34.
KEMATIAN,
Kesempatan
ataukah Kekalahan ?
oleh
ARIE A. R. IHALAUW
a). Sering kita membahas
‘kematian’ sebagai sebuah keterbatasan kodrati, kehilangan kekasih, atau
kekalahan manusia. Semua rumusan itu merupakan usaha manusia untuk saling
menghibur dan menguatkan siapapun yang sedang menghadapinya. Hal itu wajar
saja.
b). Banyak filosof dan
teolog juga berbuat demikian. Dengarkan renungan yang disampaikan seorang
Pendeta / Penatua / Diaken pada Kebaktian Penghiburan atau Pemakaman dan
Pelepasan. So pasti, banyak kata-kata penghiburan dan penguatan diucapkan di
sana. Simaklah tulisan para filosof tentang kematian. Mereka memberikan jawaban
spekulatif atas masalah ini. Namun semua ucapan penghiburan dalam renungan
Pendeta maupun spekulasi filofosis terasa kurang pas. Dan, luka masih membekas
karena duka di bathin orang yang menghadapi peristiwa itu.
c). Mempersiapkan
mentalitas (bathiniah) seseorang yang akan memasuki kematian merupakan pekerjaan
yang paling sulit dari seorang Pendeta. Apalagi jika orang itu,
sungguh-sungguh, masih memiliki keinginan kuat untuk tetap bertahan hidup.
Paling-paling Pendeta akan mengatakan : “Marilah kita menyerahkan segala sesuatu
kepada Allah. Biarlah Dia memutuskan manakah yang terbaik bagi kita.”
Tanpa disadari, Pendeta telah mengecewakan si pasien yang sedang sekarat…
hehehhehee…. Pendeta kurang memperhatikan aspek psikologis dari si pasien itu.
d). Menurut keyakinan iman saya,
siapapun yang berada sebagai sahabat si pasien yang sekarat itu, perlu mensugesti/memotivasinya,
agar ia memiliki keberanian untuk memasuki kematian tanpa perasaan terpaksa
karena takut mati.
Bagaimanakah nasihat yang sebaiknya disampaikan kepada pasien
sekarat yang sedang menghadapi sakratul maut ? Mulailah dari “pemahaman
iman” si pasien atas pemeliharaan Allah. Katakan begini :
1. Allah memelihara
hidupnya sekalipun ia memasuki kematian.
2. Kematian adalah
satu-satunya “jalan” yang wajib ditempuh siapapun, jikalau ia ingin berjumpa
Allah. Tidak ada”jalan” lain.
3. Kematian bukanlah kutukan
atas dosanya.
4. Kematian adalah “kesempatan
yang dianugerahkan oleh Allah” kepada setiap orang percaya. Jika
seseorang menolak”kesempatan baik” itu, maka ia sedang melakukan perlawanan atas
kodratnya sebagai manusia, sekaligus menolak panggilan Allah untuk masuk ke
dalam “persekutuan hidup kekal” bersamaNya.
5. Katakanlah kepada si
pasien sekarat itu, bahwa kematian hanya dapat ditaklukkan oleh “kecintaan
kepada Allah.” Ia harus memiliki “kekuatan cinta sejati kepada Allah.”
Tidak perlumerasa cemas dan bimbang, sebab suasana kematian itu berlangsung
sesaat saja. Ia akan melewatinya dengan tenang, semuanya karena “the
power of love” dan oleh pertolongan Allah.
6. Kematian akan
mengantarkan dirinya memasuki kehidupan baru bersama Alah. Sama seperti seorang
pekerja membutuhkan waktu istirahat, demikianlah manusia ingin beristirahat,
sambil menikmati buah-buah iman yang ditaburkan selama perjalanannya di bumi. Rasul
Yohanes menuliskan ucapan Rohkristus : “Berbahagialah orang-orang mati yang mati
dalam Tuhan, sejak sekarang ini." "Sungguh," kata Roh,
"supaya mereka boleh beristirahat
dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.”
(Why. 14:13).
Dengan
demikian si pasien sekarat itu yakin teguh, bahwa kuasa kematian tidak akan
mengalahkan dirinya. Kematian bukan sebuah kekalahan, tetapi kemenangan oleh
iman. Dengan demikian diharapkan akan memperoleh keberanian untuk memasuki
kematian dalam suasana hati penuh damai, karena keyakinan imannya kepada Allah.
MEDAN - SUMATERA UTARA,
HARI SABTU, 16 JUNI 2012
SALAM DAN DOA
PUTERA SANG FAJAR
Arie A. R. Ihalauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar