JANGAN MENCURI,
MELAWAN GEREJA YANG MEMELIHARA KORUPTOR !
KELUARAN 20 : 14, 17
KADANG-KADANG MUNCUL PANDANGAN DIKOTOMIS TERHADAP
TUGAS GEREJA DAN NEGARA, SEAKAN TUHAN ALLAH HANYA MEMANGGIL
DAN MENGUTUS GEREJA UNTUK MENJALANKAN RENCANA PENYELAMATAN /
PEMBEBASAN ATAS KEHIDUPAN MANUSIA. BENARKAH PANDANGAN SEPERTI ITU ?
DITULIS DI
MEDAN – SUMATERA UTARA,
HARI KAMIS – 22 DESEMBER 2011
OLEH
ARIE A. R. IHALAUW
PANDANGAN DIKOTOMIS. Sudah sejak lama masyarakat berpandangan, bahwa urusan keagamaan ditatakelola oleh institusi / lembaga keagamaan, sedangkan urusan kenegaraan diurusi oleh institusi / lembaga pemerintahan. Sepintas lalu pandangan itu sah-sah saja. Malahan tidak seorangpun mendebatkan : apakah “core-bisnis” (saya menterjemahkannya : URUSAN HAKIKI) yang diurusi oleh institusi / lembaga keagamaan dan pemerintahan sipil ? So pasti, banyak artikel telah membahas masalah ini. Dan, artikel ini sengaja dituliskan, agar membuka pemahaman orang kristen tentang “core-bisnis” (URUSAN HAKIKI) yang selayaknya ditatakelola oleh Negara maupun Gereja.
LATARBELAKANG PEMAHAMAN TEOLOGI. Saya bertolak dari fenomena sosial keagamaan di Timur Tengah Kuno yang menjadi latarbelakang lahirnya gagasan-gagasan teologi tentang “urusan-hakiki” Agama dan Kerajaan. Gagasan–gagasan itu tampak dalam :
1. GAGASAN TENTANG PENUGASAN MANUSIA.
Setelah TUHAN Allah menciptakan “EDEN/FIRDAUS” dan isinya, Dia menjadikan manusia. Ia memberi “kuasa” (MANDAT) kepada manusia (KEJ. 1:28) melanjutkan pembangunan alam semesta (“memelihara” dan “mengusahakan” Eden -> KEJ. 2:15). Tugas itu dimulai dari pembangunan keluarga (KEJ. 2 : 23 – 24). Secara sosial pengadaan keluarga merupakan urusan-hakiki dari institusi pemerintahan sipil. Sebab hubungan pasangan suami-isteri terjadi dalam sebuah masyarakat, di mana laki-laki dan perempuan saling berinteraksi. Pemerintah-lah yang meresmikan dan mensahkan institusi perkawinan yang membentuk keluarga / rumahtangga. Di sisi lain, manusia menyadari akan keadaan eksistensialnya sebagai makhluk ciptaan Allah (KEJ. 1 : 26; bd. 2 : 18-22). Dan, oleh karena itu, hubungan suami-isteri wajib diberkati oleh institusi keagamaan atas nama Allah (bd. MAZ. 127:1 -> “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah orang yang membangunnya; MAT. 7:24 -> “Barangsiapa yang mendengarkan perkataan-Ku dan melakukannya, ia seumpama orang yang bijaksana yang MEMBANGUN RUMAH-nya di atas batu”). Dengan demikian pengesahan dan peresmian status suami-isteri itu menjadi urusan pemerintahan sipil dan keagamaan.
APAKAH TUJUAN YANG TERKANDUNG DALAM URUSAN-HAKIKI ITU ?
1.a. Penataan Aturan Pelaksanaan terkait Perkawinan.
Alkitab menyaksikan : "Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak." (KEJ. 1 : 28). Masalah yang terjadi era pra-aksara adalah pentafsiran mengenai kalimat “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah”. Kalimat tersebut melahirkan berbagai pengertian terkait : hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, proses berkembangbiak, tatacara (adat) perkawinan yang bersifat poligami / poliandri ataukah monogami dan lain-lain yang terkait dengan hal itu. Sebab itu, penulis Kitab Kejadian mengasumsikan adanya suatu sistem norma yang menciptakan keadaan masyarakat yang tertib melalui pelaksanaan norma-tidak-tertulis (HUKUM ADAT). Jikalau pengembangbiakan terkait aktifitas seksual (seksualitas) tidak ditatatertibkan, maka akan menimbulkan masalah dalam masyarakat. Oleh karena itu, Allah menyatakan kehendak-Nya atas perkawinan : “JANGAN BERZINAH”, dan juga “JANGAN MENGINGINI… ISTERINYA,…” (KEL. 20:14, 17; UL. 5 : 18, 21 -> bandingkan CODEX HAMMURABI). Dengan demikian pelaksanaan norma-tertulis (HUKUM TERTULIS) akan menjamin KESELAMATAN masyarakat secara utuh baik dalam bidang keagamaan maupun kemasyarakatan. Pemahaman ini disebut masyarakat, yang pada waktu itu masih berpikir mistis, sebagai KEHENDAK ALLAH. Jadi, dengan demikian, pada awalnya gagasan tentang PERKAWINAN masih terbungkus dalam sebuah kemasan SOSIAL-KEAGAMAAN.
2. GAGASAN TENTANG RAJA DAN KERAJAAN ALLAH.
Membaca pertumbuhan dan perkembangan sejarah kebudayaan (peradaban) bangsa-bangsa Semith (yang berasal dari keturunan SEM, anak NUH), kita menemukan gagasan tentang RAJA sebagai ANAK DEWA / ALLAH (bd. MAZ. 2:7 -> “Anak-Ku engkau ! Engkau telah Kuperanakan pada hari ini”). Sesungguhnya, pernyataan tersebut mengandung makna tersirat, bahwa INSTITUSI KERAJAAN / PEMERINTAHAN SIPIL diadakan oleh dan untuk menjalankan rencana penyelamatan Allah atas komunitas manusia yang mengemban tugas ilahi. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan, bahwa penulis Mazmur 2 berpendapat, bahwa sejak semula Allah mengadakan dan memakai semua institusi untuk menjalankan rencana-Nya.
BUKANKAH MANUSIA YANG MENGADAKAN INSTITUSI DAN BUKAN ALLAH ?
So pasti benar ! Manusialah yang menciptakan fungsi-sistem institusi (organisasi). Lalu mengapa TEOLOGI selalu menyatakan, bahwa ALLAH YANG MENCIPTAKAN INSTITUSI ? Gagasan tersebut merupakan kesimpulan terkait pemahaman tentang manusia sebagai mitra kerja Allah. Penulis Kitab Kejadian menyatakan, bahwa Allah berfirman : "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (KEJ. 1 : 28). Allah memberi MANDAT (kuasa, kepercayaan, otoritas, red) kepada manusia, agar ia membangun dan memberdayakan karunia-karunia (potensi) untuk memajukan kehidupan seluruh ciptaan. Kekuatan utama yang dimiliki manusia adalah PIKIRAN / PENALARAN (manusia sebagai makhluk berpikir -> homo rationale) yang kreatif. Dengan demikian manusia ikut menciptakan (prokreasi) teknologi-budaya untuk melanjutkan kehidupannya dalam alam semesta. Jadi yang dimaksudkan dengan ALLAH MENCIPTAKAN INSTITUSI merupakan sebuah kesimpulan iman, Dialah yang mengaruniakan kemampuan penalaran, sehingga manusia mampu berpartisipasi membangun INSTITUSI sebagai teknologi-kebudayaan untuk merealisasikan/mengoperasionalisasikan tujuan dari rencana penyelamatan-Nya.
3. HAMBA ALLAH. Orang beragama memahami istilah HAMBA ALLAH dalam pandangan sempit, seakan-akan tulisan-tulisan suci mengartikan istilah tersebut tertuju pada INSTITUSI KEAGAMAAN dan PELAKSANANYA. Pandangan seperti itu keliru. Seluruh tulisan suci dari agama apapun menegaskan, bahwa ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA UNTUK MENJALANKAN IBADAH KEPADANYA. Kata ini : IBADAH, dalam kosa kata Bahasa Ibrani berarti : EBED-YHWH (HAMBA TUHAN / ALLAH) untuk melayani dan mengabdi kepada-Nya; sedangkan INSTITUSI (baik agama dan sipil) merupakan sarana (kenderaan, alat) yang diciptakan manusia untuk melancarkan tugas pelayanan (peribadahan). Tidak mengherankan bila Rasul Paulus menuliskan : “… tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. … Mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah.” (ROM. 13 : 1, 4, 6). Dalam kutipan itu kita dapat menyimak pikiran Paulus, bahwa manusia dan sistem pemerintahan apapun yang diadakannya dipakai oleh Allah untuk menjalankan rencana-Nya.
4. PEMERINTAH SIPIL DAN AGAMA WAJIB MENGHADIRKAN TANDA-TANDA KERAJAAN ALLAH. Yang dimaksudkan dengan tanda-tanda Kerajaan Allah adalah sifat pemerintahan Allah, yakni : DAMAI-SEJAHTERA dan SUKACITA, KEBENARAN dan KEADILAN (HUKUM), CINTA-KASIH dan KASIH-SETIA (Kesetiakawanan sosial / solidaritas) dan lain-lain yang sesuai dengan ajaran tiap agama.
5. PENGAJARAN – PENDIDIKAN – PEMBINAAN MANUSIA. Keberhasilan sebuah pekerjaan pembangunan sangat ditentukan oleh PERILAKU manusia. Oleh karena itu, PENGAJARAN – PENDIDIKAN – PEMBINAAN MANUSIA selayaknya dikerjakan bersama-sama oleh kedua institusi ini. Dengan didukung oleh kebijakan pemerintah, maka pelaksana institusi keagamaan wajib membina mental spiritual penganutnya.
6. Dan lain-lain yang dapat kita simak dalam setiap ajaran agama.
APAKAH TUJUAN PENULISAN ARTIKEL INI ?
Artikel ini bertujuan mencerahkan kesadaran dan penalaran orang kristen akan peran sertanya membantu Pemerintah Indonesia membangun MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA, sesuai dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Selayaknya, orang kristen tidak boleh memisahkan dan memilahkan tugas-tugas manakah yang dilakukan Gereja dan manakah yang dilkukan oleh Pemerintah. TUHAN Allah yang membentuk persekutuan orang-percaya-yang-setia dan mengadakan institusi pemerintahan menyuruhnya untuk MENYELAMATKAN serta MEMBEBASKAN MASA DEPAN MANUSIA INDONESIA. Jadi bagaimanakah Pemerintah berusaha memberantas korupsi, jikalau Gereja membiarkan (mengampuni) warga dan pejabat yang “salah menatalola perbendaharaan”, sehingga menyebabkan intitusi-sosio-religius kehilangan berkat TUHAN dan masa depan yang baik ? Bagaimanakah korupsi diberantas dalam kalangan pemerintahan, sementara hal itu terjadi di dalam Gereja sebagai salah satu institusi-sosio-religius ? Bisa bisa masyarakat umum mengatakan, bahwa Gereja selalu institusi-sosio-religius ikut menciptakan manusia yang bermental korupsi, atau sekurang-kurangnya, Gereja selaku institusi keselamatan telah mengubah perupaannya menjadi INSTITUSI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KORUPTOR. Justru, di saat saat Negara sedang memberantas koruptor, maka Gereja perlu mendukung hal itu sebagai wujud nyata dari ketaatannya melaksanakan HUKUM ALLAH. Dengan demikian tidak ada tempat perindungan apapun yang dapat dinikmati koruptor. Waspadalah terhadap murka TUHAN atas Gereja ! Waspadalah terhadap murka TUHAN atas Gereja !
SALAM DAN DOA
PENULIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar