Selasa, 21 Mei 2013

Bolehkah dalam Ibadah Gereja GPIB Warga Jemaat mempraktikkan karunia bahasa roh ?


BERITAKANLAH INJIL DENGAN
BAHASA YANG KOMUNIKATIF

MENYOAL KARUNIA BAHASA ROH DALAM
PRAKTIK IBADAH JEMAAT

oleh
Arie A. R. Ihalauw

-----ooo00ooo-----

A.  PENDAHULUAN

Sudah beberapa tahun silam orang Kristen berlomba-lomba memakai ‘bahasa roh’ dalam pelayanan. Praktik itu sah-sah saja; akan tetapi gagasan teologi di balik praktiknya perlu dipertanyakan baik subtansial maupun teknis pelaksanaan.

Artikel ini tidak bertujuan untuk menyalahkan maupun memfitnah pengguna ‘bahasa roh,’ melainkan bertujuan membina warga jemaat, supaya mereka, sebaiknya, mereka tidak diombang-ambingkan oleh pengajaran yang menyesatkan. Sekali lagi, saya tidak bermaksud menyerang praktik dari aliran Kristen tertentu, tetapi bertujuan membina warga GPIB Jemaat PETRA Ciluar di Bogor, supaya mereka mengerti dan memahami akan inti pemahaman imannya.

B.   MENYOAL PEMUNCULANNYA

Kasus karunia ‘bahasa roh’ mencuat dalam Alkitab Perjanjian Baru melalui tanggapan Rasul Paulus terhubung keadaan Jemaat Korintus yang diinjilinya. Kekacauan di Korintus  disebabkan perjumpaan Injil dan budaya-agama-suku di Korintus, serta ajaran Yudaisme.

Marilah kita simak narasi dari tradisi kekristenan yang diakui oleh Jemaat Kristen Pertama.

1. Yesus, orang Nazareth, yang disebut Kristus tidak memakai bahasa roh ketika memberitakan Injil.

Tradisi Jemaat Kristen Pertama yang kita terima dalam bentuk tulisan-tulisan suci menyatakan, bahwa kelahiran Yesus Kristus dikarenakan oleh karya Roh Allah (Mat. 1:18, 22b => “...ternyata ia mengandung  dari Rohkudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri”). Pernyataan itu menunjukkan, bahwa Yesus Kristus adalah Roh Allah. Jika Dia adalah Roh, seharusnya, Dia memberitakan Injil dengan memakai bahasa surgawi (bahasa Allah, bahasa Roh). Alkitab menyaksikan, bahwa Yesus Kristus tidak pernah mengucapkan sepatah katapun dalam bahasa roh.

Pertanyaan : bagaimanakah denominasi Gereja tertentu mengklaim ajaran tentang bahasa roh ? Jika Yesus Kristus saja tidak pernah memakai bahasa roh, mengapa orang Kristen tertentu mengagung karunia itu ? Bukankah perbuatan seperti itu menghina Yesus selaku Kristus, yang adalah Roh Allah ?

2. Rohkudus memampukan para rasul berbicara dalam beragam bahasa bangsa-bangsa, bukan bahasa roh.

Narasi Kisah Rasul 2 : 1 – 13 menerangkan, bahwa pada saat Rohkudus dicurahkan Allah ke atas pengikut Yesus, mereka semua mampu berbicara dalam berbagai bahasa yang dipakai bangsa-bangsa (2:6–10 - “bahasa Persia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirena, pendatang-pendatang dari Roma”). Jadi murid-murid bukan ber-bahasa roh, tetapi berbahasa yang komunikatif sesuai bahasa bangsa-bangsa.

3. Kasus Jemaat Korintus.

Kasus Jemaat Korintus harus disoroti hati hati. Korintus adalah kota pelabuhan. Di sana banyak wisatawan dan pedagang singgah dan tinggal. Ketika Paulus mengabarkan Injil, kota itu sudah memiliki pengetahuan filsafat Yunani yang kokoh, serta praktik ritual budaya-agama-suku yang cukup kuat, termasuk beberapa aliran kepercayaan dari Afrika dan Asiapun ada di sana. ‘Trance’ (kesurupan roh-roh yang membuat seseorang berbicara dalam bahasa yang aneh, merancau) sudah menjadi pandangan umum dalam kultus ritual setempat. Pada saat itu, akalbudi / pikiran peserta ibadah yang mengalami ‘trance’ (kesurupan) tidak berfungsi, ridak normal / sehat / mati. Dan, menurut tradisi kepercayaan suku, orang tersebut dimasuki ‘roh halus’.

Jemaat di Korintus berasal dari latarbelakang budaya-agama-suku. So pasti, mereka mengetahui persis fenomena ‘trance.’ Ketika terjadi dalam Ibadah Jemaat (kasus I Kor. 12 – 14), peristiwa tersebut menimbulkan masalah terkait peranan Rohkristus = Rohkudus = Roh Allah atas beberapa warga Kristen yang kesurupan. Kasus perselisihan pendapat ini ditanyakan kepada Paulus, baik melalui surat (12:1) maupun cerita yang diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe (1:11).

Marilah kita menyimak pendapat Paulus tentang kasus tersebut :

a)Penggunaan Bahasa (kata).

Paulus cukup hati-hati menjawab pertanyaan orang-orang Korintus. Sikap hati-hati itu dapat kita lihat, ketika rasul memakai istilah ‘bahasa roh.’ Ia tidak menuliskan ‘bahasa Roh’ (R huruf besar), tetapi ‘bahasa roh (r huruf kecil => 12:10; 13:8; 14:2, 4, 6, 9, 13, 14, 18, dll).

Mungkin saja bagi pengguna bahasa roh, ia tidak akan mempersoalkan masalah penulisan istilah. Saya tidak demikian. Saya meneliti penggunaan istilah, supaya bisa mengerti pandangan Paulus terhadap pendapat Jemaat Korintus tentang karunia ber-bahasa roh. Mengapa Paulus menuliskannya dengan memakai huruf r kecil ? Apakah Paulus setuju dengan pendapat Jemaat Korintus tentang karunia tersebut ?

Jika menyimak secara teliti pendapat yang ditulis Paulus, seharusnya, kita menemukan kesan bahwa rasul berkeberatan. Simaklah catatan Paulus yang saya salin kembali :

                                       i. “Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohku-lah yang berdoa, tetapi akalbudiku tidak turut berdoa” (15:14). Jadi, apakah yang harus kubuat ? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku juga akan berdoa akalbudiku, dan aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akalbudiku” (14:15).

Terhadap pernyataan Paulus, kita perlu mengaju-kan pertanyaan kritis : pertama,  apakah bahasa roh itu adalah pemberian Roh Allah, jika rasul mengatakan, roh-ku yakni roh yang di dalam dirinya sebagai manusia ? Kedua, ayat kutipan di atas mengungkapkan adanya ketegangan terkait konsep psikologis : roh dan akalbudi. Mungkin dipengaruhi dikotomi pemahaman pada ajaran agama-agama kuno tentang manusia, roh manusia berasal dari Allah. Menurut Paulus, ketika ia berdoa, menyanyi dan memuji Tuhan, maka seluruh fungsi lahir-bathin malakukan hal itu, bukan hanya rohnya saja.

                                     ii. Siapa yang berkata-kata  dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak seorangpun yang mengerti bahasanya (14:2). ... kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya (14:5). Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri... (14:4).

Saya menbaca ada nuansa kompromis dalam pernyataan Paulus pada 3 (tiga) ayat kutipan di atas. Sikap itu didamaikan dalam kalimat : “Aku suka supaya kamu berkata-kata dengan bahasa roh (kepada Allah -> 14:2), tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat...” (14:5a). Di sinilah letak titik yang menghubungkan karunia bahasa roh dan karunia nubuat. Artinya, siapapun yang ingin berbicara kepada Allah, ia menyampaikan sesuai ucapan-ucapan yang keluar dari rohnya sendiri. Dan, sesudah itu ia memberitahukan hasil percakapannya dengan Allah dalam bahasa yang komunikatif, agar dapat membangun iman yang lain (14:3). Di sinilah fungsi karunia nubuat. Tampak jelas, bahwa Rasul Paulus menghormati orang yag berbahasa roh, tetapi dia lebih cenderung mengatakan, bahwa bahasa roh kurang bermanfaat  untuk membangun persekutuan jemaat.

                                      iii. Kemudian muncul kesulitan dalam menafsirkan hubungan antara orang yang menerima karunia bahasa roh serta orang yang menafsirkan bahasa roh (12:10c).

Pertanyaan : bagaimana seorang menafsirkan bahasa roh yang diucapkan temannya, padahal mereka berbeda ? Kita dapat menjawab : Tak ada yang mustahil bagi Allah ! Benar ! Akan tetapi sampai hari ini, kita belum menyaksikan hal itu. Yang jelas, banyak orang mengucapkan bahasa roh, tanpa bisa menafsirkan. Jadi, menurut rasul, sikap yyang benar adalah siapa yang menerima karunia bahasa roh, iapun harus menafsirkannya. Jika ia tidak dapat memberitahukan rahasia itu, maka karunianya patut dipertanyakan, apakah hal itu merupakan trance ataupun fenomena dari bentuk ledakan emosi yang tertekan. Berpikirlah inlektual !

b)  Selain itu Pauluspun menghubungkan praktik ber-bahasa roh dan ketertiban ibadah. Rasul menulis : Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul bersama-sama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa kamu gila ? (14:23).

Bayangkanlah realitas yang terjadi, jika dalam sebuah Ibadah Minggu, tiba-tiba muncul sejumlah orang yang berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti, bukankah perbuatan seperti itu dapat mengacaukan kekhusukan ibadah ? Jika tindakan seperti itu dapat dinilai demikian menurut saudara-saudara seiman, apakah yang akan dikatakan lagi oleh orang-orang non Kristen ? Menurut Paulus, bukankah orang-orang non-Kristen akan mengejek dan mengatakan : “Itulah perkumpulan orang-orang gila ?” Ibadah harus menciptakan suasana damai sejahtera dan bukan kekacauan (I Kor. 14:33). Dan, damai sejahtera itu dapat dinikmati, jika ritual penyembahan itu teratur rapih dan sopan (I Kor. 14:40).

c)   Lantas, apakah Paulus menyetujui akan adanya karunia bahasa roh ? Meskipun ia mengemukakan pendapatnya, bahwa “aku suka supaya kamu berkata-kata dengan bahasa roh,” tetapi, sesungguhnya, sikap itu dinyatakan untuk tidak menyinggung perasaan orang-orang yyang melakukannya. Sebab yang dimaksudkan Paulus ialah : “segala sesuatu harus membangun kehidupan persekutuan Jemaat,” sedang bahasa roh hanya membangun diri sendiri.

C.   BAGAIMANAKAH GEREJA MENYIKAPI DAN MEMBIJAKI FENOMENA ITU SAAT INI.

Butir-butir penjelasan di atas dapat membuka wawasan warga jemaat untuk mengomentari dan menyatakan sikap. Bergubungan pada kasus bahasa roh, saya mengutip nasihat rasul Yohanes : Janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah (1 Yoh. 4:1).

SELAMAT MENYIMAK DAN MENGKAJI

Ciluar – Bogor,
Hari Selasa, 21 Mei 2013 – pkl 22.30 Wib

Salam dari
PENULIS

Putera Sang Fajar




Tidak ada komentar:

Posting Komentar