SIKAP
KRISTEN
DALAM
MASYARAKAT YANG MEMBANGUN
“Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburanKu. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu,
tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu."
YOHANES 12 : 8
Sebuah Tinjauan
terhadap sikap
etis Kristen merayakan Pemuliaan Kristus melalui pemuliaan kaum sengsara
ditulis oleh
Arie A. R. Ihalauw
Menjadi orang Kristen
tidak membebaskan kita dari pengaruh perkembangan budaya masyarakat sekarang
ini, sama seperti keadaan orang Kristen pada masa lalu. Kita cenderung
memutlakkan nilai-nilai dan adat istiadat di mana kita ada di dalamnya. Katakanlah,
pada masa Soekarno, kita akan mengikuti pola berpikir dan nilai-nilai yang dominan
yang berkembang pada kurun waktu itu.
Simaklah
fenomena pada masa Soeharto mengenai “mohon petunjuk bapak.” Siapakah yang dapat
mendebatkan petunjuk-petunjuk yang diberikan Soeharto ? Bukankah perdebatan itu
dapat dianggap dosa, dan akhirnya si pendebat akan dibungkamkan ? Dalam banyak
kesempatan, di mana orang berpikir, bahwa kekuasaan dipakai sebagai senjata
pemusnah masal, maka pikiran seberti itu dibenarkan demi kepentingan umum; sungguh, sebuah kejahatan yang indah.
Mengingat
akan Yesus dan UcapanNya. Jika kita jujur menilai ucapan Yesus
(Yoh. 12:8 => Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku
tidak akan selalu ada pada kamu."), maka naskah itu akan terasa
asing bagi kita yang sedang mengejar cita-cita sendiri. Mungkin saja kita menaruh keberatan atasnya,
tetapi siapakah yang amat benar dan suci, sehingga ia dapat menolak pernyataan
itu ? Mungkin saja kita memiliki
nilai-nilai yang cenderung berbeda dari pemikiran Yesus tentang hal-hal
transendental dan eskatologis.
Di
sisi lain, banyak pemikiran modern cenderung melihat semua realitas sebagai keadaan
yang imanen. Orang tidak lagi menaruh harapan kepada Allah. Malahan banyak
orang kristen cenderung mempertaruhkan nilai-nilai imannya untuk dapat
menikmati kebahagiaan sesaat. Kita cenderung menukarkan kesalehan hidup dengan
kenikmatan duniawi. Malahan kesalehan menjadi kemasan bagi ‘kejahatan terindah’
yang dapat diperoleh melalui persetubuhan dengan gagasan-gagasan duniawi tentang sorga yang
imanen, seperti dalam ide Teologi Sukses. Banyak di antara kita berlomba
untuk menukarkan gaya hidup kristen dengan keyakinan hedonistik yang mewah serta
kenyamanan yang palsu. Kita sedang membiarkan diri menjadi hamba neo-platonis.
Merasa nyaman dengan gaya hidup
konsumeristik
Saya
menemukan kenyataan, bahwa banyak pribadi dan keluarga berusaha mengejar hal-hal indah dan mewah, seperti : rumah
mewah, makanan yang bergizi, televisi dengan perekam video, hpme teater, dan lain-lain.
Kita hampir-hampir tidak lagi mendengar ucapan Tuhan : “Berbahagialah orang yang miskin.”
(Mat. 5:3)
Sepertinya
kemiskinan telah berubah menjadi neraka, ketimbang berkat rohani yang melimpah.
Bahkan acapkali keadaan miskin dianggap sebagai kena kutukan Allah. Tiap orang
Kristen merebut kekayaan sampai-sampai ia melupakan tugas yang dikatakan Tuhan
: “Orang
miskin itu selalu ada padamu.” (Yoh. 12:8) Tidak ada lagi kepedulian
dan kesetia-kawanan sosial. Malahan tidak ada yang berpihak pada yang sengsara
(fakir dan dhuafa). Kita sedang memusuhi mereka, meskipun banyak slogan yang
kita teriakan : “Berantas kemiskinan !” Bukan berarti kita sedang menentang
kehendak Allah, melainkan kita tidak dapat melihat bagaimana mengasihi sesama
dengan memberkati kemiskinan mereka.
TUHAN adalah
Juruselamat. Allah
berbicara melalui perantaraan Musa kepada orang Israel : "Akulah TUHAN, Allahmu, yang
membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” (Kel. 20:2). Pembebasan Israel dari
Mesir adalah anugerah yang diberikan Allah. Pada saat itu, sebahagian dari
orang Israel menjadi pekerja rodi, miskin dan menjadi warga negara kelas dua.
Mereka tidak memiliki status kewarganegaraan, sebab mereka kaum pendatang.
Allah melihat dan mendengar rintihan Israel, lalu Dia bekerja melepaskan
orang-orang itu dari kesengsaraan di bawah penindasan penguasa Mesir. Sebab itu
Dia menginginkan Israel juga membebaskan siapapun sesamanya yang sengsara.
Yesus yang miskin. Yesus, anak seorang tukang kayu, tidak memiliki
harta berlebihan, seperti kebanyakan orang pada waktu itu. Ia memiliki semangat
juang yang tinggi untuk mengubah kondisi masyarakat miskin menurut caraNya
sendiri. Ia tidak hanya berbagi harta duniawi, melainkan juga kekayaan
spiritual untuk menguatkan pengharapan manusia yang tertindas penderitaan.
Yesuspun melihat pemiskinan itu disebabkan pengelolaan kekuasaan yang
menyimpang. Pemerintahan sipil maupun agama telah salah memberdayakan
kepercayaan masyarakat dan Allah. Mereka memenuhi kebutuhan sendiri dan
kelompoknya. Mereka mengorbankan kaum fakir dan dhuafa. Padahal penguasa sipi
dan Bait Allah hanyalah minoritas dalam kerajaan. Akibat Ia menjadi korban
konspirasi politik Israel – Roma pada waktu itu. Ia dimatikan. Namun gagasanNya
bertumbuhkembang sampai sekarang ini : “Orang miskin itu selalu ada padamu”
(Yoh. 12:8).
Pemuliaan Yesus
dan Pelayanan Sosial. Saya membaca pemuliaan
Yesus ke Sorga merupakan peristiwa transendental yang perlu dibaca dalam
kondisi sosial. Peristiwa itu
bukan saja dijadikan pusat perayaan, melainkan tujuan pelayanan juga. Yesus yang
miskin dimuliakan Allah ! Itulah makna pelayanan
sosial dari perayaan ini. Allah mengubah keadaan HambaNya seketika, dari yang
sengsara menjadi yang dimuliakan. Jika kita sungguh sungguh memikirkan Yesus, maka Dia bukan
hanya Tuhan-yang-dimuliakan, tetapi juga sesama-yang–menderita. Ibadah kita keliru dan belum sempurna, sebab
kita memusatkan penyembahan kepada Dia selaku TUHAN dan Raja. Kita
kurang melayani Dia selaku sesama yang papa. Jikalau kita berkata : “Kami mengasihi
Yesus, bukankah kita juga harus memperlihatkan sikap mengasihiNya selaku Hamba
yang menderita ?”
Pemuliaan Yesus
dan Orang Miskin. Pemuliaan
merupakan tahap akhir dari sebuah proses menjadi sesuatu. Proses itu dimulai
dari yang terkecil menjadi terbesar, yang tertindas menjadi bebas, yang terluka
menjadi sembuh, yang terkotor menjadi bersih, yang kerhina menjadi terhormat. Semua orang bercita-cita demikian. Namun tidak
semua orang memiliki kesempatan yang sama. Pemuliaan Yesus selaku Hamba TUHAN
yang menjadi Kristus, Sang Raja Mesiah, sepatutnya menginspirasi orang Kristen untuk meningkatkan
pelayanan kepada kaum fakir dan dhuafa secara kuantitatif maupun kualitatif. Saya
ingin mengatakan, bahwa mengingatrayakan pemuliaan Yesus menjadi Kristus akan
sangat bermakna sosial, jikalau orang Kristen memulihkan keadaan sengsara yang
dialami kaum fakir dan dhuafa. Saya cenderung menyebut pekerjaan itu : “‘memuliakan’ orang-orang
tertindas”. Artinya, jika kita mengingatrayakan Yesus yang dimuliakan
Allah, maka pelayanan itu akan sempurnya bila kitapun berkerja bersama Allah
untuk meningkatkan (membuat menjadi mulia) taraf kehidupan, membebaskan orang
dari kesengsaraan.
Bukan manusia,
tetapi kehidupan yang dimuliakan. Orientasi pelayanan berbasi ‘pemuliaan Kristus ke sorga’
bukanlah bukan bertujuan mengkultuskan orang mmiskin, melainkan membebaskan
kehidupan mereka yang terbelenggu oleh kebodohan, kemalasan dan kelangkaan
kesempatan kerja, sehingga tidak mampu menikmati kesejahteraan. Pemuliaan orang
miskin tertuju pada makna kehidupan (kualitas sumberdaya), bagaimana Gereja dan
orang Kristen menciptakan ‘jalan’, agar mereka terbebas dari penderitaan.
Itulah maksud artikel ini....
SELAMAT MERAYAKAN
HARI PEMULIAAN YESUS MENJADI KRISTUS
PENULIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar