ETIKA KRISTEN,
PELAKSANAAN PELAYANAN DALAM GEREJA SELAKU KELUARGA ALLAH
Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.
KOLOSE 3 : 17
PENJELASAN TENTANG
FUNGSI PEMBERITAAN FIRMAN UNTUK TUJUAN PEMBANGUNAN KELUARGA ALLAH
MATERI BINA
MAJELIS JEMAAT DAN JEMAAT
GPIB MARANATHA DI BALIKPAPAN – KALTIM
SABTU, 29 OKTOBER 2011
DITULIS OLEH
PDT. ARIE A. R. IHALAUW
PENGANTAR
Acapkali muncul pandangan yang didebatkan, bahwa “Yang penting melayani, tak perlu banyak peraturan yang mengikat, sebab TUHAN tidak menuntut umat melakukan peraturan. TUHAN menuntut umat melaksanakan tugas.” Hal seperti itu ada benarnya tetapi ada tidak benarnya juga. Pandangan ini muncul, karena pemahaman yang keliru terhadap kesaksian Alkitab. Sulitnya, tiap orang menafsirkan kesaksian Alkitab secara sepotong-sepotong dan kurang terpadu menyeluruh. Malahan kadang-kadang kekacauan pemahaman itu terdengar dari mulut para presbiter untuk membenarkan diri, jikalau mereka melakukan kesalahan dalam pelayanan. Katakanlah contoh tentang Pemberitaan Firman dalam KEBAKTIAN KELUARGA. Kadang-kadang seorang presbiter yang ditugaskan memberitakan firman tidak menghadiri persiapan pelayanan bersama (mungkin ia berpikir, bahwa ia sudah menguasai semua isi Alkitab), padahal persiapan tersebut diwajibkan karena kesepakata bersama. Alhasil, ketia membawakan renungan, presbiter tersebut melakukan kesalahan fatal. Membingungkan dan meresahkan warga jemaat. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam jemaat. Ketika warga jemaat bertanya, ia katakan : “Pendeta tidak membantunya.” Kesalahan ditimpakan kepada Pendeta. Tetapi ketika ditanyai teman-teman presbiter lain, ia mangkir : “Saya sibuk !” Jadi sering pelayanan dikacaukan oleh para presbiter yang bersikap “sok tahu” segalanya. Cara seperti ini dapat menumbuhkan opini yang salah dari warga jemaat terhadap Pendeta / Ketua Majelis Jemaat. Contoh ini dipakai untuk membimbing kita memasuki uraian tentang ETIKA PELAYANAN.
PENDAHULUAN
A. PELAYANAN YANG BAIK LAHIR DARI PENATALAYANAN YANG SEHAT.
So pasti, Yesus memesankan, agar Gereja, yakni : pejabat dan warganya, membangun persekutuan yang melayani dan bersaksi di tengah dunia. Dan juga, so pasti, siapapun wajib melakukannya baik secara individual maupun kolektif. Kita tidak usah membahas pelaksanaan tanggungjawab individu yang melayani, sejauh ia tidak bersinggungan dengan GPIB selaku korporasi-individual. Itu tanggungjawab pribadi sebagai seorang kristen. Akan tetapi kita perlu membicarakan tanggungjawab itu, jika ia salah seorang Warga Jemaat, Fungsional (PELKAT), Presbiter terikat pada tugas yang diberikan oleh institusi GPIB. Hal ini perlu ditegaskan, agar langkah-langkah dari pekerjaan pelayanan GPIB dalam Jemaat Lokal “harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Kor. 14:40), “sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai-sejahtera” (1 Kor. 14:33).
A.1. Membangun dan Menata bersama KELUARGA ALLAH.
a). Gereja didirikan oleh Yesus-Kristus : KEPALA dan DASARNYA.
Warga dan Pejabat Gereja perlu menyadari, bahwa tidak seorangpun yang mengawali pembangunan Gereja selain dari pada Yesus-Kristus (Mat. 16;16). Dan tidak ada dasar / fundamen lain yang dipakai untuk meletakkan pekerjaan apapun selain yang telah dikerjakan oleh Yesus Kristus (1 Kor. 3:11). Oleh karena itu, tidak boleh seorang warga atau pejabat Gereja menyombongkan diri karena jasa-jasannya.
b). Membangun Gereja dimulai dari Pembinaan Warganya.
Pembangunan Gereja / Jemaat Lokal bukanlah tertuju pada sarana / fasilitas pisik pelayanan; akan tetapi sasaran utamanya adalah PEMBANGUNAN MANUSIA BARU (sing. PEMBARU) seutuhnya. Manusialah yang pertama-tama menjadi penggerak / pelaku pembangunan. Mereka itu akan mengerjakan pekerjaan Yesus-Kristus di tengah dunia. Jika manusia itu telah mengetahui dan mengerti tugas, fungsi dan perannya secara baik dan benar, maka ia akan mampu melakukan pekerjaan Allah sesuai karunia yang diterimanya dari Rohkristus.
i. Istilah “membangun” (kasus intitif - Yun. oikodomein) mengandung arti sama dengan : “membina”. Gereja, juga Jemaat Lokal, akan mengalami banyak kesulitan, jika pembangunan fisik tidak didahului oleh pembinaan wawasan bergereja (bersekutu – melayani – bersaksi). Dalam proses membina terjadi alih pengetahuan dan ketrampilan untuk memperkaya wawasan warga dan presbiter, agar mengetahui dan mengerti tugas-tugas pelayanan yang akan dikerjakan.
ii. Pembinaan itu bertujuan “memperlengkapi warga Gereja bagi pekerjaan pelayanan, dan bagi pembangunan tubuh Kristus” (bd. Eps. 4:12). Pengayaan (enrichment) amat menentukan pola kerja terpadu yang akan dikembangkan dalam pelayanan. Sebab jika warga dan presbiter tidak mengetahui dan mengerti kebijakan-kebijakan Gereja untuk dikerjakan oleh Jemaat Lokal, maka perbuatan yang bersangkutan akan mengacaukan seluruh tatanan dari karya Gereja seutuhnya.
iii. Pembinaan itu bertujuan juga untuk mengikatkan kesatuan tugas fungsional yang berbeda sesuai karunia yang diberikan oleh Rohkristus. Meskipun Gereja mengakui akan karunia pemberian Roh, tetapi pemberdayaan (empowering) perlu ditatatertibkan secara baik – benar, supaya seluruh pekerjaan Gereja yang dilakukan oleh warga dan pejabat di Jemaat Lokal semakin berdayaguna bagi semua orang.
iv. Pembinaan itu bertujuan untuk membuka wawasan tentang keunikan dari jatidiri Gereja, di mana warga dan pejabat berpartisipasi menjalankan pekerjaan pelayanan dan kesaksian. Keunikan jatidiri Gereja itu terletak pada Ajaran (Pemahaman Iman) dan Tata Aturannya (penatalayanan/ stewardship atau penatalolaan/management).
A.2. Landasan Pembangunan Gereja secara institusional
Untuk memahami sebuah keputusan Gereja, maka warga dan pejabat perlu mengetahui dan mengerti beberapa penjelasan di bawah ini :
a). Alkitab sebagai Landasan Pembangunan Hukum Gereja
Seluruh perundang-undangan Gereja disusun berdasarkan pentafsiran dan perumusan akan kesaksian Alkitab. Jika dalam suatu masalah yang dihadapi, para presbiter tidak menemukan jalan keluar yang dituliskan dalam TATA GEREJA, maka perlu dilaksanakan pertemuan formal, di mana presbiter (teolog / pendeta) menguraikan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan bersama berdasarkan pentafsiran atas kesaksian Alkitab. Semua presbiter wajib mentaati kesaksian Alkitab.
b). Pemahaman Iman Gereja sebagai Ajaran patut dijadikan petunjuk.
Pemahaman Iman merupakan pentafsiran Gereja terhadap kesaksian Alkitab yang dirumuskan sebagai petunjuk-petunjuk yang mengilhami setiap klausul dalam jenjang Tata Gereja. Pemahaman Iman juga adalah rumusan Gereja tentang visi dan misi yang akan dilaksanakan dalam konteks masyarakat-bangsa Indonesia yang sedang membangun. Oleh karena itu, jika Gereja menemukan kesulitan menghadapi masalah kontekstual (bila belum diatur dalam Tata Gereja), maka ia perlu menganalisa dan mengevaluasi permasalahan berdasarkan ajaran Gereja yang tertuang dalam Pemahaman Iman.
c). Mukadimah dan Tata Gereja
c.1. Mukadimah / Pembukaan Tata Gereja
Mukadimah / Pembukaan Tata Gereja merupakan uraian yang mengandung nilai-nilai alkitabiah sesuai dengan rumusan naskah Pemahaman Iman Gereja. Ia bersifat umum dan prinsipal.
c.2. Tata Gereja (Peraturan Pokok, Peraturan, Peraturan Pelaksanaan yang bersifat sinodal, Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat)
i. Seluruh rumusan : Bab, pasal, ayat, butir, yang terdapat di dalam Tata Gereja diilhami oleh kesaksian Alkitab dan Pemahaman Iman Gereja.
ii. Tata Gereja dan seluruh jenjang peraturan yang terdapat di dalamnya merupakan petunjuk-petunjuk penatalolaan / penatalayanan Gereja selaku KELUARGA ALLAH yang wajib ditaati untuk dilaksanakan.
c.3. Akta Gereja
Selain dari TATA GEREJA, kita menemukan juga AKTA GEREJA. Apakah yang dimaksudkan dengan AKTA GEREJA ? Ia merupakan uraian tentang pandangan dan petunjuk Gereja dalam hal mengatasi masalah kontekstual.
Dengn demikian siapapun yang menjadi Warga dan Pejabat Gereja di dalam Jemaat Lokal wajib melaksanakannya sebagai bentuk dari rasa cinta dan sikap setia kepada TUHAN yang mengutus Gereja / Jemaat Lokal.
B. ETIKA PELAYANAN
Istilah ETIKA berasal dari kosa kata Yunani, yakni : ETHOS, artinya : NILAI (KULTUR). Menurut saya, NILAI selalu menjadi landasan / kekuatan pembangun dan penggerak sebuah organ untuk mencapai tujuannya. Fungsi NILAI itu adalah
a). Dasar dari sebuah pekerjaan.
b). Kekuatan yang menggerakan.
c). Penata perilaku organisasi dan individu.
d). Tujuan yang akan dicapai di masa depan.
Menurut pemahaman Gereja, ETIKA berbeda dari MORAL (Yun. mores, artinya nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat). Perbedaan fundamental itu terletak pada kesaksian Alkitab. ETIKA Kristen dibangun berdasarkan kehendak Allah yang disaksikan oleh Alkitab; sedangkan MORAL merupakan nilai-nilai budaya masyarakat. ETIKA kristen bersifat universal, karena di mana saja firman Allah diberitakan, maka nilai-nilai yang terkandung dalam kerugma (inti berita) wajib dilakukan oleh setiap orang kristen. Sementara MORAL adalah muatan LOKAL sesuai tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Saya mengemukakan beberapa contoh sesuai kesaksian Alkitab Perjanjian Baru :
1. I PETRUS 3 : 17 tentang PERBUATAN BAIK -> Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.
Umumnya perbuatan berkorban selalu disebut kebaikan. Mengorbankan hewan untuk perayaan agama pun adalah kebaikan. Dalam perbuatan seperti itu, kita perlu menganalisa : motivasi, tujuan, kualitas perbuatan dan lain-lain.
1.a. Apakah motivasi yang mendorong seseorang berkorban ?
1.b. Apakah tujuan perbuatan itu ?
1.c. Seberapa tinggikah kualitas korban yang diberikan ?
So pasti, terdapat beragam motovasi, tujuan dan kualitas dari manusia yang memberikan korban. Walaupun menurut penilaian umum, korban dan berkorban iitu baik; akan tetapi tidak memenuhi kehendak Allah (jika hal itu dikehendaki Allah). Mungkin saja si pemberi korban berangkat dari motivasi, agar ia menerima pahala sorgawi atau materi dari Allah. Mungkin pula terkandung tujuan : untuk disebut sebagai orang baik/saleh, karena telah memenuhi tuntutan Hukum Agama, dan lain-lain. Menurut Rasul Petrus, pemberi dan korbannya itu, tidak dikehendaki Allah. Mengapa ? Karena si pemberi melakukan itu karena paksaan / tekanan Hukum Agama. Ia melaksanakannya demi memenuhi azas legalitas, dan bukan bersumber dari HATI YANG MENGASIHI DAN MEMULIAKAN ALLAH. Ia bukan mengucap syukur karena berkat yang diberikan oleh Allah, melainkan membanggakan kekayaan yang diperoleh berdasarkan hasil usahanya (bd. Kej. 4:1-16 -> Persembahan Kain dan Habel).
Dengan demikian, menurut Rasul Petrus, ETIKA KRISTEN tentang pekerjaan pelayanan ditentukan berdasarkan menurut KEHENDAK ALLAH, dan bukan berpedoman pada perbuatan baik menurut adat-istiadat (MORAL) masyarakat. Tentang hal itu, nabi Mikha memberitakan : “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu ?” (6:8).
2. I KORINTUS 10 : 23 – 24 -> "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain.”
Pandangan rasul Paulus ini disampaikan untuk menjawab persoalan dalam Jemaat Kristen di Kota Korintus terkait semua masalah dalam jemaat itu, bukan saja soal makanan haram dan makanan halal. Paulus ingin menegaskan pemahaman kristen tentang KASIH PERSAUDARAAN di antara warga jemaat terkait pelaksanaan KEBEBASAN DAN KEWAJIBAN KRISTEN. Tersirat 2 (dua) pandangan di dalam sebuah pernyataan :
a. TEGURAN KEPADA ORANG KRISTEN-ISRAELI. Di dalam Jemaat Kristen di Korintus, ada orang-orang yang dipengaruhi oleh pengajar kristen berlatarbelakang Agama Israel. Orang-orang ini berusaha menerapkan HUKUM HALAL – HARAM terhadap makanan-minuman yang dipersembahkan kepada dewa-dewi. Bolehkah seorang kristen makan dan minum dari segala sesuatu yang telah dipersembahkan kepada dewa-dewi ? Menurut orang kristen-israeli : TIDAK BOLEH. Akan tetapi Paulus menyatakan : BOLEH ! Hanya saja pernyataan Paulus itu perlu dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Apakah sikap TIDAK BOLEH sesuai dengan kehendak Allah bagi pembangunan persekutuan umat ? Paulus ingin menegaskan, bahwa, di dalam Kristus, setiap orang dapat melakukan apa saja, asalkan wajib MEMPERTIMBANGKAN KEBERATAN HATI NURANI SESAMA SEIMANNYA JUGA.
b. TEGURAN KEPADA ORANG KRISTEN NON-ISRAELI. Nasihat Paulus inipun ditujukan kepada warga jemaat kristen non-israeli di Korintus. Memang benar, Allah telah menganugerahkan kemerdekaan / kebebasan melalui iman akan karya Kristus. Oleh karena itu, siapapun bebas melakukan segala sesuatu; akan tetapi perbuatan itu perlu dilakukan dengan MEMPERTIMBANGKAN KEBERATAN HATI NURANI SESAMA SEIMANNYA JUGA. Apakah makan-minum secara bebas itu tidak akan melukai perasaan sesama seiman (orang kristen-israeli) ? Dalam hal itu tiap orang kristen non-israeli di dalam Jemaat Korintus patut memperhatikan KEBERATAN HATI sesama seiman, supaya mereka tidak tersandung melihat perilaku yang tidak sesuai dengan aturan-aturan.
Nasihan ini menunjuk pada tujuan yang harus dicapai dari apa yang dikerjakan dalam Jemaat Lokal di Korintus, yakni : KASIH PERSAUDARAAN SEBAGAI NILAI DASAR BAGI PEMBANGUNAN PERSEKUTUAN UMAT ALLAH. Karena itu Paulus berkata : “Memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan.” (bd. Gal. 5:13-15). Masing-masing orang perlu menguasai / mengendalikan demi kebaikan bersama.
3. ROMA 12 : 6 – 8 -> Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.”
Melalui pernyataan tersebut Rasul Paulus menasihati dan mengingatkan semua orang kristen di roma (juga kita sekarang ini), supaya menatalola secara baik dan benar karunia yang diberikan Allah, yakni : BERNUBUAT, MELAYANI, MENGAJAR, MENASIHATI, MEMBAGIKAN SESUATU, dan MEMIMPIN, sehingga JEMAAT DAPAT DIBANGUN (bd. I Kor. 12:5, 12, 17). Pekerjaan itu, seharusnya, dilakukan DENGAN HATI YANG IKHLAS, DENGAN RAJIN dan DENGAN SUKACITA.
3.a. DENGAN HATI YANG IKHLAS artinya : tidak dikerjakan karena paksaan, bukan mencari keuntungan sendiri, dilakukan sepenuh hati.
3.b. DENGAN RAJIN artinya : tidak malas, tidak dilakukan dengan setengah hati, dan sebagainya.
3.c. DENGAN SUKACITA artinya : sukacita itu tidak sama dengan gembira. Sukacita itu nilai kristen yang bertumbuh dari pemahaman akan pemeliharaan Allah karena iman kepada Kristus-Yesus. Sukacita itu kekuatan spiritual yang menopang pengharapan setiap pelayan, bahwa TUHAN Allah selalu menyertainya sepanjang ia mengalami penderitaan karena melakukan pekerjaan Kristus.
MEDAN – SUMATERA UTARA
Selasa, 25 Oktober 2011
Ditulis oleh
PENDETA ARIE A R IHALAUW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar