BERITAKANLAH INJIL DENGAN
BAHASA YANG KOMUNIKATIF
MENYOAL
KARUNIA BAHASA ROH DALAM
PRAKTIK
IBADAH JEMAAT
oleh
Arie
A. R. Ihalauw
-----ooo00ooo-----
A. PENDAHULUAN
Sudah beberapa tahun silam orang Kristen berlomba-lomba
memakai ‘bahasa roh’ dalam
pelayanan. Praktik itu sah-sah saja; akan tetapi gagasan teologi di balik
praktiknya perlu dipertanyakan baik subtansial maupun teknis pelaksanaan.
Artikel ini tidak bertujuan untuk menyalahkan maupun memfitnah
pengguna ‘bahasa roh,’ melainkan
bertujuan membina warga jemaat, supaya mereka, sebaiknya, mereka tidak
diombang-ambingkan oleh pengajaran yang menyesatkan. Sekali lagi, saya tidak
bermaksud menyerang praktik dari aliran Kristen tertentu, tetapi bertujuan membina warga GPIB Jemaat PETRA Ciluar di Bogor, supaya mereka
mengerti dan memahami akan inti pemahaman imannya.
B. MENYOAL PEMUNCULANNYA
Kasus karunia ‘bahasa roh’
mencuat dalam Alkitab Perjanjian Baru melalui tanggapan Rasul Paulus terhubung
keadaan Jemaat Korintus yang diinjilinya. Kekacauan di Korintus disebabkan perjumpaan Injil dan budaya-agama-suku di Korintus, serta
ajaran Yudaisme.
Marilah kita simak narasi dari tradisi kekristenan yang diakui
oleh Jemaat Kristen Pertama.
1. Yesus,
orang Nazareth, yang disebut Kristus
tidak memakai bahasa roh ketika memberitakan Injil.
Tradisi Jemaat Kristen Pertama yang kita terima dalam bentuk
tulisan-tulisan suci menyatakan, bahwa kelahiran Yesus Kristus dikarenakan oleh
karya Roh Allah (Mat. 1:18, 22b => “...ternyata ia mengandung dari Rohkudus,
sebelum mereka hidup sebagai suami isteri”). Pernyataan itu menunjukkan, bahwa Yesus
Kristus adalah Roh Allah. Jika Dia adalah Roh, seharusnya, Dia memberitakan
Injil dengan memakai bahasa surgawi (bahasa Allah, bahasa Roh). Alkitab
menyaksikan, bahwa Yesus Kristus tidak pernah mengucapkan sepatah katapun dalam
bahasa roh.
Pertanyaan : bagaimanakah denominasi Gereja tertentu mengklaim
ajaran tentang bahasa roh ? Jika
Yesus Kristus saja tidak pernah memakai bahasa
roh, mengapa orang Kristen tertentu mengagung karunia itu ? Bukankah
perbuatan seperti itu menghina Yesus selaku Kristus, yang adalah Roh Allah ?
2. Rohkudus
memampukan para rasul berbicara dalam beragam bahasa bangsa-bangsa, bukan
bahasa roh.
Narasi Kisah Rasul 2 : 1 – 13 menerangkan, bahwa pada saat
Rohkudus dicurahkan Allah ke atas pengikut Yesus, mereka semua mampu berbicara
dalam berbagai bahasa yang dipakai bangsa-bangsa (2:6–10 -
“bahasa Persia, Media, Elam, penduduk
Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir
dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirena, pendatang-pendatang dari
Roma”). Jadi murid-murid bukan ber-bahasa roh, tetapi berbahasa yang
komunikatif sesuai bahasa bangsa-bangsa.
3. Kasus Jemaat Korintus.
Kasus Jemaat Korintus harus disoroti hati hati. Korintus adalah
kota pelabuhan. Di sana banyak wisatawan dan pedagang singgah dan tinggal.
Ketika Paulus mengabarkan Injil, kota itu sudah memiliki pengetahuan filsafat
Yunani yang kokoh, serta praktik ritual budaya-agama-suku yang cukup kuat,
termasuk beberapa aliran kepercayaan dari Afrika dan Asiapun ada di sana. ‘Trance’ (kesurupan roh-roh yang
membuat seseorang berbicara dalam bahasa yang aneh, merancau) sudah menjadi pandangan
umum dalam kultus ritual setempat. Pada saat itu, akalbudi / pikiran peserta ibadah yang mengalami ‘trance’ (kesurupan) tidak berfungsi,
ridak normal / sehat / mati. Dan, menurut tradisi kepercayaan suku, orang
tersebut dimasuki ‘roh halus’.
Jemaat di Korintus berasal dari latarbelakang budaya-agama-suku. So pasti, mereka mengetahui persis fenomena ‘trance.’ Ketika terjadi dalam Ibadah
Jemaat (kasus I Kor. 12 – 14), peristiwa tersebut menimbulkan masalah terkait
peranan Rohkristus = Rohkudus = Roh Allah atas beberapa warga Kristen yang kesurupan. Kasus
perselisihan pendapat ini ditanyakan kepada Paulus, baik melalui surat (12:1) maupun cerita
yang diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe (1:11).
Marilah kita menyimak pendapat Paulus tentang kasus tersebut :
a). Penggunaan Bahasa (kata).
Paulus cukup hati-hati menjawab pertanyaan orang-orang Korintus.
Sikap hati-hati itu dapat kita lihat, ketika rasul memakai istilah ‘bahasa roh.’ Ia tidak menuliskan ‘bahasa
Roh’
(R huruf besar), tetapi ‘bahasa roh
(r
huruf kecil => 12:10; 13:8; 14:2, 4, 6, 9, 13, 14, 18, dll).
Mungkin saja bagi pengguna bahasa roh, ia tidak akan mempersoalkan
masalah penulisan istilah. Saya tidak demikian. Saya meneliti penggunaan
istilah, supaya bisa mengerti pandangan Paulus terhadap pendapat Jemaat
Korintus tentang karunia ber-bahasa roh.
Mengapa Paulus menuliskannya dengan memakai huruf r kecil ? Apakah
Paulus setuju dengan pendapat Jemaat Korintus tentang karunia tersebut ?
Jika menyimak secara teliti pendapat yang ditulis Paulus,
seharusnya, kita menemukan kesan bahwa rasul berkeberatan. Simaklah catatan
Paulus yang saya salin kembali :
i. “Sebab jika aku berdoa dengan bahasa
roh, maka rohku-lah yang berdoa, tetapi akalbudiku tidak turut berdoa”
(15:14). Jadi, apakah yang harus kubuat ? Aku akan berdoa dengan rohku,
tetapi aku juga akan berdoa akalbudiku, dan aku akan menyanyi dan memuji dengan
rohku,
tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akalbudiku” (14:15).
Terhadap pernyataan Paulus, kita perlu mengaju-kan pertanyaan
kritis : pertama, apakah bahasa roh itu adalah pemberian Roh
Allah, jika rasul mengatakan, roh-ku yakni roh yang di dalam dirinya
sebagai manusia ? Kedua, ayat kutipan di atas mengungkapkan adanya ketegangan terkait
konsep psikologis : roh dan akalbudi.
Mungkin dipengaruhi dikotomi pemahaman pada ajaran agama-agama kuno tentang manusia, roh manusia berasal dari Allah. Menurut Paulus, ketika ia berdoa,
menyanyi dan memuji Tuhan, maka seluruh fungsi lahir-bathin malakukan hal itu,
bukan hanya rohnya saja.
ii. Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia,
tetapi kepada Allah. Sebab tidak seorangpun yang mengerti
bahasanya (14:2). ... kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya
(14:5). Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri...
(14:4).
Saya menbaca ada nuansa kompromis dalam pernyataan Paulus pada 3
(tiga) ayat kutipan di atas. Sikap itu didamaikan dalam kalimat : “Aku suka supaya kamu berkata-kata dengan bahasa roh (kepada Allah -> 14:2),
tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat...” (14:5a). Di sinilah
letak titik yang menghubungkan karunia bahasa
roh dan karunia nubuat. Artinya,
siapapun yang ingin berbicara kepada Allah, ia menyampaikan sesuai
ucapan-ucapan yang keluar dari rohnya sendiri. Dan, sesudah itu ia
memberitahukan hasil percakapannya dengan Allah dalam bahasa yang komunikatif, agar
dapat membangun iman yang lain (14:3). Di sinilah fungsi karunia nubuat. Tampak jelas, bahwa Rasul Paulus menghormati orang yag berbahasa roh, tetapi dia lebih cenderung mengatakan, bahwa bahasa roh kurang bermanfaat untuk membangun persekutuan jemaat.
iii. Kemudian muncul kesulitan dalam
menafsirkan hubungan antara orang yang menerima karunia bahasa roh serta orang yang menafsirkan
bahasa roh (12:10c).
Pertanyaan : bagaimana seorang menafsirkan bahasa roh yang
diucapkan temannya, padahal mereka berbeda ? Kita dapat menjawab : Tak ada yang
mustahil bagi Allah ! Benar ! Akan tetapi sampai hari ini, kita belum
menyaksikan hal itu. Yang jelas, banyak
orang mengucapkan bahasa roh, tanpa bisa menafsirkan. Jadi, menurut rasul,
sikap yyang benar adalah siapa yang menerima karunia bahasa roh, iapun harus
menafsirkannya. Jika ia tidak dapat memberitahukan rahasia itu, maka karunianya
patut dipertanyakan, apakah hal itu merupakan trance ataupun fenomena dari
bentuk ledakan emosi yang tertekan. Berpikirlah inlektual !
b) Selain
itu Pauluspun menghubungkan praktik ber-bahasa
roh dan ketertiban ibadah. Rasul menulis : “Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul
bersama-sama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah
orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa kamu gila ?” (14:23).
Bayangkanlah realitas yang terjadi, jika dalam sebuah Ibadah
Minggu, tiba-tiba muncul sejumlah orang yang berbicara dalam bahasa yang tidak
dimengerti, bukankah perbuatan seperti itu dapat mengacaukan kekhusukan ibadah
? Jika tindakan seperti itu dapat dinilai demikian menurut saudara-saudara
seiman, apakah yang akan dikatakan lagi oleh orang-orang non Kristen ? Menurut
Paulus, bukankah orang-orang non-Kristen akan mengejek dan mengatakan : “Itulah perkumpulan orang-orang gila ?”
Ibadah harus menciptakan suasana damai sejahtera dan bukan kekacauan (I Kor.
14:33). Dan, damai sejahtera itu dapat dinikmati, jika ritual penyembahan itu
teratur rapih dan sopan (I Kor. 14:40).
c)
Lantas, apakah Paulus menyetujui
akan adanya karunia bahasa roh ? Meskipun ia mengemukakan pendapatnya, bahwa “aku
suka supaya kamu berkata-kata dengan bahasa roh,” tetapi, sesungguhnya, sikap
itu dinyatakan untuk tidak menyinggung perasaan orang-orang yyang melakukannya.
Sebab yang dimaksudkan Paulus ialah : “segala sesuatu harus membangun kehidupan
persekutuan Jemaat,” sedang bahasa roh
hanya membangun diri sendiri.
C. BAGAIMANAKAH GEREJA MENYIKAPI DAN
MEMBIJAKI FENOMENA ITU SAAT INI.
Butir-butir penjelasan di atas dapat membuka wawasan warga jemaat
untuk mengomentari dan menyatakan sikap. Bergubungan pada kasus bahasa roh,
saya mengutip nasihat rasul Yohanes : “Janganlah percaya akan setiap roh, tetapi
ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yoh. 4:1).
SELAMAT
MENYIMAK DAN MENGKAJI
Ciluar
– Bogor,
Hari
Selasa, 21 Mei 2013 – pkl 22.30 Wib
Salam
dari
PENULIS
Putera
Sang Fajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar