Rabu, 13 Juni 2012

REFORMULASI MONOTEISME DALAM HUBUNGAN DENGAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DAN GEREJA


32.A. MONOTEISME SEBAGAI SUMBER DAYA PEMBANGUNAN GEREJA DAN MASYARAKAT

Sahabat-sahabatku yang terkasih…,

Agaknya artikel singkat yang dilansir kemaren mendapat beragam komentar. Dan, komentar terhubung pada masalah monotiesme ilahi cukup banyak dan bervariasi. Komen-komen itu memperlihatkan pandangan negatif akan proses menalar pengalaman rohani / bathiniah sepanjang perjalanan manusia di atas bumi. Sikap (pendirian) merendahkan akalbudi yang berpikir dan hati nurani yang berkehendak merupakan kenaifan seorang beragama. Kita cenderung memisahkan iman dan akalbudi. Pemenduaan itu, sesungguhnya, bertentangan dengan ucapan teolog Yahudi Abad I, namanya Yesus dari Nazareth. Ia berkata : “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akalbudimu” (Mat. 22:37). Melalui kalimat itu Yesus mengingatkan siapa saja, bahwa akalbudi yang sehat dibutuhkan sebagai alat / sarana untuk membuktikan keyakinan iman. Bukankah tanpa akalbudi yang sehat seorangpun tak mungkin mengungkapkan pikirannya secara baik dan benar, sehingga orang lain mengerti isi keyakinan imannya ?

Monoteisme Ilahi adalah konsep ideal tentang dunia roh-roh. Monoteisme Ilahipun bertumbuh dalam perjumpaan tiap orang karena interaksi sosial; dan juga dengan fenomena alami. Pengalaman itu menjadi nilai kehidupan yang diinternalisasikan : dipikirkan (aspek kognisi) dan dihayati (aspek afeksi). Itulah bibit keber – agama – an. Barulah dituangkan dalam bentuk rumusan keyakinan iman. Kitamembutuhkan hati-nurani untuk menanggap segala macam keadaan serta akalbudi untuk menalarkann, lalu menuangkannya dalam rumusan-rumusan tertulis yang dapat dibaca, didengar dan dimengerti orang lain.

Lihatlah karya ilmiah yang dibuat Yesus, ketika mengubah rumusan Pengakuan Iman Israel : “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:5). Yesus menggunakan kata benda akalbudi untuk mengisi definisi kata kekuatan.

MENGAPA YESUS MELAKUKAN HAL ITU ?

1. Kondisi Israel Pra-Pendudukan dan Masa Kerajaan.

Pada masa Israel akan menduduki tanah Kanaan, mereka membutuhkan ‘kekuatan pisik’ untuk melakukan perang / peperangan. Tanpa kekuatan pisik yang sehat, Israel akan mengalami kekalahan. Pada waktu itu, kelompok pemikir sedikit jumlahnya. Kelompok itu diperankan cerdik-cendekia dan birokrat. Sementara umat Israel berfungsi sebagai ‘mesin perang.’  Hal ini menyebabkan kerugian besar di kalangan rakyat jelata.

2.  Kondisi Sosial pada Masa Kerja Yesus

      Yesus mengetahui benar kondisi sosial yang dihadapi bangsaNya. Kekalahan Israel dalam pemberontakan yang dipimpin kaum Makabe (Abad I sb. M) telah memporak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat. Israel dirugikan dalam skala besar dan waktu yang lama. Hal itu dikarenakan pemuka Israel memanfaatkan rakyatnya sebagai mesin perang untuk melawan kekuatan penjajah Yunani (Alexander Agung) dan Roma. Rakyat kurang berdaya guna, karena intelektualnya kurang baik dibandingkan penjajah.  

      Membaca memakai kacamata baru. Kelemahan ini dilihat Yesus sebagai faktor yang menimbulkan kegagalan. Oleh karena itu, sang teolog Yahudi itu merumuskan kembali Pengakuan Iman Israel : “Dengarlah, hai kaum Israel ! TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa ! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akalbudimu” (Ul. 6:4-5; bd. Mat. 22:37). Yesus memakai kerangka tradisi, tetapi Ia mengisi makna baru ke dalamnya menurut pentafsiran sendiri. Apakah makna baru yang dikembangkan Yesus ?

a).  Keesaan Allah adalah Patronase / Model Kesatuan Umat
       
        Perjuangan untuk membebaskan umat tidak akan mencapai sukses, jika dilakukan secara sporadic oleh suku-suku. Tindakan itu, selayaknya, dilakuka bersama-sama, sekalipun dalam wilayah yang berbeda. Menurut Yesus, kekuatan bangsa tidak terletak pada konsep perang semata, tetapi ada di dalam kebersamaan di mana semua orang ikut berpartisipasi. Itulah sebabnya pembangunan kekuatan bangsa, sebaiknya, dimulai dari pembinaan wawasan keesaan wilayah. Membuka pemikiran anggota umat Israel tentang kewajiban dan tanggungjawab sosialnya. Kekuatan bangsa Israel menghadapi penjajahan terletak pada usaha membangun keesaan bangsa. Bangsa Yang Esa adalah bangsa yang kokoh. Sama seperti Keesaan Allah menunjuk juga pada kedaulatan kuasaNya yang kuat dan tidak terbatas.

b).  Keesaan Allah merupakan Gambaran Ideal bagi Keharmonisan Fungsi Hidup Manusia.

Allah adalah Pribadi yang memiliki “hati.” Oleh karena itu, Ia berpikir, merasa, melihat, dll. Saya ingin menegaskan keyakinan intelektual pribadi, bahwa ALLAH ISRAEL adalah PRIBADI YANG BERPIKIR (bd. Yes. 55:8-9 -> “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu”). Dan, oleh karena itu, Dia adalah Pribadi yang unggul di antara dewa / ilah bangsa-bangsa non-israeli (Panteisme); sekaligus memiliki kedaulatan penuh, tak terbatas, tak tertandingi dan tak terkalahkan (Monoteisme Israel). Mengapa Allah Israel unggul di antara dewa / ilah bangsa-bangsa ? Karena IA BERPIKIR, MEMILIKI PERTIMBANGAN DAN MENYELARASKAN KEKUATAN HIDUP YANG ADA DALAM DIRINYA SENDIRI. Kekuatan penyelaras itu tampak dari HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN-KEKUATAN DI DALAM DIRINYA SENDIRI : ROH dan FIRMAN. Jadi KEESAAN adalah KARAKTER Allah Israel yang memanunggalkan FUNGSI-FUNGSI HIDUPNYA SENDIRI. Kekuatan itu diatur oleh PIKIRAN --- HIKMAT ---kadang-kadang disamakan dengan ROH dan FIRMAN-Nya (bd. Amsal 8 – 9).

Saya mencoba memahami pikiran Yesus, melalui tuturanNya (Mat. 22:37), bahwa Ia menghendaki pengikutNya menghidupkan keesaan fungsi JIWA, HATI dan AKALBUDI.. Ia menganjurkan pengikutNya mengintegrasikan (meng-esa-kan) ketiga kekuatan rohaniah/bathiniah untuk membangun kehidupan bersama. Ia tidak menginginkan pembelahan tetapi memberdayakan ke-esa-an fungsi dalam menjalankan karya ibadah hidup umat di dunia. Sebab pembelahan fungsi yang berperan sendiri-sendiri akan melemahkan; sebaliknya pemberdayaan secara integrated akan menciptakan kekuatan untuk meraih masa depan. Di sinilah saya memikirkan, lalu merumuskan : “IMAN adalah pengalaman yang terkristalisasi dari sebuah ziarah hati, jiwa dan akalbudi seorang Kristen.”

c).  Keesaan Allah merupakan Gambaran Ideal bagi Pembangunan Masyarakat.

        Kekuatan Allah ada dalam keesaan fungsi hidupNya. Kekuatan itu bisa terwujud, karena ada hubungan dinamis dari fungsi hidup ilahi di dalam diriNya sendiri. Keberagaman fungsional itu ditatakelola oleh pikiranNya, sehingga mencapai keharmonisan untuk menjalankan misiNya. Inilah patron/model yang, selayaknya, ditiru umat Kristen untuk membangun persekutuan Keluarga Allah.

        Gereja maupun Masyarakat memiliki banyak fungsi organ dengan peran yang berbeda. Jika Gereja dan Masyarakat dibandingkan sebagai sebuah organisasi keluarga, maka ia pasti memiliki tujuan hidup (visi). Tujuan hidup itu diwujud-nyatakan ke dalam tugas dan tanggungjawab fungsional.  Masing-masing fungsi akan diarahkan oleh pikiran untuk menjalankan tugasnya, agar tujuan hidup yang telah ditetapkan dapat tercapai. Untuk mencapai maksud tersebut, si pemilik keluarga mengembangkan hubungan baik antar berbagai fungsi, mengkomunika-sikan tujuan yang dipikirkan, menjaga keharmonisan dan mengawasi tiap pekerjaan yang dilakukan masing-masing fungsi. Penjelasan itu membuka wawasan kita tentang kekuatan monoteisme secara ekonomis. Dengan kata lain, ketika saya mengenal Allah Yang Esa (monoteis), saya mengenal Dia dan menyerap pengetahuan yang benar, bahwa sumber daya ilahi itu ada dalam kesatuan pikiran yang menggerakkan pekerjaan sesuai visi (tujuan) masa depan. Itulah pemahaman iman saya tentang Monoteisme (Trinitas ?) sebagai Sumber Daya Ekonomi.

d).  Yesus Kristus : Monoteisme dan Kekuatan Israel.    

Kita tiba ke dalam bahasan : mengapa Yesus mengubah kata “kekuatan” menjadi “akalbudi”. Yesus mengenal sikap fanatic kaumNya. Mereka bersedia menjadi martir (sahid) demi menegakkan keyakinan imannya serta mengusir penjajah dari tanahnya yang dianggap suci. Dan, untuk mencapai tujuan tersebut, Yesus menyadari bahwa kekuatan Israel di masa Musa – Yoshua – Daud – Salomo tidak seperti menghadapi penjajah modern. Kekuatan pisik (mesin perang) penjajah jauh lebih canggih dibandingkan semangat iman Israel. Oleh karena itu, pemimpin sipil dan rohaniawan dituntut membangun konsep yang jelas tentang perang suci. Strategi perang perlu diubah. Bukan kekerasan, bukan kontak pisik (senjata) tetapi KASIH yang lahir dari hati – jiwa – akalbudi (trilogi ?).

Perang tidak akan mengakhiri penjajahan, tetapi sikap MENGASIHI SESAMA (Mat. 22:39; bd. Im. 19:18) merupakan senjata tercanggih untuk memenangkan penjajah dan menghapus penjajahan di atas bumi. Oleh karena itu, Dia berkata : Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Mat. 5:20). Apakah yang dimaksudkan Yesus dalam istilah ‘hidup keagamaan’ ? Pengenalan akan Allah ! Jika seseorang mengenal Kasih-Allah dan Allah-Kasih, maka pengenalan itu, seharusnya, membentuk sikap keagamaannya dan membangun karakternya. Sama seperti ia mengasihi Allah, ia wajib melakukannya dalam relasi interaktif dengan sesamanya. Sikap keagamaan Israel, sesuai hukum Musa, adalah gigi ganti gigi, mata ganti mata, darah ganti darah. Yesus tidak menghendaki hal itu, sebab sikap demikian tidak akan mengubah pandangan orang terhadap kekristenan. Sebaliknya semakin menambah banyak musuh dan membangkitkan permusuhan.

Oleh karena itu, Yesus berkata : Kamu telah mendengar firman : Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu : Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (Mat. 5:43-40). Yesus mengubah pola pikir Israel. Yesus mengajukan konsep strategi perang baru. Pakailah kasih untuk menyelesaikan pertikaian atau permusuhan. Perang adalah kata akhir yang muncul untuk memecahkan kebekuan hubungan antar dua orang yang pernah menjalin hubungan persahabatan. Perang mematikan keharmonisan yang telah tercipta sebelumnya. Perang membawa korban bagi semua pihak. Perang mematikan semangat keesaan. Perang memporak-porandakan kehidupan manusia. Jika orang Kristen mengenal Yesus selaku Gurunya, maka mereka patut belajar meniru strategi Yesus memerangi kuasa kegelapan (musuh Allah), yakni : KASIH YANG MENGORBANKAN DIRI DEMI PEMBEBASAN MANUSIA, pembebasan dari pikiran yang berdosa dan menyesatkan. Jadi strategi perang seperti ini patut dipikirkan dan dijalankan oleh akalbudi – hati – dan jiwa seorang Kristen. Hanya dengan cara itulah, Israel dapat memenangkan peperangan / perang. Karena KASIH seseorang mampu mengalahkan, tetapi bukan menaklukan siapapun dengan kekerasan. Di sinilah kehebatan PIKIRAN Yesus yang mereformasi tradisi berpikir umat manusia, khususnya Israel.

ACHIRUL’KALAM

Mudah-mudahan teman-teman dapat menangkap makna dari penjelasan di atas terkait monoteisme (dan sedikit sentilan terkait Trinitas) yang menjadi nilai keagamaan untuk tujuan pembangunan masyarakat. Jika dianggap baik, marilah kita mendiskusikannya.

MEDAN – Rabu, 13 Juni 2012
Salam dari Penulis
PUTERA SANG FAJAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar