CONTOH RENUNGAN
Saudara – saudara yang dikasihi
Allah !
Berpacaran --- bertunangan ---
kemudian menikah sangat mudah. Asalkan banyak janji, berparas cantik atau
ganteng, berduit banyak, memiliki pangkat, jabatan dan status social jelas,
sudah cukup meyakinkan. Namun untuk mempertahankan kesatuan utuh rumahtangga
bukan sesederhana berpacaran. Berbagai persoalan bagaikan ‘hujan
– banjir – badai’ akan menyongsong
pasangan suami-isteri, seperti : penyesuaian katakter dan kepribadian,
perselingkungan, ekonomi, hukum, lingkungan tempat tinggal, pendidikan anak, dan lain-lain. Acapkali
banyak persoalan itu menimbulkan percecokan, jika dapat dituntaskan
bersyukurlah. Akan tetapi ad pula yang tak mampu bertahan, akhirnya memutuskan
untuk meninggalkan ikatan perkawinannya. Bagaimanakah suami-isteri beriman
menangani kasus-kasus dalam keluarga ? Marilah kita belajar dari tulisan
penulis Injil Matius ini.
Saudara – saudara yang dikasihi
Allah !
MEMBANGUN RUMAH MASA
DEPAN. Penulis
Injil Matius menuliskan perumpamaan yang diajarkan Tuhan Yesus tentang usaha
seorang laki-laki yang ingin membangun rumah. So pasti, ia harus menyusun visi
masa depan yang akan dicapainya, memperhitungkan lingkungan sosial di mana
rumah akan dibangun, perlu mengenal jenis dan struktur lahan tanahnya, membuat
rancangan bangunan serta menyusun pembiayaannya. Dan, ia akan mendiskusikan
keinginannya bersama ahli bangunan (arsitek). Kemudian barulah ia menjalankan
pembangunan rumah untuk didiami bersama isterinya. Masalah tak berakhir
bersamaan selesainya pembangunan rumah. Masih ada masalah baru, ketika anggota
keluarga bertambah. Suami-isteri akan
menggumuli urusan ekonomi rumahtangga dan pendidikan anak / anak-anak.
Kadang-kadang banyak masalah membebani pikiran dan hati; dan, akhirnya
menimbulkan gempa bumi di dalam rumahtangga.
PENYESUAIAN KEPRIBADIAN
MENJADI MASALAH TERBERAT --
penyesuaian kepribadian merupakan masalah terberat
sepanjang salah satu di antara suami-isteri belum meninggal dunia
--, hal ini perlu diketahui dan dimengerti siapapun yang akan maupun sudah
menikah. Katakanlah contoh sederhana saja. Kadang-kadang kelelahan bathin suami
yang dialami di tempat pekerjaan kurang diketahui isterinya. Sepulang dari
kantor suami memasuki rumah tanpa menyapa. Sikap ini tak lazim dipandang isterinya.
Sebaliknya, isteripun bersikap demikian. Mungkin karena letih mengurusi
rumahtangga, ia sungkan bercerita. Untuk sementara waktu pasangan suami-isteri
tak saling menyapa. Mereka saling menjaga sikap dan tutur kata, agar tidak
mengusik perasaan. Lama kelamaan komunikasi-dialogis makin kurang efektif.
Bathin tersumbat karena mulut tertutup. Akhirnya masalah meledak karena hal
sepele. Keduanya saling menyalahkan. Perangpun tak terelakkan. Gempa bumi
terjadi dan seluruh anggota keluarga menjadi limbung, berjalan tak menentu arah
sesuai keinginan masing-masing. Bahtera rumahtangga yang manis berubah menjadi
medan laga. Korbanpun berjatuhan. Begitulah suasana rumahtangga, di mana
suami-isteri mengandalkan kemampuan ekonomi. Mereka melupakan perjanjian iman di
hadapan Allah. Biasanya, masalah dalam perkawinan bukan
pudarnya rasa cinta dan kesetiaan, tetapi kurangnya komunikasi yang efektif antar suami-isteri.
Semakin jarang berdialog, bertambah lebar jurang perpisahan.
MENBANGN JALAN MENYLESAIKAN
MASALAH. Ada
ungkapan begini: “Semakin panjang perjalanan, seorang musafir
akan semakin berhikmat.” Pameo itu bisa benar, tetapi juga bisa
tidak benar; karena ada banyak yang beruban dan uzur usianya, tetapi masih
berpikir dan bersikap kekanak-kanakan. Seharusnya dikatakan : “Semakin membaca Alkitab akan bertambah hikmat.”
Di pihak lain, ada juga suami-isteri beriman menjalani perceraian maupun pisah
ranjang tanpa cerai, padahal keduanya rajin mengikuti kebaktian, dan tekun
membaca Alkitab.
Adakah yang salah ? So pasti, ada
! Jangan pernah berpikir, bahwa kita sedang berada di dalam sorga. Kita masih
tinggal di bumi. Dan, selama masih berjalan di bumi, kita masih akan menghadapi
masalah. Bagaimana caranya suami-isteri beriman mengatasinya ? Mudah saja…. !
Pengalaman pahit yang dijalani harus dibicarakan bersama. Selayaknya,
suami-isteri menguasai emosi dan perasaannya, agar tak saling menyerang dan tak
saling menyalahkan. Di dalam keadaan itulah suami-isteri akan menemukan hikmat
Allah. Bukan untuk membenarkan diri, melainkan bekerja bersama Allah bekerja
menuntaskan persoalan.
ALKITAB, BUKU PENUNTUN
KEHIDUPAN. Tuhan
Yesus berkata : “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku
ini dan melakukannya, ia sama dengan orang
yang bijaksana, yang mendirikan
rumahnya di atas batu” (Mat. 7:24). Kalimat pertama berbunyi : “Setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan
melakukannya.” Penulis Injil menganjurkan, bahwa jika suami-istri
rajin dan tekun mendengar dan membaca Firman Allah yang tertulis di dalam
Alkitab, maka ia akan menemukan kebijaksanaan / hikmat Allah. Ia semakin
mengerti dan mengenal rencana Allah bagi kehidupan keluarganya. Suami-isteripun
akan menemukan jalan keluar atas masalahnya. Firman Allah membuka mata hati dan
pikiran, sehingga suami-isteri menangani masalah bersama-sama. Membaca dan
merenungkan kesaksian Alkitab sama artinya berkomunikasi / berdialog dengan
Allah. Jadi alangkah anehnya
suami-isteri yang tekun rajin membaca Alkitab, tetapi kurang berdialog
bersama.
MENANGKAN PASANGANMU,
JANGANLAH TAKLUKKAN DIA.
Perkawinan bukanlah medan laga, di mana suami-isteri saling berperang untuk
menentukan keunggulan masing-masing. Perkawinan adalah anugerah Allah yang
mesti dinikmati pasangan suami-isteri beriman. Karena itu, tiap suami-isteri
mencari keindahan pasangannya, bukan pada paras cantik atau gantengnya,
melainkan berusaha mengenal kelemahan karakter dan
keterbatasan kepribadian. Dan, jikalau watak itu diketahui baik,
maka keduanya saling berbagi dalam kemesraan cinta Itulah hikmat dari Allah.
Waspadalah, jangan mengoyakkan harga diri (kebutuhan akan pengakuan dan
aktualisasi diri) pasanganmu, sebab hal itu sama seperti meruntuhkan langit
menutupi rumah. Akui dan terimalah pasanganmu apa adanya, dan bukan karena ada
apa-apanya. Karena dengan cara demikian, suami-isteri menempatkan pasangannya
bagaikan apel di atas pinggan emas.
Saudara – saudaraku yang dikasihi
Allah !
Saat ini kita diundang ikut
mengucap syukur bersama keluarga, karena HUT Perkawinan XX. Suatu jangka waktu
cukup panjang telah dilewati pasangan suami-isteri ini. Mereka telah melintasi
jalan berbukit terjal dan lembah, pasang surut keadaan ekonomi keluarga, susah
senang membimbing anak-anak. Kita bisa berbagi pengalaman setelah selesai
ibadah. Namun tertinggal satu pertanyaan yang belum terjawab : apakah perjalanan
rumahtagga berjalan mulus ataukah kadang muncul garis-garis retak sepanjang duapuluh
tahun perjalanan ? Tanpa harus dijawab, semua orang yang menikah pasti menjawab
: Ya. Lantas, bagaimanakah upaya membangun kembali rumah retak, agar rasa aman
dan nyaman dinikmati bersama ?
MEMBANGUN KEMBALI RUMAH
RETAK. Sering
kita melihat retakan dinding rumah. Lalu mulai bertanya : “Mengapa retak ?
Apakah penyebabnya ?” Ada dua kemugkinan: pisik rumah ataukah keluarganya yang
retak. Jika pisik rumah retak, segera bisa diperbaiki, asalkan bukan hubungan
antar anggota keluarganya yang retak. Kesulitan terberat adalah kerusakan pisik
rumah tak mampu diperbaiki, karena situasi isi rumahnya sedang mengalami
ketidaknyamanan. Bagaimanakah membangun rumah retak, agar rasa aman dan nyaman
dapat dinikmati bersama ?
Belajarlah meneladani sikap dan
ucapan Tuhan Yesus. Suami-isteri beriman akan menemukan 5 (lima) langkah
strategis untuk menyelesaikan masalahnya.
Pertama, meneladani CINTA –
KESETIAAN – PENGORBANAN Tuhan
Yesus, sang mempelai laki-laki. Berbagai kasus perkawinan dapat akan
mengubah cinta menjadi kemarahan, karena keputus asaan. Dan, kadang-kadang
dalam situasi seperti itu suami-isteri saling berkhianat. Ingatlah akan kekuatan-cinta
yang mendorong suami-isteri mengikrarkan perjanjian sehidup semati. Kekuatan-cinta
itu adalah kesetiaan hati untuk terus berdiri mendampingi pasangan yang
berkhianan, walau mengorbankan segala yang terbaik yang dimiliki.
Belajarlah dari mempelai
laki-laki Yesus. Dalam keadaannya sebagai manusia banyak kali mengalami
kekecewaan, karena penyangkalan, pengkhianatan dan penolakan secara
terang-terangan dari orang-orang yang dicintai. Namun Ia kekuatan-cinta
menopangNya bertahan untuk berbagi cinta, meskipun mengorbankan hidupNya.
Inilah yang dimaksudkan, komitmen. Jadi ketika sepasang
suami-isteri mengucapkan perjanjian, keduanya harus yakin benar, bahwa
perjanjian yang mengikatkan cinta bersama akan selalu membawa pengorbanan demi mencapai
visi
masa depan : keluarga bahagia penuh damai sejahtera. Sama seperti Tuhan
Yesus melakukannya demi merekatkan kembali retak-retak kehidupan Keluarga
Allah. Begitu pula keluarga Kristen hanya dapat bertahan melewati berbagai masalah, jika hati
dan pikiran suami-isteri masih ada cinta – kesetiaan – pengorbanan.
Kedua, MENGADAKAN WAKTU BERSAMA.
Kehadiran di dunia menunjukkan, bahwa Tuhan Yesus menghormati tiap kesempatan
untuk melakukan tindakan penyelamatan. Sekali lagi, kesempatan dan tindakan
harus dijalankan sekaligus, tidak terpisahkan. Tuhan Yesus memiliki visi
terkait kehidupan masa depan manusia. Meskipun masa kerjaNya hanya tiga tahun,
namun kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk bertindak memulihkan
hubungan persekutuan keluarga : Allah vs Manusia. Jika suami-isteri berkasus
menghayati cinta – kesetiaan – pengorbanan Tuhan, maka keduanya selalu mengadakan
waktu bersama mendiskusikan jalan terbaik bagi pemulihan keluarga. Hidup keluarga akan bertumbuh – berkembang –
berbuah baik, bila suami-isteri selalu menyediakan waktu perjumpaan. Hidup
selalu indah, jika senantiasa terjadi perjumpaan.
Ketiga, HORMATI DAN BERILAH PENGHARGAAN KEPADA
PASANGANMU. Sekecil atau serendah apapun pendapat pasanganmu,
tunjukan rasa hormat dan perlihatkan sikap menghargai kebaikan yang telah
dikorbankannya. Sebuah kekeliruan kecil yang beresiko buruk, jika suami atau
isteri kurang memberikan pujian atas pekerjaan pasangannya. Sikap demikian akan
melukai perasan serta menimbulkan reaksi antipti yang mengurangi keintiman. Banyak
keuntungan akan diperoleh, bila suami-isteri saling memuji.
Keempat, CARILAH WAKTU UNTUK BERBICARA DENGAN TUHAN.
Kekecewaan dan keputusasaan karena volume masalah bertambah, so pasti, menghambat pertumbuhan spiritual suami-isteri.
Tubuh jasmaniah dan rohaniah menjadi sakit. Oleh karena itu, suami-isteri
membutuhkan waktu untuk bergaul akrab dengan Allah. Mereka berdiam diri untuk
memberikan kesempatan, agar Allah berbicara melalui pembacaan Alkitab. Kegiatan
ini tidak hanya dilakukan pasa saat sedang terancam bahaya, melainkan sepanjang
masa perlayaran bahtera keluarga menuju masa depan baru. Ingatlah akan ucapan
Tuhan Yesus : “Akulah jalan yang benar menuju hidup kekal” (bd. Yoh. 14:6).
Kelima, BERHASIL DI MASA KRITIS. Pohon
yang berbuah di musim kemarau akan memiliki nilai tambah dari pada di musim
pancaroba. Bulir padi yang bertahan di musim penghujan akan selalu menyenangkan
hati petani. Demikianlah suami-isteri beriman yang berhasil di masa kristis, so
pasti, dipuji orang serta menyenangkan hati Allah. Acapkali berbagai persoalan
melumpuhkan semangat kerja suami-isteri beriman. Rasa frustrasi membuatnya tak
berdaya. Depresi akan mematikan daya kreatif dan produktif. Padahal,
sesungguhnya, masa krisis merupakan ujian bagi suami-isteri untuk membukatikan
kekuatan iman – pengharapan – kasihnya kepada Tuhan Yesus. Dia menghendaki tiap
suami-isteri berbuah meskipun di dalam kesusahan. Oleh karena itu, Dia
memberikan jaminan pemeliharan pada masa masa sulit (bd. I Kor. 10:13).
Firman ini membuka wawasan iman
setiap orang, agar selalu berbuah baik sampai masa penderitaan itu berlalu. Dia
yang duduk di atas takhta itu berkata : “Barangsiapa menang kepadanya akan
diberikan mahkota kehidupan.” Soli Deo Gloria !
MEDAN – SUMATERA UTARA,
HARI MINGGU – 27 MEI 2012
Salam dan Doa
PUTERA SANG FAJAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar