Rabu, 12 Oktober 2011

MAKNA PERSEMBAHAN DALAM PEMBANGUNAN KELUARGA ALLAH YANG MISIONER


MATERI BINA WARGA GEREJA
Arie-02/Jan-11-2011/PWG


PERSEMBAHAN
Makna dan pemberdayaan persembahan untuk tujuan pembangunan Persekutuan KELUARGA ALLAH yang melayani dan bersaksi dalam dunia ciptaan-Nya

MATERI BINA INI DISUSUN UNTUK MEMBUKA DAN MENINGKATKAN WAWASAN DAN PARTISIPASI UMAT,       AGAR MENDUKUNG PEKERJAAN GEREJA

MEDAN – Selasa, 11 Januari 2011

ditulis oleh :

PENDETA ARIE A. R. IHALAUW


– 1 – 
GEREJA BUKAN BANK
Uang bukan menjadi tujuan Gereja. Dan, Gereja bukan bekerja untuk mencari serta mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Memang uang adalah kebutuhan, tetapi bukan menjadi tujuan. Uang hanyalah sarana penunjang pekerjaan misional.
– 2 – 
PENATALAYANAN KEUANGAN BERSIFAT TERBUKA
Penatalayanan keuangan Gereja di tingkat sinodal maupun di dalam Jemaat Lokal berorientasi pada membiayai pekerjaan pelayanan-kesaksian yang dilakukan oleh Gereja, secara sinodal dan didukung oleh Jemaat-Jemaat Lokal; dan, oleh karena itu, penatalayanan / penatalolaan keuangan Gereja – Jemaat bersifat terbuka
A.    PENDAHULUAN
Dua pernyataan di atas bukan sebuah asumsi terhadap penatalayanan / penatalolaan keuangan Gereja di tingkat sinodal maupun dalam Jemaat Lokal. Pernyataan tersebut dikemukakan berdasarkan pengalaman yang dilalui sepanjang duapuluh delapan tahun pengabdian sebagai pelayan GPIB sejak tahun 1982. Banyk catatan harian saya menunjukkan kelebihan dan kelemahan penatalayanan / pengelolaan keuangan Gereja –Jemaat yang memicu berbagai masalah. Oleh karena itu, Gereja – Jemaat Lokal perlu membina warganya, agar mengetahui dan mengerti fungsi uang dan peranan Pejabat Gereja – Jemaat Lokal untuk menatalola keuangan, sehingga bermanfaat mendukung pelaksanaan aktivitas misi Gereja. Rendahnya pengenalan warga tentang Peraturan Penatalayanan Ekonmi Gereja – Jemaat Lokal  telah mengakibatkan kesalahpahaman yang meluas. Dan, bisa menjadi ancaman yang menghambat atau mematikan kehidupan persekutuan.
Mencermati fenomena seperti ini, saya berusaha untuk menyumbangkan pikiran seobjektif mungkin, dengan harapan : usaha membangun Gereja selaku KELUARGA ALLAH yang sehat dapat dicapai secara bertahap. Memang saya menyadari akan perubahan dan perkembangan yang sedang dihadapi Gereja – Jemaat, memungkinkan sulitnya pencapaian reformasi di bidang ekonomi Gereja – Jemaat; akan tetapi sebagai seorang beriman, saya menaruh harapan yang kuat pada Allah. Dia akan membantu Gereja – Jemaat untuk membentuk kepribadian yang tulus, jujur dan terbuka dalam menatalola ekonomi (terkait keuangan) Gereja. Untuk mendorong kita bersama memasuki masalah yang peka ini, saya akan mengawali tulisan ini dengan mengemukakan beberapa hal.
B.    MASALAH
Darimanakah kita akan memulai uraian ini ? So pasti, kita harus menyoroti berbagai masalah yang timbul tenggelam dalam perjalanan Gereja – Jemaat Lokal.
B.1. Kesalahpahaman Peraturan Gereja mengenai Otonomisasi atau  Pelembagaan Jemaat
         Sebaiknya, kita perlu mengakui jujur dan terbuka, bahwa masalah keuangan Gereja secara sinodal, disebabkan kesalahpahaman semua pihak berkepentingan yang terkait penatalolaan ekonomi (keuangan) Gereja – Jemaat Lokal. Kesalahpahaman itu pun ditimbulkan karena salah tafsir tentang otonomisasi Jemaat Lokal. Kondisi ini telah berakar dalam dalam kehidupan persekutuan Jemaat-Jemaat Lokal terhadap Peraturan Gereja, sejak Proto Sinode Tahun 1948.
       Sekilas sejarah. Sebelum dimandirikan Jemaat-Jemaat Lokal berada dalam penatalayanan Gereja Protestan di Indonesia (GPI), yang dahulu bernama Indische Kerk, Gereja Negara. Disebut Gereja Negara karena ia berafiliasi kepada Pemerintah Belanda. Kehidupa Gereja ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Belanda di Indonesia. Keadaan ini berkembang menjadi kesulitan, sejak dimandirikan, Minggu – 31 Oktober 1948. Meskipun telah dimandirikan, namun Pemerintah Belanda masih mendanainya selang beberapa tahun. Juga masih menerima bantuan dari misi di Negeri Belanda (NZG). Hal itu dibuktikan oleh penggajian para pelayan firman berkebangsaan Belanda yang masih bekerja di dalam Jemaat-Jemaat Lokal.
       Semangat Pemandirian. Semangat pemandirian itu dipengaruhi juga oleh konteks sosial yang sedang actual pada waktu itu. Masyarakat-bangsa ini sedang menggumuli berbagai masalah dalam negeri, setelah kemerdekaan Jumat, 17 Agustus 1945. Pertumbuhan ekonomi masih sulit. Kondisi itu berpengaruh pula kepada ekonomi Gereja. Namun karena desakan konteks, Bapa-Bapa Gereja mengambil keputusan untuk memandirikan Gereja.
       Keputusan tentang pemandirian bersifat positif. Namun kurang didukung oleh kesiapan mental. Sumber daya jemaat (manusia serta sarana dan prasarana) belum memadai. Jargon dan semangat kemerdekaan nasional telah menciptakan Gereja baru di tengah dunia baru. Tanpa mengetahui arah jalan yang akan ditempuh, dengan logistic yang kurang memadai, Bapa-Bapa Gereja dan seluruh warga telah memasuki era kemerdekaannya. Harapan akan masa depan bergema dalam Khotbah Sulung, Emeritus Pdt. J. Supit (simak catatan sejarah dalam Buku Proto-Sinode) yang didasarkan atas Keluaran 33: 15,
Jikalau Engkau sendiri tidak membimbing kami (Gereja), janganlah suruh kami berangkat dari sini
       Dengan demikian, sekalipun tanpa logistic yang cukup memadai, namun Gereja meletakkan pengharapan imannya kepada Allah, bahwa Dia akan bekerja menyelamatkan dan membimbing Gereja menuju masa depan yang dijanjikan-Nya. Inilah semangat yang dapat kita temukan dalam diri Musa, ketika ia memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, tanah penjajahan dan perhambaan.
       Harta Milik Gereja. Gereja dibekali oleh warisan yang ditinggalkan Indische Kerk, seperti : Gedung Gereja, Gedung Sekolah-Sekolah yang didirikan zending, tanah, dan sebagainya. Untuk tidak memasuki masalah yang cukup peka, saya tidak berhasrat menuliskan masalah di sekitar penatalolaan dan pengolahan harta milik Gereja. Saya menganjurkan, agar kita menyimak seluruh hasil Persidangan Sinode.
       Otonomi Jemaat Lokal : Hak dan Kewajiban. Pada waktu itu, pemahaman tentang otonomisasi Jemaat Lokal tidak jauh berbeda dari otonomisasi yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Negara. Sama seperti tiap propinsi memiliki kekuasaan menatalola kehidupan wilayahnya, demikian juga pandangan Pejabat dan warga Gereja. Jemaat Lokal memiliki hak yang tidak terbatas untuk menatalola persekutuan pelayanan dan kesaksian. Bukan hanya itu, Jemaat Lokal pun menguasai dan menatalola (termasuk mengolah) sejumlah harta milik Gereja yang tidak bergerak dalam wilayah pelayanannya. Pimpinan Sinodal kurang memiliki kekuatan untuk mengatur pengelolaan dan pengolahan harta milik demi menunjang pekerjaan misi. Meskipun kedudukan Majelis Sinode di Jakarta, namun pelaksanaan pekerjaannya kurang optimal, karena fungsionarisnya berdomisili dalam Jemaat Lokal yang cukup jauh dari pusat pemerintahan Gereja (mis. Soerabaya, dan Jawa Tengah).
       Pemahaman tentang  otonomi yang kurang sehat seperti itu telah menyebabkan ketimpangan ekonomi Gereja. Kesenjangan ekonomi antara Jemaat Lokal di Ibukota Negara dan Ibukota Propinsi serta Ibukota Kabupaten/Kewedanaan/Kotapraja telah menimbulkan masalah serius. Hal ini dapat disimak dalam Notulen Persidangan Proto Sinode di Bogor dan Persidangan Sinode I di Jakarta. Kemudian hari, menghadapi masalah ini terjadi pelepasan beberapa Jemaat Lokal, seperti yang pernah terjadi dalam wilayah Sulawesi Selatan (Dahulu Jemaat-Jemaat di Enrekang berada dalam satu kesatuan wilayah, dan dilayani oleh seorang misionari asal Jepang). Menjawab masalah financial-ekonomi tersebut, Gereja menetapkan pemandirian di bidang daya dan dana. Gagasan ini bertumbuh dari pemahaman, bahwa warga jemaat bertanggungjawab mendukung seluruh pembiayaan aktifitas program pelayanan-kesaksian.
Catatan :
Pada masa ini, banyak sekali harta milik Gereja yang berpindah tangan atau sekurang-kurangnya diuangkan dengan berbagai cara. Telusuri saja, salah satu contoh : bagaimana lahan tanah diatasnya berdiri SEKOLAH IMMANUEL di Palembang – MUPEL SUMSEL beralih tangan.
       Sementara pemasukan (kolekte dan persembahan lainnya) belum signifikan.  Hal ini menambah beban pembiayaan sinodal. Sikap Pimpinan Jemaat Lokal yang belum memahami dan kurang menghayati makna kebersamaan sinodal (sehidup sepelayanan) pun merupakan faktor yang menimbulkan masalah.
       Tirani Pimpinan Jemaat Lokal dan Arogansi Pimpinan Sinodal.
1). Tirani Pimpinan Jemaat Lokal
      Pemahaman yang keliru tentang otonomi Jemaat Lokal tampak jelas, sejak dahulu sampai sekarang ini. Masih saja terdengan ucapan : “Bisa apa Majelis Sinode, kalau kita tidak membayar Iuran Tetap Bulanan (ITB) / Persembaan Tetap Bulanan (PTB)”. Acapkali kalimat seperti ini ducapkan, jika tuntutannya tidak dipenuhi dan atau terjadi sengketa antara Pimpinan Sinodal dan Pimpinan Jemaat Lokal (Masih ingatkah anda akan masalah Gereja di sekitar tahun 1991 – 2000 ?).
      Secara institusional yang diatur dalam konstitusinya,maka pengertian tentang Gereja bukanlah sebuah Jemaat Lokal. Gereja adalah sejumlah orang percaya yang dipersatukan dan dipersekutukan Roh Allah ke dalam satu wadah persekutuan, yang disebut Jemaat Lokal. Berdasarkan pengakuan iman dan ikrar kebersamaan, maka Jemaat Lokal adalah bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari Gereja secara sinodal. Oleh karena itu, tirani seperti ini merugikan Gereja secara keseluruhan.
      Marilah kita, sebagai orang-orang yang telah dikuduskan oleh Roh Allah, mengakui jujur dan terbuka, bahwa kita sering tergoda untuk menyombongkan diri, karena sejumlah besar uang yang dimiliki dalam Jemaat Lokal. Secara khusus, saya mengajak seluruh Presbiter (Penatua, Diaken dan terutama Pendeta yang berfungsi sebagai KETUA MAJELIS JEMAAT / KMJ) untuk bertobat meninggalkan karakter lama, dan (menurut Paulus) berubahlah sesuai pembaharuan budimu (Rom. 12:2) yang dikerjakan oleh Roh Allah, agar kita meninggalkan sikap tirani dan berdiri menjadi pihak oposan, untuk menjadi sahabat beriman dalam perjalanan bersama sambil mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Gereja. Ingatlah, bahwa ketika kita bersikap tirani (kejam) terhadap Pimpinan Sinodal, sama artinya dengan kita diri sendiri, sebab kitalah yang memilih mereka. Lebih dari pada itu, sesuai dengan ukuran pengakuan iman kita menyakiti Kristus Yesus yang telah menetapkan mereka menjadi Imam Besar dan Pemimpin kita menyongsong masa depan yang dijanjikan Allah.
      Kesalah pahaman yang dikarenakan persepsi (penafsiran) berbeda adalah sesuatu yang wajar pada perkembangan manusia dalam institusi. Akan tetapi ia akan berubah menjadi tidak wajar, jika kita mengembangkannya menjadi masalah besar. Di dalam Kristus, tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi, asalkan kita saling memperlakukan diri sebagai anggota dari satu KELUARGA ALLAH.
2).  Sikap Arogansi Pimpinan Sinodal
      Ketika menuliskan hal ini, saya berangkat dari realitas kehidupan bergereja, di mana orang-orang yang dipilih untuk menyelenggarakan pemerintahan Gereja menerima kekuasaan melalui sebuah proses pemilihan.
      Kekuasaan (kuasa, otoritas) diterima pemimpin Gereja melalui 2 (dua) proses :
2.a. Saya mengerti dan memahami kesaksian Alkitab, bahwa seorang pelayan dipanggil, diurapi dan diberikan otoritas Kristus, agar ia menjalankan pengutusan (tugas fungsional) di tengah-tengah umat Allah. Semua pelayan (presbiter) menerima otoritas ilahi pada ibadah pentahbisan dalam jabatan Pendeta dan peneguhan dalam jabatan Penatua-Diaken. Kuasa ini adalah karunia Rohkristus. Bukan diberikan oleh Jemaat.
Cat. :`  Saya menggunakan kata PENTAHBISAN dalam jabatan Pendeta dan PENEGUHAN dalam jabatan Penatua-Diaken berdasarkan pemahaman teologis yang termaktub dalam TATA IBADAH GPIB 1974. Dengan demikian saya berharap, meskipun segala sesuatu dapat diubah, namun hendaklah tiap perubahan kata / istilah dalam rumusan gerejawi, seharusnya, dilakukan berdasarkan kajian teologi yang benar dan bersifat alkitabiah sambil menghormati tradisi teologi yang dilahirkan oleh para pendahu kita. Perubahan itu janganlah bersifat asal-asalan, melainkan telah melalui proses analisa kritis dan evaluasi sesuai prosedur yang berlaku.
2.b.  Kemudian dalam mengemban tugas fungsionalnya, ia dipilih untuk memimpin organisasi Gereja. Pemilihan representatif itu merupakan pengakuan Gereja, sekaligus pemberian kewenangan (otoritas) dari semua warga Gereja dalam hal menatalayani persekutuan umat.
      Berangkat dari pemahaman tersebut, saya berbicara tentang pengolahan dan pengelolaan otoritas organisasi untuk melaksanakan pemerintahan Gereja.
      Setiap Presbiter yang diberikan otoritas institusional perlu menyadari, bahwa kepemimpinan yang diembani dijalankan dengan maksud dan tujuan penggembalaan (I Pet. 1:1-3). Ia, seolah-olah, Allah yang menggembalakan kawanan domba-Nya. Ia melakukannya untuk TUHAN. Bukan untuk memenuhi keinginan dan karena kehendak manusia. Semuanya adalah karunia (anugerah) Allah. Akan tetapi acapkali, sebagai manusia, sang pemimpin tergoda memakai kekuasaan dalam menjatuhkan keputusan. Ia bisa terjebak ke dalam sikap arogan, jika tidak mewaspadai diri sendiri. Sering sikap menimbulkan kemacetan komunikasi-dialogis di antara Pimpinan Sinodal dengan Pimpinan Jemaat Lokal.
B.2. Sumber Daya Manusia
       Salah satu faktor yang mempengaruhi pelayanan adalah sumber daya manusia. Kalau saya bicara tentang sumber daya manusia, maka yang saya maksudkan adalah manusia dalam hubungan dengan TUHAN dan pekerjaan-Nya. Banyak orang pandai dalam Jemaat, tetapi kepandaian tidak memberikan konstribusi positif, malahan menjadi alat pertarungan untuk menonjolkan diri. Seharusnya, kepandaian pribadi diikuti dengan sikap rendah hati, bijaksana, saling menghormati, lemah lembut, satu hati, satu jiwa, sepenanggungan, suka melihat keberhasilan orang lain, dan sikap-sikap positif lainnya.
1.  Allah tidak membutuhkan orang pandai. Umumnya orang pandai mengerjakan pekerjaan yang bukan dipikirkan Allah tetapi dipikirkannya sendiri.
2.  Allah tidak membutuhkan orang bodoh. Sebab dalam kebodohan ia bisa bertindak bebal, malahan menimbulkan huru hara dalam pelayanan
3.  Allah tidak membutuhkan orang kaya, sebab acapkali mereka menyumbang / menjadi donator lalu bersikap arogan dan mengatur kebijakan Gereja. Malahan kadang para presbiter tertekan karena takut dan malu, jika tidak melakukan keinginan sang orang kaya yang menjadi donator.
4.  Gereja membutuhkan orang yang rendah hati, dan yang setia mengasihi serta taat memberlakukan firman-Nya. Orang pandai belum tentu setia mengerjakan kehendak Allah, apalagi orang bodoh. Baik orang pandai dan orang bodoh sama-sama berbahaya. Akan tetapi orang yang rendah hati, yang setia mengasihi serta taat melakukan firman TUHAN, mereka bagaikan tanaman kesukaan Allah dalam ladang-Nya : Gereja.
       Ada pandangan yang keliru dalam Gereja, ketika berbicara tentang sumber daya. Pandangan itu selalu dihubungkan dengan kepandaian dan kekayaan (title, gelar, status sosial, dan yang sama seperti itu), padahal jikalau kita melakukan penelitian (saya sudah melakukan penelitian di dalam GPIB Jemaat KASIH KARUNIA di Medan), maka dapat dipastikan, bahwa banyaknya masalah yang muncul dalam Gereja secara sinodal maupun Jemaat Lokal diakibatkan pola pikir dan perilaku orang-orang seperti itu.
       Sikap dan sifat Manusia dalam Jemaat.
1.  Ada orang kaya yang tidak berpendirian. Mereka ini dapat diarahkan oleh presbiter ambisius. Orang ini bagaikan pokok bambu yang ditiupkan angin.
2.  Ada orang kaya yang rendah hati dan memiliki pendirian kokoh. Ia tidak dapat diprovokasi siapapun; akhirnya ia tidak disenangi oleh presbiter yang berpikir negatif. Orang kaya seperti ini selalu berpikir, bahwa hidupnya hanya untuk melayani TUHAN dan bukan untuk melayani kepentingan presbiter ambisius. Orang ini bagaikan pohon yang tertanam di tepi air yang berbuah tanpa mengenal musim penghujan atau kemarau panjan.
3.  Ada orang yang setengah kaya, dan suka menyumbang sejumlah uang ke Gereja. Bersamaan dengan itu ia gila hormat, ambisius, ingin dipuji, dengan mulutnya ia berjalan bagaikan racun yang mengkhamiri pikiran orang lain. Orang seperti lebih berbahaya dari ular beludak (yang disebut Yesus).
4.  Ada orang bodoh yang mulutnya beracun dan tidak berpendirian. Orang ini dipilih menjadi presbiter, namun kebebalan masih menguasai dirinya, lalu dengan mulutnya ia menjadi provokator yang membahayakan pekerjaan pelayanan. Orang ini bagaikan tong kosong nyaring bunyinya.
5.  Ada orang serba gila di dalam jemaat : gila hormat, gila tahta, gila uang, gila pujian, gila perempuan, dan kegilaan lain-lainnya. Orang seperti ini akan menjadi pengacau di dalam Jemaat, karena ambisinya tidak tercapai, bagaikan hewan berpenyakit rabies.
6.  Ada orang-orang “jaim” (jaga image, alias munafik) yang sering bertutur manis, tetapi berpikir jahat. Orang-orang seperti ini sarat kepentingan, mempunyai tujuan dan ambisi pribadi. Mereka ini kelihatannya selalu berubah-ubah pendirian, jika keadaan menguntungkan diri sendiri. Orang-orang seperti ini tak bisa dipercaya dalam pelayanan. Mereka bisa dipakai sebagai kuda beban untuk mencapai tujuan mulia, asalkan selalu diwaspadai gerakannya. Mereka bagaikan burung merak yang sombong.
7.`Ada orang yang pekerjaannya suka mencari-cari kesalahan sesama rekan sepelayanan, supaya ia kelihatan berbuat baik. Padahal ia selalu menghindar kalau diberikan tanggungjawab atau jika ia menjabat jabatan fungsional, tindakannya lebih berbahaya dan mendatangkan kerugian bagi Jemaat. Mereka lebih berbahaya dari pada ikan hiu di samudera bebas.
8.  Ada pula orang yang pandai dan orang-orang sederhana yang kurang memiliki pengetahuan, tetapi masih mau belajar untuk mencapai yang terbaik. Mereka ini disebut orang-orang bijak. Mereka tahu membedakan arah angin. Mereka tahu mengarahkan tujuannya dalam perubahan dan perkembangan zaman. Mereka ini akan berhasil dalam hidupnya. Mereka akan dikaruniakan kuasa dan tahta oleh Allah. Sebab mata Allah tertuju pada semua orang. Dan Allah melihat, bahwa mereka setia mengasihi serta taat mengerjakan pekerjaan-Nya. Lalu Dia membuat mereka berhasil dalam segala pekerjaan. Orang-orang seperti inilah yang patut dipilih menjadi Pimpinan Jemaat. Mereka bagaikan gandum yang berbulir lebat.
B.3. Konstitusi dan Institusi
a) Gereja bukanlah perusahan yang menghasilkan laba (profit). Gereja adalah perusahan jasa. Ia tidak mencari keuntungan. Ia hadir untuk melayani kebutuhan manusia, agar melalui pekerjaan pelayanannya manusia memperoleh keselamatan / pembebasan dan menikmati kebahagiaan. Oleh karena itu, Gereja berorientasi pada pekerjaan (program), dan bukan pada keuntungan (profit). Uang dibutuhkan, tetapi uang bukan menjadi tujuan pelayanan. Pelayanan pun menjadi tujuan, tetapi bukan berarti pelayanan dapat dibisniskan (dijadikan alat untuk memperoleh uang sebanyak banyaknya). Keduanya harus berjalan seimbang. Dilakukan berdasarkan ketaatan kepada kehendak Allah.
b)  Penjelasan di atas merupakan sebuah kondisi pelayanan nyata. Uang selalu menjadi masalah dalam Sidang Majelis Jemaat. Lihatlah, jika setiap presbiter mengikuti Ibadah Minggu, mereka selalu membawa pulang Warta Jemaat. Itu sebuah perbuatan baik. Akan tetapi mereka pun memiliki tujuan untuk merekapitulasi jurnal keuangan, agar dalam Sidang Majelis Jemaat, mereka menyerang kebijakan-kebijakan keuangan Pelaksana Harian, seakan-akan uanglah yang menjadi tujuan utama dari pelayanan-kesaksian Jemaat. Banyak PHMJ menjadi bangga, jika pada akhir masa jabatan berhasil mengumpulkan banyak uang, sementara pelayanan-kesaksian tak berjalan baik. Sibuk membangun gedung-gedung, padahal amanat Yesus kurang diperhatikan untuk dilaksanakan.
Kondisi yang dikemukakan di atas menggambarkan, bahwa hamper dapat dipastikan, presbiter kurang mengetahui dan mengerti konstitusi / peraturan Gereja. Inilah indikator yang menunjukkan, bahwa pembinaan warga jemaat pra pemilihan presbiter tidak berjalan baik di seluruh Jemaat Lokal.
Fungsi sistem selalu perlu diaktualisasikan.
Kita selalu menyalahkan fungsi sistem Gereja dengan tujuan membenarkan kelalaian dan kesalahan pelaksana Gereja. Seakan-akan fungsi-sistem tidak menunjang. Pikiran ini sungguh-sungguh berdosa dan naïf. Kita lupa, bahwa fungsi-sistem Gereja selalu diaktualisasikan 5 (lima) tahun sekali pada setiap Persidangan Sinode, atau sekurang-kurangnya sekali 1 (satu) tahun pada setiap Sidang Tahunan. Jadi tidak ada alasan untuk melemparkan kesalahan pada fungsi-sistem dan membenarkan keburukan manusia pelaksana. Pikiran seperti itu buruk dan mengada-ada.
Yang terjadi ialah ketika keputusan persidangan bertentangan dengan keinginan serta kepentingan pelaksana, maka dengan memakai kekuasaan, si pelaksana memelintir dan mengubah kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan pekerjaan Gereja di tingkat sinodal dan Jemaat di tingkat lokal sesuai selera dan tafsirannya sendiri. Manusia berdosa sering terjerumus ke dalam bentuk kejahatan ini, sejak masa Adam dan Eva di taman Eden.
Selamat Menyimak !
MEDAN, 12 JANUARI 2011
SALAM DAN DOAKU
PDT. ARIE A. R. IHALAUW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar