Kamis, 28 Februari 2013

Mencari Makna Teologis Untuk Memaknai Gaya Arsitektur Gereja GPIB - sebuah tinjauan -


Sebuah Tinjauan Teologis

ARSITEKTUR GEDUNG GEREJA GPIB

Gedung Gereja merupakan sebuah SIMBOL yang lahir
dari kancah pergumulan Gereja di tengah konteks sosial budaya.
Ia bukan hanya sebuah SIMBOL, tetapi juga PEMAHAMAN TEOLOGI.

oleh
ARIE A. R. IHALAUW

PENDAHULUAN

1.  Sampai hari ini Warga dan Presbiter belum menyadari --- kalau tidak mau dikatakan : tidak mengenal --- tradisi arsitektur Gedung Gereja GPIB. Hal itu dikarenakan GPIB belum merumuskan penjelasan teologis tentang gaya arsitektur dari seluruh bangunan yang didirikan setelah tahun 1970-an.

2.  Sepanjang perjalanan GPIB pembangunan Gedung Gerejanya lahir dari karya anak bang-sa entahkah warga GPIB maupun bukan. Malahan ada juga arsitektur yang meniru gedung-gedung gereja di Eropah – Amerika – Australia, di mana kita hanya mementingkan aspek estetika, tanpa memiliki konsep teologi yang jelas.

3.  Tulisan ini disajikan, agar kita (warga dan presbiter GPIB) didorong untuk menggambarkan arsitektur Gedung Gereja GPIB yang berangkat dari pemahaman teologi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, artikel ini bukan merupakan kritikan atau kecaman, melainkan ajakan untuk memikirkan landasan teologi yang melahirkan gaya arsitektur GPIB.

Mudah mudahan dimengerti.

A.   KELUARGA

1.  Saya bertolak dari salah satu simbol iman tentang Gereja, yakni : ‘keluarga’. Menurut saya, pembentukan ‘keluarga’ berlangsung di tengah masyarakat, bukan bernilai teologis. Ia lahir karena adanya kesamaan keinginan antar pasangan suami-isteri berbeda jenis kelamin. Ia di dasarkan atas ‘cinta-kasih’, yang kemudian dilegalisasikan oleh ‘perjanjian’.

2.  ‘Cinta-kasih’ itu bukan saja terpaut faktor estetis (keindahan) tetapi etis (norma tertulis dan tidak tertulis) juga. Di dalam kehidupan keluarga suami-isteri menata ‘cinta-kasih’ melalui norma-norma etis, agar keindahan itu dapat dinikmatinya bersama keturunan yang akan datang.

3. Suasana seperti itu akan melahirkan inspirasi pendorong untuk mewujudkan gagas-annya, termasuk rumah-tinggal bersama. Memang ada berbagai bentuk pisik (arsitektur) yang dilihatnya, tetapi rumah-tinggal itu dibangun sesuai gagasan (bestek) sebagai cerminan kepribadian dan karakter keluarganya. Jadi pembangunan rumah-tinggal merupakan perpaduan dari kekuatan berpikir logis seorang laki-laki (suami) dan keindahan perasaan seorang perempuan (isteri). Di sinilah kita memahami makna tersirat dari ucapan : ‘Keduanya menjadi satu daging;’ dan, oleh karena itu, pisikal rumah dapat dibayangkan bagaikan daging pembungkus tulang atau secara spiritual dikatakan ‘tubuh yang membungkus roh.’

4.  Rumah-tinggalpun memperlihatkan kepribadian dan karakter pemiliknya. Hal itu dapat terbaca dari gaya arsitektur, warna dinding, warna atap, pembagian ruang-ruang, dan lain-lain. Katakanlah contoh, ketika Kerajaan Spanyol dikuasai bangsa Turki yang beragama Islam, maka terjadi percampuran (akulturasi) di mana budaya Timur bercampur Barat. Hal itu tampak pada gaya arsitektur rumah-tingga, termasuk Istana Kerajaan. Akulturasi bidang arsitektur ini begitu kuat mempngaruhi gaya bangunan Spanyol sampai hari ini, termasuk juga kubah-kubah di atas Gedung Katedral / Gereja.

B.    RUMAH GEREJA

1.    Penjelasan Istilah.

Dahulu kita tidak pernah menyebut Gedung Gereja tetapi rumah Gereja atau kadang juga Gereja saja.

2.    Makna Istilah

a.  Pengartian istilah ‘Gereja’ selama ini berkonotasi pisik / material bukan spiritual / rohaniah. Jika orang bertanya : “Kemanakah anda akan pergi beribadah ?,” maka orang yang ditanyai akan menjawab : “Ke Gereja !” Jawaban tersebut mengungkapkan, bahwa si penjawab kurang memahami makna istilah “Gereja,” atau sekurang-kurangnya ia tidak mengetahui doktrin kristen tentang Gereja.

b.    Rumah / Gedung Gereja, sesungguhnya, merupakan penampakan pisik dari ‘orang-orang percaya yang dipanggil keluar untuk masuk ke dalam persekutuan hidup bersama Allah’ (I Pet. 2:9). Sama seperti rumah / gedung Gereja dibangun memakai beragam bahan bangunan (kayu, semen, pasit, besi, cat, dll) demikian pula “persekutuan orang percaya’ itu merupakan satu kesatuan yang memiliki beragam latarbelakang serta terjalin utuh. Ia diikatkan oleh pemahaman dan pengakuan iman akan Yesus Kristus serta kasih persaudaraan. Kristuslah dasarnya ! (I Kor. 3:11).

3.    Sentralisasi Ibadah Umat.

a.    Masa Abraham sampai Exodus.

1)    Jika menyimak ucapan ilahi kepada Abraham (Kej.12:1), kita akan menemukan suruhan : “Pergilah dari negerimu...” Allah tidak menginstruksikan Abraham keluar dari rumah bapanya untuk membangun sebuah tempat khusus bagi penyelenggaraan kultus ritual. Perintah itu bermakna, Abraham wajib menyelenggarakan kultus ritual di tempat mana saja, ketika ia beristirahat dalam perjalanannya.  Jadi tidak ada tempat khusus untuk beribadah. Menurut saya, seluruh bumi menjadi tempat bagi orang beriman (Abraham) melaksanakan ibadahnya (bd. pesan Yesus kepada murid murid – Mat. 28 : 19 ->  “Pergilah... ke semua bangsa”). Orang beriman disurun pergi : kapan dan di mana saja, untuk beribadah kepada Allah. Ibadah itu tidak terikat pada ruang waktu dan ruang tempat.

2)    Allah mengutus Musa dan Harun untuk membebaskan Israel dari penjajahan Mesir, agar mereka beribadah kepadaNya. SuruhanNya sangat jelas : Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku (Kel. 4:23a). Sekali lagi kita menemukan pemakaian kata kerja yang sama : “pergi / pergi keluar.” Israel dimerdekakan Allah untuk “pergi beribadah” kepadaNya. Di manakah tempatnya ? Allah tidak mengatakan apapun.

Menurut pendapat saya, perintah untuk “pergi keluar” (Abraham) atau “pergi untuk beribadah” (Musa – Israel) merupakan tradisi tertua dalam sejarah keagamaan Israel. Sementara nama-nama tempat yang dikaitkan pada tradisi tersebut adalah tambahan kemudian hari. Hal itu menunjuk pada penugasan Abraham dan Israel sebagai utusan yang memberkati bangsa-bangsa (Kej. 12:3 => “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat;" dan untuk tujuan keselamatan => bd. Yes. 42:6 => “Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa”). TUHAN, Allah israel, tidak pernah menghendaki umatNya membangun sebuah rumahpun sebagai tempat kediamanNya, seperti yang dikatakanNya melalui perantaraan Nabi Nathan : “Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian : Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras ?” (II Sam. 7:7). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan, bahwa Abraham dan keturunannya dipanggil dan diutus bukan untuk membangun rumah / baith Allah; akan tetapi mereka diutus untuk menjadi berkat bagi segala bangsa (Yes. 42:6).

b.   Perjumpaan Israel dengan budaya-agama-suku (masa hakim-hakim)

1)    Tidak dapat dipungkiri, bahwa terjadi perkembangan baru ketika Israel telah menduduki tanah Kanaan. Umat pilihan itu berjumpa dengan praktik budaya-agama-suku kanaani. Malahan mereka cenderung menirunya. Israel mengambil alih tata cara penyembahan berhala untuk menyembah Allah. Seluruh model ibadah ditiru utuh tanpa pembatisan makna. Di sinilah terjadi infiltrasi budaya dan keimanan. Muncullah sikap dan pikiran sinkritis yang membawa Israel ke dalam dosa.

2)    Bukan hanya Israel sebagai sebuah persekutuan umat, tetapi juga suku-sukunya, malahan kepala kaumpun meniru utuh praktik penyembahan suku-suku asli Kanaan.

c. Agama sebagai Dasar Pembangunan Wawasan Kebangsaan : Daud dan Salomo.

1)    Doktrin Agama sama fungsinya dengan Ideologi. Ia merupakan sejumlah nilai yang dipakai untuk membangun sistem sosial (suku, bangsa, negara). Hal ini berlaku dalam budaya Timur Tengah Kuno sampai hari ini (pelajarilah apa yang terjadi dalam Negara-negara Arab). Israel Kuno, di bawah kekuasan Daud dan Salomo pun demikian. Kedua raja itu memanfaatkan gagasan-gagasan keagamaan (teologi) untuk mengokohkan pemerintahannya. Narasi terkait sentralisasi kekuasan dan penyelenggaraan kultus ritual di Yerusalem adalah buktinya.

2)    Daud dan para pendukungnya menafsirkan dan merumuskan kembali janji Allah tentang wilayah Kanaan (Palestina) selaku “tanah perjanjian” (Kej. 13:-18; 15:13-16a; 17, dll) bertujuan untuk membangun wawasan nasional Israel kuno. Kerajaan itu, yakni : kerajaan Dinasti Daud, sesungguhnya, merupakan duplikat yang merefleksikan pemahaman Israel Kuno tentang Kerajaan Allah (Ibr. hasyamaim; Yun. Basilea tou Theou, basiliea tou Uranou). Theokrasi digambarkan dalam monarchi absulut di bawah kepemimpinan dinasti Daud.

3)    Walaupun Daud tidak diijinkan Allah untuk membangun Rumah / BaitNya, akan tetapi ia telah meletakkan dasar kokoh bagi pembangunan kerajaan Allah secara geopolitik. Malahan melalui mulut Nabi Nathan, Allah berkata kepada Daud : “Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian : Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras ?” (II Sam. 7:7). Anaknyalah yang melanjutkan pekerjaan itu (

d.   Rumah / Baith Allah sebagai simbol kehadiran TUHAN -> Masa Salomo.

1)    Pembangunan Yerusalem berindikasi pemusatan aktifitas dan kekuasaan politik. Fan, hal itu sudah diselesaikan oleh Daud. Dia tidak diijinkan Allah membangun rumah / baithNya (II Sam. 7 : 7 – 16).

2)    Salomolah yang direstui Allah untuk membangun rumahNya (II Sam 7:17; bd. I Rj. 5 – 6; II Taw. 3).

3)    Sentralisasi Ibadah di Bukit Zion – Yerusalempun tak lepas dari pemahaman Israel Kuno tentang monoteisme Allah.

4)    Bukit Zion menjadi satu-satunya pusat peribadahan ritual “di tempat yang akan dipilih TUHAN” (Ul. 12:5-7, 18, 26; 15:20; 16:2, 6-7, 11, 15; 18 : 6-7; 26 : 1-2) untuk menyatakan kehadiran dan pemerintahan atas umat pilihanNya (I Rj. 6 : 13 => Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan tidak hendak meninggalkan umat-Ku Israel).

e.    Pengkultusan baith Allah dibenci TUHAN.

1)    Meskipun Rumah / Baith Allah dipahami sebagai pusat ibadah Israel Kuno, namun TUHAN memperingatkan Israel, agar tidak salah memanfaatkan maknanya. Hal itu disampaikanNya melalui Salomo (I Rj. 6:12). Israel tidak boleh berpikir, bahwa Allah akan tetap selama-lamanya tinggal dalam rumahNya, sama seperti yang ditemukan dalam ajaran budaya-agama-suku Kanaani. Jika mereka berbuat jahat, maka Dia akan meninggalkan rumah itu. Nabi Yeremia mengatakan : “Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel : Perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini.”(bd. Yer. 7 : 1 – 11, khususnya ay. 2).

2)    Malahan terhadap kultus ritual yang diselenggarakanpun Allah tidak suka (Am. 5:21 – 27).

f.     Kesimpulan.

Belajar dari sejarah Israel Kuno, kita menyimpulkan beberapa hal :

1)    Rumah / Baith Allah bukanlah tempat tinggal Allah (Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian : Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras   => II Sam. 7:7).

Sama seperti itulah kita, orang kristen, patut memahami bahwa Gereja bukanlah tempat tinggal Allah di bumi. Allah tidak berdiam dalam tempat yang dibuat oleh manusia. Dengan kata lain, Allah tidak terikat pada sebuah tempat. Ia hadir pada ruang waktu dan tempat menurut kehendakNya yang bebas.

Jikalau warga dan pejabat Gereja berpendapat, bahwa Gedung / Rumah Gereja adalah ‘tempat tinggal Allah’, sesungguhnya, pemahaman ini telah menyimpang dari kesaksian Alkitab. Rumah / Gedung Gereja hanyalah simbol kehadiran Allah di tengah persekutuan umat. Kita patut menghormatinya, tetapi tidak boleh mengkultuskannya seakan-akan gedung yang mati itu sama seperti Allah yang hidup.

2) Rumah / Bait Allah, sesungguhnya, merupakan pusat aktifitas pelayanan keagamaan dan kemasyarakatan. Ke sanalah warga jemaat pergi untuk mendengarkan suruhan (firman)-Nya.

Rumah / Gedung Gereja adalah pusat aktifitas pelayanan-kesaksian umat Kristen. Ke sanalah umat berkumpul untuk mendengarkan suara TUHAN. Kemudian kembali untuk mengerjakan firmanNya dalam masyarakat (simak rumusan Pengutusan dalam Liturgi GPIB).

Perjumpaan umat dengan Allah dan dengan sesama seiman, sebenarnya, bertujuan menguatkan pengharapan iman akan janjiNya, bahwa TUHAN menyertai, memelihara dan memberkati umat sepanjang mereka melaksanakan suruhanNya. Dan, jikalau umat tidak melaksanakan kehendakNya, maka TUHAN akan keluar meninggalkan gedung Gereja, sebab rumah itu telah menjadi ‘sarang penyamun.’ Frasa “TUHAN keluar meninggalkan” rumahNya menunjuk pada penghakiman dan penghukuman.

3)    Baith Allah adalah pusat pemberitaan dan pengajaran akan firman. Sama seperti itu Gedung Gerejapun memiliki fungsi pengajaran. Ke sanalah umat harus datang mendengar ajaran / petunjuk ilahi, supaya mereka menjadi berhikmat untuk menjalankan pekerjaan Allah.

Bersambung ke ....

C.    SIMBOL IMAN DALAM GAYA ARSITEKTUR GEREJA.

Medan – Sumatera Utara
Kamis, 28 Pebruari 2013

Salam

PENULIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar