tidak mau dikatakan : tidak mengenal --- tradisi arsitektur
Gedung Gereja GPIB. Hal itu dikarenakan GPIB belum merumuskan penjelasan
teologis tentang gaya arsitektur dari seluruh bangunan yang didirikan setelah
tahun 1970-an.
2. Sepanjang perjalanan GPIB pembangunan Gedung
Gerejanya lahir dari karya anak bang-sa entahkah warga GPIB maupun bukan.
Malahan ada juga arsitektur yang meniru gedung-gedung gereja di Eropah –
Amerika – Australia, di mana kita hanya mementingkan aspek estetika, tanpa
memiliki konsep teologi yang jelas.
3. Tulisan ini disajikan, agar kita (warga dan
presbiter GPIB) didorong untuk menggambarkan arsitektur Gedung Gereja GPIB yang
berangkat dari pemahaman teologi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya
masyarakat. Oleh karena itu, artikel ini bukan merupakan kritikan atau kecaman,
melainkan ajakan untuk memikirkan landasan teologi yang melahirkan gaya
arsitektur GPIB.
Mudah mudahan
dimengerti.
A.
KELUARGA
1. Saya bertolak dari salah satu simbol iman
tentang Gereja, yakni : ‘keluarga’. Menurut saya, pembentukan ‘keluarga’ berlangsung
di tengah masyarakat, bukan bernilai teologis. Ia lahir karena adanya kesamaan
keinginan antar pasangan suami-isteri berbeda jenis kelamin. Ia di dasarkan
atas ‘cinta-kasih’, yang kemudian dilegalisasikan oleh ‘perjanjian’.
2. ‘Cinta-kasih’ itu bukan saja terpaut faktor
estetis (keindahan) tetapi etis (norma tertulis dan tidak tertulis) juga. Di
dalam kehidupan keluarga suami-isteri menata ‘cinta-kasih’ melalui norma-norma
etis, agar keindahan itu dapat dinikmatinya bersama keturunan yang akan datang.
3. Suasana seperti itu akan melahirkan inspirasi pendorong
untuk mewujudkan gagas-annya, termasuk rumah-tinggal bersama. Memang ada berbagai
bentuk pisik (arsitektur) yang dilihatnya, tetapi rumah-tinggal itu dibangun
sesuai gagasan (bestek) sebagai cerminan kepribadian dan karakter keluarganya. Jadi
pembangunan rumah-tinggal merupakan perpaduan dari kekuatan berpikir logis
seorang laki-laki (suami) dan keindahan perasaan seorang perempuan (isteri). Di
sinilah kita memahami makna tersirat dari ucapan : ‘Keduanya menjadi satu
daging;’ dan, oleh karena itu, pisikal rumah dapat dibayangkan bagaikan daging
pembungkus tulang atau secara spiritual dikatakan ‘tubuh yang membungkus roh.’
4. Rumah-tinggalpun memperlihatkan kepribadian dan
karakter pemiliknya. Hal itu dapat terbaca dari gaya arsitektur, warna dinding,
warna atap, pembagian ruang-ruang, dan lain-lain. Katakanlah contoh, ketika
Kerajaan Spanyol dikuasai bangsa Turki yang beragama Islam, maka terjadi percampuran
(akulturasi) di mana budaya Timur bercampur Barat. Hal itu tampak pada gaya
arsitektur rumah-tingga, termasuk Istana Kerajaan. Akulturasi bidang arsitektur
ini begitu kuat mempngaruhi gaya bangunan Spanyol sampai hari ini, termasuk
juga kubah-kubah di atas Gedung Katedral / Gereja.
B. RUMAH GEREJA
1. Penjelasan Istilah.
Dahulu kita tidak pernah menyebut Gedung Gereja tetapi rumah
Gereja atau kadang juga Gereja saja.
2. Makna Istilah
a. Pengartian istilah ‘Gereja’ selama ini
berkonotasi pisik / material bukan spiritual / rohaniah. Jika orang bertanya : “Kemanakah
anda akan pergi beribadah ?,” maka orang yang ditanyai akan menjawab : “Ke
Gereja !” Jawaban tersebut mengungkapkan, bahwa si penjawab kurang memahami
makna istilah “Gereja,” atau sekurang-kurangnya ia tidak mengetahui doktrin kristen
tentang Gereja.
b.
Rumah / Gedung Gereja, sesungguhnya, merupakan
penampakan pisik dari ‘orang-orang percaya yang dipanggil keluar
untuk masuk ke dalam persekutuan hidup bersama Allah’ (I Pet. 2:9). Sama
seperti rumah / gedung Gereja dibangun memakai beragam bahan bangunan (kayu,
semen, pasit, besi, cat, dll) demikian pula “persekutuan orang percaya’
itu merupakan satu kesatuan yang memiliki beragam latarbelakang serta terjalin utuh.
Ia diikatkan oleh pemahaman dan pengakuan iman akan Yesus Kristus serta kasih
persaudaraan. Kristuslah dasarnya ! (I Kor. 3:11).
3. Sentralisasi Ibadah Umat.
a.
Masa
Abraham sampai Exodus.
1)
Jika menyimak ucapan ilahi kepada Abraham (Kej.12:1),
kita akan menemukan suruhan : “Pergilah dari
negerimu...” Allah tidak
menginstruksikan Abraham keluar dari rumah bapanya untuk membangun sebuah
tempat khusus bagi penyelenggaraan kultus ritual. Perintah itu bermakna, Abraham
wajib menyelenggarakan kultus ritual di tempat mana saja, ketika ia
beristirahat dalam perjalanannya. Jadi tidak ada tempat khusus untuk beribadah.
Menurut saya, seluruh bumi menjadi tempat bagi orang beriman (Abraham)
melaksanakan ibadahnya (bd. pesan Yesus kepada murid murid – Mat. 28 : 19
-> “Pergilah... ke semua bangsa”).
Orang beriman disurun pergi : kapan dan di mana saja, untuk beribadah kepada
Allah. Ibadah itu tidak terikat pada ruang waktu dan ruang tempat.
2)
Allah mengutus Musa dan Harun untuk membebaskan
Israel dari penjajahan Mesir, agar mereka beribadah kepadaNya. SuruhanNya
sangat jelas : “Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah
kepada-Ku” (Kel. 4:23a). Sekali lagi kita
menemukan pemakaian kata kerja yang sama : “pergi / pergi keluar.” Israel
dimerdekakan Allah untuk “pergi beribadah” kepadaNya. Di
manakah tempatnya ? Allah tidak mengatakan apapun.
Menurut
pendapat saya, perintah untuk “pergi keluar” (Abraham) atau “pergi
untuk beribadah” (Musa – Israel) merupakan tradisi tertua dalam sejarah
keagamaan Israel. Sementara nama-nama tempat yang dikaitkan pada tradisi
tersebut adalah tambahan kemudian hari. Hal itu menunjuk pada penugasan Abraham
dan Israel sebagai utusan yang memberkati bangsa-bangsa (Kej. 12:3 => “olehmu semua kaum di muka bumi akan
mendapat berkat;"
dan untuk tujuan keselamatan => bd. Yes. 42:6 => “Aku ini, TUHAN, telah memanggil
engkau untuk maksud penyelamatan, telah
memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk
bangsa-bangsa”). TUHAN, Allah israel, tidak pernah
menghendaki umatNya membangun sebuah rumahpun sebagai tempat kediamanNya,
seperti yang dikatakanNya melalui perantaraan Nabi Nathan : “Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh
orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang
Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian : Mengapa
kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras ?” (II
Sam. 7:7). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan, bahwa Abraham dan keturunannya
dipanggil dan diutus bukan untuk membangun rumah / baith Allah; akan tetapi
mereka diutus untuk menjadi berkat bagi segala bangsa (Yes. 42:6).
b.
Perjumpaan Israel
dengan budaya-agama-suku (masa hakim-hakim)
1)
Tidak dapat dipungkiri, bahwa terjadi
perkembangan baru ketika Israel telah menduduki tanah Kanaan. Umat pilihan itu
berjumpa dengan praktik budaya-agama-suku kanaani. Malahan mereka cenderung
menirunya. Israel mengambil alih tata cara penyembahan berhala untuk menyembah
Allah. Seluruh model ibadah ditiru utuh tanpa pembatisan makna. Di sinilah
terjadi infiltrasi budaya dan keimanan. Muncullah sikap dan pikiran sinkritis
yang membawa Israel ke dalam dosa.
2)
Bukan hanya Israel sebagai sebuah persekutuan
umat, tetapi juga suku-sukunya, malahan kepala kaumpun meniru utuh praktik
penyembahan suku-suku asli Kanaan.
c. Agama
sebagai Dasar Pembangunan Wawasan Kebangsaan : Daud dan Salomo.
1)
Doktrin Agama sama fungsinya dengan Ideologi. Ia
merupakan sejumlah nilai yang dipakai untuk membangun sistem sosial (suku,
bangsa, negara). Hal ini berlaku dalam budaya Timur Tengah Kuno sampai hari ini
(pelajarilah apa yang terjadi dalam Negara-negara Arab). Israel Kuno, di bawah
kekuasan Daud dan Salomo pun demikian. Kedua raja itu memanfaatkan
gagasan-gagasan keagamaan (teologi) untuk mengokohkan pemerintahannya. Narasi
terkait sentralisasi kekuasan dan penyelenggaraan kultus ritual di Yerusalem
adalah buktinya.
2)
Daud dan para pendukungnya menafsirkan dan
merumuskan kembali janji Allah tentang wilayah Kanaan (Palestina) selaku “tanah
perjanjian” (Kej. 13:-18; 15:13-16a; 17, dll) bertujuan untuk
membangun wawasan nasional Israel kuno. Kerajaan itu, yakni : kerajaan
Dinasti Daud, sesungguhnya, merupakan duplikat yang merefleksikan pemahaman
Israel Kuno tentang Kerajaan Allah (Ibr. hasyamaim; Yun. Basilea tou Theou, basiliea tou
Uranou). Theokrasi digambarkan dalam monarchi absulut di bawah
kepemimpinan dinasti Daud.
3)
Walaupun Daud tidak diijinkan Allah untuk
membangun Rumah / BaitNya, akan tetapi ia telah meletakkan dasar kokoh bagi
pembangunan kerajaan Allah secara geopolitik. Malahan melalui mulut Nabi
Nathan, Allah berkata kepada Daud : “Selama Aku
mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman
kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan
umat-Ku Israel, demikian : Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari
kayu aras ?” (II Sam. 7:7). Anaknyalah yang
melanjutkan pekerjaan itu (
d.
Rumah /
Baith Allah sebagai simbol kehadiran TUHAN -> Masa Salomo.
1)
Pembangunan Yerusalem berindikasi pemusatan
aktifitas dan kekuasaan politik. Fan, hal itu sudah diselesaikan oleh Daud. Dia
tidak diijinkan Allah membangun rumah / baithNya (II Sam. 7 : 7 – 16).
2)
Salomolah yang direstui Allah untuk membangun
rumahNya (II Sam 7:17; bd. I Rj. 5 – 6; II Taw. 3).
3)
Sentralisasi Ibadah di Bukit Zion – Yerusalempun
tak lepas dari pemahaman Israel Kuno tentang monoteisme Allah.
4)
Bukit Zion menjadi satu-satunya pusat
peribadahan ritual “di tempat yang akan dipilih TUHAN” (Ul. 12:5-7, 18, 26; 15:20;
16:2, 6-7, 11, 15; 18 : 6-7; 26 : 1-2) untuk menyatakan kehadiran dan
pemerintahan atas umat pilihanNya (I Rj. 6 : 13 => Aku akan
diam di tengah-tengah orang Israel dan tidak hendak meninggalkan umat-Ku Israel).
e. Pengkultusan baith Allah dibenci TUHAN.
1)
Meskipun Rumah / Baith Allah dipahami sebagai
pusat ibadah Israel Kuno, namun TUHAN memperingatkan Israel, agar tidak salah
memanfaatkan maknanya. Hal itu disampaikanNya melalui Salomo (I Rj. 6:12). Israel
tidak boleh berpikir, bahwa Allah akan tetap selama-lamanya tinggal dalam
rumahNya, sama seperti yang ditemukan dalam ajaran budaya-agama-suku Kanaani. Jika
mereka berbuat jahat, maka Dia akan meninggalkan rumah itu. Nabi Yeremia
mengatakan : “Beginilah
firman TUHAN semesta alam, Allah Israel : Perbaikilah
tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di
tempat ini.”(bd.
Yer. 7 : 1 – 11, khususnya ay. 2).
2)
Malahan terhadap kultus ritual yang
diselenggarakanpun Allah tidak suka (Am. 5:21 – 27).
f.
Kesimpulan.
Belajar dari sejarah Israel Kuno, kita menyimpulkan beberapa hal :
1)
Rumah / Baith Allah bukanlah tempat tinggal
Allah (Selama
Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan
firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan
menggembalakan umat-Ku Israel, demikian :
Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras => II Sam. 7:7).
Sama seperti itulah kita, orang kristen, patut memahami bahwa Gereja
bukanlah tempat tinggal Allah di bumi. Allah tidak berdiam dalam tempat
yang dibuat oleh manusia. Dengan kata lain, Allah tidak terikat pada sebuah
tempat. Ia hadir pada ruang waktu dan tempat menurut kehendakNya yang bebas.
Jikalau warga dan pejabat Gereja berpendapat, bahwa Gedung / Rumah Gereja
adalah ‘tempat tinggal Allah’, sesungguhnya, pemahaman ini telah menyimpang
dari kesaksian Alkitab. Rumah / Gedung Gereja hanyalah simbol kehadiran Allah
di tengah persekutuan umat. Kita patut menghormatinya, tetapi tidak boleh
mengkultuskannya seakan-akan gedung yang mati itu sama seperti Allah yang
hidup.
2) Rumah / Bait Allah, sesungguhnya, merupakan
pusat aktifitas pelayanan keagamaan dan kemasyarakatan. Ke sanalah warga jemaat
pergi untuk mendengarkan suruhan (firman)-Nya.
Rumah / Gedung Gereja adalah pusat aktifitas pelayanan-kesaksian umat
Kristen. Ke sanalah umat berkumpul untuk mendengarkan suara TUHAN. Kemudian kembali
untuk mengerjakan firmanNya dalam masyarakat (simak rumusan Pengutusan dalam
Liturgi GPIB).
Perjumpaan umat dengan Allah dan dengan sesama seiman, sebenarnya,
bertujuan menguatkan pengharapan iman akan janjiNya, bahwa TUHAN menyertai,
memelihara dan memberkati umat sepanjang mereka melaksanakan suruhanNya. Dan,
jikalau umat tidak melaksanakan kehendakNya, maka TUHAN akan keluar meninggalkan
gedung Gereja, sebab rumah itu telah menjadi ‘sarang penyamun.’ Frasa “TUHAN
keluar meninggalkan” rumahNya menunjuk pada penghakiman dan penghukuman.
3)
Baith Allah adalah pusat pemberitaan dan
pengajaran akan firman. Sama seperti itu Gedung Gerejapun memiliki fungsi
pengajaran. Ke sanalah umat harus datang mendengar ajaran / petunjuk ilahi,
supaya mereka menjadi berhikmat untuk menjalankan pekerjaan Allah.
Bersambung
ke ....
C. SIMBOL IMAN DALAM GAYA ARSITEKTUR GEREJA.
Medan
– Sumatera Utara
Kamis,
28 Pebruari 2013
Salam
PENULIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar