Senin, 03 Oktober 2011

SALAH SIAPAKAH, JIKA WARGA GEREJA MENJADI PENGIKUT KARISMATIK ?


GERAKAN KARISMATIK DAN GEREJA

Sebuah kajian eklesiologis dan missiologi terhedap perkembangan Gerakan Karismatik dalam kehidupan bergereja / beremaat masa kini dan masa depan

ditulis oleh
PENDETA  ARIE A. R. IHALAUW

Senin, 03 Oktober 2011

A.  MENGENAL KONSEP KELUARGA ALLAH

Saya menuliskan artikel ini sebagai bahan penelitian dan pengkajian untuk menguji sistem pengajaran Gereja – Gereja Reformasi dalam berbagai persekutuan sinodal yang berpahamkan Calvinisme dan Lutheranisme. Saya tidak bertendensi mereformasi tradisi dari ajaran-ajaran resmi Gereja-Gereja tersebut; akan tetapi menyumbangkan pemikiran yang positif tentang bagaimana Gereja-Gereja Reformasi Calvinis dan Lutheran patut melakukan upaya intospeksi atas seluruh sistem pengajarannya yang telah melembaga berabad-abad. Saya juga tidak melihat alasan ketakutan akan mengecilnya kwantitas keanggotaan Gereja, melainkan saya menguraikan pengkajian ini demi mengupayakan peningkatan pekerjaan Gereja di bidang pelayanan dan kesaksian yang dilakukan oleh persekutuan umat Allah, yang disebut GEREJA SEBAGAI KELUARGA ALLAH.

Menurut pemahaman iman saya, jika berbicara tentang Gereja / Jemaat, maka saya cenderung mengambil gambaran KELUARGA ALLAH, dan bukan TUBUH KRISTUS. Mengapa ?

1.   KONSEP KELUARGA ALLAH DALAM ALKITAB PERJANJIAN LAMA.

1.a. Biogenetika. Awalnya pemahaman tentang keluarga itu bersifat eksklusif (tertutup) pada hubungan biogenetika. Yang dimaksudkan keluarga Abraham adalah keturunan darah daging langsung yang berhubungan dengan dia, yakni : Ishak, anaknya (Kej. 15). Oleh karena itu, perjanjian Allah versus Abraham ditujukan, pertama-tama, kepada keturunannya : “Aku akan memberkat engkau dan Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar” (Kej. 12:2). Kepada Abraham dan keturunannya, TUHAN Allah bertujuan untuk membangun sebuah keluarga baru, paska Menara Babel (Kej. 11:1-9). Oleh karena itu, Ia memakai Abraham dan keturunannya, agar “semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3b). Itulah juga yang dipegang oleh kaum karismatik (aliran kenabian) untuk melawan kaum elit kerajaan dan agamawan di Israel pada masa Kerajaan.

1.b. Sosio-religius. Konsep keluarga pada butir 1.a. di atas berkembang dalam masa Abraham terkait dengan hukum Sunat (Kej. 17: 9-13).  Allah bertitah, semua orang laki-laki yang ada di dalam rumah Abraham harus disunat. Meskipun orang itu bukanlah keturunan langsung, tetapi oleh karena mereka terikat dan mengikatkan diri kepada Abraham karena mereka bekerja di dalam rumahnya, maka mereka wajib disunatkan. Penyunatan itu bukan saja pertanda ikatan perjanjian dengan Allah yang disembah Abraham, melainkan sekaligus menjadi satu kesatuan utuh dari persekutuan keluarga Abraham. Dengan cara itu mereka menyatakan diri setia mengasihi Allah dan taat menjalankan firman-Nya. Mereka itulah yang mendapat berkat Abraham.

1.c.  Tradisi Yakub. Setelah penipuannya pada Ishak, ayahnya; Yakub melarikan diri dan bekerja pada pamannya : Laban, serta diberikan isteri : Lea dan Rahel, juga kedua gundiknya. Dari keempat perempuan itu ia menerima sejumlah anak laki-laki dan perempuan. Mereka itulah yang disebut keturunan Yakub secara biogenetika. Mereka juga menerima berkat perjanjian Allah yang mengalir dari darah daging Abraham.

1.d. Pengembangan Konsep Baru tentang Kebangsaan Israel sebagai Keluarga. Nama YAKUB diubah oleh malaikat Allah menjadi ISRAEL (Kej. 32:28 -> “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel”). Setelah peristiwa di Pni-El itu, kadang-kadang penulis-penulis dan nabi-nabi menggunakan kedua nama itu (YAKUB – ISRAEL) secara bersamaan maupun terpisah. Penggunaannya pun menunjukkan pada sebuah realitas sosial, yakni : keturunan Yakub yang menjadi tiang penyanggah kebangsaan Israel. Ketika nama YAKUB dipakai, maka hal itu menunjuk  pada keturunan Abraham secara biogenetika; tetapi ketika nama ISRAEL disebut, maka hal itu menunjuk secara langsung pada eksistensi sebuah bangsa. Akan tetapi ada kalanya keduanya tidak dibedakan juga. Dan, baik YAKUB maupun ISRAEL, kedua-duanya diciptakan oleh Allah.

1.e. Setelah eksodus dari Mesir, nama ISRAEL selalu digunakan para penulis APL. Penggunaan itu merupakan sebuah refleksi para penulis tentang tradisi Yakub yang diberdayakan untuk membangun wawasan dan kawasan kebangsaan umat Israel.

Perjalanan Israel yang lama (Israel secara biogenetika) diakhiri dalam peristiwa eksodus dari Mesir, ketika semua kaum Ibrani (kata ini dipakai dalam prasasti Firaun yang menunjuk pada arti : budak belian), bukan saja keturunan Yakub tetapi juga orang secara pribadi maupun kaum keluarga ataupun suku-suku yang menjadi budak di Mesir. Mereka ini bersatu dan berjalan keluar bersama-sama keturunan Yakub menuju masa depan baru, tanah air baru yang dijanjikan TUHAN kepada Abraham. Israel yang baru, yang masuk ke tanah Kanaan bukanlah keturunan Yakub saja melainkan persekutuan suku-suku bangsa yang diselamatkan Allah (Dalam hal ini berkat yang dijanjikan Allah kepada semua kaum di muka bumi telah mulai direalisasikan -> Kej. 12:3b -> “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat”).

1.d. Pembangunan Israel Baru dalam kesaksian APL. Dengan demikian, menurut saya, prototipe KELUARGA ALLAH telah dimulai sejak ISRAEL BARU berdiam di tanah perjanjian. Sejarah pembangunan Israel Baru dimulai sejak Allah bekerja membebaskan budak belian ( = kata Ibrani) dari Mesir. Saya ulangi lagi, budak belian itu bukan hanya sebuah sebutan yang ditujukan kepada kaum keluarga keturunan Yakub saja, melainkan juga kepada orang pribadi, kaum keluarga dan atau suku-suku yang mengikatkan diri ke dalam persekutuan yang dibebaskan itu. Pengikatan diri itu dilakukan dengan memenuhi hukum sunat (Kej. 17: 9-13). Mereka inilah yang menerima perjanjian Allah dan hukum-Nya di kaki Gunung Horeb (sumber E) atau Sinai (sumber Y). Pada akhirnya, sebelum Israel menduduki seluruh wilayah suku-suku Kanaan, Yoshua memanggil semua orang dan para tua-tua berkumpul di Sichem untuk membuat ikatan perjanjian bersama dengan Allah (Yosh. 24). Tujuan ikatan perjanjian itu bukan saja kepada Allah, tetapi sekaligus secara tersirat mengikatkan keragaman suku dan mengatur hubungan kekeluargaan Israel Baru berdasarkan imannya kepada TUHAN, Allah yang disembah Abraham, Ishak dan Yakub (Kel. 4: 13-16). Itulah dasar dari gambaran prototipe KELUARGA ALLAH dalam persekutuan umat Israel Baru, suatu umat yang dibangun oleh Allah sendiri untuk melayani Dia dan untuk mengerjakan misi-Nya.

2. PENGEMBANGAN KONSEP KELUARGA ALLAH DALAM GAGASAN PERJANJIAN BARU.
     
      Konsep KELUARGA ALLAH dalam APL itu dikembangkan melalui tradisi APB sejalan dengan ucapan-ucapan Yesus dan juga rumusan ajaran para rasul.

2.a. Yesus berkata : “Siapakah saudara-saudara-Ku ? Saudara-saudara-Ku adalah mereka yang melakukan kehendak Bapa-Ku.” Pernyataan Yesus diperlihatkan dalam proses memilih murid-murid. Ia bukan saja memilih sepupu-Nya (Yohanes dan Yakobus), tetapi juga Yudas Iskariot dan Lewi pemungut cukai, dan lain-lain. Melalui pekerjaan mereka kelak, Yesus sedang membangun sebuah keluarga baru, yakni : KELUARGA ALLAH, yang didasarkan atas ucapan-Nya : “Kasihilah seorang akan yang lain.” Dalam hal inilah saya memahami ucapan Yesus kepada Petrus : “Engkaulah Petrus, dan di atas batu karang inilah Aku akan mendirikan / membangun (Yun. oikodomezo) Jemaat-Ku” (Mat. 16:18).

2.b. KELUARGA ALLAH adalah hasil kerja Allah; dan, oleh karena itu, ia adalah milik Allah. Allah juga adalah Kepala Keluarga. Dan, menurut Paulus, Yesus Kristus menjadi yang sulung di antara semua saudara ( Rom. 8:29; bd. Kol. 1:15, 18).  

2.c.  Reinterpretasi dan reformulasi terkait konsep KELUARGA ALLAH dituliskan oleh Rasul Paulus (teologi surat Epesus), di mana ia menempatkan Yesus Kristus sebagai dasar (Eps. 4:20), kepala (Eps. 4:16) dan pusat keluarga. Menurut Paulus, di dalam Kristus (Yun. en tou Kristous -> jargon teologis ini sangat disukai Paulus) :

Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" (yang dimaksudkan : kristen-Israeli) dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat" (yang dimaksudkan : kristen non-israeli),… Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Eps. 4:13-20).  

        Menurut Paulus, anggota-anggota keluarga Allah yang memiliki keragaman telah dipersatukan di dalam Kristus. Dengan kata lain, keragaman itu dipelihara dalam keluarga, karena kesadaran dan keyakinan iman yang sama dan yang satu kepada Allah di dalam nama Yesus Kristus (bd. Plp. 2:10; Kol. 3:17).

B.  PENGAJARAN PEMBANGUN FUNGSI SISTEM ORGANISASI SOSIO-RELIGIUS

Menurut saya, sistem pengajaran kristen (Silabus : Kurikulum dan materi) yang sesuai nilai-nilai tradisi kekristenan yang diterima selalu wajib dijadikan dasar pembangunan Gereja-Misi dan atau Misi-Gereja. Pengajaran itulah yang menciptakan Gereja-Misi (fungsi-sistem organisasi), sejak masa kepemimpinan rasul-rasul di Yerusalem sampai kapanpun Gereja ada di dalam dunia.

B.1. Konteksualisasi Ajaran dalam bentuk institusi sosio-religius.

Jauh sebelum keyahudian, malahan sebelum kekristenan, berkembang so pasti manusia telah membangun perangkat sistem kehidupan masyarakat. Tujuannya untuk mencapai cita-cita (visi) bersama. Demikianpun Gereja/Jemaat-Jemaat sebagai pewaris kekristenan lahir di dalam sebuah tradisi sosial, walaupun bukan karena alasan dan tujuan sosial.

Sama seperti Israel yang menerima suruhan Allah dalam ikatan perjanjian kepada Abraham : “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kj. 12:3), maka mereka patut mengornasikan seluruh keguatan yang tampak pada semua bentuk perupaan organisasi umat, seharusnya, mencerminkan tugas fungsional yang diilhami oleh visi Allah atas ciptaan-Nya sesuai ikatan perjanjian dengan leluhurnya. Gereja secara sinodal maupun Jemaat Lokal juga wajib mengorganisasikan kegiatannya serta membangun fungsi sistem pelayanan-kesaksian berdasarkan firman Allah YESUS KRISTUS, SUMBER DAMAI-SEJAHTERA (Yoh. 14:27). Artinya, seluruh pembidangan program maupun pengadaan fungsi-sistem dan peran wajib berorientasi pada visi tersebut, agar fungsi dan peran isntitusi, juga warganya, dapat merealisasikan dan mengoperasionalkan tugas misional sesuai visi yang telah ditetapkannya.

Namun kadang-kadang secara institusional muncul berbagai masalah terkait kekuasaan (otoritas) kepemimpinan : sentralisasi ataukah desentralisasi. Ketika Gereja memilih sentralisasi kekuasaan, ia perlu memikirkan berbagai akibat yang akan muncul karena reaksi orang banyak. Sebab sentralisasi kekuasaan selalu mengerucut pada peran pelaku, yakni : Pimpinan Gereja. Sentralisasi selalu bersifat tertutup. Dan, kadang-kadang jika tidak dapat dikelola secara baik – benar akan menimbulkan banyak masalah. Itulah kelemahannya. Di samping itu ada pula kekuatannya, yakni : kewibawaan organisasi akan kuat dan tertata tertib (jika dilakukan sesuai fungsi sistem yang didasarkan atas sistem normatifnya). Sebaliknya, jika Gereja memilih desentralisasi kekuasaan, ia akan menghadapi risiko : kesulitan koordinasi atas fungsi dan peran dari bahagian-bahagian sistem organisasi, muncul perbedaan tingkat ekonomi di setiap Jemaat Lokal, dan lain-lain sejenisnya.

B.2. Gerakan Karismatik dalam Gereja pada masa kerasulan.

Lepas dari apakah ukuran kacamata yang anda pakai untuk membaca permasalahan yang sedang berlangsung dalam proses menggereja, karena pesat dan cepatnya pertmbuhan gerakan karismatik, saya mndekati masalah ini dengan memakai kacamata berlensa putih, dengan mengatakan bahwa :

a). Gerakan Karismatik muncul sebagai reaksi sosial di tengah-tengah persekutuan umat terhadap sentralisasi kekuasaan pada puncuk pimpinan Gereja / Jemaat.

      Bacalah sejarah kepemimpinan mengenai runtuhnya kerajaan-kerajaan di Eropah dan juga hancurnya kekuasaan Paus di Roma pada abad pertengahan. Baik Kerajaan maupun Kepausan membangun kekuatan kekuasaannya secara eksklusif. Sentralisasi kekuasaan itu akan menumbuhkan sikap arogansi penguasa dengan kurang atau sama sekali tidak mendengarkan suara hati orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang dibangun berdasarkan pemahaman sentralisasi kurang memberi kesempatan kepada kaum bawah untu berpartisipasi dalam proses membangun kebersamaan bangsa / umat. Akibatnya, muncul gerakan sosial yang dipimpin oleh pemimpin karismatik (pemimpin yang dapat memolisir kekuatan rakyat / umat) untuk mengkritik (berdemonstrasi) melawan tirani Raja / Pimpinan Gereja. Dua contoh yang saya kemukakan ini, yakni : revolusi kaum proletar di Perancis terhadap kepemimpinan rajanya dan reformasi yang dilancarkan Dr. Marthin Luther terhadap kepemimpinan Paus di Roma, kiranya, dapat membantu kita menyimak keadaan kita sekarang melalui refleksi sejarah masa lalu tentang kepemimpinan Gereja dan Negara.   

b).      Gerakan karismatik muncul dikarenakan kurangnya perhatian Pimpinan Gereja dan Jemaat Lokal yang bersifat eksklusif pada ajarannya.

      Jika menyimak secara cermat kasus munculnya gerakan karismatik di dalam Jemaat Korintus, maka saya yakin seyakin-yakinnya, anda akan menarik kesimpulan tentang munculnya ajaran-ajaran lain dalam Jemaat Korintus terhadap pokok-pokok kekristenan yang diajarkan Paulus.

      Secara pribadi saya berpendapat (masih bersifat hipotetis) sedikit berbeda. Kita harus berhati-hati membaca keadaan Jemaat di Korintus. Ada 2 (dua) persoalan bahkan lebih dari pada itu yang menjadi latar belakangnya :

      Pertama, kedatangan Apolos yang memberitakan Injil di  wilayah Korintus telah mendorong (juga membuka wawasan baru) warga jemaat Korintus tentang kerasulan Paulus.

      Kedua, adanya kecenderungan warga jemaat Korintus yang beragam latar belakang “menentang” penguatan kepemimpinan yang mengerucut pada Dewan Penatua (Yun. ton presbuterion -> Majelis Tua-Tua atau Majelis Jemaat) dalam Jemaat. Pendapat saya ini berlatar belakangkan pengenalan akan sistem masyarakat Yunani-Romawi terhadap paham demokrasi, di mana rakyat mengambil bahagian dalam proses memilih pemimpinnya. Sementara Tua-Tua dalam Jemaat – Jemaat ditunjuk dan diangkat sesuai suara Paulus (lihat contoh di mana Paulus menyuruh Timotius memilih Tua-Tua Jemaat di Epesus, sekalipun dengan memenuhi persyaratan kualitatif). Hal ini menimbulkan benturan sosio-kultural (culture-shock) dalam Jemaat.

      Ketiga, perjumpaan antara Injil dan budaya-agama-suku yang pernah dianut oleh orang-orang Kristen di Korintus. Perjumpaan itupun menimbulkan gesekan keras dalam pengajaran dan pemberitaan Injil. Kita perlu mendalami ulang istilah “menjaga kemurnian ajaran” yang selalu didengung-dengungkan dalam Gereja. Dengan demikian masalah ini muncul karena kontekstualisasi ajaran rasul-rasul serta sikap tua-tua Jemaat yang mempertahankan kemurnian ajaran kristen.

      Keempat, munculnya keragaman reinterpretasi dan reformulasi terhadap tradisi kristen yang bersumber dalam  kesaksian Alkitab tentang Bapa – Anak – Roh (Trinitas atau Tritunggal Allah Mahakudus), secara khusus terhubung pada karya Roh Allah.

B.3. Gerakan Karismatik dalam Gereja masa Bapa – Bapa Gereja.

Sejarah Gereja Umum mencatat, bahwa pembacaan tentang kesaksian Alkitab telah menggerakkan perhatian orang Kristen mengenai fungsi dan peran Roh Allah dalam rencana penyelamatan-Nya. Upaya tersebut mengakibatkan munculnya gerakan pentakontal  di Afrika, di mana Tertulianis (Bapa Gereja yang mempopulerkan istilah Trinitas) tersesat, menurut pandangan resmi Gereja pada waktu itu. Padahal, menurut saya, hal itu wajar-wajar saja, karena ketika seorang teolog Gereja melakukan pencarian harta rohani sesuai kesaksian Alkitab, ia tiba pada keyakinan iman pribadi yang “sedikit” berbeda dari ajaran yang telah dipatenkan dan wajib diikuti seluruh jemaat. Tertulianus dipandang tersesat karena hal itu.

B.4.            Gerakan Karismatik dalam Persekutuan Ekumenis masa kini.

4.1. Pebedaan pentafsiran dan perumusan ajaran.

Bersumber dari penelitian dan pengkajian teologi Alkitab yang dilakukan para teolog Gereja, baik di bidang akademis maupun praktisi, terhadap kesaksian Alkitab, maka lahirlah berbagai gagasan konseptual tentang ajaran Gereja. Para penganjur Gerakan Karismatikpun mempertahankan deskripsi teologinya berdasarkan kesaksian Alkitab, TIDAK SALAH dan TIDAK PERLU DIPERSALAHKAN. Tidak seorangpun yang dapat menghakimi sesame seimannya, karena mengemukakan gagasan teologi yang bertentangan dengan ajaran Gereja (lihat pandangan Gereja Roma Katolik terhadap sikap dan pemahaman iman Marthin Luther dan reformator lainnya).

4.2. Slogan yang selalu didengungkan Gereja adalah AJARAN ITU SESAT.

Slogan ini yang perlu diuraikan, supaya warga Gereja memperoleh pengetahuan iman yang membuka wawasannya. Ambilkan contoh : jika seorang teolog praktisi (Pendeta) menyatakan Gerakan Karismatik itu SESAT, sesungguhnya, ia menyatakan hal itu berdasarkan pengenalan akan Ajaran Resmi dari Gerejanya. Katakanlah, GPI adalah sebuah persekutuan dari Gereja-Gereja bersaudara yang mewarisi tradisi dan dibentuk oleh Indische Kerk di Negeri Belanda. Gereja induknya menganut calvinisme dan bersifat calvinis. Calvinisme memiliki standar ajaran yang dibangun atas dasar kesaksian Alkitab : Sola Scriptura, Sola Fide dan Sola Gratia. Dan juga, dimana firman diberitakan oleh pejabat-pejabat Gereja, di sanalah Gereja ada dan hadir. Gereja-Gereja yang tergabung dalam persekutuan GPI (bukan PGI) memahami, bahwa Allah dalam karya Yesus Kristus mlanjutkan pekerjaan-Nya melalui pekerjaan Gereja (Gereja-Misi -> mission ecclesianum). Gereja menerima otoritas dari Kristus (Mat. 16:19) untuk melanjutkan misi Allah -> Misi Kristus melalui pekerjaannya. Untuk menjalankan pekerjaan itu Gereja memproseskan warganya menjadi pejabat (pelayan Firman melalui pendidikan akademis). Sesudah seorang pelayan firman memenuhi persyarakat kualitatif dan administratif, maka Gereja menempatkan yang bersangkutan menjadi vicaris dan kemudian ditahbiskan menjadi Pelayan Firman, serta diutus untuk melaksanakan pekerjaan Gereja.

Dengan demikian kita perlu memahami, bahwa pengadaan dan pengutusan seorang Pendeta (Pelayan Firman) tidak secara otomatis dilakukan oleh Sekolah Tinggi Teologi apapun dan di manapun. Yesus Kristus tidak pernah memberikan otoritas kepada Sekolah Tinggi Teologi di Aleksandria dan di Antiokhia Siria serta di Yerusalem untuk mengangkat dan mentahbiskan (mengurapi) seseorang menjadi Pelayan Firman. Akan tetapi Yesus Kristus memberikan otoritas (wewenang dan tanggungjawab) kepada persekutuan umat (Gereja/Jemaat-Jemaat) untuk menjalankan misi-Nya. Berdasarkan pemahaman ini, Gereja-Gereja yang tergabung dalam GPI berpendapat, bahwa jabatan gerejawi (Pendeta, Penginjil, Pengajar termasuk juga Penatua-Diaken) tidak boleh dilakukan oleh Sekolah Tinggi Teologi atau Yayasan-Yayasan Penginjilan. Hal ini berbeda dengan perbuatan Sekolah Tinggi Teologi tertentu. Dan yang juga dilakukan oleh salah seorang Pendeta GPIB ketika ia mentahbiskan seorang penatua dari GPIB Jemaat Batu – Malang menjadi PENDETA, tanpa surat keputusan Majelis Sinode GPIB. Malapetaka di dalam GPIB karena penyalahgunaan otoritas Gereja bersumber dari sana.

4.3. Perbedaan konsep teologi terkait  Ajaran dan Praktika

PENGINJILAN dan PENGGEMBALAAN.

        Istilah teologi ini perlu diklarifikasi, sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman penggunaannya. Teologi kaum awam dalam Gerakan Karismatik tidak membedakan istilah ini, sehingga menimbulkan kerancauan operasionalnya. Secara teologis tujuan dan area penggembalaan adalah warga jemaat yang menyimpang dari ajaran Gereja (Yoh. 21 : 15 – 19; 1 Pet. 5 : 1 – 4), sedangkan penginjilan dilakukan oleh Gereja dengan tujuan memberitakan Injil kepada orang-oran yang belum percaya kepada Yesus Kristus (Mat. 28:18–20; Mrk. 16:15).  

        Dalam pelaksanaannya Gerakan Karismatik salah menempatkan gagasan teologi itu. Warga dan sebagian Pejabat Gerejanya melakukan aktifitas penginjilan kepada anggota-anggota dari Gereja lain, kemudian menjadikan mereka sebagai anggota jemaatnya, dengan mengatakan : “Kami telah berhasil membuat orang itu mengenal Yesus Kristus,” padahal yang bersangkutan telah lama dibaptis dalam nama Yesus Kristus.

        BAPTISAN ANAK DAN BAPTISAN SELAM (ORANG DEWASA)

        Menurut pemahaman Gerakan Karismatik dan Pentakostal, Baptisan yang mendatangkan Rohkudus ke dalam diri sesorang adalah BAPTISAN SELAM. Karena Baptisan Selam adalah Baptisan Yesus Kristus.

        Jika kita meneliti secara baik dan benar, maka kita akan tiba pada kesimpulan, bahwa pemahaman Gerakan Karismatik dan Pentakostal telah keliru (kalau tidak mau dikatakan sesat dan salah). Mengapa ? Sebab jikalau kita Baptisan Selam adalah Baptisan Yesus Kristus, maka akan muncul pertanyaan teologis : kapankah dan dimanakah Alkitab menyaksikan, bahwa Yesus-Kristus pernah membaptiskan orang ? Baptisan Selam bukanlah CARA yang dipesankan Yesus Kristus untuk membaptiskan orang. Baptisan Selam adalah tradisi yang dilakukan orang Israel pada Abad I – II sb, yang juga diikuti oleh Yohanes Pembaptis. Masehi untuk memasukkan orang yang telah dibaptis ke dalam persekutuan umat Israel. Baptisan Selam itupun wajib dilengkapi dengan penyunatan orang yang sudah dibaptis. Dalam hal ini Gerakan Karismatik dan Pentakostal telah keliru, sebab yang disuruh oleh Yesus adalah MEMBAPTISKAN orang menjadi murid-Nya, dan Yesus Kristus tidak pernah memberikan contoh tentang CARA pembaptisan yang benar, sebab Dia tidak pernah membaptiskan seorang manusiapun.

        Masih banyak contoh ajaran Gerakan Karismatik yang dapat dikemukakan (bukan untuk mencari-cari kelemahan dan kesalahan), tetapi hal itu merupakan masukan kepada Gereja-Gereja dalam persekutuan GPIB, agar meningkatkan pembinaan warganya secara baik dan berkualitas.

5. SIKAP GEREJA TERHADAP WARGA YANG MENGIKUTI GERAKAN KARISMATIK.

Tidak ada alasan yang dapat dipakai untuk mengucilkan (excomunicatio)  seorang warga Jemaat yan mengikuti ajaran karismatik. Yang harus dilakukan Gereja adalah :

a). Menurut saya, sebaiknya, gerakan karismatik dipandang sebagai alat introspeksi (kritika) terhadap Gereja yang semakin mementingkan urusan-urusan organisasi dari pada kebutuhan spiritual umatnya. Oleh karena itu, Gereja tidak boleh mengucilkan umat yang berjala sendiri mencari kebutuhan spiritual di luar ibadah Gereja.

b).  Merevitalisasi dan merefungsionalisasikan sistem pengajaran dan penggembalaan yang selama ini kurang berjalan baik.

c).  Gereja perlu mempelajari kelemahan dan  kekurangan sistem peribadahan (liturgi-liturgi) yang kurang memberikan kesempatan bagi partisipasi umat dalam Ibadah Liturgisnya.

d).  Mengapakah Gereja takut atau segan untuk mengayomi warganya yang telah cenderung pada aktifitas karismatik dari pada aktifitas gerejawi ? Bagaimanakah jika Gereja membentuk atau mengadakan ibadah-ibadah resmi yang bernuansa karismatik ?

SLAMAT MENYIMAK DAN BERDISKUSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar