Kamis, 02 Mei 2013

Aerikel Menyongsong PERAYAAN PEMULIAAN YESUS MENJADI KRISTUS




SIKAP KRISTEN
DALAM MASYARAKAT YANG MEMBANGUN

Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburanKu. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu."

YOHANES 12 : 8

Sebuah Tinjauan
terhadap sikap etis Kristen merayakan Pemuliaan Kristus melalui pemuliaan kaum sengsara

 ditulis oleh
Arie A. R. Ihalauw

Menjadi orang Kristen tidak membebaskan kita dari pengaruh perkembangan budaya masyarakat sekarang ini, sama seperti keadaan orang Kristen pada masa lalu. Kita cenderung memutlakkan nilai-nilai dan adat istiadat di mana kita ada di dalamnya. Katakanlah, pada masa Soekarno, kita akan mengikuti pola berpikir dan nilai-nilai yang dominan yang berkembang pada kurun waktu itu.

Simaklah fenomena pada masa Soeharto mengenai “mohon petunjuk bapak.” Siapakah yang dapat mendebatkan petunjuk-petunjuk yang diberikan Soeharto ? Bukankah perdebatan itu dapat dianggap dosa, dan akhirnya si pendebat akan dibungkamkan ? Dalam banyak kesempatan, di mana orang berpikir, bahwa kekuasaan dipakai sebagai senjata pemusnah masal, maka pikiran seberti itu dibenarkan demi kepentingan umum;  sungguh, sebuah kejahatan yang indah.

Mengingat akan Yesus dan UcapanNya. Jika kita jujur menilai ucapan Yesus (Yoh. 12:8 => Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu."), maka naskah itu akan terasa asing bagi kita yang sedang mengejar cita-cita sendiri.  Mungkin saja kita menaruh keberatan atasnya, tetapi siapakah yang amat benar dan suci, sehingga ia dapat menolak pernyataan itu ? Mungkin saja kita memiliki nilai-nilai yang cenderung berbeda dari pemikiran Yesus tentang hal-hal transendental dan eskatologis.

Di sisi lain, banyak pemikiran modern cenderung melihat semua realitas sebagai keadaan yang imanen. Orang tidak lagi menaruh harapan kepada Allah. Malahan banyak orang kristen cenderung mempertaruhkan nilai-nilai imannya untuk dapat menikmati kebahagiaan sesaat. Kita cenderung menukarkan kesalehan hidup dengan kenikmatan duniawi. Malahan kesalehan menjadi kemasan bagi ‘kejahatan terindah’ yang dapat diperoleh melalui persetubuhan dengan gagasan-gagasan duniawi tentang sorga yang imanen, seperti dalam ide Teologi Sukses. Banyak di antara kita berlomba untuk menukarkan gaya hidup kristen dengan keyakinan hedonistik yang mewah serta kenyamanan yang palsu. Kita sedang membiarkan diri menjadi hamba neo-platonis. Merasa nyaman dengan  gaya hidup konsumeristik

Saya menemukan kenyataan, bahwa banyak pribadi dan keluarga berusaha mengejar  hal-hal indah dan mewah, seperti : rumah mewah, makanan yang bergizi, televisi dengan perekam video, hpme teater, dan lain-lain. Kita hampir-hampir tidak lagi mendengar ucapan Tuhan : Berbahagialah orang yang miskin.” (Mat. 5:3)

Sepertinya kemiskinan telah berubah menjadi neraka, ketimbang berkat rohani yang melimpah. Bahkan acapkali keadaan miskin dianggap sebagai kena kutukan Allah. Tiap orang Kristen merebut kekayaan sampai-sampai ia melupakan tugas yang dikatakan Tuhan : Orang miskin itu selalu ada padamu.” (Yoh. 12:8) Tidak ada lagi kepedulian dan kesetia-kawanan sosial. Malahan tidak ada yang berpihak pada yang sengsara (fakir dan dhuafa). Kita sedang memusuhi mereka, meskipun banyak slogan yang kita teriakan : Berantas kemiskinan !” Bukan berarti kita sedang menentang kehendak Allah, melainkan kita tidak dapat melihat bagaimana mengasihi sesama dengan memberkati kemiskinan mereka.

TUHAN adalah Juruselamat. Allah berbicara melalui perantaraan Musa kepada orang Israel : "Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” (Kel. 20:2). Pembebasan Israel dari Mesir adalah anugerah yang diberikan Allah. Pada saat itu, sebahagian dari orang Israel menjadi pekerja rodi, miskin dan menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak memiliki status kewarganegaraan, sebab mereka kaum pendatang. Allah melihat dan mendengar rintihan Israel, lalu Dia bekerja melepaskan orang-orang itu dari kesengsaraan di bawah penindasan penguasa Mesir. Sebab itu Dia menginginkan Israel juga membebaskan siapapun sesamanya yang sengsara.

Yesus yang miskin. Yesus, anak seorang tukang kayu, tidak memiliki harta berlebihan, seperti kebanyakan orang pada waktu itu. Ia memiliki semangat juang yang tinggi untuk mengubah kondisi masyarakat miskin menurut caraNya sendiri. Ia tidak hanya berbagi harta duniawi, melainkan juga kekayaan spiritual untuk menguatkan pengharapan manusia yang tertindas penderitaan. Yesuspun melihat pemiskinan itu disebabkan pengelolaan kekuasaan yang menyimpang. Pemerintahan sipil maupun agama telah salah memberdayakan kepercayaan masyarakat dan Allah. Mereka memenuhi kebutuhan sendiri dan kelompoknya. Mereka mengorbankan kaum fakir dan dhuafa. Padahal penguasa sipi dan Bait Allah hanyalah minoritas dalam kerajaan. Akibat Ia menjadi korban konspirasi politik Israel – Roma pada waktu itu. Ia dimatikan. Namun gagasanNya bertumbuhkembang sampai sekarang ini : “Orang miskin itu selalu ada padamu” (Yoh. 12:8).

Pemuliaan Yesus dan Pelayanan Sosial. Saya membaca pemuliaan Yesus ke Sorga merupakan peristiwa transendental yang perlu dibaca dalam kondisi sosial. Peristiwa itu bukan saja dijadikan pusat perayaan, melainkan tujuan pelayanan juga. Yesus yang miskin dimuliakan Allah ! Itulah makna pelayanan sosial dari perayaan ini. Allah mengubah keadaan HambaNya seketika, dari yang sengsara menjadi yang dimuliakan. Jika kita sungguh sungguh memikirkan Yesus, maka Dia bukan hanya Tuhan-yang-dimuliakan, tetapi juga sesama-yang–menderita. Ibadah kita keliru dan belum sempurna, sebab kita memusatkan penyembahan kepada Dia selaku TUHAN dan Raja. Kita kurang melayani Dia selaku sesama yang papa. Jikalau kita berkata : “Kami mengasihi Yesus, bukankah kita juga harus memperlihatkan sikap mengasihiNya selaku Hamba yang menderita ?

Pemuliaan Yesus dan Orang Miskin. Pemuliaan merupakan tahap akhir dari sebuah proses menjadi sesuatu. Proses itu dimulai dari yang terkecil menjadi terbesar, yang tertindas menjadi bebas, yang terluka menjadi sembuh, yang terkotor menjadi bersih, yang kerhina menjadi terhormat. Semua orang bercita-cita demikian. Namun tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Pemuliaan Yesus selaku Hamba TUHAN yang menjadi Kristus, Sang Raja Mesiah, sepatutnya menginspirasi orang Kristen untuk meningkatkan pelayanan kepada kaum fakir dan dhuafa secara kuantitatif maupun kualitatif. Saya ingin mengatakan, bahwa mengingatrayakan pemuliaan Yesus menjadi Kristus akan sangat bermakna sosial, jikalau orang Kristen memulihkan keadaan sengsara yang dialami kaum fakir dan dhuafa. Saya cenderung menyebut pekerjaan itu : “‘memuliakan’ orang-orang tertindas”. Artinya, jika kita mengingatrayakan Yesus yang dimuliakan Allah, maka pelayanan itu akan sempurnya bila kitapun berkerja bersama Allah untuk meningkatkan (membuat menjadi mulia) taraf kehidupan, membebaskan orang dari kesengsaraan.

Bukan manusia, tetapi kehidupan yang dimuliakan. Orientasi pelayanan berbasi ‘pemuliaan Kristus ke sorga’ bukanlah bukan bertujuan mengkultuskan orang mmiskin, melainkan membebaskan kehidupan mereka yang terbelenggu oleh kebodohan, kemalasan dan kelangkaan kesempatan kerja, sehingga tidak mampu menikmati kesejahteraan. Pemuliaan orang miskin tertuju pada makna kehidupan (kualitas sumberdaya), bagaimana Gereja dan orang Kristen menciptakan ‘jalan’, agar mereka terbebas dari penderitaan. Itulah maksud artikel ini....

SELAMAT MERAYAKAN

HARI PEMULIAAN YESUS MENJADI KRISTUS

PENULIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar