Minggu, 27 Mei 2012

H. PERCIKAN PERMENUNGAN MATIUS VII : 24 – 27 UNTUK HUT PERKAWINAN

CONTOH RENUNGAN

Saudara – saudara yang dikasihi Allah !

Berpacaran --- bertunangan --- kemudian menikah sangat mudah. Asalkan banyak janji, berparas cantik atau ganteng, berduit banyak, memiliki pangkat, jabatan dan status social jelas, sudah cukup meyakinkan. Namun untuk mempertahankan kesatuan utuh rumahtangga bukan sesederhana berpacaran. Berbagai persoalan bagaikan ‘hujan – banjir – badai’ akan menyongsong pasangan suami-isteri, seperti : penyesuaian katakter dan kepribadian, perselingkungan, ekonomi, hukum, lingkungan tempat tinggal,  pendidikan anak, dan lain-lain. Acapkali banyak persoalan itu menimbulkan percecokan, jika dapat dituntaskan bersyukurlah. Akan tetapi ad pula yang tak mampu bertahan, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ikatan perkawinannya. Bagaimanakah suami-isteri beriman menangani kasus-kasus dalam keluarga ? Marilah kita belajar dari tulisan penulis Injil Matius ini.

Saudara – saudara yang dikasihi Allah !

MEMBANGUN RUMAH MASA DEPAN. Penulis Injil Matius menuliskan perumpamaan yang diajarkan Tuhan Yesus tentang usaha seorang laki-laki yang ingin membangun rumah. So pasti, ia harus menyusun visi masa depan yang akan dicapainya, memperhitungkan lingkungan sosial di mana rumah akan dibangun, perlu mengenal jenis dan struktur lahan tanahnya, membuat rancangan bangunan serta menyusun pembiayaannya. Dan, ia akan mendiskusikan keinginannya bersama ahli bangunan (arsitek). Kemudian barulah ia menjalankan pembangunan rumah untuk didiami bersama isterinya. Masalah tak berakhir bersamaan selesainya pembangunan rumah. Masih ada masalah baru, ketika anggota keluarga bertambah.  Suami-isteri akan menggumuli urusan ekonomi rumahtangga dan pendidikan anak / anak-anak. Kadang-kadang banyak masalah membebani pikiran dan hati; dan, akhirnya menimbulkan gempa bumi di dalam rumahtangga.

PENYESUAIAN KEPRIBADIAN MENJADI MASALAH TERBERAT -- penyesuaian kepribadian merupakan masalah terberat sepanjang salah satu di antara suami-isteri belum meninggal dunia --, hal ini perlu diketahui dan dimengerti siapapun yang akan maupun sudah menikah. Katakanlah contoh sederhana saja. Kadang-kadang kelelahan bathin suami yang dialami di tempat pekerjaan kurang diketahui isterinya. Sepulang dari kantor suami memasuki rumah tanpa menyapa. Sikap ini tak lazim dipandang isterinya. Sebaliknya, isteripun bersikap demikian. Mungkin karena letih mengurusi rumahtangga, ia sungkan bercerita. Untuk sementara waktu pasangan suami-isteri tak saling menyapa. Mereka saling menjaga sikap dan tutur kata, agar tidak mengusik perasaan. Lama kelamaan komunikasi-dialogis makin kurang efektif. Bathin tersumbat karena mulut tertutup. Akhirnya masalah meledak karena hal sepele. Keduanya saling menyalahkan. Perangpun tak terelakkan. Gempa bumi terjadi dan seluruh anggota keluarga menjadi limbung, berjalan tak menentu arah sesuai keinginan masing-masing. Bahtera rumahtangga yang manis berubah menjadi medan laga. Korbanpun berjatuhan. Begitulah suasana rumahtangga, di mana suami-isteri mengandalkan kemampuan ekonomi. Mereka melupakan perjanjian iman di hadapan Allah. Biasanya, masalah dalam perkawinan bukan pudarnya rasa cinta dan kesetiaan, tetapi kurangnya komunikasi yang efektif antar suami-isteri. Semakin jarang berdialog, bertambah lebar jurang perpisahan.

MENBANGN JALAN MENYLESAIKAN MASALAH. Ada ungkapan begini: “Semakin panjang perjalanan, seorang musafir akan semakin berhikmat.” Pameo itu bisa benar, tetapi juga bisa tidak benar; karena ada banyak yang beruban dan uzur usianya, tetapi masih berpikir dan bersikap kekanak-kanakan. Seharusnya dikatakan : “Semakin membaca Alkitab akan bertambah hikmat.” Di pihak lain, ada juga suami-isteri beriman menjalani perceraian maupun pisah ranjang tanpa cerai, padahal keduanya rajin mengikuti kebaktian, dan tekun membaca Alkitab.

Adakah yang salah ? So pasti, ada ! Jangan pernah berpikir, bahwa kita sedang berada di dalam sorga. Kita masih tinggal di bumi. Dan, selama masih berjalan di bumi, kita masih akan menghadapi masalah. Bagaimana caranya suami-isteri beriman mengatasinya ? Mudah saja…. ! Pengalaman pahit yang dijalani harus dibicarakan bersama. Selayaknya, suami-isteri menguasai emosi dan perasaannya, agar tak saling menyerang dan tak saling menyalahkan. Di dalam keadaan itulah suami-isteri akan menemukan hikmat Allah. Bukan untuk membenarkan diri, melainkan bekerja bersama Allah bekerja menuntaskan persoalan.

ALKITAB, BUKU PENUNTUN KEHIDUPAN. Tuhan Yesus berkata : “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (Mat. 7:24).  Kalimat pertama berbunyi : “Setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan melakukannya.” Penulis Injil menganjurkan, bahwa jika suami-istri rajin dan tekun mendengar dan membaca Firman Allah yang tertulis di dalam Alkitab, maka ia akan menemukan kebijaksanaan / hikmat Allah. Ia semakin mengerti dan mengenal rencana Allah bagi kehidupan keluarganya. Suami-isteripun akan menemukan jalan keluar atas masalahnya. Firman Allah membuka mata hati dan pikiran, sehingga suami-isteri menangani masalah bersama-sama.  Membaca dan merenungkan kesaksian Alkitab sama artinya berkomunikasi / berdialog dengan Allah. Jadi alangkah anehnya  suami-isteri yang tekun rajin membaca Alkitab, tetapi kurang berdialog bersama.

MENANGKAN PASANGANMU, JANGANLAH TAKLUKKAN DIA. Perkawinan bukanlah medan laga, di mana suami-isteri saling berperang untuk menentukan keunggulan masing-masing. Perkawinan adalah anugerah Allah yang mesti dinikmati pasangan suami-isteri beriman. Karena itu, tiap suami-isteri mencari keindahan pasangannya, bukan pada paras cantik atau gantengnya, melainkan berusaha mengenal kelemahan karakter dan keterbatasan kepribadian. Dan, jikalau watak itu diketahui baik, maka keduanya saling berbagi dalam kemesraan cinta Itulah hikmat dari Allah. Waspadalah, jangan mengoyakkan harga diri (kebutuhan akan pengakuan dan aktualisasi diri) pasanganmu, sebab hal itu sama seperti meruntuhkan langit menutupi rumah. Akui dan terimalah pasanganmu apa adanya, dan bukan karena ada apa-apanya. Karena dengan cara demikian, suami-isteri menempatkan pasangannya bagaikan apel di atas pinggan emas.

Saudara – saudaraku yang dikasihi Allah !

Saat ini kita diundang ikut mengucap syukur bersama keluarga, karena HUT Perkawinan XX. Suatu jangka waktu cukup panjang telah dilewati pasangan suami-isteri ini. Mereka telah melintasi jalan berbukit terjal dan lembah, pasang surut keadaan ekonomi keluarga, susah senang membimbing anak-anak. Kita bisa berbagi pengalaman setelah selesai ibadah. Namun tertinggal satu pertanyaan yang belum terjawab : apakah perjalanan rumahtagga berjalan mulus ataukah kadang muncul garis-garis retak sepanjang duapuluh tahun perjalanan ? Tanpa harus dijawab, semua orang yang menikah pasti menjawab : Ya. Lantas, bagaimanakah upaya membangun kembali rumah retak, agar rasa aman dan nyaman dinikmati bersama ?

MEMBANGUN KEMBALI RUMAH RETAK. Sering kita melihat retakan dinding rumah. Lalu mulai bertanya : “Mengapa retak ? Apakah penyebabnya ?” Ada dua kemugkinan: pisik rumah ataukah keluarganya yang retak. Jika pisik rumah retak, segera bisa diperbaiki, asalkan bukan hubungan antar anggota keluarganya yang retak. Kesulitan terberat adalah kerusakan pisik rumah tak mampu diperbaiki, karena situasi isi rumahnya sedang mengalami ketidaknyamanan. Bagaimanakah membangun rumah retak, agar rasa aman dan nyaman dapat dinikmati bersama ?
Belajarlah meneladani sikap dan ucapan Tuhan Yesus. Suami-isteri beriman akan menemukan 5 (lima) langkah strategis untuk menyelesaikan masalahnya.

Pertama, meneladani CINTA – KESETIAAN – PENGORBANAN Tuhan Yesus, sang mempelai laki-laki. Berbagai kasus perkawinan dapat akan mengubah cinta menjadi kemarahan, karena keputus asaan. Dan, kadang-kadang dalam situasi seperti itu suami-isteri saling berkhianat. Ingatlah akan kekuatan-cinta yang mendorong suami-isteri mengikrarkan perjanjian sehidup semati. Kekuatan-cinta itu adalah kesetiaan hati untuk terus berdiri mendampingi pasangan yang berkhianan, walau mengorbankan segala yang terbaik yang dimiliki.

Belajarlah dari mempelai laki-laki Yesus. Dalam keadaannya sebagai manusia banyak kali mengalami kekecewaan, karena penyangkalan, pengkhianatan dan penolakan secara terang-terangan dari orang-orang yang dicintai. Namun Ia kekuatan-cinta menopangNya bertahan untuk berbagi cinta, meskipun mengorbankan hidupNya. Inilah yang dimaksudkan, komitmen. Jadi ketika sepasang suami-isteri mengucapkan perjanjian, keduanya harus yakin benar, bahwa perjanjian yang mengikatkan cinta bersama akan selalu membawa pengorbanan demi mencapai visi masa depan : keluarga bahagia penuh damai sejahtera. Sama seperti Tuhan Yesus melakukannya demi merekatkan kembali retak-retak kehidupan Keluarga Allah. Begitu pula keluarga Kristen hanya dapat bertahan melewati berbagai masalah, jika hati dan pikiran suami-isteri masih ada cinta – kesetiaan – pengorbanan.

Kedua, MENGADAKAN WAKTU BERSAMA. Kehadiran di dunia menunjukkan, bahwa Tuhan Yesus menghormati tiap kesempatan untuk melakukan tindakan penyelamatan. Sekali lagi, kesempatan dan tindakan harus dijalankan sekaligus, tidak terpisahkan. Tuhan Yesus memiliki visi terkait kehidupan masa depan manusia. Meskipun masa kerjaNya hanya tiga tahun, namun kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk bertindak memulihkan hubungan persekutuan keluarga : Allah vs Manusia. Jika suami-isteri berkasus menghayati cinta – kesetiaan – pengorbanan Tuhan, maka keduanya selalu mengadakan waktu bersama mendiskusikan jalan terbaik bagi pemulihan keluarga.  Hidup keluarga akan bertumbuh – berkembang – berbuah baik, bila suami-isteri selalu menyediakan waktu perjumpaan. Hidup selalu indah, jika senantiasa terjadi perjumpaan.

Ketiga, HORMATI DAN BERILAH PENGHARGAAN KEPADA PASANGANMU. Sekecil atau serendah apapun pendapat pasanganmu, tunjukan rasa hormat dan perlihatkan sikap menghargai kebaikan yang telah dikorbankannya. Sebuah kekeliruan kecil yang beresiko buruk, jika suami atau isteri kurang memberikan pujian atas pekerjaan pasangannya. Sikap demikian akan melukai perasan serta menimbulkan reaksi antipti yang mengurangi keintiman. Banyak keuntungan akan diperoleh, bila suami-isteri saling memuji.

Keempat, CARILAH WAKTU UNTUK BERBICARA DENGAN TUHAN. Kekecewaan dan keputusasaan karena volume masalah bertambah, so pasti,  menghambat pertumbuhan spiritual suami-isteri. Tubuh jasmaniah dan rohaniah menjadi sakit. Oleh karena itu, suami-isteri membutuhkan waktu untuk bergaul akrab dengan Allah. Mereka berdiam diri untuk memberikan kesempatan, agar Allah berbicara melalui pembacaan Alkitab. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan pasa saat sedang terancam bahaya, melainkan sepanjang masa perlayaran bahtera keluarga menuju masa depan baru. Ingatlah akan ucapan Tuhan Yesus : “Akulah jalan yang benar menuju hidup kekal” (bd. Yoh. 14:6).

Kelima, BERHASIL DI MASA KRITIS. Pohon yang berbuah di musim kemarau akan memiliki nilai tambah dari pada di musim pancaroba. Bulir padi yang bertahan di musim penghujan akan selalu menyenangkan hati petani. Demikianlah suami-isteri beriman yang berhasil di masa kristis, so pasti, dipuji orang serta menyenangkan hati Allah. Acapkali berbagai persoalan melumpuhkan semangat kerja suami-isteri beriman. Rasa frustrasi membuatnya tak berdaya. Depresi akan mematikan daya kreatif dan produktif. Padahal, sesungguhnya, masa krisis merupakan ujian bagi suami-isteri untuk membukatikan kekuatan iman – pengharapan – kasihnya kepada Tuhan Yesus. Dia menghendaki tiap suami-isteri berbuah meskipun di dalam kesusahan. Oleh karena itu, Dia memberikan jaminan pemeliharan pada masa masa sulit (bd. I Kor. 10:13).

Firman ini membuka wawasan iman setiap orang, agar selalu berbuah baik sampai masa penderitaan itu berlalu. Dia yang duduk di atas takhta itu berkata : “Barangsiapa menang kepadanya akan diberikan mahkota kehidupan.” Soli Deo Gloria !

MEDAN – SUMATERA UTARA,
HARI MINGGU – 27 MEI 2012

Salam dan Doa

PUTERA SANG FAJAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar