Kamis, 03 Februari 2011

Rancangan Pengajaran HARI MINGGU - 06 PEBRUARI 2011


RANCANGAN PENGAJARAN
IBADAH MINGGU, 06 PEBRUARI 2011
POKOK UTAMA

PELAKSANAAN MISI ALLAH

TUJUAN UTAMA

Allah memanggil dan mengutus siapapun yang yang berkenan kepada-Nya untuk dipakai menjalankan misi-Nya

POKOK BAHASAN

MINGGU, 03 PEBRUARI 2011

PEREMPUAN DALAM
PENYELENGGARAAN MISI ALLAH

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Ketika TUHAN memilih siapapun untuk melaksanakan misi-Nya, Ia tidak membedakan jenis kelamin. Yang dituntut-Nya hanyalah kasih dan kesetiaan dalam menunaikan tugas misional

SUB – POKOK BAHASAN

KEPEMIMPINAN DEBORA,

Upaya Menyoroti Status, Fungsi dan Peran
Kaum Perempuan dalam  Gereja GPIB selaku KELUARGA ALLAH

TUJUAN PEMBELAJARAN

MINGGU, 03 Pebruari 2011

Pengajaran ini dituliskan dengan maksud dan tujuan, agar …

1.   Tiap orang percaya mengintrospeksi diri, ketika sedang berada dalam penyelenggaraan persekutuan yang melayani dan bersaksi.

2.   Tiap orang percaya mengetahui dan mengerti, bahwa TUHAN Allah bertujuan memberdayakan karunia-karunia yang diberikan ke atas manusia : laki-laki dan perempuan, selaku ciptaan-Nya.

3.   Tiap orang percaya mengubah perilaku ibadah yang menciptakan bencana ke atas kemanusiaan yang beradab.

4.   Tiap orang percaya perlu bersikap rendah hati dan mengasihi Allah serta sesama, ketika sedang berada pada puncak kekuasaan.

I
PENDAHULUAN

A.   BELAJAR DARI KASUS

Belakangan ini, ketika masyarakat sedang galak-galaknya meningkatkan  fungsi – peran perempuan, Gereja berpikir sebaliknya. Dengan mengangkat kasus pribadi, kita menjatuhkan vonis kepada kaum perempuan yang dipanggil dan diteapkan Allah sebagai utusan-Nya. Anehnya, kadang-kadang kaum perempuan sendirilah yang menjadi promotor untuk meniadakan panggilan yang ditetapkan Allah melalui keputusan Gereja. Malahan peraturan-peraturan yang disusun pun kurang memiliki pemahaman teologi yang utuh dan terpadu. Umumnya rongrongan ini muncul karena perasan-perasaan ketidak puasan atas keputusan pimpinan. Oleh karena itu, kaum perempuan pendeta perlu mengintrospeksi diri, sebelum menyampaikan kritikan yang sifatnya kasual. Katakanlah beberapa contoh :

1.   Kasus I -> Berhubungan dengan karakter individu

    Munculnya kasus moral di kalangan perempuan pekerja cukup menghebohkan warga Gereja. Oleh karena itu, pimpinan, sebagai  pemberi kerja, mengambil keputusan untuk ‘mengamankan’ pekerjanya. Sikap pimpinan benar. Tidak salah, meskipun kasus tersebut belum dapat dibuktikan. Hanya gossip belaka. 

    Masalahnya : ketika kasus sedang bergulir, dan belum sempat dibuktikan kebenaran material (hukum), kabar tersebut sudah beredar ke  berbagai tempat. Hal itu menyulitkan pimpinan untuk memutasikannya. 

    Lebih celaka lagi, bertolak dari kasus tersebut, rekan-rekan sekerja menggeneralisasikan kasus itu serta menjadikannya alasan untuk mengadakan klausul hukum yang bisa mematikan karunia rohani pemberian Allah. Kelemahan berpikir seperti itu lahir dari kekurang mampuan menganalisa masalah. Kita perlu belajar memisahkan kasus pribadi dalam penyelenggaraan organisasi Gereja selaku KELUARGA ALLAH, supaya bisa menjadi orang yang bijak dalam menjatuhkan keputusan dan mengambil tindakan organisasi.

    Perselingkuhan dapat dimungkinkan untuk dilakukan oleh siapapun, entahkah laki-laki maupun perempuan, bukan karena ia seorang pendeta. Dan sepanjang sejarah perkembangan Gereja, banyak laki-laki yang berselingkuh diamankan Pimpinan, karena hubungan pertemanan. Dipanggil untuk digembalakan, tetapi menurut pengakuan yang bersangkutan, ia tidak pernah digembalakan tetapi dihakimi. Jadi adalah perbuatan tidak benar dan tidak adil, jikalau kasus-kasus pribadi perempuan pendeta dijadikan landasan untuk menetapkan klausul pennon-organikkan Perempuan Pendeta. 

2.   Kasus II -> Pemutasian Suami-Isteri Pendeta

Perkawinan adalah kehendak TUHAN (Kej. 1:28; 2:24). Tidak seorangpun berkuasa menentukan dengan siapa ia harus menikah dan dikawinkan. Perkawinan itu keputusan pribadi tiap orang bersama TUHAN serta orang yang dicintainya. Ketika seseorang memilih pasangan hidupnya, maka hal itu dilakukan dalam kebebasan penuh dan dengan cinta-kasih yang dianugerahi olah Allah. Pilihan karena cinta-kasih, dibuat tanpa memandang status sosial dan latar belakang pasangan hidupnya. 

Pada mulanya, ketika seorang laki-laki pendeta menyunting seorang perempuan pendeta, ia tidak pernah memikirkan salah satu di antara mereka akan dinon aktifkan karena jabatan yang sama. Keduanya yakin teguh, bahwa TUHAN memanggil dan menetapkan mereka, sebelum menikah, untuk menjadi Pendeta melalui keputusan Gereja.  Kesulitannya : kedua suami-isteri pendeta itu adalah Pendeta Organik. Hal ini dapat menimbulkan persoalan baru, dikarenakan situasi yang berkembang kemudian terkait mutasi.  

Sesungguhnya, tak ada masalah organisasi terkait pemberdayaan perempuan pendeta bersuamikan seorang pendeta. Masalah itu berhubungan langsung dengan tanggung jawab dan wewenang pimpinan sesuai aturan-aturan yang berlaku dalam Gereja. Seorang perempuan pendeta bersuamikan seorang pendeta perlu menyadari dan menanggung risiko atas perkawinan yang diinginkan. Yang dimaksud dengan risiko adalah : apabila terjadi perpisahan sementara, disebabkan karena pemutasian, ia wajib mengormati dan melaksanakan  keputusan Pimpinan. Hal yang sama berlaku pula bagi semua personil Gereja (Pendeta) tanpa memandang pertemanan dalam bentuk apapun. Sebab ada juga perempuan pendeta yang menikah bersuamikan seorang non-pendeta yang menolak pemutasian dengan alasan-alasan yang tidak jelas; malahan ada pula laki-laki pendeta yang melakukan hal sama. Dengan demikian, pemutasian yang dipakai menjadi alasan untuk menon-organikkan perempuan pendeta, cacat hukum

3.  Fenomena Sosial tentang Pertambahan Jumlah Penduduk

Di pihak lain, kita juga perlu mengakui, bahwa pertambahan penduduk memperlihatkan jumlah kaum perempuan jauh melebihi kaum laki-laki. Tidaklah mengherankan, jika perempuan memprotes kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan kaumnya serta menentang keunggulan laki-laki pada seluruh bidang pekerjaan. Imbasnya pun terasa dalam kehidupan bergereja. Kondisi ini perlu dituntaskan secara radikal (sampai ke akarnya), agar tidak lagi menimbulkan masalah besar di kemudian hari. 

B.   KESAKSIAN ALKITAB -> Sebuah upaya memikirkan keadilan dan kebenaran Allah yang mendorong lahirnya tindakan positif

Marilah berpikir tentang kebaikan, keadilan dan kebenaran Allah sebagaimana disaksikan Alkitab. Dan, agar kita memperoleh hasil pemikiran yang baik-benar, maka pada saat proses berpikir seperti ini dijalankan, kita perlu membuang jauh-jauh perasaan irihati, benci, cemburu,  susah lihat kawan senang atau senang lihat kawan susah, yang menyimpangkan tujuan yang positif.

1. Penciptaan 

Pada mulanya Allah menciptakan manusia : laki-laki dan perempuan (Kej. 1:25-26), secara bersamaan dan sekaligus.  Proses penciptaan yang diceritakan pada Kejadian 2 : 18 – 21 merupakan upaya kontekstualisasi penulis sehubungan dengan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Israel. Pernyataan “manusia itu laki-laki dan perempuan” menunjuk pada keutuhan dan kesatuan hidup. Artinya, eksistensi laki-laki tidak dapat disebut manusia tanpa keberadaan perempuan, baik dalam fungsi sosial maupun keagamaan, sebaliknya pun demikian. 

Catatan khusus :
Menurut pendapat saya, sebaiknya kata penghubung “dan” yang terdapat dalam frasa : Allah menciptakan manusia itu : laki-laki dan perempuan, mengandung makna (atau sama artinya dengan) kata “bersama dan untuk”. Dengan demikian kita dapat mengerti maksud Allah, bahwa Ia menciptakan manusia sekaligus :  laki-laki bersama dengan perempuan. Oleh karena itu, laki-laki hidup untuk perempuan dan perempuan untuk laki-laki. Demikianlah esensi manusia tidak dapat dipisahkan karena alasan eksistensial (jenis kelaminnya, red)

2.  Eksistensi : Status dan Fungsi

     Kita harus berangkat dari kesaksian Alkitab, bahwa Allah menciptakan manusia (Maz. 8) : laki-laki dan perempuan (Kej. 1:25-26).  Dalam kesaksian itu dinyatakan status manusia itu sama (equal)  : makhluk ciptaan Allah (gagasan ini patut dipahami menurut kesaksian Alkitab, dan tak ada hubungannya dengan status sosial, an sich) : duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi di hadapan TUHAN, Allah Penciptanya. 

     Akan tetapi fungsi kehidupan (eksistensi, cara berada) ditentukan kodrat penciptaan : laki-laki dan perempuan. Barulah dari pemahaman ini berkembang pandangan masyarakat tentang pembedaan tugas fungsional yang berbeda di antara laki-laki bersama perempuan. 

3.  Hak dan Kewajiban Manusia

3.1. Mengalir dari penjelasan butir 2, saya berpendapat, bahwa Allah memberikan hak yang sama kepada manusia, tetapi kewajibannya berbeda karena alasan kodratnya. Hak, yang saya maksudkan, merupakan Hak Hidup dan Hak Kerja (simaklah penjelasan tentang Pemahaman Iman GPIB – Buku berwarna merah maron). Kedua hak itu tidak diberikan masyarakat, melainkan melekat dalam eksistensi penciptaan. Pertama-tama yang perlu kita pahami ialah kedua hak itu pemberian Allah. Dari sinilah masyarakat mengembangkan gagasannya, bukan sebaliknya. 

3.2. Nilai-nilai yang terkandung dalam semua hukum organic dan hukum positif dalam aturan apapun merupakan perwujudan dari gagasan 3.1. di atas. Hal itu tercatat pula dalam kesepakatan bangsa-bangsa tentang Decleration of Human Rights.

       Gereja sebagai institusi sosio-religius, memahami dan mengakui Alkitab sebagai sumber segala Hukum Gereja. Alkitab, yang berintikan Firman Allah (menurut penjelasan Pemahaman Iman GPIB 2007) menjadi sumber inspirasi penyusunan TATA GEREJA. Oleh karena itu, nilai-nilai alkitabiah wajib menjiwai pengadaan tiap kata dalam kalimat-kalimat hukum Gereja, termasuk yang diuraikan status, fungsi dan peran, hak dan kewajiban manusia : laki-laki dan perempuan, dalam penyelenggaraan Gereja selaku KELUARGA ALLAH

4.  Tugas yang diberikan Allah

4.1. Tugas Khusus. TUHAN Allah memberikan tugas khusus kepada manusia : laki-laki dan perempuan, berdasarkan fungsi kodratinya (Kej. 1:28). Sekali lagi, tugas tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri dan tidak dapat dipisahkan. Berada dalam kesatuan konsep yang utuh-terpadu terkait eksistensi manusia. Siapapun tidak dapat berbicara mengenai “bertambah banyak dan penuhilah bumi”, dengan memisahkan fungsi kodrati. 

4.2. Tugas Umum. Kejadian 2 : 15 menyaksikan, bahwa TUHAN Allah menyuruh manusia “mengusahakan dan memelihara taman itu”. Suruhan ini bukan tugas laki-laki saja tetapi perempuan juga. Siapapun orang itu, dia dipanggil dan diutus TUHAN untuk mengolah dan menatalola serta melestarikan alam demi tujuan-tujuan kehidupan bersama (manusia dan alam). Tugas ini dikerjakan oleh manusia : laki-laki dan perempuan.

5.  Pemberdayaan fungsi dalam keluarga manusia.

     Pertama-tama kita perlu mengetahui, bahwa istilah keluarga ini dipakai untuk menunjukkan kelompok (spesis) ciptaan. Barulah kemudian istilah ini dipakai untuk menunjuk pada persekutuan perkawinan. Kita akan mengerti hal itu melalui penjelasan di bawah ini. 

5.1. Manusia adalah salah satu dari himpunan keluarga makhluk ciptaan Allah.

Manusia : laki-laki dan / bersama perempuan, adalah keluarga dari salah satu karya Allah (keluarga burung-burung, keluarga hewan-hewan melata, keluarga ikan-ikan dan keluarga tumbuh-tumbuhan). Masing-masing keluarga diciptakan untuk melakukan maksud dan rencana Allah (blue-print dari rencana penyelamatan). 

Hewan-hewan menjalankan tugas eksistensialnya (fungsi kehidupan hewan) secara naluri alamiah. Manusia tidak demikian. Ia diberikan Allah kekuatan akalbudi dan kepekaan hati nurani. Dengan begitu manusia merencanakan dan melaksanakan pekerjaan secara rasional, tetapi juga mempertimbangkannya dengan hati nurai yang tulus. 

5.2. Manusia membentuk keluarga melalui perkawinan karena kebutuhan eksistensial

Salah satu kebutuhan manusia adalah seksualitas. Makna tersirat dalam istilah “bersama – untuk” yang saya tafsirkan sebagai sinonim kata penghubung “dan” (simaklah catatan khusus butir 1 di atas). Laki-laki bersama perempuan atau laki-laki untuk perempuan, begitu pula sebaliknya. Artinya, dalam memenuhi kebutuhan seksualnya laki-laki atau perempuan mencari pasangan yang sama (sederajat). Sulit membayangkan aktivitas seksual dilakukan dengan hewan atau tumbuhan, termasuk dengan yang sama jenis kelaminnya. Hal itu disebabkan alasan eksistensialnya : laki-laki untuk perempuan dan perempuan untuk laki-laki, karena keduanya adalah makhluk yang sama, sepadan dan sederajat (bd. Kej. 2:18. -> “yang sepadan denganSaya membaca tulisan dari penulis Kejadian sebagai gagasan asli yang bersumber dari pemikiran Allah).

5.3. Perintah “bertambah banyak dan penuhi bumi” berhubungan dengan institusi perkawinan

     Pada mulanya, ketika kebudayaan masih sederhana, sejak manusia muncul dalam sejarah bumi, pertambahan manusia dilakukan secara acak (kawin mawin / poligami tak berbeda dengan hewan). Sejalan dengan perkembangan masyarakat barulah insitusi kehidupan ditata-tertibkan berdasarkan nilai-nilai normatif demi mencapai kebaikan bersama. Sejak saat itu, perkawinan poligami ditinggalkan. Perkawinan monogami mulai dikembangkan (dalam sejarah Agama Israel, gagasan perkawinan monogami tidak dapat dipisahkan dari pemahaman Israel tentang monoteisme Allah. Gagasan ini dapat disimak dalam pernyataan Hukum Taurat : Jangan berzinah -> bacalah gagasan teologi Kitab Nabi Hosea tentang Perkawinan dan Perjanjian). 

     Sejak perempuan diciptakan untuk laki-laki (Kej.2:18), maka Allah berhenti menciptakan makhluk manusia secara langsung. Allah melibatkan manusia dalam proses menciptakan (fungsi prokreasi / melahirkan yang dijalankan oleh perempuan). Inilah tugas fungsional eksistensial sesuai fungsi kodrat perempuan sesuai kodratnya (bd. Kej. 3 : 16 -> “engkau akan melahirkan anak”). 

6.  Pelanggaran Nilai-Nilai alkitabiah dan hak-hak asazi manusia.

6.1. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja jika kita menghalangi hak dan kewajiban kaum perempuan, maka kita telah berkhianat kepada TUHAN, Allah Pencipta manusia, serta menghina nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Hal itu juga berarti, kita menghina martabat kaum perempuan yang memiliki hak sama seperti dinikmati kaum laki-laki. 

6.2. Apapun alasan yang diajukan untuk membenarkan pandangan dan sikap untuk menghambat kaum perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan Gereja merupakan penghinaan kepada Alkitab yang menyaksikan kehendak Allah. Penon-aktifan kaum perempuan yang dilakukan melalui pengadaan klausul hukum Gereja dapat dianggap sebuah tindakan pembunuhan karakter yang bersumber dari pemikiran diskriminasi.  Suatu pelanggaran terhadap Hak Kerja yang diberikan Allah kepada manusia, tanpa memandang pembedaan kodrat, serta pelanggaran positif (yang mengandung tujuan provokatif) terhadap Hak Asazi Manusia secara universal. 

7.  Penatalolaan Sumber Daya Insani (Manusia)

     Hak kerja dan kesempatan diberikan Allah kepada manusia : laki-laki dan perempuan tanpa terkecuali. Allah tidak mengistimewakan kaum laki-laki dari pada kaum perempuan. Bukan Allah yang membedakannya, tetapi manusia yang menciptakan sistem institusi serta mengadakan pembedaan (perlakuan khusus) dalam aturan-aturan. 

     Masalah hak dan kesempatan kerja  kaum perempuan tidak perlu dipersoalkan, jikalau kita membiarkan akalbudi dan hati nurani dipimpin oleh Roh Allah. Institusi (organisasi) Gereja dan Peraturan-Peraturannya diadakan dengan tujuan : pertama, memberdayakan semua sumber daya Gereja (laki-laki dan perempuan) untuk melanjutkan misi Kristus di dalam pekerjaan Gereja; dan kedua,  membangun serta membagikan kesejahteraan kepada semua orang (laki-laki dan perempuan). 

     Oleh karena itu, penataan hukum Gereja perlu memperhatikan :

7.1. Hak dan kesempatan kerja yang sama yang berlaku bagi seluruh personal GPIB tanpa membedakan jenis kelamin.

7.2. Mempercayakan penatalolaan dan pemberdayaan personalia Gereja GPIB kepada keputusan-keputusan pimpinan.

7.3. Pimpinan adalah personalia GPIB yang dipilih khusus untuk melaksanakan keputusan-keputusan Gereja. Pandangan seperti ini berdampak ke dalam perilaku organisasi, yakni : sikap iman seluruh pekerja Gereja untuk percaya, bahwa kebijakan yang diambil pimpinan terkait bidang personalia Gereja diadakan demi tujuan-tujuan kesejahteraan bersama

       Kita tidak boleh berapriori terhadap kebijakan pimpinan. Di dalam Gereja, sebagai KELUARGA ALLAH, terdapat manusia yang berasal dari beragam latar belakang dan berbagai kelompok kepentingan. Jika kelompok kepentingan mempropagandakan kepentingannya dengan mengatas namakan peraturan, tanpa mempedulikan kepentingan kelompok lain, maka Gereja akan terjebak ke dalam persoalan-persoalan yang rumit dan yang mengancam kehidupan persekutuan. Karena tidak satu kelompok pun yang akan mengalah dan bersedia tunduk kepada kemauan dan tindakan politik praktis dari kelompok yang lain. 

Alkitab berpesan : serahkanlah pikiranmu dan jalanmu kepada Allah, maka Dia akan membuat kamu berhasil. Namun keberhasilan itu tidak identik dengan kemenangan karena mencapai kemauan, melainkan mengalirkan damai sejahtera dalam kehidupan bersama. Karena itu, kita tidak boleh mempolitisir aturan-aturan, tetapi kita ikut mencari solusi agar segala sesuatu yang dipikirkan dan dibijaki itu memperlancar pembangunan KELUARGA ALLAH yang utuh serta membawa damai sejahtera kepada semua pihak terkait. 

Pemikiran yang tertuang di atas tidak dilandasi motivasi untuk mencari muka, tidak juga untuk membela kepentingan keluarga, karena sang isteri adalah perempuan pendeta (Pendeta Jemaat GPIB IMMANUEL di Medan yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Majelis Sinode). Akan tetapi tulisan ini dibuat untuk menyatakan keyakinan pribadi, selaku hamba TUHAN, yang dipanggil dan diutus melalui GPIB, bukan saja untuk memperbaiki kehidupan manusia secara umum, tetapi juga memperbaiki pandangan dan sikap iman semua pekerja Gereja di dalam GPIB. 

Firman Allah adalah firman yang membebaskan semua orang dari rasa takut, memberanikan siapapun untuk berdiri bersaksi tentang kehendak Allah : manakah yang baik dan yang menyenangkan hati-Nya. Oleh karena itu, kami tidak berpikir dan bertindak mewakili kelompok kepentingan manapun. Kami berdiri sendiri oleh kekuatan Allah untuk tetap menyuarakan kebenaran Allah bagi semua orang, terutama bagi hamba-hamba TUHAN, pelayan firman, di dalam Gereja ini. Kami tidak berdiri untuk mengawal Tata Gereja yang disusun dan dibuat oleh manusia. Tetapi kami berdiri teguh di dalam kekuatan Allah untuk menjaga kemurnian pemberitaan Firman Allah yang dituangkan dalam setiap klausul Tata Gereja (Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir teologi dalam upaya membangun Tata Gereja). Jika setiap klausul Tata Gereja mematikan kebenaran dan keadilan Allah, maka kami tidak akan tinggal diam, sebab kami dipanggil dan diutus-Nya untuk menyatakan ‘ya” apa yang benar dan  “tidak” terhadap pikiran dan tindakan yang tidak adil, berdasarkan kehendak Allah yang disaksikan oleh Alkitab (secara hurufiah).
II
PEMAHAMAN ATAS PERIKOP BACAAN
HAKIM-HAKIM 4 : 1 - 8

1.   PENDAHULUAN


Latar belakang yang dijelaskan dalam bahagian PENDAHULUAN di atas tidak perlu dimasukkan ke dalam materi pengajaran Minggu, 06 Pebruari 2011. Bahagian Pendahuluan itu, sesungguhnya, merupakan fenomena sosial yang dimunculkan, agar kita mengerti maksud dan rencana Allah memanggil dan mengutus kaum perempuan. Kita perlu memperhatikan, bahwa tidak mungkin Allah memanggi dan mengutus seseorang, jikalau tidak ada persoalan di dalam kehidupan bergereja maupun masyarakat. Panggilan dan pengutusan Allah itu diberikan kepada siapapun, baik laki-laki maupun perempuan (bukan berarti : kalau tidak ada laki-laki yang melaksanakan panggilan Allah, barulah Dia menyuruh perempuan). Pandangan menomorduakan kaum perempuan tidak terbersit sedikit pun dalam pikiran Allah. 

2.   KONTEKS HAKIM – HAKIM 

Istilah “hakim” dalam APL (Akitab Perjanjian Lama) tidak sama dengan maknanya dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia, di mana hakim berfungsi dan berperan dalam dunia peradilan. Dalam budaya Israel, hakim atau hakim-hakim adalah orang-orang yang dipilih dan diangkat Allah menjadi pemimpin dalam wilayah teritorial sukunya. Ia bukan saja bertugas menghakimi/mengadili, tetapi juga menjadi pemimpin perang serta aktivitas organisasi, dan sebagainya. Kitab Hakim – Hakim digolongkan ke dalam Kitab Sejarah. 

2.1. Kitab Hakim – Hakim menuliskan sejarah suku-suku Israel, setelah kematian Yoshua bin Nun, pemimpin Israel yang menggantikan Musa. Yoshua bin Nun wafat (Hak. 1), sesudah sebahagian besar wilayah Kanaan yang ditaklukan dibagikan kepada suku-suku Israel (bd. Yosh. 14 – 24) .  

            Map 1


2.2. Konteks Kitab Hakim – Hakum melukiskan keadaan Israel menaklukan dan baru saja menduduki wilayah suku-suku Kanaan. So pasti, penguasa dan penduduk pribumi Kanaan masih menyimpan sakit hati dan dendam. Sewaktu-waktu mereka akan menyerang orang-orang Israel (bd. Hak. 11 : 13 -> “Orang-orang Israel telah merampas tanahku”. Alasan ini dipakai pemerintah Palestina sampai hari ini untuk melandasi perjuangan mereka). 



2.3. Kondisi keamanan Israel masih rawan. Gangguan kemanan (teror) masih dialami oleh suku-suku yang berbatasan langsung dengan wilayah Kanaan, misalnya : Moab, Ammon, Aram, Amalek,  Palestina, dll. Juga beberapa suku Kanaan yang dibiarkan diam di dalam wilayah pendudukan (simak Hak. 3 : 1 – 6).

2.4. Masalah utama yang dihadapi suku-suku Israel pada masa hakim-hakim :

a). Secara sosial suku-suku itu belum memiliki seorang pemimpin pengganti, setelah kematian Yoshua. Maksudnya, tidak ada figur pemimpin yang kuat yang dapat mempersatukan seluruh suku-suku Israel. Akibatnya, setiap suku mengangkat sendiri pemimpin (hakim) mereka berdasarkan ikatan kekeluargaan dalam sukunya. 

b). Ancaman / gangguan keamanan dan kelemahan pertahanan terasa, karena suku-suku Israel masih mengadakan pembenahan (konsolidasi). 

c). Israel adalah suku-suku pengembara. Oleh karena itu, mereka belum memiliki pemerintahan yang tetap. Mereka juga berdiam bersama-sama suku-suku lain dalam wilayah Kanaan (bd. Hak. 3 : 1 – 6). 

d). Secara teologis penulis-penulis APL melihat munculnya kecenderungan sikap keagamaan, dikarenakan akulturasi (sikap sinkritis, red) atau perjumpaan dengan budaya lokal (simaklah salah satu contoh : pengangkatan Saul menjadi raja -> 1 Samuel 8 – 9). Budaya telah lokal mempengaruhi orang Israel, sehingga mereka terjerumus ke dalam kultus penyembahan terhadap dewa-dewi lokal, lalu meninggalkan imannya kepada TUHAN Allah, dan sekurang-kurangnya, beribadah kepada TUHAN Allah bersamaan dengan itu menyembah dewa-dewi keluarga, dan, atau dewa-dewi lokal.

e). Kasus akulturasi (sikap sinkritis, red) ini dilihat para penulis menjadi alasan yang melatar belakangi penghukuman TUHAN. Dengan demikian penyerangan suku-suku asli Kanaan merupakan hukuman Allah ke atas Israel.

3.   DEBORA DAN KEPEMIMPINANNYA

3.1. Ringkasan Penelusuran Peristiwa Sejarah

Cerita Hakim – Hakim Israel tidak berbeda jauh dari pada cerita pahlawan-pahlawan nasional. Pada mulanya Thomas Matulessy tidak pernah bertujuan melawan pemerintahan Belanda demi kemerdekaan Indonesia, sama seperti Raja Sisinga Mangaraja, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain. Mereka masing-masing berjuang membebaskan suku dan wilayahnya dari penindasan kaum penjajah. Bukan untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini bukti sejarah, an sich.

Ketika Indonesia mempersiapkan diri menjadi Negara merdeka, dan sesudah kemerdekaan, demi upaya penyatuan wawasan serta kawasan nasional, maka pemerintah Indonesia mengklaim perjuangan pejuang-pejuang itu dengan mengatakan : mereka berjuang untuk mndirikan Negara Kesatuan Republik Indonesuia. Kemudian berdasarkan kebijakan dan keputusan Negara, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional, sekalipun hak-haknya belum diterima oleh keluarga masing-masing pahlawan.  Hal ini merupakan tafsiran politis, an sich.

Keadaan yang dijelaskan mengenai politisasi perjuangan Pahlawan Nasional, tidak jauh berbeda dengan sejarah Hakim – Hakim di Israel pada waktu sebelum menjadi kerajaan (konfederasi suku-suku. Simaklah sejarah sosial Israel dalam buku : THE HYSTORY OF ISRAELITE RELIGION, karangan George Fohrer, dan THE TRIBE OF YAHWEH, karangan Norman Gottwald dan atau buku-buku sejarah Israel yang lain yang dituliskan dan tersedia dalam Perpustakaan Sekolah-Sekolah Teologi). 

Mskipun sejarah kepemimpinan Debora diawali komentar redaksi / editor : “Sesudah Ehud mati” (sejarah Hakim Ehud -> Hak. 3 : 12 – 30), bukan berarti Deborah mewarisi tahtanya atau suksesornya. Ehud bin Gera adalah Hakim yang berasal dari suku Benjamin (Hak. 3 : 15). Sementara Debora adalah isteri Lapidot (Hak. 4 : 4). Ia menjadi Hakim / Pemimpin dalam wilayah Efraim, antara Rama dan Beth-El (Hak. 4 : 5). Beth-El terletak di wilayah territorial Efraim, bukan Benjamin. Jika Debora ada di sana,  hal itu menunjukan kesatuannya dengan suku Efraim (keturunan Yusuf) dan bukan Benjamin (keturunan Yakub, adik sekandung Yusuf dari isteri Yakub : Rachel). 

Jika ia memimpin perang melawan Sisera, Panglima Perang Yabin, Raja Kanaan (Hak. 4:2), maka hal itu disebabkan suku-suku bermasalah langsung meminta pertolongannya (Hak. 4 : 5 -> “orang Israel datang menghadap dia untuk berhakim kepadanya”). 

Perang dengan Yabin, Raja Kanaan adalah masalah yang menimpa suku-suku Naftali dan Zebulon. Jarak kedua wilayah itu berjauhan dari wilayah Efraim. Di sana ada seorang Panglima Perang bernama Barak bin Abinoam, berasal dari Kota Kadesh di wilayah Naftali (Hak. 4:10 “Barak mengerahkan suku Zebulon dan Naftali ke Kadesh, juga Debora maju bersama-sama dengan dia”; lihat Map -1). Perang ini terjadi di dekat Gunung Tabor (Hak. 4:12–15 > “Setelah dikabarkan kepada Sisera, bahwa Barak bin Ahinoam telah maju ke gunung Tabor, dikerahkannyalah segala keretanya…”) dalam wilayah Isachar, bukan wilayah pemerintahan Ehud. 

Catatan-catatan ini bermaksud memperlihatkan,  beberapa catatan penting yang perlu kita ketahui :

a). Sepanjang masa pra kerajaan (Daud dan Salomo), Israel dipimpin oleh tua-tua suku yang dipilih dari setiap suku (bd. Kel. 18 : 1 – 26).

b).  Menurut cerita penulis Hakim-Hakim, Deborah memimpin Israel, namun harus diakui pula kepemimpinan Barak bin Ahinoam dalam wilayah territorial suku Naftali dan suku Zebulon (meskipun tidak setenar Debora). 

c).  Kata “Israel” dimasukkan ke dalam cerita ini dengan tujuan untuk mempersatukan wawasan pengembangan wawasan kebangsaan mengenai pemetaan wilayah politik (geo-politik). Kemungkinan besar kata tersebut disisipkan kemudian, sesudah Israel dipersatukan menjadi sebuah kerajaan : Israel Raya.

3.2.  Peristiwa Sejarah Dibaca dengan Memakai Kacamata Iman

        Penulis Hakim-Hakim tidak berhenti pada laporan pandangan mata terkait kepemimpinan Debora dan Barak bin Ahinoam saja. Melalui peristiwa sejarah, penulis mengajak umat Israel untuk memahami dan menghayati beberapa hal penting :

Penghukuman Allah atas kesalahan umat.

     “Setelah Ehud mati, orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN. Lalu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan Yabin, Raja Kanaan untuk memerintah di Hazor” (4 : 1 – 2; bd. 3 : 12; 6 : 10 : 9; 13 : 1).
Ada 2 (dua) keterangan yang dituliskan penulis dalam kalimat tersebut : 

Pertama, setelah Ehud mati. Dengan sengaja penulis menyinggung masalah yang menjadi alasan panggilan dan pengutusan Ehud oleh Allah, yakni : orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN (3 : 12). Kata pula dipakai untuk menunjukkan kesalahan yang sama dan yang dilakukan berulang-ulang, sekalipun oleh generasi yang berbeda serta waktu da tempat yang berbeda. Maksudnya, sama seperti kesalahan yang dilakukan oleh umat Israel di kaki Gunung Horeb (= Sinai), yakni penyembahan patung ank lembu emas, demikian pula kesalahan yang sama dilakukan oleh keturunannya sewaktu mereka telah menduduki wilayah Kanaan. 

     Kedua, dosa dan kejahatan Israel ialah beribadah kepada allah bangsa-bangsa Kanaan dan meninggalkan TUHAN. Penulis menceritakan keadaan Israel : “Mereka beribadah kepada para Baal dan para Ashtoret, kepada allah orang Aram, allah orang Sidon, allah orang Moab dan allah orang Filistin, tetapi TUHAN ditinggalkan dan kepada Dia mereka tidak beribadah” (10 : 6). 

Ketiga, hukuman TUHAN atas dosa umat. Sikap sinkritis yang terjadi karena akulturasi budaya Kanaan dan iman Israel  menimbulkan “murka TUHAN” (10:7), hingga Dia “menyerahkan mereka” (4:2; bd. 6:1; 10:7;  ke dalam tangan bangsa-bangsa Kanaan.
Kalimat aktif “TUHAN menyerahkan mereka” menunjuk pada keputusan Allah sendiri. Secara imaniah penulis menyatakan, hukuman itu diberikan oleh Allah, karena umat meninggalkan Dia. Kita bisa mengatakan, bahwa peristiwa sejarah perlawanan bangsa-bangsa Kanaan disebabkan pembalasan dendam karena Israel merampas wilayahnya ( Hak. 11:13).  Penulis Hakim-Hakim mengartikannya berbeda. Allah telah memberikan tanah Kanaan sesuai janji-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Itu hak Israel ! Akan tetapi karena kejahatan dan dosa umat, Allah menghukum mereka. Penghukuman itu bukan disebabkan kebencian-Nya, melainkan harus dipahami dari kasih-Nya yang mendidik umat. Nabi-nabi mengatakan : “Sama seperti seorang bapa menghajar anak-anak-Nya, TUHAN menghajar Israel karena dosanya, supaya mereka ingat akan perjanjian kasih karunia-Nya dan beribadah kepada-Nya”. 

3.3. Setiap saat Allah membangkitkan seorang Juruselamat untuk mengerjakan rencana penyelamatan atas ciptaan-Nya

Sejarah sosial Israel dalam APL mencatat,  bahwa ketika ia berbuat dosa dan dihukum, akhirnya TUHAN Allah membebaskan anak-anak-Nya.  Pembebasan itu dilakukan-Nya, karena “orang Israel berseru” kepada-Nya (Hak. 4 : 3; bd. Kel. 3:7 -> simak juga pernyataan iman Israel dalam Kitab Yesaya 63 : 15 – 19). So pasti, secara tersirat seruan ratapan itu pun mengandung penyesalan, karena dosa yang menimbulkan murka Allah. Dan, oleh kasih-Nya yang besar, Allah bekerja membebaskan Israel (bd. Hos. 11: 8–9 -> “Masakan Aku membiarkan engkau, Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel ?... Hatiku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan”). 

Satu hal yang kita dapat catat dalam pemahaman iman penulis tentang pemeliharaan Allah, yakni: Ia bukan manusia pendendam. Ia mempunyai kasih yang tak terbatas. Berdasarkan kasih-Nya Dia mengajar anak-anak yang bersalah, tetapi jika anak-anaknya menyesali dosa, mengakui kesalahan serta bertobat kembali kepada-Nya, maka Dia, karena belas kasihan-Ny, akan tidak melaksanakan murkan-Nya yang bernyala-nyala (bd. pemahaman iman Paulus dalam Surat Roma 2 : 4 – 6 dan hayati juga Mazmur 62 : 12 - 13).  

Penulis memahami keterlibatan Debora, isteri Lapidot, terkait rencana Allah membebaskan Israel (suku Naftali dan suku Zebulon dari penyerangan Raja Yabin, orang Kanaan, melalui Panglima Perangnya : Sisera). Penulis tidak melihatnya sebagai sesuatu kebetulan, melainkan semuanya ada dalam maksud dri rencana penyelamatan Allah atas Israel, umat-Nya. Ternyata, juruselamat itu adalah berjenis kelamin perempuan. Sama sekali bertentangan dengan tradisi kebudayaan masyarakat Israel pada masanya {bd. Allah pemahaman Deutero-Yesaya tentang pengangkatan Koress, Raja Persia, menjadi Juruselamat (Yes. 45 : 1 – 8, 13) dan Gembala (Yes. 44 : 28) yang membebaskan Israel dari pembuangan di Babilonia}. Jikalau Allah betindak, apakah tradisi keagamaan dapat melawan-Nya ?

4.   MAKNA TEOLOGIS DALAM APLIKASI PENGAJARAN (Perelevansian)

Penjelasan – penjelasan membantu kita memahami peristiwa sosial dalam perjalanan kehidupan keluarga, Gereja dan masyarakat – bangsa. 

4.1. Memperlakukan Catatan Sejarah dari sudut pandang iman

a). Banyak kesulitan dialami setiap rumahtangga Kristen disebabkan sikap iman suami-isteri kepada Allah. Suami-isteri rajin beribadah, ketika sedang menghadapi persoalan. Mereka rajin membaca Alkitab, berdoa dan mengikuti ibadah-ibadah liturgis, dengan doa dan harapan : Allah akan membebaskan rumahnya dari himpitan kesusahan.

      Akan tetapi ketika keadaan telah berubah, mereka lupa bersyukur kepada Allah. Pikiran dan hati mereka tertuju pada urusan-urusan duniawi. Ketika miskin, mereka rajin beribadah; tetapi sesudah menjadi kaya, mereka melupakan Allah yang memberkati rumahnya (bd. Hak. 10:6; Ul. 8 : 11 – 20). Penulis Hakim-Hakim mengingatkan suami-isteri Kristen, agar jangan melupakan dan meninggalkan Allah. Perbuatan itu fatal. Jangan membangkitkan murka TUHAN. Tetapi hendaklah suami-isteri Kristen senantiasa beribadah : mengasihi nama-Nya dan taat memberlakukan firman-Nya. Dengan demikian, rumah mereka akan terluput dari malapetaka.

b).  Banyak keadaan penderitaan, yang terjadi sepanjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Gereja, menunjukkan kepada kita, bahwa banyak kali kita Gereja mengkhianati Allah dan Firman-Nya. Acapkali kita berpikir sombong. Dengan mulut kita berkata : “Kami akan mengawal Tata Gereja”, padahal Tata Gereja adalah tafsiran dan buatan tangan manusia. Banyak warga dan pejabat Gereja berpikir dan bertindak menurut kepentingannya sendiri. Seolah-olah merekalah yang paling saleh dan benar, padahal mereka lupa, bahwa Allah menangkap kecerdikan orang pandai dalam kebodohannya, dan memberikan kemuliaan kepada orang-orang bodoh yang melakukan Firman-Nya. 

      Oleh karena itu, jika Gereja ingin diselamatkan dan dibebaskan dari kemelut, maka semua warga dan pejabatnya wajib memberlakukan kehendak Allah menurut kesaksian Alkitab, tidak memikirkan kepentingan pribadi atau kelompok, tidak merekayasa rencana jahat untuk untuk menjatuhkan sesama seimannya dari tempat yang tinggi (Maz. 62:3-4), tidak mencari keuntungan sekecil apapun, melainkan hidup merendahkan diri seorang terhadap yang lain dalam kasih dan kebenaran Allah. Tidak ada seorang pun yang benar, tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang taat melaksanakan Tata Gereja. Jangan berdusta di hadapan Allah dan Gereja ! Sebab sesaat saja kita tampil bagaikan orang-orang suci yang membela Tata Gereja, tetapi ketika kepentingan pribadi (kelompok) terusik, maka kita berkata : “Tata Gereja itu harus dikontekskan. Kita harus bersikap bijaksana”. Mengapa kita hanya memutuskan kebijakan untuk kepentingan sendiri, dan tidak bijak untuk kepentingan di sana ? Siapakah kita sehingga kita mengangkat diri sendiri menjadi PENGAWAL TATA GEREJA ? Bukankah Yesus berkata : “Tidak ada seorangpun yang baik, Aku pun tidak, sbab yang baik adalah Allah Bapa sendiri”. Siapakah yang diangkat Tuhan Yesus menjadi hakim di antara kita ? Siapakah yang diberikan hak oleh Allah untuk memutuskan perselisihan di antara kita ? Bukankah kita saling mengetahui dan saling mengenal ? Kita adalah manusia berdosa dan kitalah yang membuat Gereja ini terjerumus ke dalam masalah-masalah pelik !

      Janganlah seseorang yang dipimpin mencela keputusan pimpinannya. Dan janganlah seorang pemimpin mengambil keputusan dengan tidak memiliki kepekaan hati nurani. Baiklah kita semua : yang memimpin dan yang dipimpin, mengenal Allah dan kehendak-Nya, bahwa Dia ingin memakai kita sebagai sarana pelayanan untuk membawa damai sejahtera kepada semua orang. 

      Baiklah kita merendahkan diri di hadapan Allah, dan sesuai dengan pemahaman iman kita bersama menjunjung dan menghormati pimpinan yang telah kita pilih dalam doa dan oleh pelayanan Sakramen Perjamuan --- atau lebih baik dikatakan : yang dipilih TUHAN untuk memimpin kita, --- untuk taat melaksanakan seluruh ketetapan Pimpinan sesuai kepercayaan yang diberikan dalam pemilihan Majelis Sinode, yang oleh keyakinan iman kita berkata : “TUHAN telah memberikan otoritas Kristus kepada mereka untuk memimpin Gereja”. Marilah kita belajar untuk melaksanakan kehendak Kristus, Kepala Gereja, melalui keputusan pimpinan, meskipun hal itu bertentangan dengan keinginan pribadi. Mariah kita menjadi penurut-penurut yang setia, dan bukan pemberontak. Dengan demikian kita akan melihat bagaimana TUHAN bekerja melalui Gereja ini untuk mendatangkan damai sejahtera kepada seluruh umat manusia, khususnya Jemaat-Jemaat GPIB. Marilah kita ikut berpartisipasi untuk membawa kebaikan ke dalam Gereja sekalu KELUARGA ALLAH. Dengan demikian sejarah Gereja akan mencatat sikap proaktif setiap orang yang berbuat baik dan memuliakan Allah.
 
4.2. Tuhan akan membangkitkan Juruselamat untuk membebaskan Gereja dan bangsa dalam kesulitan.

       Hanya Tuhan-lah Pendiri dan Pemilik Gereja (bd. Mat. 16 : 18; I Kor. 3:11). Tidak seorangpun dari Pendeta – Penatua – Diaken atau warga jemaat membanggakan jasanya dengan berkata : “Kalau bukan saya, tidak aka nada Gereja ini.” Hanya Tuhan sajalah yang mengerjakan dan menciptakan segala sesuatu. Pernyataan pribadi seperti itu akan menimbulkan kesombongan rohani dan rasa iri hati yang lain, Pada akhirnya berujung dalam kekacauan. 

       Belajarlah dari Sejarah GPIB. Banyak kali Gereja dibawa ke dalam masalah, karena sikap arogansi dan membenarkan penatalolaan yang tidak sesuai Firman Allah. Mengapa kita melupakan sejarah ? Mengapa kita pura-pura tidak mengetahui kejahatan yang telah kita lakukan, sehingga Jemaat menjadi terpecah-pecah ? Keadaan seperti ini tidak akan terjadi, jika kita saling mengasihi dan saling mengerti dalam upaya mengembangkan misi Kristus.

       Akan tetapi jika kita bersikukuh atas pendirian yang salah, yang menyebabkan kehidupan Gereja semakin sulit, maka bukan tidak mungkin terjadi,  Tuhan akan membangkitkan orang-orang non-kristen untuk menyelamatkan Gereja, sama seperti yang dilakukan-Nya terhadap Israel di pembuangan (Yes. 45 : 1, 13, 44 : 28).

       Demikian pula, jika kita meremehkan seseorang karena jenis kelaminnya dank arena perkawinannya, maka bukan tidak mungkin, TUHAN Allah akan mengambil kekuasaan-Nya dan memberikan kepada siapapun yang berkenan dalam pandangan-nya, entahkah seorang laki-laki pendeta ataupun perempuan pendeta. Juruselamat itu tidak dikarenakan ia seorang laki-laki atau perempuan. Juruselamat itu adalah pilihan Allah atas orang yang berkenan kepada-Nya.  Karena itu, berilah diri dipimpin Rohkristus, supaya kita dipakai Allah untuk melaksanakan misi Kristus melalui pekerjaan Gereja.

AKHIRUL’KALAM

Saya berada jauh dari pusat pemerintahan Gereja GPIB. Akan tetapi TUHAN mempertajam pendengaranku dan mengilhami hati nuraniku untuk mengetahui dan mengerti apa yang tertutup dalam pandangn orang-orang cerdik cendekia. Ia mengilhamiku dengan Roh-Nya, agar menyampaikan pesan-pesan moral kepada semua warga dan pejabat Gereja. Maksud TUHAN ialah kita semua wajib menjaga ketenangan beribadah, membawa perdamaian dan membangun kesejahteraan bersama melalui Gereja kepada manusia sengsara di dalam dunia. 

Oleh karena itu, tinggalkanlah keangkuhan pribadi, berilah dirimu dipimpin oleh Roh-Nya, supaya kita dipakai untuk menjadi alat keselamatan. Sebab apa yang kita ketahui, bukanlah apa yang tidak dikenal orang lain; dan segala yang kita mengerti serta katakana, adalah pikiran kita sendiri. Serahkanlah segala sesuatu ke dalam tangan Allah, supaya Dia memelihara kita, serta tidak menyerahkan kita ke dalam murka-Nya. Mintalah kepada-Nya, agar Dia selalu memakai kita menjadi Juruselamat di dalam Gereja, bukan menjadi provokator.

MEDAN – SUMATERA UTARA

03 PEBRUARI 2011

Salam dan Doaku

Pendeta Arie A. R. Ihalauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar