PEMBENTUKAN KELUARGA DAN ETIKA PERKAWINAN
SEBUAH KAJIAN NILAI-NILAI ETIS-MORAL MENURUT KESAKSIAN BAGI PEMBANGUNAN KELUARGA KRISTEN
DITULIS OLEH
PDT. ARIE A. R. IHALAUW
BAHAN BINA DALAM
GPIB JEMAAT “MARANATHA” BALIKPAPAN
JUMAT, 29 OKTOBER 2011
PENGANTAR
KONTEKS SOSIAL MASA KINI. Akhir-akhir ini perubahan dan kemajuan zaman, dikarenakan globalisasi dan lain-lain, telah mempengaruhi pola perilaku dan cara berpikir masyarakat. Gelombang perubahan itu menghantam kehidupan rumahtangga, khususnya keluarga kristen. Nilai-nilai etis kristen maupun budaya masyarakat mulai ditinggalkan, digantikan nilai-nilai baru yang jauh berbeda dari tradisi-budaya yang selama ini dipegang. Ikatan kekeluargaan / kekerabatan perlahan-lahan merosot. Kekerasan dalam rumahtangga terhadap kaum perempuan dan anak-anak makin menjadi-jadi. Penegakan Hukum dan Hak Azasi dijalankan secara sistemik. Kondisi ekonomi yang cukup berat menekan kehidupan keluarga. Mengatasi kemungkinan-kemungkinan ancaman terhadap keluarga kristen, kita (Gereja dan warganya) patut memikirkan berbagai alternatif jalan keluar (paradigma, pendekatan, metode / pola penyelasaian) yang ditawarkan, supaya mereka dapat memilih manakah yang cocok dan yang dapat diberdayakan untuk mengatasi masalah keluarga.
KESAKSIAN ALKITAB
KESAKSIAN ALKITAB. Menurut pendapat saya, Alkitab adalah satu-satunya sumber yang, seharusnya, dijadikan kerangka acuan berteologi. TEOLOGI tidak sama dengan Firman Allah. TEOLOGI adalah hasil karya seseorang yang didasarkan atas Firman Allah. Berteologi merupakan upaya reflektif tentang UCAPAN-UCAPAN ILAHI yang menjadi INTI dalam kesaksian Alkitab. Dengan demikian, jika seseorang ingin menggagaskan karya teologi, maka terlebih dahulu ia melakukan upaya eksegese (tafsir) kemudian menyusun formulasi (merumuskan) temuannya, barulah menguraikan pandangan teologinya tentang konteks sosialnya. Memang ada banyak sekali gagasan-gagasan teologi yang termaktub dalam Alkitab. Saya hanya memakai salah satu contoh saja, yakni : KELUARGA ALLAH.
So pasti muncul pertanyaan : mengapa gagasan tentang KELUARGA ALLAH dijadikan kerangka acuan teologi yang akan dikembangkan ? Alasan yang dapat dikemukakan adalah :
a). SOSIO-BUDAYA. Keluarga adalah sistem sosial terkecil (cell-group) yang pertama-tama dikenal manusia, sejak kelahiran -> pertumbuhan -> perkembangannya. Pengalaman berbahasa, pengenalan akan nilai-nilai etis moral, pewarisan ajaran-ajaran keagamaan, pembentukan karakter dan kepribadian, dan lain-lain ditentukan selama proses kehidupannya berlangsung dalam keluarga.
b). PSIKOLOGIS – BIOLOGIS. Kebutuhan akan sandang-pangan dinikmati dalam keluarga tiap orang sejak masa pra-natal. Begitu pula kebutuhan psikologis (simak Teori Kebutuhan yang dikemukakan ABRAHAM MASLOW).
c). RELIGIUS. Pengenalan akan kepercayaan kepada Allah diwariskan orangtua kepada anak / anak-anaknya.
d). EDUKASI. Keluarga adalah institusi pendidikan dan pengajaran (bd. Ul. 6:6-7).
Dengan demikian keluarga merupakan bentuk institusi pertama yang dikenal oleh seorang manusia sejak kecil sampai meninggal dunia. Oleh karena itu, saya memanfaatkan KELUARGA sebagai dasar pengembangan gagasan teologi tentang GEREJA / JEMAAT.
1. LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN, Tinjauan sosio-budaya atas Kejadian 1 – 2
A. KEJADIAN 1 : 26 – 2 : 7
A.1. Menurut pendapat saya, penciptaan manusia (Kej. 1:26; 2:7) merupakan sebuah narasi mengenai pekerjaan Allah yang membangun hubungan kekeluargaan : ALLAH vs MANUSIA. Allah sebagai Bapa dan manusia sebagai anak.
A.2. Kejadian 2 : 18 – 24 merupakan narasi yang merefleksikan pembangunan keluarga yang dilaksanakan Adam vs. Eva untuk mencapat target yang disuruh Allah (Kej. 1:28 -> “beranak cuculah, bertambah banyak penuhi bumi, taklukan dan kuasailah”, dan juga “untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”).
VISI Allah terhadap ciptaan-Nya adalah MASA DEPAN ALAM SEMESTA SESUAI RENCANA-NYA (Taman Eden). Secara alamiah Taman Eden telah hilang, karena pelanggaran dan dosa manusia. Kemungkinan besar, penulis Kitab Kejadian memakai istilah EDEN / FIRDAUS dengan tujuan menjelaskan keadaan ciptaan sebelum manusia dihukum Allah (Kej. 3). Hal itu ditulis dalam kalimat : “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”(Kej. 1:11b,18b,25b). Kata “baik” mengandung makna etika dan estetika. Artinya, keindahan hidup KELUARGA CIPTAAN akan selalu indah, jika seluruh alam semesta bertumbuh-kembang sejalan dengan aturan-aturan ilahi (samakah dengan “hukum alam” ?) yang berlaku. Dan, hal ini dapat dicapai, jika manusia sebagai mandataris Allah (Kej. 1:26) mengusahakan dan memeliharanya (Kej. 2:15) secara baik menurut kehendak Allah.
A.3. PENCIPTAAN MANUSIA DAN MISI ALLAH. TUHAN Allah memiliki visi tentang keadaan yang akan dinikmati seluruh ciptaan di masa depan, yakni : EDEN, suatu keadaan di mana seluruh ciptaan hidup bersama yang indah sebagai KELUARGA, di mana Allah menjadi Bapa. Untuk maksud itu Dia menciptakan MANUSIA dengan tujuan menjalankan misi-Nya. Penciptaan itupun bisa ditafsirkan : Allah memanggil dan memberikan KUASA (mandat kepercayaan penuh) kepada manusia sebagai PENGELOLA / PENATALAYAN dan PENGUSAHA alam ciptaan (Kej.2:15). Pekerjaan itu wajib dijalankan sesuai rencana induk (master-plan) yang ditetapkan Allah. Oleh karena itu, manusia senantiasa membangun dan membina hubungan baik, agar ia mengenal pikiran Allah yang terkandung dalam rencana-Nya.
A.4. VISI ALLAH CONTRA VISI MANUSIA. Masalah muncul ketika manusia menciptakan VISI-nya sendiri yang bertentangan dengan VISI yang telah ditetapkan Allah mengenai masa depan ciptaan. Manusia merencanakan visi masa depannya untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan bersama sesama ciptaan. Inilah pelanggaran yang disebut dosa. Dan, kepentingan itu terkait dengan masalah PENATALOLAAN KEHORMATAN, KEKUASAAN dan EKONOMI. Saya membaca percakapan Eva dan Iblis (Kej.3:1-7) tidak jauh berbeda dengan narasi Matius tentang pencobaan Yesus (Mat. 4:1-11). Dan pencobaan Eva-Adam -- juga Yesus – tidak jauh berbeda isinya dengan apa yang sedang terjadi pada masa kini, meskipun bentuknya bervariasi.
B. KEJADIAN 2 : 18 – 25
Narasi penciptaan Kejadian 2 : 18 – 25 memiliki latarbelakang sosio-budaya sifatnya dan berbeda dari pada Kej. 1 : 26 – 2 : 7 yang bersifat liturgis. Secara tersirat latar-belakang budaya patrenalis mempengaruhi penulisannya. Hubungan kekeluargaan (kekerabatan) dalam masyarakat Israel-Kuno --- seperti pola budaya masyarakat Timur Tengah Kuno --- diadakan berdasarkan garis keturunan kepala keluarga (patre = ayah = laki-laki), di mana kaum perempuan (isteri dan anak perempuan) kurang mendapat penghargaan juga status yang sama. Kaum perempuan dan anak diperlakukan sebagai HAMBA SAHAYA yang dimiliki kepala keluarga. Menurut saya, pandangan ini merupakan salah satu pemicu masalah dalam kehidupan keluarga modern. Mengapa saya berpendapat demikian ?
Di sinilah kekeliruan Israel-Kuno menafsirkan dan merumuskan ucapan ilahi yang ditulis oleh penulis Kejadian : “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18). TUHAN Allah menjadikan peremuan itu sebagai PENOLONG YANG SEPADAN DENGAN DIA (laki-laki). Ada 2 (dua) hal yang terkandung dalam frasa tersebut :
B.1. PENOLONG. Tidak sama artinya dengan PEMBANTU RUMAHTANGGA, JONGOS, BABU.
B.2. KESEPADANAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. Kosa kata PADAN artinya SAMA DENGAN, sedangkan PADANAN berarti juga PASANGAN. Kesepadanan itu menunjuk pada penciptaan Allah (Kej. 1:26; Mat. 19:4), bukan pada status laki-laki dan perempuan yang tertulis dalam norma (hukum) masyarakat baik lisan maupun tertulis. Laki-laki dan perempuan merupakan PADANAN yang diciptakan Allah, sama seperti hewan (jantan-betina). Keduanya se-HAKEKAT, sekalipun scara kodrati berbeda tugas fungsionalnya.
B.3. Jika kosa kata PADANAN itu diartikan PASANGAN, maka kata ini dikaitkan juga pada kesimpulan : “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”(Kej. 2:24; Mat. 19:5-6). Artinya, keterpisahan karena alasan kodrati (jenis kelamin) itu dipersatukan kembali dalam fungsi dan peran suami-isteri (aktivitas psiko-seksual) melalui perkawinan, sehingga “keduanya menjadi satu daging”. Itulah sebabnya kehidupan perkawinan suami-isteri itu patut menampakkan tanda-tanda kesatuan yang utuh : psikologis dan biologis.
Dalam hal inilah kita mengartikan kata PENOLONG, di mana perempuan tidak boleh dijadikan objek penderita dari keinginan laki-laki untuk mendapatkan keturunan dan ambisinya; akan tetapi perempuan patut memperoleh status sosial, karena keduanya memiliki HAKEKAT YANG SAMA YANG DICIPTAKAN OLEH ALLAH.
BERSAMBUNG --->
PEMBENTUKAN KELUARGA DAN ETIKA PERKAWINAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar