DOK A/005/27-II-12/ARIE/SOCIO-CULTURAL
PANAS PELA
MENGGALI BUDAYA LELUHUR DALAM WILAYAH MALUKU TENGAH
(SERAM – SAPARUA – AMBON – NUSALAUT – HARUKU)
KAJIAN PERSPEKTIF TEOLOGIS – ALKITABIAH TERKAIT
KONFEDERASI SUKU-SUKU ISRAEL BERDASARKAN IKATAN PERJANJIAN
DI SEKITAR KULTUS RITUAL PENYEMBAHAN KEPADA ALLAH MAHAESA
DEMI UPAYA PEMBANGUNAN MASYARAKAT MALUKU TENGAH YANG BARU
DAPATKAH ORANG-ORANG AMBON
MEMAHAMINYA SEBAGAI “JEMBATAN-BUDAYA” MEMPERSATUKAN KEMBALI
MASYARAKAT MALUKU DI MALUKU TENGAH ?
DITULIS DI
MEDAN – SUMATERA UTARA
HARI SENIN, 28 PEBRUARI 2012
OLEH
PUTRA SANG FAJAR
ARIE A. R. IHALAUW
-----ooo00ooo-----
PENGANTAR
ASAL USUL AGAMA-AGAMA. Wilayah Timur Tengah Kuno (Siria – Israel – Palestina – Arab – Yordania – Lebanon) merupakan konteks bagi pertumbuhan dan perkembangan Agama-Agama Bumi dan Agama-Agama Langit. Keduanya berbeda. Sebutan ‘agama-agama bumi’ ditujukan pada praktik keagamaan yang bertumbuh dari konteks kehidupan manusia dalam keluarga -> kaum -> suku -> bangsa terkait bentuk keberagamaannya, khususnya : animisme -> dinamisme -> panteisme dan seluruh kultus ritual penyembahan kepada dewa-dewi (politeisme). Sementara meskipun ‘agama-agama langit’ bertumbuh dalam konteks yang sama, namun menyatakan bahwa seluruh doktrinnya bersumber dari pengilhaman ilahi yang bersifat tertulis. Oleh karena itu, ‘agama-agama langit’ ini juga disebut ‘agama berkitab.’ Selanjutnya berdasarkan tradisi tertulis (kitab-kitab sucinya masing-masing) pemeluk agama langit menyatakan, bahwa mereka adalah penyembah Allah Yang Mahaesa (monoteisme), sedangkan pemeluk agama bumi menyembah ilah-ilah bentukannya sendiri dan bersifat politeis.
Isue mendasar yang patut dijawab oleh semua pihak baik pemeluk agama bumi maupun agama langit : APAKAH SUNGGUH-SUNGGUH TELAH TERJADI PERJUMPAAN DI ANTARA UTUSAN (NABI – RASUL) DENGAN ALLAH ? Jika pemeluk agama langit menyatakan : YA, maka selanjutnya pernyataan itu masih perlu dibuktikan kembali, sebab seluruh tradisi tertulis dalam masing-masing kitab suci tidak menggambarkan secara terbuka SIAPAKAH dan APAKAH Allah Yang Mahaesa ? Teka-teki tentang HAKEKAT dan EKSISTENSI Allah Yang Mahaesa dijawab pemeluk agama langit dalam sebuah pernyataan : ALLAH ITU MISTERI. Jawaban ini belumlah memuaskan kerinduan manusia akan Allah.
SEJARAH AWAL MUNCULNYA PERASAAN KEBERAGAMAAN (KEJADIAN 4 : 1 – 14). Meskipun di dalam perikop ini tidak tertuliskan nama agama Kain dan agama Habel; akan tetapi bentuk / model / pola / motif agama kedua orang kakak-adik itu menggambarkan 2 (dua) jenis kultur dan kultus ritual. Pertama, latarbelakang kultus-ritual Kain, anak Adam, adalah PERTANIAN (budaya suku-suku menetap yang tergantung pada pertanian), di mana para petani menyelenggarakan kultus-ritual syukuran / selamatan kepada sesembahan karena hasil bumi melimpah. So pasti, kulturnyapun berangkat dari kondisinya. Kedua, di lain pihak kultus-ritual yang digunakan oleh Habil berlatarbelakangkan dunia PETERNAKAN (budaya suku-suku pengembara yang tergantung pada peternakan), di mana para peternak menyelenggarakan kultus-ritual yang sama, namun perspektif teologinya berbeda. Tradisi lisan tentang Kain – Habel ini dituliskan dengan tujuan memperkuat kepercayaan serta membenarkan model dan motif Agama Israel (Agama Abraham yang diwariskan dalam Agama Musa kepada umat Israel-Yehuda).
Selanjutnya jika anda ingin mendalami model dan motif agama langit dan agama bumi, silahkan menyimak tradisi lisan yang dituliskan dalam setiap kitab suci agama-agama langit (Yahudism, Kristianism dan Islamism).
IKATAN PERJANJIAN
KONTRAK SOSIAL SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN HUBUNGAN KELUARGA. Idealisme yang dikembangkan untuk melukiskan NISBAH (Ind. hubungan; Ing. relation) Allah vs. Manusia serta Manusia vs Manusia adalah PEMBANGUNAN KELUARGA atau PERKAWINAN. Mari kita menyimak beberapa contoh di bawah ini :
1. KEJADIAN 2 : 23 – 24
Menurut tradisi agama Israel tentang penciptaan manusia-perempuan, ketika makhluk perempuan selesai diciptakan, “dibawa-Nya kepada manusia itu” (Kej. 2:22). Verbum “dibawa-Nya” menunjuk pada gagasan teologis : -- pertama -- Allah yang menciptakan manusia menghendaki kesatuan utuh atas hakekat manusia : laki-laki kepada perempuan dan perempuan kepada laki-laki. Allah bertindak mempersekutukan dan menyatukan manusia; -- kedua -- manusia (laki-laki bersama perempuan) patut membina dan memelihara hubungan persekutuan yang dianugerahkan Allah baik dalam perkawinan maupun tanpa menikah; -- ketiga -- persekutuan itu terjadi bukan karena usaha manusia, melainkan karena kasih-karunia Allah; -- keempat -- hubungan itu dibangun di atas dasar kesederajadan karena penciptaan; -- kelima -- kulturnya adalah kasih dan pengenalan akan Allah; -- keenam -- perupaannya diatur sesuai hukum perjanjian. Itulah sebabnya ucapan Adam (manusia laki-laki) : “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kej. 2:23) dimengerti sebagai kontrak sosial (perjanjian) di hadapan Allah, Pencipta manusia. Di atas pengakuan perjanjian ini kita mengerti makna hubungan persekutuan antar manusia dalam perkawinan (Kej. 2:24-25). Dan, oleh karena itu, berdasarkan perjanjian tersebut manusia mennata-tertibkan serta membagikan hak-hak yang layak dimiliki seseorang.
2. HOSEA 1 – 3
Tradisi lisan yang dituliskan dalam Kitab Nabi Hosea (psl. 1 – 3) merupakan perlambangan dari hubungan Allah vs Israel selaku umat. Perkawinan Hosea dengan Gomer binti Diblaim, pelacur suci, menceritakan bagaimana sikap Hosea dan isterinya terhadap perjanjian perkawinan yang telah dibuatnya. Ketidak setiaan (pengkhianatan) Gomer selalu dijawab oleh kesetiaan Hosea. Malahan Hosea menikah ulang perempuan zinah (Hos. 3). Gambaran perkawinan Hosea itu dilukiskan secara jelas dalam pasal 2 : 17 – 20 : “Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu… Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya … dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. … dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN.”
Prinsip alkitabiah : “Aku akan mengikat perjanjian” Allah sajalah yang membuat dan mengikat perjanjian kepada umat-Nya, bukan sebaliknya ! Mahar perkawinan : keadilan dan kebenaran, kasih setia dan kasih sayang, kesetiaan“ menjadi kultur (nilai-nilai) yang melandasi pembangunan hubungan Allah vs umat Israel. Waktu perkawinan : untuk selama-lamanya. Tujuan perkawinan : mengenal TUHAN. Inilah makna perjanjian yang dimaksudkan Hosea. Dengan demikian seluruh prosesi ibadah baik kultus-ritual yang diselenggarakan di dalam Baith Allah maupun pelayanan kemasyarakatan dalam berbagai akftivitas keseharian merupakan UANGKAPAN SYUKUR kepada Allah yang bersedia mempersekutukan diri melalui ikatan perjanjian bersama umatNya.
3. PERJANJIAN ANTAR MANUSIA (KEJADIAN 21 : 22 – 34; bd. 26 : 26 – 31).
Di samping perjanjian Allah vs Israel, penulis Kejadianpun menceritakan pembuatan perjanjian antar Abraham (juga Ishak) versus Ambimelekh, raja di Gerar. Meskipun perjanjian itu berhubungan dengan masalah ekonomi; akan tetapi perjanjiannya dibuat berdasarkan SUMPAH kepada Allah. Dalam sumpah itu perjanjian diberikan legalitas dan legitimasi moral di antara kedua pihak yang berjanji.
4. PERJANJIAN ISRAEL KEPADA ALLAH (YOSUA 24) .
Israel bukanlah sebuah bangsa homogen, berasal dari keturunan anak-anak Yakub. Menurut cerita penulis Kejadian (Kel. 12 : 38 -> “Juga banyak orang dari berbagai-bagai bangsa turut dengan mereka…”). Orang-orang asing (yang bukan keturunan anak-anak Yakub) yang ikut dalam rombongan eksodus itu wajib mentaati HUKUM PERJANJIAN yang diberikan Allah kepada leluhur Israel (Kel. 12:51 -> “Satu hukum saja akan berlaku untuk orang asli dan untuk orang asing yang menetap di tengah-tengah kamu”; bd. Kej. 17:9-14). Allah membebaskan orang-orang itu dari Mesir dengan tujuan menyelenggarakan ibadah kepada-Nya (Kel. 4:22-24).
Bertolak dari gagasan itu Yosua mengumpulkan kaum budak belian (Ibr. Ibrani) di Kota Sichem untuk menanyai sikap dan pandangan mereka kepada Allah, JHWH : “Tidaklah kamu sanggup beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah yang kudus…,” (Yos. 24:19). Jawab bangsa itu : “Kepada TUHAN, Allah kita, kami akan beribadah, dan firman-Nya akan kami dengarkan” (Yos. 24:24). Jawaban Israel untuk setia beribadah kepada Allah merupakan sebuah pernyataan sikap yang mengandung beberapa makna :
a. Allah adalah satu-satunya JHWH (TUHAN -> Ul. 6:4; bd. Yes. 45) yang mengerjakan pembebasan umat (Kel. 20:3; bd. Ul. 5:6) dan membuat mereka menjadi satu. Oleh karena itu, mereka wajib mengasihi Allah (Ul. 6:5). Sikap itu ditampakkan melalui penyelenggaraan ritual keagamaan, di mana pengenalan akan Allah diajarkan (bd. Ul. 6:6-7).
b. Keragaman latarbelakang tidak perlu dipersoalkan, oleh karena ikrar iman yang dibuatnya di hadapan TUHAN Allah (Yos. 24:24). Keragaman latarbelakang itu tetap dipertahankan, tetapi tidak boleh merusakkan pelaksanaan ibadah kepada Allah. Sikap Ibadan seperti ini dinyatakan oleh penulis Imamat : “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (19:18b). Secara tersirat maupun tersurat, bahwa :
b.1. Allah mengasihi dan memelihara semua manusia dari beragam latar-belakang sosialnya, tanpa membedakan keyakinan agamanya. Sama seperti Ia menyatakan rasa solidaritasNya melalui tindakan pembebasan Israel (termasuk orang asing yang bersama anak-anak Yakub eksodus dari Mesir); demikianlah seluruh umat itu wajib melakukan hal yang sama kepada setiap saudara seketurunan dan orang asing di dalamnya.
b.2. Ibadah Israel bukanlah semata mata bersifat ritual (bd. kecaman Amos – 5: 21-27); tetapi pengenalan akan Allah melalui ibadah ritual itu perlu diwujudkan melalui sikap TOLERANSI dan SOLIDARITAS kepada siapapun, meskipun berbeda latarbelakang sosio-budaya maupun sosio-religi.
Jadi ibadah kepada Allah (pengenalan akan Allah) patut juga membangun motifasi pelayanan kepada masyarakat yang berbeda keyakinan. Itulah makna kata SESAMAMU MANUSIA. Jika Israel, yang terdiri dari keturunan anak-anak Yakub dan orang asing yang berdiam bersama mereka melaksanakannya dengan tekun dan setia, maka kehancuraan peradaban dan kemanusiaan dapat dihindari. Dan meskipun terjadi ketegangan (konflik) sosial mereka, asalkan mereka mengingat akan hukum moral : KASIHILAH SESAMAMU MANUSIA SEPERTI DIRIMU SENDIRI, maka konflik seberat apapun dapat dituntaskan dengan sikap TOLERANSI dan SOLIDARITAS bersama.
PANAS PELA SEBAGAI WADAH PELAYANAN KRISTEN
Sudah sejak bertahun-tahun lalu penduduk Maluku Tengah (Seram – Saparua – Haruku – Nusalaut – Ambon) menata masyarakat berdasarkan pandangan kekeluargaan, salah satunya PELA, hubungan gandong / persaudaraan. Dan, hubungan itu didasarkan atas PERJANJIAN (KONTRAK SOSIAL). Relasi horizontal inipun berlatar belakangkan mitos kepercayaan yang berasal dari cerita legendaris tentang terciptanya suku-suku di kaki Gunung Binaya – Pulau Seram. Hampir semua kampung ( negeri, desa) memiliki PELA. Ada PELA yang sekeyakinan, seperti : Negeri Soahuku di P. Seram dan Negeri Amet di P. Nusalaut, Negeri Amahai di P. Seram dan Negeri Ihamahu di P. Saparua. Akan tetapi ada pula hubungan PELA antara dua negeri yang tidak sekeyakinan agama, seperti Negeri Titawae di P. Nusalaut (Kristen) dan Negeri Pelau di P. Haruku (Islam). So pasti, tidak ada masalah prinsipal antara negeri-negeri yang sekeyakinan. Sebaliknya, masalah sosio-religi (perbedaan keyakinan dan ajaran agama) akan ditemukan pada relasi horizontal antara negeri beragama Kristen dan negeri beragama Islam (contohnya antara Negeri Titawai – Negeri Pelau), jika terjadi konflik horizontal. Masalahnya :
1. Bagaimanakah jalan (strategi) usaha mendamaikan pihak yang bertikai ?
Menurut saya, Pemerintah Daerah Maluku tidak bisa berbuat lain, kecuali memakai budaya PELA sebagai jembatan dialogis untuk mendamaikan kedua pihak yang berkonflik. Tidak bisa dipakai AGAMA, sebab masing-masing pihak akan bersikap menentang, karena pandangan keagamaan yang bersifat eklusifis.
2. Apakah penuntasan masalah dengan membedayakan BUDAYA PELA bertentangan dengan KEHENDAK ALLAH yang diajarkan masing-masing ajaran agama ?
Tergantung dari sudut mana kita memahami dan menghayatinya. Jika kita mendekati masalah tersebut dari aspek dogma agama, maka strategi budaya PELA (antas dua pihak berbeda keyakinan agama) tak dibenarkan. Jika kita mengerti KEHENDAK ALLAH, Dia setuju. Persetujuan itu didasarkan atas firmanNya : KASIHILAH SESAMAMU MANUSIA SEPERTI DIRIMU SENDIRI (Im. 19:18b; bd. Mat. 22:37). SESAMAMU MANUSIA bermakna luas, bukan eklusif sempit. SESAMAMU yang adalah MANUSIA dikenal tanpa memilahkan latargelakang. SESAMAMU yang adalah MANUSIA itulah CIPTAAN-Nya. SESAMAMU yang adalah MANUSIA itu selalu ada tanpa mengenal perbedaan keyakinan agama. SESAMAMU yang adalah MANUSIA itulah ORANG PERORANGAN maupun SEKELOMPOK ORANG yang SAMA DENGAN diri sendiri.
AJARAN AGAMA-lah yang menyemitkan makna KEBERSESAMAAN BERSAMA DENGAN ORANG LAIN. Maksudnya : SESAMAMU MANUSIA mengalami pentafsiran dan perumusan ulang oleh pikiran pemuka agama, sehingga bermakna eklusif. Hal ini tampak dalam tulisan Paulus kepada Jemaat di Galatia : “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (6:10), di mana kata SESAMAMU MANUSIA ditransliterasikan dan ditransformaikan ke dalam pemahaman KAWAN-KAWAN KITA SEIMAN, persaudaraan kristen; padahal Yesus tidak berbicara sebagaimana apa yang dimaksudkan Paulus. KataNya : “Dan hukum yang kedua yang sama bunyinya dengan itu ialah ‘kasihilah SESAMAMU MANUSIA seperti dirimu sendiri” (Mat.22:38b-39). Di sinilah kita mengerti dan menghayati ucapanNya tentang musuh : “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Dengan demikian, menurut Yesus, konsep berpikir tentang keber-SESAMA-an itu kehendak kristen untuk keber-SAMA-an dan ke-SAMA-an manusia ciptaan Allah, tanpa memandang status keagamaan. Dalam hal ini penganut Agama Kristen mengembangkan sikap yang tidak jauh berbeda dengan Yahudisme.
3. BUDAYA WARISAN LELUHUR JUGA DIPAKAI ALLAH UNTUK TUJUAN KESELAMATAN.
Kreasi manusia (budaya -> adat) juga dipakai oleh Allah untuk menyatakan kebaikanNya ke atas kehidupan umat manusia. Hal ini penting untuk dipikirkan masyarakat Maluku Tengah, sebab jauh sebelum Islam dan Kristen (Katolik – Protestan) masuk ke Maluku Tengah, warga masyarakat yang mematuhi adat-istiadat hidup dalam suasana perdamaian. Dalam kaitan ini, BUDAYA PELA merupakan salah satu wacana dan juga sarana penyelamatan / pembebasan yang dikhendaki Allah. Pada BUDAYA PELA itu terkandung kultur keselamatan yang dipakai untuk membangun sistem kehidupan keluarga. Walaupun kita juga perlu mengantisipasi penyalahgunaan dan penyimpangan BUDAYA PELA untuk tujuan-tujuan kelompok kepentingan. Jadi, menurut saya, BUDAYA PELA (terlepas dari kultus ritual) dapat dijadikan sarana perjumpaan bersama dari sebuah keluarga yang dipisahkan oleh latar belakang keagamaan dan kepentingan politik.
ACHIRUL’KALAM
1. Masyarakat Maluku Tengah yang beragama Kristen dan beragama Islam perlu melakukan revitalisasi dan refungsionalisasi budaya leluhurnya sebagai wadah perjumpaan kaum keluarga. Di dalamnya mereka tidak perlu membahas perbedaan (keunikan) keyakinan agama yang dianut; akan tetapi sebaliknya mengamalkan nilai-nilai keagamaan yang dikehendak Allah seperti yang disaksikan masing-masing kitab sucinya.
2. Budaya dan peradaban yang dihasilkan masyarakat paska masuknya agama-agama langit perlu dijadikan JEMBATAN DIALOGIS YANG DINAMIS untuk menata dan menertibkan ulang fungsi dan peran manusia, sehingga mimpi tentang keadaan damai-sejahtera akan dinikmati oleh seluruh warga masyarakat Maluku Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar