BAHAGIAN II
ETIKA KRISTEN BAGI PEMBENTUKAN KELUARGA
BERDASARKAN KESAKSIAN ALKITAB
PENDAHULUAN
Untuk memahami sebuah gagasan, kita tidak serta merta mengutip ayat-ayat untuk membenarkan rancang bangun teologi, melainkan kita perlu melihat kontkes sosio-budaya yang melatarbelakangi turunnya pernyataan / ucapan ilahi, begitu pula PEMBENTUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA melalui peristiwa perkawinan. Kita diajak menyimak KONTEKS SOSIO-BUDAYA di mana perkawinan itu dilangsungkan, yakni : masyarakat Israel-Kuno. Menurut pendapat saya, ada 2 (dua) hal yang saling berkaitan sebagai berikut :
I. FENOMENA SOSIAL
I.1. Sekarang ini perkawinan didahului oleh hubungan cinta-kasih antara sepasang kekasih berbeda jenis kelaminnya. Setelah melalui masa pacaran, barulah pihak keluarga laki-laki melamar gadis tersebut untuk dinikahkan dengan anaknya. Memasuki proses tersebut kedua calon mempelai, yang berbeda jenis kelamin itu, menandatangani PERJANJIAN PERKAWINAN (kontrak perkawinan) di hadapan petugas pemerintah pencatat perkawinan sipil. Oleh karena itu, saya mengatakan, bahwa perkawinan adalah peristiwa sosial, di mana hubungan cinta-kasih seorang laki-laki dan seorang perempuan disahkan dan diresmikan menurut hukum yang berlaku secara tertulis maupun lisan (hukum adat dan atau hukum Negara).
I.2. Padahal pada awalnya manusia tidak mengenal sistem perkawinan poligami maupun monogami. Manusia mengenal hubungan sex-bebas (free-sex, zamenleven, kumpul kebo) di antara laki-laki dan perempuan, tanpa ikatan-ikatan hukum (etis-moral). Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, masyarakat menyusun norma lisan (ada-istiadat) yang bertujuan menata ketertiban hidup bersama, maka muncullah sistem perkawinan poligami. Di kemudian hari barulah sistem perkawinan monogami. Perkembangan seperti ini berlatar belakangkan penyelesaian masalah terkait kewajiban anggota keluarga dan hak warisan yang diperolehnya.
I.3. Pada waktu itu, perkawinan dilaksanakan tanpa didahului proses berpacaran seperti sekarang ini. Orangtua pihak laki-laki akan mencari seorang gadis untuk dijodohkan dengan anak lelakinya. Dan, biasanya gadis itu dipinang dari keluarga terdekat pihak ayah atau ibu (Kej. psl. 24 -> kisah peminangan Ribka; Rut psl. 4 -> Boaz meminang Rut, dan lain-lain). Tujuan perkawinan seperti ini ialah :
a. Menjaga kemurnian darah (gio-genetik) atau juga hubungan kekerabatan di antara 2 (dua) keluarga.
b. Menjamin terpeliharanya harta warisan yang dimiliki orangtua.
II. TEOLOGI
Bagaimanakah konsep perkawinan dalam masyarakat Israel-Kuno ? Tidak dapat dipungkiri, bahwa penjelasan dalam butir I.1. berlaku merata dalam suku-suku di wilayah Timur Tengah Kuno. Israel-Yehuda memiliki kebiasaan sama yang tidak jauh berbeda. Kebiasaan itupun tidak dapat dipisahkan dari catatan yang dituliskan oleh penulis Kejadian : “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi” (Kej. 1:28). Inilah salah satu tujuan perkawinan pada waktu itu, ketika penduduk bumi masih sedikit, tidak seperti jumlah penduduk bumi sekarang.
II.1. PENERTIBAN PERKAWINAN TERKAIT KESELAMATAN MASYARAKAT.
Para penulis Kitab-Kitab Musa (Kejadian – Keluaran – Imamat – Bilangan – Ulangan) menuliskan perkembangan gagasan tentang perkawinan tak dapat dilepaskan dari rencana penyelamatan Allah ke atas seluruh ciptaan-Nya. Pemahaman itu tampak jelas dari narasi Kejadian 2 : 1 – 25, yang berakhir pada kesimpulan : “Sebab seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (ay. 24). Secara tersirat pernyataan tersebut masih terbuka bagi sistem poligami, karena yang dikatakan hanyalah seorang laki-laki, sedangkan tidak ada pembatasan jumlah isteri. Keadaan seperti ini berlaku dalam masyarakat Israel-Kuno.
II.2. PERKEMBANGAN HUKUM AGAMA MENENTUKAN POLA PERKAWINAN.
Israel adalah masyarakat religius. Mereka percaya, bahwa Allah, yang memanggil dan mengutus Abraham, adalah TUHAN yang mengikat perjanjian di Sinai (Horeb). Diapun memberikan Hukum (TAURAT) dan tanda/meterai Perjanjian (SUNAT) untuk mengikat mereka : keturunan Yakub beserta orang yang begabung, ke dalam persekutuan hidup bersama-Nya; sebab itu, seluruh kehidupan sosialnya ditata tertibkan berdasarkan hukum Taurat.
PENALARAN TENTANG PERKAWINAN DAN MAKNANYA MENURUT KESAKSIAN ALKITAB.
a). Pemahaman Iman Israel tentang TUHAN MAHAESA (Ul. 6:4) sangat kokoh, hingga mereka menyatakan, bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Dia. Eksistensi Israel sebagai bangsa merdekapun dikerjakan Allah, ketika Dia membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Pembebasan itu direfleksikan ke dalam cerita tentang penciptaan alam semesta. Dengan cara itu Israel ingin menegaskan, bahwa pra-eksistensinya selaku bangsa sudah ada dalam rencana Allah, sebelum langit dan bumi dijadikan-Nya. Mereka, suku-suku Israel, adalah anak-anak Allah yang dilahirkan dalam proses sejarah yang panjang. Kepada mereka, Allah menyuruh beranakcucu, bertambah banyak untuk memenuhi bumi (Kej. 1:28).
b). Kalimat “beranakcucu, bertambah banyak untuk memenuhi bumi” dirumuskan dalam bentuk HUKUM AGAMA, yang disebut : HUKUM KEKUDUSAN (bd. Im. Psl. 18 – 20) yang menurut Israel : diberikan oleh TUHAN, Allahnya. Inti dari Hukum itu dituliskan oleh penulis Kitab Ulangan :
Musa memanggil seluruh orang Israel berkumpul dan berkata kepada mereka : "Dengarlah, hai orang Israel, ketetapan dan peraturan, yang pada hari ini kuperdengarkan kepadamu, supaya kamu mempelajarinya dan melakukannya dengan setia. Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Dengarlah, hai orang Israel : TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa ! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. (Ul. 5:1,6; 6:4-5)
TUHAN menyuruh Israel untuk mengakui-Nya selaku ALLAH MAHAESA, dan tidak ada yang lain di hadapan hadirat-Nya (Ul. 5:7; Kel. 20:3; bd. Yes. 45:5-6, dll). Israel wajib MENGENAL (Ibr. yada) Dia dan beribadah kepada-Nya.
i). MENGENAL (Ibr. yada) memiliki makna sangat dalam, bukan sekedar mengetahui saja tetapi juga BERGAUL INTIM. Jika Israel BERGAUL INTIM dengan TUHAN, maka mereka akan diberkatinya.
ii). MENGENAL (Ibr. yada) Allah maupun sesama bisa terbuktikan, jika hati dan pikiran memiliki kekuatan CINTA-KASIH (Ibr. ahab). Dan, kekuatan itu akan selalu bertumbuh sepanjang manusia membina hubungan baik dengan Dia di sepanjang perjalanan hidupnya. Tanpa PENGENALAN AKAN ALLAH, Sumber CINTA-KASIH, manusia tidak akan mungkin setia mengasihi sesamanya (dalam konteks keluarga : isteri-anak dan keturunannya).
iii). MENGENAL (Ibr. yada) juga bisa berarti BERSETUBUH. (Kej. 4:1 -> “Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa”). Artinya, persetubuhan tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki bersama seorang perempuan, jika mereka sungguh-sungguh belum saling mengenal. Jika persetubuhan itu terjadi tanpa saling mengenal, maka kasus itu dinyatakan sebagai pelanggaran atau pemerkosaan hak-hak manusia.
iii). MENGENAL (Ibr. yada) Allah maupun sesama bisa terbuktikan, jika hati dan pikiran memiliki kekuatan CINTA-KASIH (Ibr. ahab). Dan, kekuatan itu akan selalu bertumbuh sepanjang manusia membina hubungan baik dengan Dia di sepanjang perjalanan hidupnya.
c). Bertolak dari monoteisma Allah yang menuntut KESETIAAN Israel, maka para penulis Perjanjian Lama melakukan reinterpretasi dan reformulasi makna perkawinan. Perkawinan wajib bersifat MONOGAMI (beristeri tunggal, satu), sama seperti Israel wajib mencintai satu Allah, yaitu : TUHAN; maka semua laki-laki Israel melakukannya kepada seorang perempuan yang dikenal dan dicintainya. Sama seperti Israel wajib setia kepada TUHAN, maka ia juga harus “setia terhadap isteri masa mudanya” (Mal. 2:15). KESETIAAN dari seorang suami kepada isterinya, dan isteri kepada suaminya, menggambarkan kehidupan tiap orang yang setia kepada Allah.
d). Apakah yang dikehendaki Allah dari perkawinan orang percaya yang setia ? KESATUAN ILAHI. Apakah yang dimaksudkan KESATUAN ILAHI itu ? Kesatuan hidup dengan isteri akan membuktikan kesetiaan suami kepada TUHANnya. Kesetiaan isteri pada suami akan membuktikan cintanya kepada TUHAN. Itulah yang dimaksudkan Paulus, ketika ia menuliskan surat kepada Jemaat di Epesus : “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah, HUBUNGAN KRISTUS (ALLAH) DENGAN JEMAAT / UMAT” (Eps. 5:32). Oleh karena itu, kata Paulus : “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 23). Kemungkinan besar, itulah makna yang dimaksudkan Alkitab. Dan Yesuspun mengatakan : “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6). Frasa “apa yang telah dipersatukan Allah” menunjuk pada perkawinan sebagai persekutuan antara sepasang suami-isteri berbeda jenis kelamin. Sementara frasa “tidak boleh diceraikan manusia” menunjuk pada alasan-alasan ayng sunggih-sungguh benar mupun yang dicari-cari untuk membenarkan sebuah perceraian. Bisa saja datang dari pihak ketiga tetapi juga muncul di antara pasangan suami-isteri yang menikah sah. Ingatlah !, perkawinan diadakan, karena Allah menghendakinya, dan bukan karena keinginan manusia semata. JANGAN BERCERAI, MESKIPUN TANTANGAN SANGAT BERAT ! Berbahagialah orang percaya yang setia, karena ia akan melihat masa depan cemerlang.
TUJUAN PERKAWINAN
a). Sejak dahulu perkawinan diadakan berdasarkan pemahaman yang dituliskan dalam Kitab Kejadian (1:28) : “beranakcucu, bertambah banyak untuk memenuhi bumi;” akan tetapi dikarenakan alasan seperti itu, maka banyak keluarga yang mengalami perceraian, atau sekurang-kurangnya terjadi pengkhianatan suami dengan alasan : “Isteriku tidak memberikan keturunan bagiku” Padahal alasan itu tidak dapat dibenarkan. Simaklah cerita perkawinan Abraham dan Sarah. Dengan demikian tujuan perkakwinan bukan untuk mendapatkan anak, melainkan untuk memuliakan Allah yang memberikan seorang perempuan kepada seorang laki-laki untuk menjadi isteri PENOLONGnya (Kej. 2:18, 23-24); dan sorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menjadi suami PELINDUNGnya.
Pada masa sekarang ini banyak kasus perceraian yang terjadi, di mana salah satu alasannya adalah : karena alasan tidak mempunyai anak. Malahan ada pula suami, karena tuntutan adat-istiadat paternal membenarkan alasan, bahwa harus ada seorang anak laki-laki yang meneruskan garis keturunan. Alasan itu sudah kuno; karena ada banyak pasangan suami-isteri yang sehat, tetapi tidak memiliki keturunan. Jadi alasan seperti itu, sekalipun didasarkan ayat-yat Alkitab, tidak dapat dipakai untuk membenarkan perceraian (bd. Mal. 2 : 10-16).
b). Allah menciptakan perempuan kepada laki-laki, agar mereka “menjadi manusia yang utuh” melalui perkawinan. Dia memberikan tugas kepada suami-isteri untuk memberdayakan diri dan juga keturunannya, supaya mereka dapat mengusahakan kehidupan yang layak dan memelihara kelangsungan hidup seluruh ciptaan-Nya (Kej. 2:15). Inilah tugas penyelamatan yang dikehendaki Allah dari pasangan suami-isteri beriman.
c). Perkawinan itu bertujuan untuk membuktikan kebenaran hati dari sepasang kekasih yang saling mengenal dan saling mencintai. Penulis Kitab Kidung Agung melukiskannya dalam kata kata yang indah :
Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN ! Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina (KID.AG. 8 : 6 – 7).
Menurut penulis itu, Allah sendiri yang menyalakan API CINTA dalam hati dan pikiran, sehingga seorang laki-laki memberikan janji perkawinan kepada calon isterinya. Menurut pengalaman penulis, API CINTA yang dinyalakan Allah tidak dapat dimatikan oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Katanya : “Sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya” Penulis mengandaikan CINTA bagaikan mata air kehidupan. Berawal dari aliran kecil sampai menjadi sungai dengan air deras. Jika ada yang menghalanginya, air itu akan menghancurkannya; tetapi jika CINTA itu dibiarkan terus mengalir sampai ke segara, maka KEKUATAN ENERGIKnya dapat menghidupkan pasangan suami-isteri. Jadi biarlah CINTA sepasang kekasih mengalir terus. Jangan dihalangi. Kewajiban orangtua hanyalah memberi petunjuk, seperti air yang meluap mengikuti alur sungai, demikianlah CINTA patut mengalir mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan Allah. Dan, jika orang yang bercinta tidak mengikuti aturan-aturan Allah, maka CINTA akan berubah menjadi PETAKA. SEMUANYA KARENA CINTA ALLAH !
NILAI UTAMA UNTUK MEMBANGUN KELUARGA BAHAGIA
Banyak sekali nilai-nilai yang dituliskan dalam Alkitab. Saya menyimpulkannya ke dalam 3 (tiga) besar, yaitu :
1). CINTA
CINTA bukan sekedar lahir dari perasaan suka, meskipun diakui bahwa hal seperti itu sering terjadi, namun perlu diingat : cinta yang datang dari rasa suka cepat akan berakhir. Cinta yang muncul dari perasaan suka, sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh penglihatan bentuk pisik dari orang yang mencintai kepada yang dicintai. Perasaan suka ini tidak akan bertahan lama, bila keadaan orang yang dicintai tidak sesuai apa yang keinginan si pencinta.
CINTA itu muncul dari kesadaran iman yang berkualitas, datangnya dari Allah, diberikan kepada manusia, sehingga ia menentukan pilihan yang tepat bukan saja untuk kebutuhan pribadi, tetapi terutama untuk memuliakan Allah yang mengaruniakan dan menyalakan API CINTA di dalam hatinya. Jika sepasang kekasih sungguh-sungguh menyadari, bahwa TUHANlah yang menyalakan API CINTA dalam hati, maka mereka akan menyatakan sikap syukur dengan cara saling menjaga KESUCIAN HIDUP-nya sampai waktu pmberkatan perkawinan.
Sepanjang perjalanan membina hubungan percintaan, tidak pernah seorangpun berkata : “CINTA ITU TIDAK ENAK !” Semua orang pasti berkata : “MENIKMATI CINTA ADALAH SUATU KEADAAN MENYENANGKAN.” Namun acapkali orang yang bercinta menggerakkan gairahnya (libido seksual) untuk menikmati CINTA sebelum masa penuaian. Akibatnya pertumbuhan CINTA menjadi mati.
JANGANLAH MENGOTORI CINTAMU OLEH NAFSU, SEBAB JIKALAU HAL ITU TERJADI, MAKA ANDA AKAN MENUAI BENCANA DAN PENYESALAN YANG TIDAK PERNAH TERHAPUSKAN !
Pance Pondaag, sorang penulis lagu bernyanyi : “Jangan kautaburi cinta dengan permata, tetapi hujanilah semua dengan kasih – sayang !” Ingatkah anda akan lagu itu ? Renungilah berulang-ulang dan hayatilah kebenaran makna CINTAmu melalui syair lagu itu.
2). KESETIAAN
Kualitas CINTA pada masa pacaran akan diuji dalam wadah perkawinan. Kadang orang yang bercinta berpikir, bahwa keadaan masa pacaran akan lebih indah sesudah perkawinan. Namun kenyataan yang dihadapi setelah perkawinan jauh berbeda. Malahan ada juga suami-isteri yang menyesali perkawinannya, karena hal-hal tidak terduga sebelumnya, dan ia tidak bisa menerimanya. Di sinilah CINTA memudar kualitasnya. Yang tersisa hanyalah PENYESALAN.
Alkitab membantu kita menjawab kesulitan ini : “Jadi jagalah dirimu ! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya…, dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu.” (Mal. 2:14-15). Kalimat itu bukan sebuah ancaman tetapi nasihat, agar suami-isteri harus saling SETIA. Nyala api CINTA bisa redup, ketika badai bertiup kencang. Tetapi jika suami-isteri itu SALING SETIA ATAS PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUATNYA DENGAN ALLAH, maka Allah SETIA menlindungi kehidupan perkawinan dari ancaman bahaya.
Masih ingatkan anda syair lagu yang dituliskan Rinto Harahap dan dinyanyikan oleh Meriem Belina ? Bunyinya : “KESETIAAN ini bukannya sandiwara berkorban untukmu walau kadang kecewa…” Hanya dengan KESETIAAN yang kokoh kepada Allah, suami-isteri mampu menempuh badai perkawinan.
3). PENGORBANAN
CINTA dan KESETIAAN bagaikan sekeping mata uang yang hanya bernilai untuk membayar sesuatu yang dimimpikan. CINTA dan KESETIAAN seperti itu akan tampak dalam PENGORBANAN HIDUP DEMI MENCAPAI HARAPAN hari esok. Tidak seorang suami-isteri yang ingin mencapai cita-cita masa depan, memperolehnya tanpa PENGORBANAN. Tanpa keikhlasan untuk berkorban hidup, tak akan mungkin seorangpun dapat meraih hari esok.
III. PENUTUP
Saya tidak menuliskan secara tersurat tentang ETIKA KRISTEN bagi perkawinan. Akan tetapi saya berusaha menguraikan kesaksian Alkitab di atas. Mengapa ? Sebab setiap orang memiliki pandangan sesuai pengalaman yang dikumpulkan satu demi satu di sepanjang perjalanan perkawinan; karena itu, saya berkata : BARANG SIAPA BERHIKMAT HENDAKLAH IA MENGERTI DAN BARANGSIAPA BERPENGETAHUAN BIARLAH IA MENAFSIRKANNYA.
SELESAI
Kutuliskan ARTIKEL ini bukan hanya untuk umat Allah, tetapi juga untuk Sientje, isteriku tercinta, dan Ben-Yada, Ben-Amor serta El-Chesed. Aku ingin bersaksi : “Karena CINTA – KESETIAAN – PENGORBANAN kalian, maka TUHAN
membantu saya untuk mencapai mimpi kita bersama.
AKU MENCINTAI KALIAN !
MEDAN – SUMATERA UTARA
JUMAT, 14 OKTOBER 2011
Ditulis oleh
PENDETA ARIE A. R. IHALAUW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar