32.A. MONOTEISME SEBAGAI
SUMBER DAYA PEMBANGUNAN GEREJA DAN MASYARAKAT
Sahabat-sahabatku yang terkasih…,
Agaknya artikel singkat yang
dilansir kemaren mendapat beragam komentar. Dan, komentar terhubung pada
masalah monotiesme ilahi cukup banyak dan bervariasi. Komen-komen itu
memperlihatkan pandangan negatif akan proses menalar pengalaman rohani / bathiniah
sepanjang perjalanan manusia di atas bumi. Sikap (pendirian) merendahkan akalbudi
yang berpikir dan hati nurani yang berkehendak
merupakan kenaifan seorang beragama. Kita cenderung memisahkan iman dan
akalbudi.
Pemenduaan itu, sesungguhnya, bertentangan dengan ucapan teolog Yahudi Abad I,
namanya Yesus dari Nazareth. Ia berkata : “Kasihilah
TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akalbudimu” (Mat. 22:37).
Melalui kalimat itu Yesus mengingatkan siapa saja, bahwa akalbudi yang sehat dibutuhkan
sebagai alat / sarana untuk membuktikan keyakinan iman. Bukankah tanpa
akalbudi yang sehat seorangpun tak mungkin mengungkapkan pikirannya secara baik
dan benar, sehingga orang lain mengerti isi keyakinan imannya ?
Monoteisme
Ilahi adalah konsep ideal tentang dunia
roh-roh. Monoteisme Ilahipun bertumbuh dalam perjumpaan
tiap orang karena interaksi sosial; dan juga dengan fenomena alami. Pengalaman
itu menjadi nilai kehidupan yang diinternalisasikan : dipikirkan (aspek kognisi)
dan dihayati
(aspek afeksi). Itulah bibit keber – agama – an. Barulah
dituangkan dalam bentuk rumusan keyakinan iman. Kitamembutuhkan hati-nurani
untuk menanggap segala macam keadaan serta akalbudi untuk menalarkann, lalu menuangkannya
dalam rumusan-rumusan tertulis yang dapat dibaca, didengar dan dimengerti orang
lain.
Lihatlah karya ilmiah yang dibuat
Yesus, ketika mengubah rumusan Pengakuan Iman Israel : “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan
segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:5). Yesus
menggunakan kata benda akalbudi untuk mengisi definisi kata
kekuatan.
MENGAPA YESUS MELAKUKAN HAL ITU ?
1.
Kondisi Israel Pra-Pendudukan dan Masa
Kerajaan.
Pada masa Israel akan menduduki
tanah Kanaan, mereka membutuhkan ‘kekuatan pisik’ untuk melakukan
perang / peperangan. Tanpa kekuatan pisik yang sehat, Israel akan mengalami
kekalahan. Pada waktu itu, kelompok pemikir sedikit jumlahnya. Kelompok itu
diperankan cerdik-cendekia dan birokrat. Sementara umat Israel berfungsi
sebagai ‘mesin perang.’ Hal ini
menyebabkan kerugian besar di kalangan rakyat jelata.
2. Kondisi
Sosial pada Masa Kerja Yesus
Yesus mengetahui benar kondisi sosial yang
dihadapi bangsaNya. Kekalahan Israel dalam pemberontakan yang dipimpin kaum
Makabe (Abad I sb. M) telah memporak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat.
Israel dirugikan dalam skala besar dan waktu yang lama. Hal itu dikarenakan
pemuka Israel memanfaatkan rakyatnya sebagai mesin perang untuk
melawan kekuatan penjajah Yunani (Alexander Agung) dan Roma. Rakyat kurang
berdaya guna, karena intelektualnya kurang baik dibandingkan
penjajah.
Membaca
memakai kacamata baru. Kelemahan ini dilihat Yesus sebagai faktor
yang menimbulkan kegagalan. Oleh karena itu, sang teolog Yahudi itu merumuskan
kembali Pengakuan Iman Israel : “Dengarlah, hai kaum Israel ! TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa ! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan
dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akalbudimu”
(Ul. 6:4-5; bd. Mat. 22:37). Yesus memakai kerangka tradisi, tetapi
Ia mengisi makna baru ke dalamnya menurut pentafsiran sendiri. Apakah
makna baru yang dikembangkan Yesus ?
a). Keesaan
Allah adalah Patronase / Model Kesatuan Umat
Perjuangan untuk membebaskan umat tidak
akan mencapai sukses, jika dilakukan secara sporadic oleh suku-suku. Tindakan
itu, selayaknya, dilakuka bersama-sama, sekalipun dalam wilayah yang berbeda.
Menurut Yesus, kekuatan bangsa tidak terletak pada konsep perang semata, tetapi
ada
di dalam kebersamaan di mana semua orang ikut berpartisipasi. Itulah
sebabnya pembangunan kekuatan bangsa, sebaiknya, dimulai dari pembinaan wawasan
keesaan wilayah. Membuka pemikiran anggota umat Israel tentang kewajiban dan
tanggungjawab sosialnya. Kekuatan bangsa Israel menghadapi penjajahan terletak
pada usaha
membangun keesaan bangsa. Bangsa Yang Esa adalah bangsa yang kokoh.
Sama seperti Keesaan Allah menunjuk juga pada kedaulatan kuasaNya yang kuat dan
tidak terbatas.
b). Keesaan
Allah merupakan Gambaran Ideal bagi Keharmonisan Fungsi Hidup Manusia.
Allah adalah Pribadi yang
memiliki “hati.” Oleh karena itu, Ia berpikir, merasa, melihat, dll.
Saya ingin menegaskan keyakinan intelektual pribadi, bahwa ALLAH
ISRAEL
adalah PRIBADI
YANG BERPIKIR (bd. Yes. 55:8-9 -> “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan
jalanmu bukanlah jalan-Ku,
demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah
tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu”). Dan, oleh karena itu, Dia
adalah Pribadi yang unggul di antara dewa / ilah bangsa-bangsa non-israeli (Panteisme);
sekaligus memiliki kedaulatan penuh, tak terbatas, tak tertandingi dan tak
terkalahkan (Monoteisme Israel). Mengapa Allah Israel unggul di antara dewa /
ilah bangsa-bangsa ? Karena IA BERPIKIR, MEMILIKI PERTIMBANGAN
DAN MENYELARASKAN KEKUATAN HIDUP YANG ADA DALAM DIRINYA SENDIRI. Kekuatan penyelaras itu tampak
dari HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN-KEKUATAN DI DALAM DIRINYA SENDIRI : ROH dan
FIRMAN.
Jadi KEESAAN adalah KARAKTER
Allah Israel
yang memanunggalkan FUNGSI-FUNGSI HIDUPNYA SENDIRI. Kekuatan itu diatur oleh PIKIRAN
--- HIKMAT ---kadang-kadang disamakan dengan
ROH dan FIRMAN-Nya (bd. Amsal 8 – 9).
Saya mencoba memahami pikiran Yesus,
melalui tuturanNya (Mat. 22:37), bahwa Ia menghendaki pengikutNya menghidupkan keesaan
fungsi JIWA, HATI dan AKALBUDI.. Ia menganjurkan pengikutNya
mengintegrasikan (meng-esa-kan) ketiga kekuatan rohaniah/bathiniah untuk
membangun kehidupan bersama. Ia tidak menginginkan pembelahan tetapi memberdayakan
ke-esa-an fungsi dalam menjalankan karya ibadah hidup umat di dunia. Sebab
pembelahan fungsi yang berperan sendiri-sendiri akan melemahkan; sebaliknya
pemberdayaan secara integrated akan menciptakan kekuatan untuk meraih masa
depan. Di sinilah saya memikirkan, lalu merumuskan : “IMAN
adalah pengalaman yang terkristalisasi dari sebuah ziarah hati, jiwa dan
akalbudi seorang Kristen.”
c). Keesaan
Allah merupakan Gambaran Ideal bagi Pembangunan Masyarakat.
Kekuatan Allah ada dalam keesaan fungsi hidupNya. Kekuatan itu bisa
terwujud, karena ada hubungan dinamis
dari fungsi hidup ilahi di dalam diriNya sendiri. Keberagaman fungsional itu
ditatakelola oleh pikiranNya, sehingga mencapai keharmonisan untuk menjalankan misiNya. Inilah
patron/model yang, selayaknya, ditiru umat Kristen untuk membangun persekutuan
Keluarga Allah.
Gereja maupun Masyarakat memiliki banyak
fungsi organ dengan peran
yang berbeda. Jika Gereja dan Masyarakat dibandingkan sebagai sebuah organisasi keluarga, maka ia pasti memiliki tujuan hidup (visi).
Tujuan hidup itu diwujud-nyatakan ke dalam tugas dan
tanggungjawab fungsional. Masing-masing fungsi akan diarahkan oleh pikiran untuk menjalankan tugasnya, agar
tujuan hidup yang telah ditetapkan dapat tercapai. Untuk mencapai maksud
tersebut, si pemilik keluarga mengembangkan hubungan
baik antar berbagai fungsi, mengkomunika-sikan
tujuan yang dipikirkan, menjaga keharmonisan
dan mengawasi tiap pekerjaan yang dilakukan
masing-masing fungsi. Penjelasan itu membuka wawasan kita tentang kekuatan
monoteisme secara ekonomis. Dengan kata lain, ketika saya mengenal Allah Yang
Esa (monoteis), saya mengenal Dia dan menyerap pengetahuan yang benar, bahwa
sumber daya ilahi itu ada dalam kesatuan pikiran yang menggerakkan pekerjaan
sesuai visi (tujuan) masa depan. Itulah pemahaman iman saya tentang Monoteisme (Trinitas
?) sebagai Sumber Daya Ekonomi.
d). Yesus
Kristus : Monoteisme dan Kekuatan Israel.
Kita tiba ke dalam bahasan :
mengapa Yesus mengubah kata “kekuatan” menjadi “akalbudi”.
Yesus mengenal sikap fanatic kaumNya. Mereka bersedia menjadi martir (sahid)
demi menegakkan keyakinan imannya serta mengusir penjajah dari tanahnya yang
dianggap suci. Dan, untuk mencapai tujuan tersebut, Yesus menyadari bahwa
kekuatan Israel di masa Musa – Yoshua – Daud – Salomo tidak seperti menghadapi
penjajah modern. Kekuatan pisik (mesin perang) penjajah jauh lebih canggih
dibandingkan semangat iman Israel. Oleh karena itu, pemimpin sipil dan
rohaniawan dituntut membangun konsep yang jelas tentang perang suci. Strategi
perang perlu diubah. Bukan kekerasan, bukan kontak pisik (senjata) tetapi KASIH
yang lahir dari hati – jiwa – akalbudi (trilogi ?).
Perang tidak akan mengakhiri
penjajahan, tetapi sikap MENGASIHI SESAMA (Mat. 22:39; bd. Im. 19:18) merupakan
senjata tercanggih untuk memenangkan penjajah dan menghapus penjajahan di atas
bumi. Oleh karena itu, Dia berkata : “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam
Kerajaan Sorga.” (Mat. 5:20). Apakah yang
dimaksudkan Yesus dalam istilah ‘hidup keagamaan’ ? Pengenalan akan
Allah ! Jika seseorang mengenal Kasih-Allah dan Allah-Kasih, maka
pengenalan itu, seharusnya, membentuk sikap keagamaannya dan membangun
karakternya. Sama seperti ia mengasihi Allah, ia wajib melakukannya dalam
relasi interaktif dengan sesamanya. Sikap keagamaan Israel, sesuai hukum Musa,
adalah gigi ganti gigi, mata ganti mata, darah ganti darah. Yesus
tidak menghendaki hal itu, sebab sikap demikian tidak akan mengubah pandangan
orang terhadap kekristenan. Sebaliknya semakin menambah banyak musuh dan
membangkitkan permusuhan.
Oleh karena itu, Yesus berkata : “Kamu telah mendengar firman : Kasihilah sesamamu manusia dan
bencilah musuhmu. Tetapi
Aku berkata kepadamu : Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat. 5:43-40). Yesus mengubah pola pikir
Israel. Yesus mengajukan konsep strategi
perang baru. Pakailah kasih untuk
menyelesaikan pertikaian atau permusuhan. Perang adalah kata
akhir yang muncul untuk memecahkan kebekuan hubungan antar dua orang yang
pernah menjalin hubungan persahabatan. Perang mematikan keharmonisan yang telah
tercipta sebelumnya. Perang membawa korban bagi semua pihak. Perang mematikan
semangat keesaan. Perang memporak-porandakan kehidupan manusia. Jika orang Kristen
mengenal Yesus selaku Gurunya, maka mereka patut belajar meniru strategi Yesus
memerangi kuasa kegelapan (musuh Allah), yakni : KASIH
YANG MENGORBANKAN DIRI DEMI PEMBEBASAN MANUSIA, pembebasan dari pikiran yang
berdosa dan menyesatkan. Jadi strategi perang seperti ini patut dipikirkan dan
dijalankan oleh akalbudi – hati – dan jiwa seorang Kristen. Hanya dengan cara
itulah, Israel dapat memenangkan peperangan / perang. Karena
KASIH seseorang mampu mengalahkan, tetapi bukan menaklukan siapapun dengan
kekerasan. Di sinilah kehebatan PIKIRAN Yesus yang mereformasi
tradisi berpikir umat manusia, khususnya Israel.
ACHIRUL’KALAM
Mudah-mudahan teman-teman dapat
menangkap makna dari penjelasan di atas terkait monoteisme (dan sedikit
sentilan terkait Trinitas) yang menjadi nilai keagamaan untuk tujuan
pembangunan masyarakat. Jika dianggap baik, marilah kita mendiskusikannya.
MEDAN – Rabu, 13 Juni 2012
Salam dari Penulis
PUTERA SANG FAJAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar